“PENGARUH OTORITERISASI BIMBINGAN ORANG TUA TERHADAP REMAJA TUNAGRAHITA”

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bagi semua remaja tunagrahita keberadaannya bagi orang tua merupakan suatu kewajiban dan kebutuhan yang mesti dipenuhi. Kebutuhan ini disebut juga sebagai kebutuhan primer. Cerminan kebutuhan tersebut dapat dilihat dari sikap remaja tunagrahita, sedangkan sikap orang tua dari remaja itu sendiri sangatlah menentukan dalam perkembangannya.
Dikala seorang anak tunagrahita sudah mulai menginjak usia remaja, semua sikap yang dimunculkan oleh orang tua yang memiliki penyandang tunagrahita takan membantu mereka dalam semua kegiatan dan masalah yang dihadapinya. Akan tetapi bila remaja mempunyai orang tua yang bersikap otoriter maka akan dapat menimbulkan remaja tunagrahita yang cenderung pembangkang, suka berbuat sesuka hati, dan menimbulkan kejengkelan bagi orang-orang di sekitarnya.
Pola sikap otoriter yang ditampilkan orang tua akan menciptakan rasa tidak senang akan menimbulkan masalah seperti; a) kurang percaya diri, b) menarik diri dari pergaulan, c) melakukan pemberontakan terhadap rasa ketidak senangan. Akhirnya banyak tindakan yang tidak disenangi oleh orang tua. Perilaku ini merupakan suatu dilema yang saling berkaitan satu sama lainnya, karena ia tidak dapat berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya interaksi sosial yang diharapkan berjalan dengan harmonis.
Pengetahuan dan pemahaman orang tua terhadap kelainan yang di sandang anaknya yang memiliki kelainan tunagrahita sangatlah mendorong pola layanan pendidikan demi pertumbuhan anak tunagrahita kelak. Sebab kesalahan yang dibuat orang tua yang sudah berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama akan dapat menghambat perkembangan kemampuan, serta pertumbuhan anak tunagrahita. Sehingga bisa menimbulkan berbagai rasa frustrasi, rasa berdosa dan berbagai tudingan yang tidak mampu dijawab sendiri oleh orang tua.
Sebagai manusia yang mengalami keterbatasan dalam berfikir, maka remaja tunagrahita akan banyak mengalami hambatan dalam setiap gerakan dan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Permasalahan akan bertambah runyam jika orang tua bersikap otoriter dan tidak berusaha untuk memahami kemampuan remaja tunagrahita. Dalam kehidupan sehari-hari remaja tunagrahita juga sama seperti remaja normal umumnya, namu mereka selalu berkaitan dengan keterbatasan intelektual dalam bertindak . Berdasarkan sebab itu maka orang tua semestinya arif menghadapi kenyataan tersebut. Bagaimana persoalannya jika orang tua selalu menuntut kemampuan pada anaknya yang menyandang kelainan tunagrahita tersebut. Apa saja persoalan yang akan muncul ?
Beberapa paradigma yang muncul deperti di atas tadi mendorong penulis untuk mengangkatnya sebagai suatu permasalahan yang perlu dicarikan solusinya sehingga antara orang tua dan remajanya yang menyandang tunagrahita dapat saling toleransi dan memahami satu sama lainnya. Berkenaan dengan itu maka tulisan ini berusaha mengetengahkan beberapa pengaruh sikap Otoriter Orang Tua terhadap Remaja Tunagrahita dan.
B. Permasalahan
Agar pembahasan dapat diuraikan sesuai dengan cerminan judul maka permasalahan akan dimunculkan dalam bentuk pertanyaan seperti di bawah ini. Apakah akibat dari sikap orang tua otoriter terhadap remaja tunagrahita ?

