UPAYA PENEMUAN MODEL PENGAJARAN BUDAYA ALAM MINANGKABAU

JON EFENDI : UPAYA PENEMUAN MODEL PENGAJARAN BUDAYA ALAM MINANGKABAU (Action Research Sosialisasi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah Di SD & SLTP Kota Padang)

Menyikapi Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 011.08.C.1994 tanggal 1 Februari 1994 menetapkan lima mata pelajaran untuk Sekolah Dasar. Salah satu diantaranya adalah “Budaya Alam Minangkabau / BAM”. Sejalan dengan itu dilakukan studi pendahuluan di SD Kota Padang bahwa; 1) kurangnya pemahaman guru-guru terhadap misi pembelajaran BAM, 2) tidak jelasnya visi yang disandang dalam pelajaran BAM 3) tidak adanya petunjuk pelaksanaan BAM yang jelas membuat guru ragu-ragu, 4) keterbatasan guru-guru dalam menyampaikan materi, serta perbedaan budaya daerah yang dianut guru, 5) tidak tersedianya guru yang benar-benar menguasai persoalan BAM, 6) sarana dan sumber belajar sulit diadakan oleh sekolah.
Penelitian tindakan (action research) ini bertujuan untuk menemukan model pembelajaran BAM yang berbasis adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Yang akan dicapai dalam penelitian ini meliputi; 1) menata misi dan visi yang ingin dicapai dalam pembelajaran BAM, 2) membuat petunjuk dan persiapan yang perlu dilakukan guru dalam pengajaran BAM, 3) keterlibatan guru-guru dalam pencetusan ide serta melaksanakan uji keyakan model, 4) meberikan arahan dan teknik pengajatan BAM hingga guru tidak merasa kesulitan.
Pada prosesnya akan dilakukan pengamatan dan diskusi bersama guru-guru SD yang diuji cobakan melalui beberapa siklus tindakan. Dibentuk tim kerja peneliti serta pemberian tindakan hingga menemukan model yang sesuai.

A. LATAR BELAKANG

Pendidikan sebagai investasi bagi masa depan bangsa menduduki peranan penting dalam usaha mencerdaskan kehidupan, maka fungsi kecerdasan sangat berperan dalam mensukseskan pembangunan nasional. Peningkatan mutu pendidikan pada jenjang SD merupakan kebijakan strategis setelah keberhasilan pemerataan kesempatan belajar melalui gerakan wajib belajar. Mutu pendidikan di SD maupun SLTP akan memberikan landasan yang kuat bagi upaya peningkatan mutu pendidikan pada jenjang pendidikan selajutnya.
Program pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia melalui gerakan wajib belajar sebilan tahun pada jenjang pendidikan dasar yang diperuntukkan bagi setiap warga negara Indonesia. Jika disimak Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merupakan pokok landasan pelaksanaan pendidikan nasional Indonesia, hingga diperlukan kurikulum persekolahan. Selanjutnya kepada sekolah diberikan kesempatan menggunakan kurikulum muatan lokal sesuai dengan situasi dan tempat sekolah itu berada.
Selanjutnya Bab IX pasal 37 Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan dengan tegas bahwa “kurikulum sekolah disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. Pasal 38 menjelaskan bahwa “pelaksanaan kegiatan pendidikan dalam satuan pendidikan dipaparkan atas kurikulum yang berlaku secara nasional disesuaikan dengan keadaan serta kebutuhan lingkungan serta ciri khas satuan pendidikan yang bersangkutan.
Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 011.08.C.1994 tanggal 1 Februari 1994 menetapkan lima mata pelajaran untuk Sekolah Dasar. Salah satu diantaranya adalah “Budaya Alam Minangkabau / BAM”. Mata pelajaran ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dasar kepada siswa tentang budaya alam Minangkabau sebagai bagian budaya Nasional. Memupuk dan menumbuhkan rasa cinta terhadap budaya daerah. Juga mendorong siswa agar menghayati dan menerapkan nilai-nilaiyang terkandung, menggali, melestarikan serta turut mengembangkan budaya alam Minangkabau dalam rangka memupuk budaya nasional. Dengan harapan siswa mampu memberikan sumbangan bagi kelestarian kebudayaan Minangkabau sebagai bagian kebudayaan nasional.
Berdasarkan studi pendahuluan di SD Kota Padang diperoleh informasi bahwa; 1) kurangnya pemahaman guru-guru terhadap misi pembelajaran BAM, 2) tidak jelasnya visi yang disandang dalam pelajaran BAM 3) pelaksanaan BAM tidak diriringi dengan petunjuk ayang jelas dan dilaksanakan dengan kesan apa adanya tanpa ada usaha persiapan matang oleh guru, 4) guru-guru memiliki keterbatasan dalam menyampai materi tertentu, yang disebabkan oleh perbedaan budaya daerah yang dianut oleh masing-masing guru, 5) tidak tersedianya guru yang benar-benar menguasai persoalan budaya dan filosofi sebagai masyarakat Minangkabau, 6) sarana dan sumber belajar sulit diadakan oleh sekolah.
Secara keseluruhan gambaran pelaksanaan pembelajaran BAM yang dilakukan dapat berupa materi pelajaran banyak terdapat kiasan-kiasan serta pepatah-petitih yang sulit dimengerti dan dicerna oleh para guru. Kurangnya inisiatif para guru menggali budaya untuk mencari pengalaman di lingkungan masyarakat untuk mendapatkan masukan-masukan mengenai adat istiadat Minangkabau. Pembicaraan tentang adat istiadat dibicarakan terbatas pada acara dan kalangan orang-orang tertentu sepertri ninik mamak. Masih ada beberapa sekolah yang tidak mengajarkan sama sekali pelajaran Budaya Alam Minangkabau dengan alasan-alasan yang tidak dapat diterima dengan akal. Dalih bahwa mereka bukan putra Minangkabau dan mengenai adat istiadat Minangkabau mereka kurang memahami. Tentu saja hal ini akan menghambat kemajuan dan perkembangan siswa serta tuntutan kurikulum untuk mengembangkan nilai budaya daerah itu sendiri tidak pernah terpenuhi sehingga lama kelamaan nilai-nilai Budaya Minangkabau akan hilang dari peradaban dan nilai-nilai kehidupan sebagai masyarakat Minang. Kondisi tersebut mengakibatkan pengembangan nilai-nilai budaya tidak dapat terpelihara dan berjalan sesuai dengan filosofi masyarakat “Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” di tengah-tengah masyarakat Minangkabau.
Berdasarkan fenomena yang diangkat dari permasalahan di atas, tampak bahwa melaksanakan pelajaran BAM masih diperlukan suatu usaha pengembangan kearah penemuan model pembelajaran yang sesuai dan dapat diterima oleh guru-guru sebagai pelaksana inti. Maka penelitian ini berupaya untuk menemukan model dalam rangka menata pelaksanaan mata pelajaran BAM di tingkat SD dan SLTP sehingga lebih bermakna bagi usaha pemeliharaan nilai-nilai budaya daerah.
1. RUMUSAN MASALAH
Berkenaan dengan masalah tersebut, maka ditetapkan rumusan masalah dalam bentuk pertanyaan yakni; “Bagaimanakah Model pengajaran BAM di tingkat SD dan SLTP yang dapat mensosialisasikan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah ? Dengan demikian diperlukan suatu usaha untuk mencari Model alternatif yang benar-benar dapat dilaksanakan oleh guru sebagai tenaga pengajar di sekolah.
2. FOKUS PENELITIAN
Merujuk pada rumusan masalah yang telah diajukan, dengan demikian fokus dalam penelitian ini ditetapkan sebagai berikut:
1. menata misi yang ingin dicapai dalam pembelajaran BAM,
2. mempersatukan visi guru-guru dalam pelajaran BAM,
3. membuat petunjuk dan persiapan yang perlu dilakukan guru dalam pengajaran BAM,
4. tersedia guru-guru BAM yang berkualitas setelah action,
5. solusi terhdap media pembelajaran BAM.
D. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian tindakan (action research) ini bertujuan untuk menemukan model pembelajaran BAM yang berbasis adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Pada prosesnya akan melibatkan guru-guru SD dengan melakukan kolaborasi dan diskusi meliputi visi dan misi pelajaran BAM, sehingga menghasilkan model pembelajaran yang benar-benar dapat dilaksanakan dan dapat diukur kebermanfaatannya. Model pembelajaran BAM dapat dijadikan sebagai pedoman bagi para guru pelaksana pelajaran BAM di sekolah masing-masing, serta dapat dijadikan rujukan dalam pelaksanaannya. Untuk menunjang penelitian tersebut dilakukan pengamatan dan diskusi bersama dalam bentuk tim kerja peneliti serta pemberian tindakan hingga menemukan model yang sesuai.
E. SASARAN PENELITIAN
Sasaran yang ingin dicapai dalam penelitan ini ditetapkan seperti berikut;
1. Tersusun suatu model pelajaran BAM, menata misi dan visi yang ingin dicapai dalam pembelajaran BAM,
2. membuat petunjuk dan persiapan yang perlu dilakukan guru dalam pengajaran BAM,
3. Adanya keterlibatan guru-guru dalam pencetusan ide serta melaksanakan uji keyakan model yang disusun bersama tim peneliti.
4. Hasil temuan diharapkan dapat meberikan arahan dan teknik pengajaran BAM hingga guru tidak merasa kesulitan.
5. Munculnya model pengajaran BAM dapat dijadikan sebagai tameng pemeliharaan budaya dan filosofi orang Minangkabau “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki sumbangan berarti pada efisiensi proses belajar mengajar yang sesuai dengan upaya dan teknik pendekatan yang telah dilakukan terhadap penemuan model pembelajaran BAM.
F. TINJAUAN PUSTAKA
1. Adat dan Kebudayaan Minangkabau
Masyarakat Minangkabau memiliki karakteristik budaya tersendiri yang sudah ada semenjak ratusan tahun lalu. Budaya tersebut pada saat ini telah tumbuh, berkembang, dan terpelihara secara baik. Idrus Hakimi (1994:38) dalam mengemukakan bahwa “Minangkabau merupakan salah satu etnis Indonesia yang menganut sistem kekerabatan matrilinial. Sistem ini dianggap unik, karena hampir tidak ada etnis lain yang menganut sistem ini”. Lebih lanjut Tsuyoshi, Kato (1977) dalam sumber yang sama mengemukakan bahwa “bahkan etnis Minangkabau merupakan suatu masyarakat matrilinial terbesar di dunia”. Di samping itu peran pemimpin pada masyarakat Minangkabau tidak terfokus pada satu pemegang kekuasaan. Mereka memiliki suku, demogratis, paternalistik, dan disentralistik. Kekuasaan terbagi empat, yaitu Ninik mamak yang mengurus masalah adat, Alim Ulama mengurus masalah agama, Cerdik Pandai (intelektual) mengurus masalah dunia, dan Manti atau Dubalang mengurus masalah keamanan.
Secara konseptual, Syafroedin (1995:4) menyatakan bahwa: “ada dua model utama yang dapat digunakan untuk memahami masyarakat dan budaya Minangkabau, yaitu model Adat-Syarak dan Rantau-Alam”. Adat syarak berarti antara adat dan syarak (agama) di Minangkabau saling melengkapi. Aturan adat yang tidak sesuai dengan ajaran agama ditinggalkan. Sedangkan Rantau-Alam maksudnya masyarakat Minangkabau yang merantau memiliki keterkaitan dengan kampung halaman.
Model pertama, Adat syarak. Model ini memandang struktur internal masyarakat dan kebudayaan Minangkabau sebagai suatu akulturasi (kesesuaian) yang dinamis antara adat yang bersifat lokal dengan agama Islam yang bersifat universal.
Model kedua, Rantau-Alam. Struktur eksternal kebudayaan Minangkabau sebagai interaksi dinamis antara alam Minangkabau yang relatif bersifat statis dengan rantau yang bersifat dinamis. Pada model ini tersirat visi dinamika masyarakat Minangkabau yang tergantung pada hubungannya dengan daerah rantau. Masyarakat Minangkabau memiliki pola pikir terhadap fenomena kehidupan masa depan, dan selalu berusaha menumbuhkan nilai-nilai sosial budaya yang tersusun dalam konsep adatnya.
Orang Minangkabau menyebut masyarakatnya dengan “Alam Minangkabau” dan menyebut kebudayaannya dengan “Adat Minang-kabau”. Penyebutan demikian menunjukkan bahwa orang Minangkabau melihat diri mereka sebagai bagian dari alam. Secara otomatis hukum-hukum alam tersebut dianut masyarakat Minangkabau. Kenyata-an ini dinukilkan dalam fatwa adat seperti yang dikutip Idrus Hakimi (1994:2) sebagai berikut:
“Panakiak pisau sirawuik,
ambiak galah batang lintabuang,
silodang ambiak ke niru,
nan satitiak jadikan lawik,
nan sakapa jadikan gunuang,
alam takambang jadi guru. (Penakik pisau siraut,
ambil galah batang lintabung,
selodang ambil untuk niru,
yang setetes jadikan laut,

yang sekepal jadikan gunung,
alam terkembang jadikan guru).

Fatwa ini mengandung arti agar manusia berusaha menyelidiki, membaca, serta mempelajari ketentuan-ketentuan yang terdapat pada alam serta menyerapnya sebagai ilmu pengetahuan yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur masyarakat. Dengan demikian apa yang terjadi pada alam dimanifestasikan untuk keperluan belajar, dan inilah makna dari “alam takambang jadi guru” yang menjadi sumber falsafah hidupnya.
Agama dan adat bagi masyarakat Minangkabau merupakan ketentuan vital dalam mengatur kehidupan masyarakat. Ketentuan adat menjadi anutan masyarakat dalam bertingkah laku. Adat itu sendiri berdasarkan pada ajaran Islam yang menjadi kepercayaan dan keyakin-an masyarakat Minangkabau. Perpaduan adat dan agama ini tersusun dalam konsep “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”. Lahirnya konsep ini, berdasarkan hasil persetujuan setelah terjadinya perang Padri, yaitu perperangan antara kaum adat dengan kaum agama. Persetujuan ini dirumuskan dalam suatu pemufakatan di Bukitt Marapalam. Isi persetujuan tersebut diputuskan dalam bentuk tiga semboyan yang berlaku di Minangkabau menurut Bahar Hatta (1990) “(1) adat nan kawi, syarak nan lazim, (2) adat basisamping, syarak batilanjang, (3) syarak mangato, adat mamakai”.
Marbawi (1950:165) mengemukakan bahwa pada “adat nan kawi, syarak nan lazim, kata kawi di sini berasal dari bahasa Arab, yakni “qawiyyun” yang berarti kuat atau kokoh. Sedangkan kata lazim berarti pasti,perlu. Kata adat juga berasal dari bahasa Arab, “adatun”, berarti adat atau kelaziman. Dengan demikian dapat dipahami bahwa adat bersendikan secara kokoh kepada hukum-hukum agama.
“Syarak bertelanjang, adat bersesamping” berarti bahwa apa yang dikatakan oleh syarak adalah polos, terang, jernih dan tegas, tetapi setelah dia dijadikan adat diaturlah prosedur pelaksanaannya dengan sebaik-baiknya.
“Syarak mangato, adat mamakai”, di sini terlihat antara syarak dan adat sejalan, sehingga apa yang dikatakan oleh syarak, lalu dipakaikan oleh adat. Tidak mungkin agama akan bertentangan dengan adat, atau adat bertentangan dengan agama. Karena yang diperbuat adalah apa yang telah diisyaratkan atau diberi petunjuk syarak.
Bila dilihat antara adat dan syarak, pada hakikatnya sama-sama mengambil ketentuan dari ayat-ayat Allah. Bedanya, syarak berdasarkan kepada al-Qur’an, sementara adat berdasarkan kepada “Alam” menurut alur yang seharusnya. Sumber yang demikian dapat dijumpai dalam firman Allah SWT dalam surat al-Jaatsyiah ayat 3-4 yang diterjemahkan oleh Husein Umar (1990:449) yang artinya sebagai berikut:
Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah untuk orang-orang yang beriman. Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang yang melata bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasan Allah) untuk kamu yang menyakini. (QS. 45:3-4)