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Remaja Tunagrahita
Memberikan pengertian tentang remaja tidak mudah, sebab banyak tulisan yang memberikan pengertian tentang remaja, tergantung dari cara pandang atau sisi disiplin ilmu yang memberikan batasan pengertian tersebut. Beberapa cara pandang yang memberikan pergertian tersebut menurut Mappiare (1982) seperti; menurut pandangan hukum, berdasarkan ukuran fisik, menurut kesehatan, dan cara pandang sosial psikologi. Agar lebih rinci dapat dituliskan seperti dibawah ini.
1. Remaja menurut hukum
Berdasarkan pandangan hukum pengertian remaja tampaknya hanya pada Undang-undang perkawinan saja. Pada pasal 7 undang-undang no. 1/1974. Dipandang dari sisi perkawinan dicantumkan bahwa usia perkawinan minimal 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria.
2. Remaja ditinjau dari segi perkembangan fisik
Remaja menurut ilmu kedokteran dan ilmu lain yang terkait yaitu sebagai tahap perkembangan fisik dimana di tandai dengan adanya tanda-tanda kematangan fungsi seksual; untuk wanita setiap bulan akan mengalami menstruasi sebagai siklus yang mengeluar sel telur yang sudah siap untuk dibuahi meliwati batas masa subur sehingga akan keluar berupa darah haid. Sedangkan pada pria dapat berujud mimpi basah yang mengeluarkan sperma berupa tanda bedrfungsinya kelamin sekunder.
3. Remaja menurut WHO
Remaja adalah suatu pertumbuhan dan perkembangan, di mana; Individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa, Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.
4. Remaja ditinjau dari faktor sosial psikologi
Salah satu yang mencirikan remaja di samping tanda-tanda seksual adalah “ Perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa”. Puncak perkembangan jiwa itu ditandai dengan adanya proses perubahan dari kondisi ”entropy” ke kondisi “negentropy”.
Entropy adalah suatu keadaan di mana kesadaran manusia masih belum tersusun rapi. Selama masa remaja kondisi entropy ini akan tersusun secara bertahap, melalui pengarahan, distrukturkan kembali, sehingga lambat laun terjadi kondisi negatif entropy atau negentropy. Negentropy adalah suatu keadaan di mana kondisi kesadaran sudah tersusun baik, pengetahuan yang syah terkait dengan pengetahuan, dan hubungannya dengan perasaan atau sikap.
Berkaitan dengan pengertian remaja pada penyandang tunagrahita yakni adalah yang melingkupi penyandang tunagrahita yang berada pada taraf sudut pandang seperti di atas. Suatu masa keadaan anak tunagrahita berada pada masa remaja tersebut. Dengan demikian remaja tunagrahita tidak memiliki perbedaan dengan orang normal. Perbedaan yang perlu diperhatikan pada remaja tunagrahita yakni berupa keadaan kemampuan dasarnya yang sangat membedakan. Sebab jika pandangan terhadap remaja umumnya adalah pada pertumbuhannya yang normal. Namun lain bagi tunagrahita ia memiliki kekhasan tersendiri terutama dari segi intelektual yang rendah.
Pengertian remaja tunagrahita menurut kamus bahasa Indonesia (Balai Pustaka 1994) dapat berarti beralihnya perkembangan fisik seorang anak tunagrahita kepada keadaan mulai dewasa atau bukan kanak-kanak lagi. Dengan demikian mereka akan memiliki ciri-ciri yang berkenaan dengan keadaan fisik remaja.
B. Pengertian Orang Tua
Orang tua adalah orang-orang yang melengkapi budaya mempunyai tugas untuk mendefinisikan apa yang baik dan apa yang dinggap buruk. Sehingga anak akan merasa baik bila tingkah lakunya sesuai dengan norma tingkah laku yang diterima di masyarakat.
Pemahaman orang tua yang baik menurut Soekanto (1991) dengan beberapa yang mencirikannya seperti berikut::
1. melakukan berbagai hal untuk anak
2. merupakan tempat bergantung bagi anak
3. bersikap cukup permisif dan luwes
4. bersikap adil dan disiplin
5. menghargai anak tunagrahita sebagai individu
6. mampu menciptakan kehangatan bagi anak
7. mampu memberi contoh yang baik
8. bias menjadi kawan dan menemani anak tunagrahita dalam berbagai kegiatan
9. selalu bersikap baik
10. menunjukkan rasa kasih sayang pada anak
11. memiliki rasa empati terhadap perasaan anak
12. mendorong anak tunagrahita untuk bermain dengan temannya
13. berusaha membuat suasana damai
14. membantu kemandirian anak tunarungu
Sebaliknya tentang pandangan orang tua yang buruk menurut anak masih dalam Soekanto (1991) seperti berikut:
1. menghukum secara kasar dan tidak adil
2. menghalangi minat dan kegiatan anak
3. membentuk anak menurut pola yang baik
4. memberikan contoh yang buruk
5. mudah jengkel dan marah
6. sedikit rasa kasih saying terhadap anak
7. mudah marah bila anak membuat kesalahan tidak sengaja
8. kurang perhatian terhadap kegiatan anak
9. melarang anak bergaul dengan teman
10. bersikap jahat pada teman anak
11. menghukum dengan kasar
12. harapan terhadap anak tidak realistis
13. mengecam dan menyalahkan anak bila gagal
14. membuat suasana rumah tegang atau tidak menyenangkan
Berdasarkan beberapa karakter di atas maka orang tua dapat dikatakan sebagai orang yang memegang peranan penting dalam perkembangan seseorang anak. Juga tidak terlepas terhadap pandangan orang tua pada penyandang tunagrahita. Dengan demikian orang tua anak tunagrahita juga mempunyai peran yang sama dengan orang tua pada umumnya. Namun bagi orang tua yang memiliki anak tunagrahita umumnya mereka lebih membutuhkan perhatian yang lebih ketat terhadap perkembangan anak tunagrahita. Hal ini diasumsikan karena anak tunagrahita mempunyai perkembangan dan pertumbuhan yang jauh berbeda dengan anak normal. Hal ini jelas seperti definisi anak tunagrahita yang ditulis oleh beberapa pakar pendidikan luar biasa seperti berikut.
Difinisi American Association on Mental Retardation (AAMR) berlatar belakang profesi, di antaranya medis, hukum, dan pendidikan, yang mengatakan seperti berikut:
…mental retardation refers to significantly subaverage general intelectual functioning existing concurrently with deficits in adaptive behavior, and manifested during the developmental period (Grossman, 1983 dalam Hardman, L. Michael 1990:90)

Makna tersebut terdiri atas tiga komponen utama yaitu; Intelligence, adaptive behavior, and the developmental period. Kemampuan inteligensi, berdasarkan rata-rata tes IQ normal adalah 100, sedangkan untuk anak terbelakang mental menunjukan angka tes IQ di bawah 100. Definisi anak tunagrahita menurut American Association on Mental Deficiency (AAMD) sebagai berikut.
…mental retardation refers to significantly subaverage general intellectual functioning resulting in or associated with concurrent impairments in adaptive behavior manifested during the develompemntal period (Grossman, 1983 dalam Linch, W.Eleanor. 1992:99)

In this definition “significantly subaverage general intellectual functioning” refers to an IQ of 70 or below on a standardized tes of intelligence such as the Stanford-Binet Intelligence Scales for Children or one of the Wecshler intelligence scales. (Terman & Merrill, 1973) or one of the Wechsler intelligence scales. This score represents performance that is two standard deviations below the mean, or average score, on these tests. The AAMD Manual states that an IQ of 70 should be viewed only as a guideline; in some school placement decicions it minght be extended upward to 70. (Linch, W. Eleanor. 1992:99)