Pada kehidupan masyarakat Minangkabau, adat dan agama merupakan ketentuan yang tidak terpisah sebagaimana fatwa adat yang dikutip Alirman Kampai (1992) sebagai berikut:
“Simuncak mati tarambau,
Kaladang mambaok ladiang.
Lukolah pau kaduonyo,
Adat jo syarak di Minangkabau,
Umpamo aua dengan tabiang,
Sanda manyanda kaduonyo”.
“Pariangan manjadi tampuak tangkai,
Pagaruyung pusek Tanah Datar,
Tigo Luak rang mangatikan,
Adat jo syarak kok bacarai,
Bakeh bagantuang nan alah sakah,
Tampek bapijak nan alah tahan”. (Simuncak mati tersungkur,
ke ladang membawa parang,
lukalah paha keduanya,
adat dengan syarak di Minangkabau
seumpama aur dengan tebing,
sandar menyandar keduanya).

(Pariangan menjadi tempuk tangkai,
Pagaruyung pusat Tanah Datar,
Tiga luhak atau kampung orang mengatakan,
Adat dengan syarak jika berpisah,
Bekas bergantung yang telah runtuh,
Tempat berpijak yang telah kuat).

Inti sari Fatwa tersebut di atas mengandung arti, bahwa secara teoritis perpaduan antara adat dengan agama (syarak) telah terjalin dengan istilah “syarak yang mengata, adat memakai. Adat bersendi syarak bersendi kitabullah”. Konsep ini mencerminkan kondisi sosial budaya masyarakat Minangkabau yang relegius.
Sejalan dengan itu Mursal Esten (1993:21) mengatakan bahwa: “Pada dasarnya adat Minangkabau terdiri dari dua sifatnya sendi adat, yakni (1) adat nan berbuhul mati, (2) adat nan berbuhul sentak”. Adat berbuhul mati yakni adat yang tidak mengalami perubahan, dan tidak mungkin diungkai (dicabut) dalam situasi dan kondisi bagaimanapun, aturan-aturan disusun berdasarkan “alam takambang jadi guru”. Termasuk kategori ini adalah adat yang diadatkan dan adat yang sabana adat, yakni “tak lakang dek paneh dan tak lapuak dek hujan” (tidak lekang oleh panas, tidak lapuk oleh hujan). Menurut Idrus Hakimi (1994:113) dinyakan seperti di bawah ini.
Adat nan berbuhul mati adalah buhul yang sangat erat sehingga tidak boleh dibuka dan diubah walau dengan musyawarah, karena keduanya merupakan hukum dasar dari adat Minangkabau.
Adat berbuhul sentak adalah aturan yang boleh dirubahm ditambah da dikurangi, mudah membukanya asal tahu caranya, yaitu melalui musyawarah.

Termasuk kategori ini yaitu adat nan teradat dan adat istiadat. Rumusan dari penjawaban tersebut dilakukan melalui musyawarah dan mufakat. Hasil musyawarah inilah yang akan muncul norma-norma atau aturan-aturan.
Adat yang dipakai dalam budaya masyarakat Minangkabau menurut Amir Syarifuddin (1984:143) terdapat empat tingkatan, yakni: (1) adat yang sebenarnya, (2) adat yang diadatkan, (3) adat yang ter-adat dan (4) adat istiadat”. Adat nan sabana adat dan adat nan diadatkan dalam sebutan sehari-hari disebut “Adat”, sedangkan adat nan teradat dan adat istiadat dalam sebutan sehari-hari disebut “istiadat”.
“Ádat nan sabana adat” (adat yang asli, tidak berubah, yang tidak lapuk oleh hujan dan tidak lekang oleh panas). Kalau ingin merubahnya, ia “dicabuik indak mati, diasak indak layua (dicabut tidak mati, dipindah tidak layu). Adatnya bersandarkan al-Qur’an dan hadits Nabi, sehingga dikatakan “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”, disamping berpedoman kepada “alam takambang jadi guru”. Dalam contoh klasik dikatakan, adat api membakar, adat air membasahi, adat tajam melukai. Semuanya ini merupakan aturan alam yang telah diatur oleh Allah secara tertib dan berjalan menurut sifat serta tingkah lakunya. Dari perjalanan adat alam itulah manusia diharapkan dapat mengambil hikmah sebagai bahan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan untuk mengatur tentang hidup dan kehidupan di tengah masyarakat. Kenyataan ini terungkap dalam firman Allah SWT surat Ali Imran ayat 190 terjemahan Moh. Said (1987:68) yang artinya “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal” .
Seiring dengan itu hadits nabi Muhammad SAW, menjelaskan yang artinya:
Kalau kalian akan ma’rifat kepada Allah hendaklah kalian memperhatikan seluruh alam ciptaan Allah (makhluk-Nya) dan tidak usah memikirkan Dzat Allah Maha Pencipta, sebab walau bagaimanapun juga kalian tidak akan dapat menjangkaunya. (Mustafaqunalaihi).

Adat nan diadatkan, yakni hukum-hukum atau tatanan adat yang dirancang, dijalankan, serta diteruskan oleh nenek moyang yang mula-mula menempati Minangkabau untuk menjadi peraturan bagi kehidupan masyarakat dalam segala bidang. Ide ini dicetus oleh Datuk Ketamang-gungan yang menganut paham otokrasi dalam lingkungan adat suku Koto Piliang, dan Datuk Perpatih nan Sabatang yang memiliki paham demokrasi dalam lingkungan adat suku Bodi Caniago. Kedua tokoh ini dalam merumuskan adat berdasarkan pengalamannya dalam kehidup-an dan belajar dari alam terkembang.
Adat nan teradat, adat kebiasaan yang berlaku pada suatu tempat tertentu, pelaksanaannya disesuaikan dengan situasi dan kodisi setempat. Dipakai dalam seluhak, senagari, selaras sebagaimana terungkap dalam fatwa adat: Dima sumua digali disitu rantiang dipatah, dima bumi dipijak disinan langit dijunjung, dima nagari dihuni disitu adat dipakai.
Adat istiadat, merupakan tatanan adat yang berlaku di sluruh alam Minangkabau yang bersifat umum, seperti harta pusaka adalah milik kaum, sedangkan harta pencaharian milik keluarga.

2. Pola Hubungan Kekerabatan dalam Masyarakat Minangkabau
Pengertian “keluarga” di Minangkabau dapat disamakan dengan “kerabat” yang terdiri dari nenek perempuan dan saudara-saudaranya, anak laki-laki dan perempuan dari nenek perempuan terdiri dari ibu dan saudara laki-laki dan perempuan dan seluruh anak ibu dan anak saudara-saudaranya yang perempuan. M.I. Soelaeman (1994:6) mengartikan bahwa:
Keluarga dalam arti luas yakni, meliputi semua pihak yang ada hubungan daerah seperti ayah-ibu-anak, termasuk paman, bibi, kakek, nenek, cucu, mertua, ipar, keponakan, dan sebagainya, kadang-kadang dinamai dengan istilah kerabat. Sedangkan dalam arti sempit keluarga di Minangkabau adalah kesatuan terkecil dalam unit kekerabatan menurut garis ibu.

Bagan 2.1
Konsep Kekerabatan Keluarga dalam Suku Minangkabau
^ 0
__________
___________________ ______________
^ 0 0 ^ 0
0 . ^
0
_____ ____________ ___________
^ 0 0 ^ ^ 0 ^
___________
________________
0 ^

Keterangan:
^ = tanda untuk laki-laki.
0 = tanda untuk perempuan.
Artinya: bagi laki-laki Minang yang sudah menikah, maka anaknya tidak lagi termasuk dalam ranji kaumnya tetapi sudah masuk ke dalam ranji garis keturunan ibunya (istri dari laki-laki tersebut). Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa kaum laki-laki di Minangkabau adalah sebagai penurun garis keturunan orang lain.

Pola kekerabatan matrilinial masyarakat Minangkabau, Amir Syarifuddin (1984:184) memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
(1) keturunan dihitung dari garis ibu, (2) hubungan anak dari dua orang perempuan yang bersaudara sangat rapat sehingga tidak mungkin mengadakan perkawinan, (3) pihak suami tidak masuk hitungan dalam menentukan keturunan, (4) anak-anak dibesarkan di rumah ibunya.

Sistem kekerabatan matrilinial, ibu memiliki peranan penting dalam kehidupan keluarga, sehingga adat Minangkabau akan tetap eksis, selama kaum ibu Minangkabau ada, sebab kaum ibulah yang akan meneruskan dan melanjutkan keturunan masyarakat Minangkabau. Ibu mempunyai fungsi peran mengembangkan kehidupan budi pekerti luhur dalam masyarakat. Ini sesuai dengan pendapa Idrus Hakimi (1994:40) bahwa “akan hilangkah adat Minangkabau apabila budi pekerti luhur tidak mendapat tempat lagi dalam diri pribadi masyarakatnya, terutama kaum ibu”.
Penjelasan di atas mengandung makna bahwa, dalam keluarga Minangkabau kaum wanita mendapat tempat tersendiri. Ini disebut “bundo kanduang”, yakni panggilan kepada wanita yang bijaksana, sebagai-mana digambarkan dalam fatwa adat yang dikutip Idrus Hakimi (1994:41) sebagai berikut:
“Bundo kanduang, limpapeh rumah nan gadang,
umbun puro pegangan kunci,
hiyasan dalam kampuang,
sumarak dalam nagari,
nan gadang basa batuah,
kok hiduik tampek banasa,
akalau mati tampek baniat,
kaunduang-unduang ka Madinah,
ka payuang panji ka sarugo”
(Kaum ibu, tiang rumah yang besar,

umbun pura pegangan kunci,
hiasan di dalam kampung,
semarak dalam negari,
yang besar banyak bertuah,
kalau hidup banyak bernazar,
kalau mati tempat berniat,
untuk undung-undung ke Madinah,
untuk ganti payung ke sorga).

Sistem matrilinial membawa dampak terhadap pola hubungan keluarga, suku, dan pewarisan gelar, serta harta pusaka kepada suku. Bentuk keluarga di Minangkabau yang dikenal dengan “rumah tanggo” merupakan keluarga luas yaitu dalam satu keluarga tidak hanya terdiri dari ibu, ayah dan anak, tetapi juga anggota keluarga lainnya yang mempunyai pertalian darah dengan ibu, seperti kakek, nenek, dan saudara dari ibu. Mereka tinggal dalam suatu rumah yang disebut “rumah gadang”. Rumah tersebut berada di lingkungan keluarga istri, dengan banyak ruangan (rata-rata sembilan ruangan/kamar), sehingga disebut dengan “rumah gadang nan sambilang ruang. Disamping itu rumah gadang juga merupakan awal dari proses pendidikan, seperti yang dikemukakan Idrus Hakimi (1994:169) “rumah gadang merupakan tempat pertama dalam pembinaan pribadi seorang anak untuk dapat menghayati budi pekerti yang luhur. Dan juga rumah gadang melambangkan kebersamaan dalam keluarga besar.
Segi pewarisan gelar dan pembagian hartapusaka, juga mengikuti lajur suku ibu. Prinsip kesukuan ini melahirkan pola hubungan dalam suku dan di luar suku. Pola hubungan dalam suku terdiri dari “hubungan pertalian darah dan hubungan pertalian adat”, seperti hubungan mamak dengan kemenakan dan hubungan suku “sako” (yang keterkaitannya dengan warisan gelar). Sedangkan hubungan ke luar suku menurut Nurdin Ya’kup (1989:24) “hubungan sumando-manyumando, hubungan andan-pasumandan, hubungan bako-mambako, ipa-bisan, hubungan bapak-baranak”.
Pewarisan gelar adat yang dikenal dengan sako, diwariskan dari mamak (saudara laki-laki ibu) kepada kemenakan laki-laki. Gelar adat yang diwariskan yaitu gelar “Datuk”. Berkenaan dengan warisan yang disebut “pusako”, A.A. Navis (1986:163) mengemukakan ada dua jenis pusako yaitu:
Pusako tinggi (harta yang diperoleh dari tambilang basi artinya harta tersebut diusahakan oleh nenek moyang dahulu untuk keturunannya dengan tembilang besi) merupakan harta kekayaan yang diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang dan diterima oleh kemenakan perempuan, melalui pembagian yang diawasi dan diatur oleh mamak. Harta ini tidak boleh dijual, kecuali memenuhi empat kriteria; pertama rumah gadang katirisan, kedua gadih gadang hendak balaki, ketiga mayat tabujua di tangah rumah, keempat pembangkik batang tarandam.
Sedangkan pusako rendah (harta diperoleh dari tambilang ameh artinya harta yang diperoleh atas hasil usaha pembelian orang tua diberikan kepada anak) selama masa perkawinan mereka dan kemudian diwariskan kepada anak sesuai dengan syari’at.

Pola hubungan kekerabatan mamak-kemenakan merupakan hubungan antara seorang anak laki-laki dengan saudara laki-laki ibunya, atau sebaliknya hubungan seorang laki-laki dengan anak laki-laki saudara perempuannya. Fungsi mamak digambarkan dalam fatwa adat yang dikutip Idrus Hakimi (1994: 28) yakni:
”Kaluak paku kacang balimbuang,
tampuruang lenggang-lenggokkan,
bao manurun ka Suruaso,
tanamlah siriah di ureknyo,
anak dipangku kamanakan dibimbiang,
urang kampunang dipatenggangkan,
tenggang nagari jan binaso,
tenggang sarato jo adatnya” (Kelok paku kacang belimbing,
tempurung lenggang lenggokkan,
bawa menurun ke Saruaso,
tanamlah sirih di akarnya,
anak dipangku kemenakan dibimbing,
orang kampung dipertenggangkan,
tenggang negari jangan binasa,
tenggang serta dengan adanya).

Fatwa di atas menunjukkan bahwa mamak mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap kemenakannya.
3. Muatan Lokal
Suatu kenyataan bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki adat istiadat, tatacara dan tatakrama pergaulan, seni, bahasa lisan dan tulisan, keterampilan mahir, dan nilai kehidupan yang beranekaragam. Keanekaragaman itu bukan saja pada kebudayaannya, melainkan juga kondisi alamnya dan lingkungan sosialnya. Keanekaragaman lingkungan budaya, lingkungan sosial dan kondisi alam itu justru memperkaya kebudayaan kebangsaan Indonesia. Oleh karena itu perlu diupayakan pelestariannya melalui upaya pendidikan. Untuk itu diperlukan suatu materi pelajaran “muatan lokal” yang akan memelihara jalinan antara sekolah dan lingkungannya.

Di samping itu menurut Depdikbud (1989:iii) sebagai berikut:
Muatan lokal selain dimaksudkan untuk mempertahankan pelestarian (berkenaan dengan kebudayaan daerah), juga perlu ditujukan pada usaha pembaharuan atau modernisasi (berkenaan dengan keterampilan atau kejuruan setempat) sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi modern. Selanjutnya “muatan lokal” juga dimaksudkan agar pengembangan sumber daya dan tenaga manusia yang terdapat di daerah setempat dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan daerah, sekaligus mencegah terjadinya depopulasi daerah itu dari tenaga produktif.