Senada dengan definisi yang dikemukakan di atas, Amin (1995:18) menyatakan seperti berikut.
Anak terbelakang mental atau anak tunagrahita adalah mereka yang kecerdasannya jelas berada di bawah rata-rata. Mereka mengalami keterbelakangan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan, kurang cakap dalam memikirkan hal-hal yang bersifat abstrak, yang sulit dan berbelit-belit. Mereka memerlukan layanan pendidikan secara khusus agar mereka dapat berkembang optimal.
Robert P. Ingals (1978:5) dalam Amin (1995:20) memberi sebutan bagi anak tunagrahita sebagai berikut: Mental retardation, mental defiency, mentally defective, mentally handicaped, feeblemindedness, mental subnormality, amentia and oligophrenia. Istilah yang sering dipakai di Indonesia adalah terbelakang mental dan tunagrahita. Berkaitan dengan kondisi remaja, maka remaja bagi penyandang tunagrahita menunjukan cirri-ciri pertumbuhan secara fisik hamper sama dengan kondisi remaja pada umumnya. Tetapi dari segi perkembangan mereka memiliki gambaran kemampuan segi intelektual yang jauh tertinggal jika dibandingkan dengan perkembangan remaja pada umumnya. Perkembangan mereka umumnya masih seteraf dengan perkembangan masa kanak-kanak.
1. Orang Tua Otoriter
Cara-cara mengasuh anak dalam masyarakat merupakan awal kehidupan bermasyarakat. Pengasuhan secara otoritas ditentukan oleh sekelompok orang yang membentuk superioritas atas kelompok yang lain. Kelompok ini sekaligus menerima tanggung jawab untuk menetapkan pola-pola perilaku dalam kelompok orang yang dianggap lebih rendah tingkatnya. Pola ini dikenal sebagai pola atasan – bawahan yang dianut oleh sitem militer. Pelestarian hubungan dengan pola atasan – bawahan ini ditetapkan dalam hubungan antara orang tua dan anak. Biasanya pihak orang tua yang menggariskan keputusan-keputusan tentang perilaku yang harus dituruti oleh anaknya.
Perilaku orang tua dalam hubungan seperti di atas, ia senantiasa berada dalam posisi sebagai arsitek. Mereka dengan teliti memutuskan bagaimana seharusnya tiap anak berbuat. Mereka memberikan hadiah atau hukuman agar perintahnya ditaati. Melalui pemberian hadiah orang tua akan mengkomunikasikan suatu pesan yang jelas kepada anaknya. Sedangkan pemberian hukuman menunjukkan ketiadaan sikap menghargai anak.
Kebiasaan ini mengakibatkan, tugas dan kewajiban orang tua menjadi tidak sulit. Para orang tua tinggal menentukan apa yang mereka ingin yang harus dikerjakan atau yang tidak boleh dilakukan anak. Ancaman hukuman diterapkan untuk melarang atau janji hadiah untuk mendorong agar anak mematuhi. Pendekatan seperti ini terbukti sangat berhasil. Sebagian orang tua melaporkan bahwa anak –anak mereka bersikap kooperatif. Hal ini menjadikan acuan kenyataan yang menunjukkan bahwa anak mereka persis seperti apa yang diinginkan oleh orang tuanya. Kerjasama di sini diartikan bahwa anak tunagrahita melakukan perbuatan sesuai dengan yang diperintahkan.
Selama masyarakat otokratis masih kokoh dalam artian di sini adalah orang tua, maka pendekatan mengasuh anak semacam ini sangatlah efektif. Generasi orang tua mempelajari teknik mengasuh anak berdasarkan contoh yang terdekat. Generasi di atas merupakan patron. Anak mencontoh orang tua, dan orang tua meniru ibu bapak mereka, begitu seterusnya berlangsung kelapis-lapis yang lebih tua.
Banyak tulisan berupa buku-buku, artikel, bahkah diseminarkan dalam kuliah di kampus tentang cara mendidik anak. Namun hal itu tidak mungkin dapat segera diterapkan, karena orang tua belajar secara alamiah tentang cara mengasuh. Sehingga keadaan demikian berada dalam status quo, sampai seluruh situasi yang mengepung orang tua berangsur mulai berubah.
Sekarang ini orang tua tidak lagi dihadapkan pada masalah kesulitan dalam membesarkan anak. Anak–anak sekarang ini dilahirkan di zaman yang demokratis, yang berlawanan sekali dengan sistim yang dianut oleh para orang tua. Pada kenyataannya menunjukkan penerapan prinsip mengasuh anak bagi kedua system ini, dan sulit dibandingkan secara paralel. Pemakaian metode dalam mendidikan anak bagi orang tua dapat berupa otoriter, permisif, ataupun yang demokratis semuanya akan bergantung pada cara mereka sendiri dibesarkan. Sebagiannya lagi akan menjalankan berdasarkan apa yang dialaminya, ataupun pengetahuan yang mempengaruhinya.
Semua sikap yang ditampilkan oleh orang tua merupakan hasil belajar. Banyak faktor yang ikut menentukan sikap apa yang akan dipelajari orang tua? menurut Soerjono (1991) yang paling umum adalah sebagai berikut:
1. Konsep “anak idaman” yang terbentuk sebelum kelahiran anak sangat diwarnai dengan romantisme, didasarkan atas gambaran anak ideal bagi orang tua itu. Bila anak gagal memenuhi harapan orang tua maka ia akan merasa kecewa dan mulai bersikap menolak.
Kegagalan seperti yang dicemaskan di atas akan banyak dialami oleh anak, dengan demikan orang tua tidak akan terpenuhi keinginannya dan akan selalu merasa kecewa atas kemampuan anak.
2. Pengalaman awal dengan anak mewarnai sikap orang tua terhadap anaknya sendiri. Dapat diarti sebagai dua kemungkinan pengalaman yakni pengalaman baik dan pengalaman buruk.
3. Nilai budaya mengenai cara terbaik memperlakukan anak, secara otoriter, permisif, dan demokratis akan mempengaruhi sikap orang tua dan cara mereka memperlakukan anak mereka sendiri.
Cara-cara terbaik yang mungkin cocok bagi anak yang inteligensinya normal jika akan diterapkan bagi anak tunagrahita maka ia tidaklah segera sesuai, sebab kemungkinan bila suatu cara dianggap baik untuk anak normal namun bagi anak tunagrahita belum tentu akan berlaku baik.
4. Orang tua yang menyukai peran orang tua. Mereka akan merasa bahagia, dan mempunyai penyesuaian yang baik terhadap perkawinan, mempunyai sikap yang mencerminkan penyesuaian yang baik ini terhadap anak mereka.
Orang tua yang bersikap otoriter mengutamakan kebutuhan mereka sendiri dahulu daripada kebutuhan anaknya. Mereka seringkali menganggap bahwa diri mereka tidak pernah berbuat kekeliruan. Maka sama sekali mereka tidak dapat berbuat salah atau dihalang-halangi. Karena itu orang tua yang otoriter cenderung untuk merintangi kesempatan-kesempatan anak untuk ikut serta dalam interaksi dengan orang lain. Orang tua otoriter akan membangun suatu lingkaran setan, dari rasa permusuhan, balasan di dalam hubungan orang tua dan anak. Orang tua yang bersikap keras ini juga mempunyai lebih banyak konflik dengan anak mereka.
Jika dilihat dari segi pendidikan, maka orang tua yang bersikap otoriter ingin sekali agar anaknya dapat mencapai prestasi yang tinggi di sekolah. Mereka ingin sekali membantu perkembangan intelektual dan sosial anak mereka secara tulus dan iklas. Tetapi orang tua selalu mempunyai hambatan jika ternyata anaknya mengalami gangguan ketunagrahitaan. Keinginan yang kuat dari orang tua agar anaknya dapat menjadi berprestasi, akan tetapi orang tua tidak berbuat sesuatu yang efektif dalam mendorong anaknya belajar. Hal inilah merupakan ketimpangan yang menonjol jika orang tua terbatas pengetahuannya dan mempunyai konflik dalam memotivasi. Ternyata orang tua ini mencampuradukan antar keinginannya dengan keinginan anak remajanya dalam pendidikan.
Orang tua yang mencari kepuasan pribadi melalui anak sangat mengganggu pendidikan anak, dan banyak orang tua yang tidak merasa puas dan tentram dalam menerima atau memahami kemampuan anaknya sendiri. Paksaan-paklsaan agar anak menampilkan prestasi belajar yang ingin dicapai oleh orang tua mereka sangat mungkin mengaggu emosi anak. Terutama bagi anak tunagrahita dimana mereka jelas banyak mengalami hambatan karena faktor inteligensinya yang rendah. Dengan demikian sikap otoriter orang tua akan menjadi bumerang sendiri bagi orang tuanya jika ia terlalu banyak berharap terhadap kemampuan anak tunagrahita.
2. Tipe-tipe Orang Tua
Perbedaan tipe-tipe orang tua dapat dikelompokkan dalam suatu skala. Skala yang dimaksudkan adalah beberapa cara yang dilakukan oleh orang tua tentang bagaimana mereka mendorong pengambilan keputusan secara bebas terhadap bimbingan dan mendidik anaknya .
Beberapa cara yang mungkin dilakukan tersebut menurut Soerjono (1991) dapat dilakukan hal di bawah ini.
1. Orang tua yang melindungi secara berlebihan