Berdasarkan kutipan di atas, dapat dipahami bahwa muatan lokall diberikan pada murid SD pada umumnya bertujuan agar lebih memperkenalkan dan mengakrabkan anak didik pada budaya, adat istiadat dan sebagai potensi yang ada di lingkungannya serta menghindakan anak didik dari keterasingan terhadap lingkungannya.
Muatan lokal di daerah Sumatera Barat sendiri, ditetapkan sebagai salah satu mata pelajaran yang berdiri sendiri dipilih dan ditetapkan atas beberapa dasar, Depdikbud (1996/1997) di antaranya sebagai berikut:
1. Hasil identifikasi kebutuhan daerah di Propinsi Sumatera Barat terhadap lingkungan alam sosial budaya yang dilakukan Tim Perekayasa Kurikulum kanwil Depdikbud Propinsi Sumatera Barat.
Hasil seminar yang dilaksanakan tanggal 15,16 dan 17 Februari 1993 di aula kanwil Depdikbud Propinsi Sumatera Barat yang dihadiri semua unsur terkait (Perguruan Tinggi, Pemerintah Daerah, Bappeda, Tim Perekayasa Kurikulum, pejabat kanwil Depdikbud Propinsi Sumatera Barat dan Pusbangkururandik, Balitbang, Dirjen Dikdasmen Depdikbud Jakarta).
2. Muatan lokal yang pernah diberilakukan di Sumatera Barat, sebagai realisasi Keputusan Mendikbud RI No.0412/U/87. Instruksi Gubernur/ Kepala Daerah Tk.I Propinsi Sumatera Barat No.14 tahun 1991, Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama RI No.128 tahun 1982 dan No.44A tahun 1982, tentang Peningkatan Baca tulis huruf Al-Quran dan Pengamalannya dalam Kehidupan Sehari-hari maka diangkatlah muatan lokal ke dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Budaya Alam Minangkabau
Bahan kajian ini diangkat agar tata nilai budaya alam Minangkabau yang berlaku di Ranah Minang dapat dilestarikan sebagai aset budaya nasional.
b. Baca Tulis Al-Quran
Propinsi yang berpenduduk mayoritas beragama Islam, wajar pengajaran membaca Al-Quran sudah dimulai sejak usia sedini mungkin. Mata pelajaran ini diharapkan dapat mendukung kegiatan pemeluk agama Islam Sumatera Barat supaya lebih banyak mengirim anak-anaknya belajar membaca al-Quran ke langgar-langgar pada usia sekolah.
c. Baca Tulis Arab Melayu
Kecenderungan semakin menurunnya peminat terhadap baca tulis Arab Melayu menimbulkan kekhawatiran akan semakin rendanya kemampuan orang Minangkabau untuk membaca dokumen-dokumen historis seperti Tambo Adat Alam Minangkabau dan hikayat-hikayat lama yang ditulis dalam tulisan Arab Melayu. Mata pelajaran ini akan dapat menambah kemampuan generasi baru ke arah mempelajari dokumen historis tersebut.
d. Keterampilan tradisional Minangkabau
Mata pelajaran ini diharapkan dapat meningkatkan kepedulian masyarakat untuk melestarikan budaya daerah dan kerajinan tradisional Minangkabau yang membantu perekonomian mereka di samping menjadi sumbangan besar terhadap dunia usaha pariwisata di daerah ini.
e. Keterampilan Pertanian
Sumatera Barat sebagai daerah agraris perlu mempersiapkan putera-puteranya seawal mungkin untuk menumbuhkan da mengembangkan minat dan kemampuan dalam keterampilan bekerja di bidang pertanian supaya mampu membantu dirinya sendiri, orang tua dan masyarakat sekitarnya.
f. Bahasa Inggris
Mata pelajaran bahasa Inggris ini diharapkan sebagai alat pengembangan diri untuk mampu berkomunikasi secara sederhana baik lisan maupun tulisan dan bekal pengetahuan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

4. Pengertian, Tujuan dan fungsi Pelajaran Budaya Alam Minangkabau
a. Pengertian
Budaya menurut Depdikbud (1996/1997:16) merupakan hasil cipta karya manusia yang berguna dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan Alam Minangkabau merupakan sebutan orang Minang-kabau terhadap tanah leluhurnya. Dengan demikian Budaya Alam Minangkabau berarti hasil daya cipta karsa orang Minangkabau di tanah leluhurnya yang berguna dalam kehidupannya. Hasil daya cipta itu dapat berupa benda dan bukan benda. Yang berupa benda seperti peralatan, perlengkapan dan kerajinan tangan lainnya. Sedangkan yang bukan benda seperti nilai-nilai, aturan-aturan, norma-norma serta adat istiadat.
Materi mata pelajaran ini memuat hal-hal pokok tentang Budaya Alam minangkabau bahkan kajian ini dipilih dan ditetapkan berdasarkan pertimbangan kebutuhan siswa, masyarakat serta relevansinya dalam kehidupan sehari-hari.
b. Tujuan
Secara umum kurikulum muatan lokal disusun berdasarkan kebutuhan daerah, yang bahan kajian dan pelajarannya disesuaikan dengan lingkungan alam, sosial, budaya dan ekonomi serta kebutuhan pembangunan daerah, yang diorganisasikan dalam mata pelajaran yang berdiri sendiri. Proses pelestarian lingkungan alam, budaya dan keterampilan melalui pendidikan di sekolah diawali dengan pengenalan, pemahaman, penguasaan dan penerapan hingga membentukan etos kerja.
Salah satu dari muatan lokal di Sumatera Barat Budaya Alam Minangkabau, yang menurut Depdikbud (1996/1997) bertujuan “memperkenalkan peserta didik kepada lingkungannya sendiri dan melestarikan budaya daerah Minangkabau”.
c. Fungsi Pelajaran BAM
Sesuai dengan tujuan di atas, lebih lanjut Depdikbud (1996/1997:16) mengemukakan fungsi mata pelajaran Budaya Alam Minangkabau sebagai berikut:
– Memberikan pengetahuan dasar terhadap siswa tentang Budaya Alam Minangkabau sebagai budaya nasional.
– Memupuk dan menumbuhkan rasa cinta dan penghargaan terhadap Alam Minangkabau dalam rangka memupuk rasa cinta terhadap budaya nasional.
– Mendorong siswa menghayati nilai-nilai Budaya Alam minangkabau yang relevan dalam kehidupannya.
– Memberikan dorongan pada siswa menggali, melestarikan dan mengembangkan Budaya Alam Minangkabau dalam rangka memupuk budaya nasional.

Berdasarkan kutipan di atas, maka dapat diketahui bahwa mata pelajaran Alam Minangkabau berfungsi untuk memberikan pengetahuan dasar, memupuk dan menumbuhkan rasa cinta, mendorongan siswa untuk menghayati, menggali dan melestarikan serta mengembangkan Budaya Alam Minangkabau.