Perlindungan orang tua yang berlebihan mencakup pengasuhan dan pengenalan anak terlalu berlebihan. Hal seperti ini akan menimbulkan sikap ketergantungan bagi diri remaja tunagrahita yang berlebihan pula, sehingga rentang ketergantungan pada orang lain akan lebih lama pula dan dapat membuat kurangnya rasa percaya diri bagi remaja.
2. Permisivitas orang tua
Orang tua akan memberikan kebahagiaan penuh pada anaknya untuk berbuat. Sikap permisivitas pada orang tua akan terlihat pada orang tua yang membiarkan anaknya untuk berbuat sesuka hati, dengan memberikan sedikit kekangan. Sikap demikian akan mampu menciptakan situasi rumah tangga yang “berpusat pada anak”. Jika sikap permisif ini tidak berlebihan, ia akan mampu mendorong anak untuk menjadi cerdik, mandiri dalam kebutuhan pribadi, penyesuaian sosial yang baik, mampu menumbuhkan rasa percaya diri, daya kreativitas, dan kematangan sikap.
3. Memanjakan anak
Sikap memanjakan akan menimbulkan sikap egois, suka menuntut, dan memaksakan kehendak pada anak. Mereka menuntut perhatian dan pelayanan dari orang alain, perilaku yang menyebabkan penyesuaian sosial yang buruk di rumah dan luar rumah.
4. Penolakan
Penolakan dapat dinyatakan dengan mengabaikan kesejahteraan anak atau dengan menuntut terlalu banyak dan sikap permusuhan yang lebih terbuka. Disini orang tua membuat semua keputusan dan anak tunagrahita tidak boleh bertanya. Sikap demikian akan memunculkan rasa dendam, perasaan tak berdaya, frustrasi, perilaku gugup, dan sikap bermusuhan dengan orang lain, terutama bagi mereka yang lemah dan kecil. Inilah yang disebut dengan orang tua yang bersifat autokratis atau otoriter.
5. Penerimaan
Sikap penerimaan bagi orang tua ditandai dengan adanya perhatian besar dan kasih sayang pada anak. Orang tua yang menerima akan memperhatikan perkembangan kemampuan, dan memperhitungkan minat anak. Orang tua akan mendorong anak untuk membicarakan apa yang diinginkan. Anak yang diterima umumnya mampu bersosialisasi dengan baik, bersikap kooperatif, berlaku ramah, bergaul loyal, secara emosional stabil dan gembira.
6. Dominasi
Anak yang didominasi oleh salah satu orang tua, akan mampu bersikap jujur, sopan, dan berhati-hati. Tetapi anak ini cenderung pemalu, patuh, dan mudah dipengaruhi orang lain, mengalah, dan sangat sensitive. Pada anak yang didominasi sering akan berkembang rasa rendah diri dan perasaan menjadi korban keinginan orang tua yang tidak mampu dicapainya.
7. Tunduk pada anak
Orang tua yang tunduk pada anaknya akan membiarkan anak mendominasi mereka. Di sini orang tua akan membiarkan anak untuk mencari jalannya sendiri. Anak akan suka memerintah orang tua dan akan menunjukkan sedikit rasa tenggang rasa, penghargaan, atau loyalitas pada mereka. Anak akan belajar untuk menentang semua yang berwenang dan mencoba mendomninasi orang di luar lingkungan rumah.
8. Favoritisme
Meskipun mereka berkata bahwa mereka mencintai semua anak dengan sama rata, kebanyakan orang tua mempunyai favorit tersendiri. Sikap yang seperti ini akan membuat mereka lebih menuntut dan mencintai anak yang difavoritkannya dari pada anak yang lain dalam keluarga tersebut. Anak yang disenangi cenderung memperlihatkan sisi baik pada orang tua mereka tetapi agresif dan dominan dalam hubungan dengan kakak atau adik mereka.
9. Ambisi Orang Tua
Hampir semua orang tua mempunyai ambisi terhadap anak mereka. Ambisi tersebut sering kali sangat tinggi sehingga tidak realistis. Ambisi orang tua ini sering dipengaruhi oleh tidak tercapainya atau hasrat orang tua supaya anak mereka naik status sosialnya. Bila anak tidak dapat memenuhi ambisi orang tua, anak cenderung terlihat bersikap bermusuhan, tidak bertanggung jawab, dan berprestasi di bawah kemampuan. Keadaan ini akan lebih parah bila anak memiliki perasaan tidak mampu yang sering diwarnai perasaan dijadikan orang yang dikorbankan akibat kritik orang tua terhadap rendahnya prestasi mereka.
C. Pengaruh Orang Tua Otoriter Terhadap Remaja
Ketika seseorang anak mulai tumbuh dan berkembang menjadi remaja maka, orang tua mempunyai peranan yang sangat besar sekali terhadap perkembangan diri seseorang remaja. Hal ini disebabkan karena orang tua memiliki banyak waktu untuk mengenal perilaku anaknya dan orang tua yang paling dekat dengan remaja. Hampir sebagian besar waktu remaja bersama dengan orang tua, sebab waktu di sekolah sebatas jam belajar, selain itu waktunya banyak dihabiskan di rumah bersama orang tuanya.
Perkembangan dan pertumbuhan anak menuju remaja tentu Sangat berbeda jika seorang remaja tersebut menyandang kelainan tunagrahita. Semuanya akan berubah dengan perkembangan remaja pada umumnya, walaupun secara fisik pertumbuhannya hampir bersamaan. Kebanyakan akan muncul berbagai reaksi dan sikap dari orang tua yang mungkin kurang menerima kekurangan yang dimiliki anaknya.
Sikap orang tua terhadap remaja akan sangat mempengaruhi bagaimana seorang remaja itu bersikap dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Orang tua yang bersikap otoriter menyukai hal-hal yang jelas dan tidak ambiguous. Jadi setiap hukuman atau disiplin tidak dicarikan dengan kelembutan, penerimaan, dan alasan. Tingkah laku orang tua ini dapat menciptakan kondisi berikut; a) suatu konsep diri yang menekankan bagi anak tunagrahita, b) bahwa dia sangat kurang dapat diterima, berperilaku dan bertampang buruk, c) dan tindakannya tidak di setujui oleh orang tua atau juga oleh orang-orang lainnya.
Respon-respon dari remaja yang orang tuanya bersikap otoriter adalah lebih intens dibandingkan dengan respon-respon dari remaja yang orang tuanya tidak otoriter. Karena rasa frustrasi dari konsep dirinya yang sedang berkembang, bingung, dan umumnya berorientasi negatif ditambahkan kepada tingkat dorongan yang biasa. Remaja seperti itu biasanya mengembangkan pengharapan terhadap hukuman yang digeneralisasikan secara meluas dalam situasi yang baru. Akibatnya pada diri remaja akan timbul suatu kecemasan dan kegelisahan. Jika dibiarkan berlarut tentu akan mempengaruhi hasil belajar, daya kosentrasi, dan emosi yang mungkin dapat mengarah pada penyerangan. Perilaku yang akan uncul dapat menjadikan remaja egois, mengurung diri, introvert dalam pergaulan, dan memiliki percaya diri yang rendah. Hal semacam ini jika terjadio pada remaja tunagrahita maka akan membuat ia tidak mampu berkembang , mandiri tanpa adanya campur tangan orng lain. Dengan demikian dalam memperlakukan remaja tunagrahita perlu diperhatikan karakteristik individu dan dengan pendekatan yang benar-benar dirasakan sesuai dengan keinginan kedua belah pihak. Madang sebagai orang tua kita sering lupa bahwa antara perkembangan dan pertumbuhan bagi remaja tunagrahita tidaklah berjalan seirama. Biasanya ciri-ciri pertumbuhan secara fisik ebih menonjol dari pada perkembangan secara kualitas atau kematangan berfikir.
Standar-standar tinggi yang tidak realistis dari orang tua yang tidak dapat dipenuhi ditambah dengan hukuman yang sangat menyulitkan pada pertahanan diri. Bagi orang tua yang memiliki remaja tunagrahita perlu membatasi diri dan berusaha untuk memahami keadaan remaja sehingga remaja memahami bahwa orang tuanya masih memperhatikannya, masih menyayanginya. Dengan demikian orang tua berusaha menjauhkan sikap angker, tidak bersahabat, berperasaan dingin yang pada akhirnya membuat remaja tunagrahita merasa bahwa dia masih diperhatikan oleh orang tua. Setiap hukuman yang diberikan diharapkan akan membangun pengertian bahwa “orang tua menghukum adalah demi kebaikannya” tidak menghukum dengan membabi buta tanpa memperdulikan hak-ahak anak tunagrahita untuk membela diri atau memberikan alasan yang mungkin masih dapat diterima.
Jika kebutuhan dan harapan-harapan remaja tunagrahita semuanya dibatasi dan dikekang, akibatnya akan tumbuh rasa kebencian dan kemarahan yang dapat merugikan orang lain yang berada dilingkungannya. Sikap menarik diri dari pergaulan, dengan terman sebaya, kurang percaya diri, sehingga jika dilihat sepintas seperttinya remaja tersebut sebagai remaja pemalu. Remaja tunagrahita akan selalu dihantui rasa takut memulai suatu pekerjaan karena takut gagal dan berbagai bayangan ancaman yang akan diterimanya bila ia melakukan kegagalan dalam pekerjaan, takut dikritik, dan akan menerima hukuman. Walupun sebenarnya dia mampu seperti remaja lainnya yang memiliki kepercayaan diri yang besar.
Jadi seorang remaja tunagrahita dari lingkungan otoriter akan mempunyai kapasitas yang berlebihan seperti; a) prasangka terhadap dirinya sendiri, b) introvert yang berlebihan, c) lemah dan banyak tergantung pada orang lain bahkan cenderung penakut.
Sebuah struktur keluarga yang otoriter dapat membuat timbulnya perasaan tidak aman , infirioritas, perasaan-perasaan seperti tidak berharga, karena otoritasnya sebagai remaja dipadamkan oleh kekuasaan otoriter orang tua. Perasaan-perasaan tertekan seperti di atas akan membuat suatu efek ketidak mampuan konsep diri seorang remaja tunagrahita tidak mungkin akan terwujud.
Remaja yang berasal dari orang tua otoriter mempunyai pengalaman-pengalaman yang lebih banyak bersama orang tua. Dimana ia selalu mengalah atau berusaha menyesuaikan diri dengan menekan semua kemauannya. Ia akan tumbuh sebagai remaja yang tidak memiliki kepercayaan diri dan mudah terombang ambing dalam suatu situasi yang semestinya dia harus berbuat dan memutuskan dengan bijaksana. Atau sikap tersebut akan berbalik menjadi orang penyerang, tidak mudah mempercayai orang lain, dan tidak berani berpendapat. Semua sikap tersebut bila tumbuh dan mempribadi bagi seorang remaja tunagrahita akan berakibat merugikannya upaya kemandirian dalam kehidupan bermasyarakat seperti layakanya masyarakat normal.
Beberapa ketegangan benar-benar terjadi dari waktu ke waktu di antara kembanyakan remaja dan orang tua mereka, karena remaja tersebut mencoba untuk tumbuh menjadi dewasa. Banyak dari remaja mempergunakan pengalaman yang baru mereka tumukan dan mereka anggap baik. Pada umumnya semua orang tua menginginkan remaja mampu memperlihatkan kematangan, berpikir sehat dan kritis, mandiri dalam semua urusan. Kemampuan tersebut berada dalam batas-batas kemampuan yang bisa diatasi sendiri. Namun sebaliknya beberapa orang tua tidak bisa memahami dengan mudah terhadap apa yang sedang berkembangan dan banyak di alami oleh remaja. Sehingga mereka berbuat dan menciptakan kegiatan tersendiri sebagai suatu tantangan kehidupan yang sulit dan belum bias dilakukan remaja.
Orang tua terlalu ketat mengekang dapat menyebabkan seorang anak tunagrahita muda mencari kebebasan tersendiri sesuai dengan kemampuannya. Kemungkinan yang lebih cenderung terjerumus pada perbuatan kenakalan remaja, hasutan orang lain, dimanfaatkan orang lain untuk kejahatan dan mungkin akan menggelandang akibat orng lain tidak memahaminya.
Bagi seorang remaja yang pertumbuhannya normal maka akan timbal kesulitan hubungan antar orang tua dengan remaja. Hal ini akan menjadi bertambah bila remaja mendeteksi bahwa orang tualah penyebab kegagalannya. Orang tua dianggap sebagai tidak mempunyai ketulusan dan kejujuran dalam menerapkan peraturan-peraturan. Orang tua terlalu mengharapkan terhadap suatu kemampuan yang tidak mungkin dicapai remajatunagrahita. Hal demikian akan semakin mempersulit keberadaan remaja tunagrahita di tengah rumah. Terlalu banyak peraturan dan kegiatan super ketat yang harus diikuti remaja hingga membuat ia jenuh dan berontak. Bagi remaja tunagrahita wujud pemberontakan akan lebih banyak ditampilkan sebagai akibat dari ketidak mampuan berfikir. Akhirnya mereka lebih banyak menuntut pemahaman dari orang tua atas ketidak mampuan tersebut.
Tidak semua apa yang diharapkan oleh orang tua juga merupakan harapan bagi remaja. Khususnya bagi remaja tunagrahita mereka masih sangat perlu bimbingan dan arahan yang sangat membutuhkan perhatian orang lain. Sebab sebagai manusia yang mulai berkembang ke arah pemikiran yang ingin menikmati hidup dengan jalannya sendiri maka ia cenderung menganggap apa yang diingini orang lain tersebut mengekang kebebasannya dalam bertindak dan berpikir.
Peraturan yang dibuat oleh orang tua ditera sebagai peraturan sepihak dan tidak bermanfaat bagi dirinya dan akan mengekang kebebasannya. Maka peraturan yang hendaknya diciptakan orang tua hendaklah ditentukan atas dasar keinginan dan kemauan yang dapat ditoleransi oleh remaja. Sehingga remaja yang mempunyai konflik dan persoalan yang tidak mampu dipecahkannya akan dapat dijadikan sebagai suatu diskusi yang sangat bernilai bagi remaja. Pada akhirnya antara orang tua dan remaja tunagrahita dapat berjalan sesuai dengan keinginkan kedua belah pihak tanpa mengorbankan anak.
Beberapa situasi yang mungkin muncul akibat terjadinya konflik antara remaja dan orang tua menurut Gunarsa (1990) seperti berikut:
1. putus komunikasi, orang tua dan remaja saling mendiamkan dengan perasaan tidak enak terhadap satu sama lain.
2. kedua pihak mengambil sikap konfrontatif, perang mulut, saling menyakiti, membongkar permasalahan lama, dan lain sebaginya.
3. remaja mengambil tindakan nekan yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain.
4. menghukum diri sendiri dan melepaskan pada diri sendiri (pelarian pada narkoba, ngebut di jalan, minuman keras, pergaulan bebas dan sebagainya).
5. Menghukum orang tua dengan berbagai cara agar orang tua menjadi kapok, misalnya kabur dari rumah.
Berdasarkan gambaran beberapa situasi yang akan dapat muncul bagi remaja bila ia merasa tidak mendapatkan ketentraman di rumah. Maka selayaknya orang tua berusaha memahaminya dan mengetahui permasalah dengan objektif tanpa menyudutkan rfemaja. Sebagai orang tua kita masih dapat mengajak remaja untuk berdiskusi dengan baik serta berusaha mencarikan solusi terbaik bagi mereka . Dengan demikian remaja tunagrahita memandang orang tua tidak sebagai polisi di rumah, yang siap menghukum dan menghakimi bila mereka bersalah atau gagal pada suatu pekerjaan. Sebaliknya remaja tunagrahita akan merasakan bahwa ia dibutuhkan dalam keluarga tanpa merasa khawatir untuk membicarakan semua persoalan yang dihadapinya. Dengan demikian ia mulai memiliki rasa percaya diri.
D. Bagaimana Seharusnya Orang Tua dan Remaja Bersikap
1. Sikap Orang Tua Terhadap Remaja Penyandang Tunagrahita
Sejak anak dilahirkan, dirawat dan tumbuh berkembang menjadi remaja, orang tua sangat berperan penting dalam pendidikan dan mengarahkan perkembangan anaknya. Sebagai orang tua harus memiliki kesadaran akan tanggung jawab dalam mendidik anak. Orang tua hendaknya memberikan kasih sayang yang cukup kepada anak. Berdasarkan penelitian dikatakan bahwa anak yang kurang merasakan kasih sayang, mereka akan kesulitan dan mengalami gangguan dalam perkembangan kepribadian. Sebaliknya orang tua harus berusaha untuk mengenalkan kepada anak sesuai dengan kenyataan apa adanya, berusaha mengajarkan apa yang benar dan apa yang salah, mengembangkan pengetahuan, sikap, moral dan etika sesuai dengan perkembangan yang dialami anak.
Berberapa kecendrungan yang terjadi pada beberapa orang tua untuk mendidik anaknya sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Namun sebaliknya ada juga gaya mendidik anaknya dengan membiarkan saja tanpa berusaha untuk memahami anak tunagrahita, pada akhirnya anak tunagrahita berkembang juga ke arah yang tidak baik serta tidak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
Berberapa usaha yang memungkinkan dapat dilakukan adalah dengan melalui proses bimbingan berupa dialog, diskusi, dan kegiatan menganalisis serta mempertimbangkan semua persoalan dengan melibatkan anak tunagrahita secara proaktif. Usaha orang tua yang tidak kalah pentingnya dilakukan orang tua adalah dengan mengenali kemampuan, karakter yang dimiliki anak tunagrahita. Untuk itu beberapa ahli pendidikan luar biasa mengemukakan karakter sepertiberikut.
Bloom, (1974) dalam Kirk dan Gallagher (1990: 88) menyebutkan:
Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam perhatian, terbatas dalam penyesuaian sosial, terbatas dalam perkembangan bahasa, mudah tertarik perhatian atau hiperaktif, sering terlibat dalam kegiatan yang tak produktif (berkelahi, meninggalkan tempat duduk untuk bersosialisasi).
Polloway, Epstein dan Cullinan (1985) dalam Kirk dan Gallagher (1990: 89) menyebutkan berdasarkan hasil penelitian.
Murid-murid cacat mental menunjukkan lebih banyak masalah kekurangan perhatian dibanding teman seusianya yang tidak cacat. Mereka cenderung menarik diri, acuh tak acuh, mudah bingung dan mempunyai waktu perhatian yang lebih pendek.