5. Sejarah Budaya Alam Minangkabau
Sumatera Barat merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang memiliki adat istiadat, tata cara, tata krama pergaulan, bahasa dan kesenian tradisional, serta keragaman pekerjaan dan kehidupan yang sudah diwariskan secara turun temurun. Semua ini merupakan ciir khas yang memperindah dan memperkaya nilai kehidupan yang perlu dilestarikan, dikembangkan serta dipertahankan melalui pendidikan.
Pengenalan keadaan lingkungan alam, sosial dan budaya Minangkabau kepada peserta didik di sekolah memberikan kemungkinan besar kepada mereka supaya akrab dengan lingkungannya serta terhindar dari rasa keterasingan terhadap lingkungannya sendiri. Dengan demikian maka perlunya diberikan pelajaran Budaya Alam Minangkabau sebagai salah satu mata pelajaran pada penerapan kurikulum muatan lokal.
6. Materi Budaya Alam Minangkabau
Pada kegiatan belajar mengajar, seorang guru harus mempunyai pedoman. Memang setiap mata pelajaran mempunyai kurkulum tersendiri untuk menentukan batas pembelajaran yang selayaknya didapat anak. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan materi pelajaran Budaya Alam Minangkabau. Budaya Alam Minangkabau ini merupakan salah satu dari materi muatan lokal. Untuk materi muatan lokal ini diberi kebebasan pada daerah untuk disesuaikan dengan keadaan, kebutuhan lingkungan dan ciri khas satuan pelajaran yang bersangkutan.
Materi Budaya Alam Minangkabau untuk Sekolah Dasar atau Sekolah Dasar Luar Biasa yang perlu diketahui oleh guru antara lain bahwa dalam penyajiannya terbagi atas beberapa bagian, yaitu:
a. Bagian pengantar, dimaksudkan sebagai pembuka pelajaran. Biasanya pada bagian ini disajikan pepatah petitih atau pantun.
b. Bagian sub judul berisi uraian materi pelajaran. Pada bagian inilah inti dari materi pelajaran.
Pada materi pelajaran Budaya Alam Minangkabau sajiannya antara lain:
7. Asal Nama Minangkabau
Nama Minangkabau menurut Tambo berasal dari peristiwa adu kerbau. Awalnya daerah ini memerintah dua orang Datuak yaitu Datuak Parpatiah nan Sabatng dan Dauak Katumangguangan yang sangat pintar, arif dan bijaksana. Suatu ketika datang sebuah kapal yang dipimpin seorang nakkoda dan anak buahnya yang membawa seekor kerbau besar. Nakhoda beserta anak buahnya disambut baik oleh oleh rakyat. Ternyata maksud kedatangannya adalah untuk mengadu kerbau kerbau pimpinan daerah ini, dengan taruhan kalau ia kalah akan dibayarnya dengan kapal dan isinya, Akan tetapi, jika menang ia akan menguasai daerah ini dan menjadi raja.
Saat hari pertandingan dimulai, kedua Datuak tersebut menggunakan anak kerbau yang sedang erat menyusu yang belum menyusu selama dua hari dan dikepalanya dipasang besi runcing yang dinamakan “minang”. Kerbau kecil itu menyangka kerbau besar tersebut induknya sehingga ia menyerunduk perut kerbar besar. Besi runcing yang terpasang menembus perut kerbau nakhoda.
Sejak itulah daerah yang dipimpin kedua Datuak ini dinamakan “Minangkabau”, artinya kerbau bertanduk besi.
Di samping itu asal nama Minangkabau menurut para ahli dalam Zulkarnain (1995) antara lain sebagai berikut:
1) Sultan Muhammad Zain mengatakan, Minangkabau berasal dari kata Minanga Kanvar artinya Muara Kampar.
2) Poerbocoroko mengatakan, Minangkabau berasal dari kata Minanga Tamwam artinya pertemuan dua sungai
3) Vander Tuuk mengatakan, Minangkabau berasal dari kata Pinang Khabu artinya tanah asal. Dahulu kala, datanglah satu rombongan manusia ke daerah ini. Ini menempati daerah baru itu. Mereka memberinya nama daerah semula. Akhirnya kata Pinang Khabu diucapkan menjadi Minangkabau. Begitulah menurut Vander Tuuk.
8. Asal Orang Minangkabau
Orang Minangkabau berasal dari keturunan Raja Masedonea, yaitu Iskandar Zulkarnain. Ia beranak tiga orang. Anak yang bungsu yaitu Sultan Maharaja Diraja beserta rombongan sampai di puncak Gunung Merapi. Sultan inilah yang menjadi nenek moyang orang Minangkabau.
Nenek moyang rombongan itu membuka daerah secara bertahap. Mula-mula ia membuat daerah bernama Labuhan si Tembaga atau Legundi Nan Baselo. Kemudian Guguak Ampang, Pariangan dan Padang Panjang. Pariangan isebut negeri tertua, karena disanalah pertama dibuat peraturan dan tempat pertemuan. Dari Pariangan Padang Panjang penduduk menyebar ke Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Limo Puluah Koto. Dari luhak itu mereka menyebar ke daerah rantau.
Uraian di atas merupakan sekelumit dari materi ajar yang ada dalam pelajaran Budaya Alam Minangkabau agar siswa dapat:
a. Mengetahui daerah asalnya beserta kebudayaan yang ada.
b. Diharapkan agar anak didik tidak lupa akan budaya, adat istiadat daerah asalnya walaupun dimana ia berada.
c. Diharapkan anak didik mampu menjadi generasi penerus yang tahu adat, sopan santun, walaupun di tengah-tengah canggihnya ilmu pengetahuan di era globalisasi yang semakin penuh kompetitif.
d. Diharapkan anak didik lebih mencintai daerahnya sebagai salah satu kekayaan nasional. (Bukan berarti membenci adat istiadat daerah lain)
9. Pelaksanaan Pengajaran Budaya Alam Minangkabau Teknik pelaksanaan pengajaran Budaya Alam Minang- kabau hampir sama dengan pengajaran bidang studi lainnya, dimana guru dituntut mempunyai kemampuan menguasai teknik atau keterampilan tertentu. Agar apa yang diajarkan mampu diterima oleh anak. Menurut Moh. Uzer Usman (1989:47) komponen yang harus diperhatikan guru dalam pengajaran sebagai berikut:
1. Identitas 2. Cara menentukan tujuan instruksional 3. Cara menetapkan kegiatan belajar mengajar:
a. materi, metode, sarana dan sumber
b. langkah-langkah kegiatan belajar mengajar
c. mengelompokkan siswa, rangkuman hasil belajar dan pembatasan waktu
4. Penilaian

a. Metode Pengajaran BAM
Metode pengajaran merupakan suatu cara atau teknik yang digunakan guru dalam penyampaian materi pelajaran pada anak didiknya, agar pelajaran tersebut dapat diterima oleh anak secara maksimal. Metode yang dapat digunakan dalam pengajaran budaya Alam Minangkabau ini diantaranya: 1) metode ceramah, 2) metode tanya jawab, 3) metode penugasan dan 4) metode karyawisata. Menurut Nana Sudjana (1987:77) sebagai berikut:
a) Metode ceramah; Metode ceramah merupakan suatu cara penyampaian materi pelajaran dengan penuturan bahan pelajaran secara lisan. Metode ini merupakan metode yang banyak digunakan guru. Pertimbangan dalam penggunaan metode ini yaitu: 1) tujuan yang hendak dicapai, 2) bahan yang akan diajarkan termasuk buku sumber yang tersedia, 3) alat, fasilitas, waktu yang tersedia, 4) jumlah peserta didik dan 5) kemampuan guru dalam penguasaan materi dan kemampuan berbicara.
b) Metode tanya jawab; Metode tanya jawab merupakan suatu penyajian pengajaran dengan membahas soal-soal, baik yang datang dari guru maupun dari anak didik sendiri. Pada metode ini memungkinkan terjadinya komunikasi langsung antara guru dan anak. Hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan metode tanya jawab: 1) tujuan yang akan dicapai, 2) jenis pertanyaan dan 3) teknik mengajukan pertanyaan. Oleh sebab itu, hal pokok yang harus diperhatikan guru dalam mengajukan pertanyaan yaitu: 1) pertanyaan harus jelas dan terbatas sehingga tidak menimbulkan keraguan pada anak, 2) pertanyaan hendaknya diajukan pada kelas sebelum ditunjuk pada salah seorang anak, 3) beri kesempatan anak memikirkannya, 4) hargai pendapat anak, 5) pemberian pertanyaan harus merata dan 6) buat ringkasan hasil pertanyaan.
c) Metode pemberian tugas; Metode pemberian tugas dilakukan guru untuk mengukur bagaimana anak mampu melaksanakan sendiri apa yang telah dipelajarinya.
d) Metode karyawisata; Metode karyawisata merupakan salah satu penyajian pelajaran sambil berkaryawisata. Pengajaran ini dilakukan untuk melihat sendiri tentang alat atau peninggalan dari budaya alam Minangkabau pada zaman dahulunya.