Karakteristik anak tunagrahita ringan di antaranya banyak yang lancar berbicara tetapi kurang perbendaharaan kata, sukar berfikir abstrak, tapi masih dapat mengikuti pelajaran akademik. Usia 16 tahun baru mencapai usia kecerdasan usia 12 tahun, tetapi tidak berlaku untuk semua anak atau dengan arti kata kecerdasan anak tunagrahita ringan ini paling tinggi sama dengan kecerdasan anak normal usia 12 tahun.
Dengan demikian anak tunagrahita diusahakan akan merasa dijadikan sebagai teman dan orang tua sebagai sahabat untuk bertukar fikiran. Menciptakan suasana akrab sejak semula sehingga remaja akan merasa bahwa orang tuanya menyanyangi dan selalu berusaha menabantunya untuk bebas dari berbagai persoalan yang dihadapi. Sebaliknya anak tunagrahita akan menghadapi orang tua dan mau berterus terang serta terbuka membicarakan masalah dan belajar memahami kesulitannya.
Orang tua yang baik selalu akan mengawasi anak / remaja dan merasa bertanggung jawab penuh terhadap perkembangan anak tunagrahita. Sudah seharusnya orang tua masuk ke dalam dunia pikiran anak / remaja, menghayati apa yang terjadi sesuai dengan keadaan jiwa yang bergejolak, dan mampu menyelami perasaan remaja. Bila orang tua mampu membuat semua itu tanpa unsur tekanan dan pemaksaan kehendak, maka ia menjadi kesenangan dan ketertarikan remaja maka ia akan mampu menjadi orang tua yang di senangi oleh anak / remaja di rumah.
Mempersiapkan pendidikan anak tunagrahita bagi orang tua ada beberapa hal yang perlu diingat seperti; 1) Remaja itu memerlukan perhatian, kejujuran dari orang tuanya mengenai masalah yang mereka hadapi, 2) Mereka mengharapkan bahwa orang tua setiap waktu membutuhkannya dan senantiasa siap untuk mendengarkan keluhan mereka dengan sabar dan tenang, 3) Sikap-sikap yang demikian itu akan memberikan ketenangan dalam pergolakan jiwa yang mereka alami.
2. Sikap Remaja Terhadap Orang Tua Otoriter
Pertanyaan yang sering diajukan remaja mengenai hubungannya dengan orang tuanya adalah “mengapa orang tua kami tidak dapat memahami kami, atau mengapa orang tua selalu curiga pada kami, dan mengapa orang tua menganggap dirinya selalu benar?” Untuk memahami pertanyaan tersebut perlu diusahakan adanya komunikasi antara remaja dengan orang tua yang memang tidak selalu lancar. Macetnya komunikasi sering terjadi karena sikap kedua belah pihak yang kurang akomodatif antar satu dengan yang lainnya.
Bila mengahadapi orang tua otoriter, maka remaja harus dapat menyikapinya. Beberapa saran yang perlu disikapi tersebut menurut Elida (1999) dapat berupa:
1. Remaja perlu menciptakan hubungan yang baik dengan orang tua. Konflik dengan orang tua bukanlah suatu yang dapat sama sekali dihindari. Namun yang dapat dilakukan seperti usahakan agar konflik tadi tidak menjerumus pada putusnya komunikasi, mendendam, apalagi perbuatan nekad yang merugikan.
2. Berusaha untuk mengerti posisi dan cara berpikir orang tua. Pada suatu posisi yang mungkin bias mengakibatkan jatuhnya martabat orang tua, diharapkan remaja mau mentoleransi dan berusaha memahami unsure positif dari tindakan yang dilakukan orang tua.
3. Jangan merasa menang sendiri. Bagi remaja jangan menjadikan orang uta dalam semua urusan dengannya sebagai ajang perlombaan yang akan menemukan pemenang. Dengan demikian posisi orang tua akan diusahakan menjadi teman berbicara, berdiskusi dan sebagainya.
4. Jangan pernah merasa ditekan oleh orang tua. Berusahalah berpikir positif bahwa apa yang dilakukan oleh orang tua itu adalah suatu yang terbaik dilakukan untuk anaknya. Sebab orang tua mana yang menginginkan anaknya celaka atau terjerumus ke jalan yang tidak baik.
5. Tidak terlalu memaksakan kehendak, apalagi menuntut sehingga menyudutkan orang tua dalam posisi yang sulit. Sebagai remaja kita harus memahami keadaan, kemampuan orang tua kita sehingga dengan sikap kita tidak akan mempermalukan orang tua kita di hadapan orang lain.

Jika dihubungan sikap yang perlu diperhatikan dalam menyikapi orang tua yang berlaku otoriter tersebut bagi remaja tunagrahita tidak lah mudah. Ketidak mudahan ini kebanyakan terletak pada sisi remaja tunagrhatita itu sendiri sebab dalam kehidupanya kebanyakan mereka masih sangat membutuhkan campur tangan orang tua. Berkenaan dengan sikap tersebut maka penekanannya adalah pada pihak orng tua janganlah berlarut dengan pemaksaan kehendak sehingga remaja runagrahita merasakan kegiatan yang dilaluinya sebagai kegiatan yang tak bermanfaat. Ini berlaku karena remaja tunagrahita kurang mampu memahami apa yang dipikirkan oleh orang lain, dan kebiasaanya suka mengikuti apa yang dingini orang lain tanpa berana berbuat banyak.

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dibicarakan didapat beberapa makna bahwa orang tua sangat mempengaruhi perkembangan seorang remajadan apalagi jika remaja tersebut menyandang tunagrahita. Sikap orang tua yang otoriter akan melahirkan remaja tunagrahita yang mempunyai sikap yang jauh berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Adapun sikap-sikap remaja yang timbul merupakan akibat dari sikap orang tua otoriter terhadap anak / remaja tunagrahita antara lain:
1. Remaja cenderung mempunyai sikap selalu mengalah dan menerima setiap keputusan yang menyangkut diri mereka peribadi. Kesan seperti ini adalah penurut namun dibalik semua itu remaja tunagrahita merasakan tertekan oleh sikap otoriter yang dilakukan orang tua.
2. Adanya rasa dendam pada diri remaja tunagrahita karena mereka tidak pernah bisa menyalurkan apa yang menjadi keinginannya. Hal ini akibat keterbatasan IQ sehingga rasa dendam berobah menjadi penyerangan terhadap orang lain atau menyakiti diri sendiri.
3. Remaja tunagrahita akan memiliki rasa tidak mampu dalam mengerjakan segala sesuatu atau dikatakan sebagai remaja yang tidak percaya dengan kemampuan sendiri.
4. Remaja tunagrahita mempunyai sikap tidak bertanggung jawab karena mereka mereka selama ini hanya memenuhi keinginan dari orang tua mereka.
5. Adanya sikap sidak mempercayai orang lain diakibatkan karena mereka merasa semua orang juga akan bersikap memaksakan kehendak seperti halnya orang tua mereka.
B. Saran-saran
Usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi keotoriteran dari orang tua adalah :
1. Jangan sampai memaksakan kehendak terhadap anak atau remaja tunagrahita. Berikanlah kebebasan kepada remaja untuk menentukan apa yang akan mereka perbuat dengan catatan kebebasan yang kita berikan dapat dipertanggung jawabkan.
2. Bagi remaja tunagrahita sebaiknya dilatih untuk belajar memahami isi pikiran orang tuanya. Hilangkan berpikir negatif bahwa orang tua hanyalah merupakan penghalang bagi semua aktivitas yang dilakukannya.
3. Hilangkan perasaan tertekan atau terpaksa karena sikap orang tua yang bertentangan dengan keinginan kita, dan berusahalah untuk membicarakan dengan baik-baik.
4. Kepada orang tua diharapkan agar dapat saling memahami antara kinginan dan harapannya sesuai dengan kemampuan remaja yang menyandang kelainan tunagrahita.