10. Strategi Pengajaran Budaya Alam Minangkabau
Strategi pembelajaran harus serasi dengan tujuan mata pelajaran yang hendak dicapai. Sesuai dengan aspek tujuan yang hendak dicapai, yaitu: mengenal, memahami, menghayati, meng-apresiasikan dan menerapkan nilai-nilai budaya alam Minangkabau dalam kehidupannya.
Untuk itu menurut Datoek Toeah (1999:30) strategi pembelajaran Budaya Minangkabau sebagai berikut:
a) Untuk mengenalkan dilakukan dengan membaca, mendengar, melihat dan meraba
b) Untuk memahami dilakukan dengan jalan tanya jawab, memperhatikan dan meneliti
c) Untuk menghayati dilakukan dengan menjelaskan, mendramatisasikan
d) Untuk mengapresiasikan dilakukan dengan membuat catatan sendiri, memberikan komentar dan memberikan penilaian
e) Menerapkan nilai-nilai, dilakukan dengan memperoleh contoh perbuatan dan tingkah laku.
f) Penciptaan lingkungan alam dan lingkungan masyarakat sekitar yang kondusif bagi tujuan yang hendak dicapai
g) Karyawisata mengunjungi tempat bersejarah, pertunjuk-kan kesenian dan permainan tradisional.

11. Media Pengajaran Budaya Alam Minangkabau
Menurut Soeparno (1988:1-2) media merupakan suatu alat yang dipakai untuk saluran (chanel) dalam menampilkan pesan atau informasi dari suatu sumber kepada penerimanya, hal ini diperjelas lagi oleh Arif. S. Sadiman (1986) : “Media merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pikiran, perasaan dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar mengajar terjadi”.
Media atau alat bantu yang diperlukan bagi pencapaian tujuan dalam berbagai aspek seperti dikemukakan di atas perlu tersedia di sekolah, baik dalam bentuk milik sekolah sendiri, sebagai sumbangan dari masyarakat maupun sebagai pinjaman sekolah dari berbagai sumber. Datoek Toeah (1999:31), media tersebut sebagai berikut:
1. Miniatur rumah adat
2. Alat-alat kesenian prasasti/sejarah
3. Gambar-gambar prasasti/sejarah
4. Pakaian adat dalam berbagai upacara
5. Benda-benda sako seperti keris, saluak
6. Buku-buku tambo, buku sastra dan buku bacaan lainnya
7. Dan lain-lain yang berhubungan dengan tujuan pengajaran.

I. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian tindakan (action research), yaitu suatu bentuk penelitian yang bersifat refleksi dengan melakukan atau meningkatkan praktek-praktek pembelajaran di sekolah secara lebih profesional (Suyanto, 1997:4). Lebih lanjut Suyanto (1997:17) mengemukakan bahwa ada empat bentuk penelitian tindakan kelas yaitu: (1) penelitian tindakan guru sebagai peneliti, (2) penelitian tindakan kelaboratif, (3) penelitian tindakan Simultan terintegrasi, (4) penelitian tindakan administrasi sosial, eksperimen.
Penelitian dilakukan bersifat kolaboratif bersama dengan guru-guru yang mengajar BAM di tingkat SD dimana peneliti berada diluar tindakan. Dalam proses penelitian kemudian akan disusun suatu model hipotetik awal yang akan diuji cobakan pada beberapa sekolah. Selama penelitian keberadaan peneliti juga akan terlibat sebagai partisipan dan bekerjasama dengan tim kerja penelitian seperti teman sejawat dalam hal perencanaan penelitian, mengadakan tindakan melakukan refleksi. Model Pengajaran BAM yang diharapkan akan muncul setelah adanya suatu usaha sosialisasi kepada guru-guru SD kota Padang melalui seminar. Kemudian berdasarkan hasil seminar akan disusun model akhir pengajaran BAM yang berbasis filosofi adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Observasi; pada penelitian ini merupakan pengamatan langsung terhadap proses belajar dalam usaha peningkatan kemampuan massage tunanetra yang dilaksanakan oleh instruktur.
b. Diskusi; dilakukan dengan Instruktur dan teman sejawat secara sistematis dan berlandaskan pada tujuan penelitian.
c. Dokumentasi; dalam memperoleh informasi, meliputi tiga macam sumber yaitu tulisan, tempat atau orang”.
3. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang penulis gunakan adalah bersifat kualitatif yaitu digambarkan dengan kata-kata atau kalimat yang dipisah-pisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan (Suharsimi Arikunto, 1993).

Langkah yang penulis tempuh dalam penelitian ini adalah:
1. Mencatat hasil pengamatan melalui observasi, wawancara dan studi, dokumentasi sesuai dengan fokus penelitian yang telah ditetapkan.
2. Mengklasifikasikan data yang telah diperoleh sesuai masalah yang diteliti.
3. Menganalisis data yang telah terkumpul dan mengidentifikasi data sesuai dengan permasalahan yang ditemui.
4. Memberi interpretasi terhadap data.
5. Memaknai/menafsirkan data dengan menggambarkan hasil data dengan kata-kata atau kalimat secara kualitatif.
6. Menyusun Model hipotetik Pembelajaran BAM
7. Ujicoba model BAM dalam bentuk siklus penelitian aksi dalam tindakan.
8. Diskusi dan berkolaborasi dengan guru-guru pelaksana uji coba model BAM.
9. Menyusun kembali model setelah diskusi dan kolaborasi.
10. Uji kelayakan model melalui seminar yang melibatkan guru-guru SD kota Padang yang mengajar BAM.
11. Menyusun Model akhir (temuan) BAM
12. Memberikan penilaian dengan tujuan mencari kesesuaian dari data.
13. Memberikan rekomendasi tentang model yang ditemukan.
14. Menyusun dan menggandakan laporan akhir penelitian.
4. Alur Kerja Penelitian

Penelitian ini terdiri dari siklus. Setiap siklus akan meliputi empat komponen yaitu perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi (evaluasi). Pelaksanaan masing-masing siklus akan dilakukan hingga ditemukan suatu kesepakatan antar tim peneliti dalam rangka menemukan model pengajaran BAM yang diharapkan.
5. Kerangka Konseptual

G. RUANG LINGKUP KEGIATAN
Ruang lingkup rencana kegiatan yang akan dilakukan dijabarkan seperti berikut di bawah ini.
1. Penjajakan lokasi dan menentukan tempat penelitian.
2. Menyusun instrumen penelitian.
3. Pengamatan dalam rangka mengumpulkan data
4. Menyusun Model hipotetik yang siap untuk diuji cobakan. Pelaksanaan dilakukan dalam bentuk siklus (action research) dengan menggunakan teknik kolaborasi.
5. Melaksanakan aksi tindakan penelitian model BAM dalam bentuk siklus bersama tim kerja penelitian
6. Menyusun kembali model Pengajaran BAM berdasarkan uji coba meliputi visi, misi, materi, teknik pelaksanaan, serta evaluasinya.
7. Melaksanakan seminar tentang Model BAM bersama guru-guru SD Kota Padang.
8. Melakukan revisi Model BAM sesuai hasil seminar dengan saran dan masukan guru-guru.
9. Menyusun Model pengajaran BAM yang utuh disertai dengan rekomendasi penggunaannya jika diperlukan.

H. LUARAN PENELITIAN
Luaran dari penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat secara langsung bagi pemakai Model pengajaran BAM seperti berikut;
1. Model yang ditemukan dapat membantu guru-guru dalam melaksanakan pengajaran BAM.
2. Sekolah dan guru-guru yang dijadikan lokasi penelitian dapat dijadikan sebagai sekolah percontohan dalam pengajaran BAM.
3. Model pengajaran BAM yang ditemukan perlu diikuti dengan petunjuk pelaksanaan dan diintruksikan dalam bentuk kebijakan oleh pejabat yang berwenang sehingga bisa direalisasikan.
4. Munculnya Model pengajaran BAM secara tidak langsung diharapkan dapat melestarikan nilai-nilai budaya daerah sebagai bagian dari budaya nasional.
I. JADWAL PELAKSANAAN
Penelitian ini akan dilaksanakan dalam jangka waktu 10 bulan terhitung sejak ditandatangani kontrak kerja dengan rincian berikut di bawah ini:
No. Jenis Kegiatan Waktu
1. Pemantapan rancangan penelitian meliputi; penentuan lokasi penelitian dan pemilihan sekolah tempat penelitian 0,5 bulan
2. Penyusunan instrumen bersama tim peneliti 1,0 bulan
3. Pelaksanaan penelitian meliputi riset aksi dalam bentuk siklus, menyusun model, seminar tentang model, dan penyempurnaan model 6,0 bulan
4. Pengolahan dan analisis penelitian 0,5 bulan
5. Penulisan Draf laporan 1,0 bulan
6. Revisi dan penulisan draf akhir 0,5 bulan
7. Penggandaan laporan penelitian 0,5 bulan