DAFTAR PUSTAKA

Andi, Mappiare, (1982) Psikologi Remaja, Usaha Nasional; Surabaya

Depdikbud, (1994), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka

Elida Prayitno, at.all, (1999), Perkembangan Peserta Didik, FIP UNP; Padang

________, (1997), Psikologi Pendidikan, Padang, FIP IKIP

Gunarsa, Singgih D. (1990) Psikologi Remaja, PT. BPK, Gunung Mulia;Jakarta.

Hardman, L. Michael dkk, (1995). Human exceptionality. Third Edition, Allyn And Bacon, Boston- London-Sydney-Toronto.

Kirk, A. Samuel & James, J Gallagher, (1986). Exceptional Children. Alir bahasa. Moh. Amin & Ina Yusuf K, (1990), DNIKS. Jakarta.

Lynch James, (1994). Provision for Children with Special Educational Needs in the Asia Region. The word Bank, Washington, D.C.

Lynch Eleanor, W and Rena, B. Lewis, (1992). Exceptional Children And Adults. Scott, Foresman and Company, Glenview, Illionis Boston London.

Moh. Amin, (1995). Orthopedagogik Anak Tunagarahita. Depdikbud Dikti, Proyek pendidikan Tenaga Guru, Jakarta

Soekanto, soerjono, (1991) Mengenal dan Memahami Masalah Remaja, Pustaka Antara; Jakarta

“PENGARUH OTORITERISASI BIMBINGAN
ORANG TUA TERHADAP REMAJA TUNAGRAHITA”

MAKALAH
Disajikan Pada Seminar Internasional Pendidikan
dalam Pendekatan Budaya Indonesia – Malaysia

DISUSUN OLEH:

DRS. JON EFENDI, M.Pd
Dosen PLB FIP Universitas Negeri Padang

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI PADANG
DENGAN
FAKULTI PENGAJIAN PENDIDIKAN UNIVERSITI PUTRA MALAYSIA
Di UNP Padang Sumatera Barat, 12 s/d 13 Februari 2009

KATA PENGANTAR

Di awali dengan Basmallah, makalah yang sederhana ini dapat penulis selesaikan. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi kredit point yang akan digunakan untuk kenaikan pangkat bagi penulis. Adapun makalah ini diberi judul “Pengaruh Otoriterisasi Bimbingan Orang Tua Terhadap Remaja Tunagrahita”
Makalah ini disajikan dalam bentuk : Bagian I berisi tentang latar belakang, permasalahan, serta manfaat penulisan. Bagian II berbicara landasan teori tentang pengertian remaja, pengertian orang tua, dan tipe-tipe orang tua. Bagian III membahas tentang permasalahan orang tua otoriter , pengeruh orang tua otoriter terhadap remaja, sikap orang tua mengahadapi remaja. Bagian IV merupakan kajian penutup dan saran.
Penulis sangat menyadari, bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan baik dari segi isi, bahasa, maupun dalam bentuk penyajian. Maka dari pada itu penulis memohon maaf dan dengan segala senang hati kiranya ada kritikan-kritikan maupun saran dari pembaca demi penyempurnaanya. Semoga tulisan yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan khususnya bagi penulis sendiri.
Terakhir, penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah berkenan yang telah banyak membantu demi terselesaikannya tulisan ini. Semoga amal baik yang tulus ikhlas itu dapat dijadikan amal saleh baginya dan mendapat ridho dari Allah, Amiiinn.
Padang, Maret 2009

DAFTAR ISI

ABSTRAK …………………………………………………………….. i
KATA PENGATAR ……………………………………………………. ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………… iii
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………….. 1
B. Permasalahan ………………………………………… 3
II PEMBAHASAN
A. Pengertian Remaja Tunagrahita …………………… 4
B. Pengertian Orang Tua ……………………………… 5
1. Orang Tua Otoriter ………………………………… 9
2. Tipe-tipe Orang Tua ………………………………. 14
C. Pengaruh Orang tua Otoriter Terhadap Remaja ….. 17
D. Bagaimana Orang Tua Bersikap Pada Remaja …… 24
1. Sikap Orang Tua Pada Remaja Tunagrahita …… 24
2. Sikap Remaja Tunagrahita Pada Orang Tua Otoriter 27
III PENUTUP
B. Kesimpulan …………………………………………………….. 29
C. Saran ……………………………………………………………. 30
Daftar Pustaka …………………………………………………………. 32

“PENGARUH OTORITERISASI BIMBINGAN ORANG TUA
TERHADAP REMAJA TUNAGRAHITA”

ABSTRAK

Dikala seorang anak tunagrahita sudah mulai menginjak usia remaja, semua orang tua akan membantu mereka dalam semua kegiatan dan masalah yang dihadapinya. Bila orang tua bersikap otoriter dapat menimbulkan remaja tunagrahita yang cenderung pembangkang, suka berbuat sesuka hati, dan menimbulkan kejengkelan bagi orang-orang di sekitarnya. Orang tua yang bersikap otoriter mengutamakan kebutuhan mereka sendiri daripada kebutuhan anaknya. Padahal peritan laku yang muncul pada remaja tunagrahita sangat ditentukan oleh berat atau ringannya tingakat kecerdasan yang dimiliki remaja tersebut.
Pengetahuan dan pemahaman orang tua terhadap kelainan yang di sandang anaknya sangatlah mendorong pola layanan pendidikan demii pertumbuhan anak.
Beberapa konsep orang tua terhadap remaja tunagrahita dapat berupa anak idaman, pengalaman awal dengan anak mewarnai sikap orang tua, nilai budaya yang dianut, orang tua yang menyukai peran anaknya.

Tinggalkan komentar