J. RINCIAN ALOKASI BIAYA

No Pengeluaran Uraian Biaya Rp.
1. Honorarium peneliti 3 Org x 10 bln x @ 300.000,- 9.000.000,-
2. Bahan dan alat penelitian
a. kertas duplicator 4 rim
b. HVS 80 Gram 4 rim
c. Disket 5 buah
d. Tinta refill 5 buah
4 rim x @ 25.000,-
4 rim x @ 30.000,-
5 bh x @ 10.000,-
5 bhx @ 30.000,-
100.000,-
120.000,-
50.000,-
150.000,-
3. Pelaksanaan penelitian
a. Penjajakan lokasi
b. Surat izin penelitian
c. Judge / revisi instrumen
d. Penggandaan instrumen
e. Transpor pengumpulan data
f. Buat model hipotetik
g. Ujicoba model hipotetik
h. Snek diskusi/kolaborasi
i. Susun model BAM
j. Honor seminar Model BAM
k. biaya piagam seminar
l. Sewa gedung (seminar)
3 org x 8 SD x @ 20.000,-
3 surat x @ 100.000,-
1 instr x @ 100.000,-
10 lbr x 30 eks x @ 1.000,-
3 orgx120 harix@ 20.000,-
30 orgx2 harix@ 30.000,-
30 orgx@100.000,-
50 orgx@ 7.500,-
3 orgx 7 harix@ 40.000,-
50 orgx@ 25.000,-
50 lbrx@ 2.500,-
1 kali x @500.000,-
480.000,-
300.000,-
100.000,-
300.000,-
7.200.000,-
1.800.000,-
3.000.000,-
375.000,-
840.000,-
1.250.000,-
125.000,-
200.000,-
4. 4 Pengolahan dan analisis 4 org x 5 @100.000,- 1.000.000,-
5. 5 Penggandaan laporan
a. Penyususnan draf awal
b. Refisi dan penulisan final
c. Penggandaan laporan
d. Seminar hasil penelitian
3 orgx @ 40.000,-
3 orgx @ 50.000,-
10 eksx @20.000,-
50 orgx @ 7.500,-
120.000,-
150.000,-
200.000,-
375.000,-
Jumlah: (Dua puluh tujuh juta empat ratus empat puluh ribu rupiah. 27.440.000,-

K. PERSONALIA PENELITIAN
1. Ketua peneliti :
a. Nama lengkap : Drs. Jon Efendi, M.Pd
b. Pangkat/Gol/NIP : Penata muda/IIIb/132092865
c. Jabatan : Asisten ahli
d. Fakultas/Prodi : FIP / Pendidikan Luar Biasa
e. Perguruan Tinggi : Universitas Negeri Padang
f. Bidang Keahlian : Pendidikan Luar Biasa
g. Waktu untuk Penelitian : 5 Jam/minggu
h. Pendidikan terakhir : S2 / Pasca Sarjana IKIP Bandung
2. Anggota Peneliti I :
a. Nama lengkap : Dr.Jamaris jamna, M.Pd
b. Pangkat/Gol/NIP : Penata Tk I/IIId/131689819
c. Jabatan : : Lektor muda
d. Fakultas/Prodi : FIP / Pendidikan Luar Sekolah
e. Perguruan Tinggi : Universitas Negeri Padang
f. Bidang Keahlian : Pendidikan Luar Sekolah
g. Waktu untuk Penelitian : 5 Jam/minggu
h. Pendidikan terakhir : S3 / Pasca Sarjana IKIP Bandung
3. Anggota Peneliti II :
i. Nama lengkap : Dra. Irdamurni, M.Pd
j. Pangkat/Gol/NIP : Penata Tk I/IIId/131689819
k. Jabatan : : Lektor muda
l. Fakultas/Prodi : FIP / Pendidikan Luar Biasa
m. Perguruan Tinggi : Universitas Negeri Padang
n. Bidang Keahlian : Teknologi Pendidikan
o. Waktu untuk Penelitian : 5 Jam/minggu
p. Pendidikan terakhir : S3 / Pasca Sarjana IKIP Bandung

DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin, (1984). Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta; Gunung Agung.

Alirman Kampai, (1992). Singgalang tanggal 2 Januari 1992.

Arif S. Sadiman, (1986). Media Pendidikan. Jakarta: Rajawali.

Bahar Hatta, (1990). Adat basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Singgalang 7 Januari 1990.

Datoek Toeah, (1999). Budaya Alam Minangkabau. Padang: Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau Sumatera Barat

Depdikbud, (1989). Penerapan Muatan Lokal Kurikulum Sekolah Dasar. Jakarta: Depdikbud.

———–, (1996/1997). Kurikulum Muatan Lokasl Propinsi Sumatera Barat. Padang: Depdikbud.

Depdikbud, (1994), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Elliott John, (1993), Action Research for Educational Change, Open University Press, Milton Keynes, Philadelphia.

Herman, (2001) Kendala Yang Dihadpi Guru Dalam Pengajaran Budaya Alam Minangkabau, Skripsi, PLB FIP UNP Padang.

Idrus Hakimi Dt. Rajo Penghulu, (1994) Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak, Di Minangkabau, Bandung, Remadja Rosdakarya.

———–, (1994), Pokok-pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, Bandung, Remadja Rosdakarya.

———–, (1994), Pegangan Penghulu , Bundo Kanduang, dan Pidato Alua Pasambahan Adat Minangkabau. Bandung, Remadja Rosdakarya.

Kato, Tsuyoshi. (1989), Matriliny And Migration, Evolving Minangkabau Indonesia, Structure In Indonesia

LKAAM, (1999). Budaya Alam Minangkabau. Padang: LKAAM

Lexy J.Moleong, (1988). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Depdikbud.

Marbawi, (1950). Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.

Moh. Uzer Usman, (1989), Menjadi Guru Profesional. Bandung: Grafika.

Moh. Said. (1987). Terjemahan AL-Qur’an Al-Karim. Bandung: PT. Al Ma ‘arif

Mursal Esten, (1993), Minangkabau Tradisi dan Perubahan, Padang, Angkasa Raya.

Navis, A.A, (1986), Alam Takambang Jadi Guru, Jakarta, Temprint

Nurdin yakub, (1987), Minakabau Tanah Pusaka, Bukittinggi Pustaka Indonesia.

———–, (1995), Hukum Kekerabatan Minagkabau, Bukittinggi Pustaka Indonesia.

Nasution S, (1992). Metodologi Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.

Nana Sudjana, (1987). Media Pengajaran. Jakarta: Depdikbud

Nana Sudjana, E.ibrahim. (1989). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru.

Umar Husein. (1990). Al-Quran dan Terjemahaannya. Jakarta: PT. Bulan Bintang.

Rochman Natawidjaja, (1997). Penelitian tindakan (Action Research). Bandung: IKIP Bandung.

S.Nasution, (1988). Metode Research. Bandung: Jembers.

——. (1992). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.

Saafaruddin Bahar, (1995). Pemanfaatan Kebudayaan Minangkabau untuk Menunjang Pembangunan Pendidikan di Sumatera Barat. Padang: Makalah.

Siswoyo Harjodipura, (1997). Action Research, Jakarta: IKIP

Suminar Setiati Achmadi, (2003), Teknik Menyusun Usul Penelitian, makalah disampaikan pada pelatihan penyusunan proposal tingkat nasional bagi staf UNP Padang, DP3M Ditjen Dikti Depdiknas.1
Soeparno, (1988). Media Pendidikan. Jakarta: CV. Rajawali.

Suharsimi Arikunto, (1993). Manajemen Penelitian. Yogyakarta: Rineka Cipta.

Zulkarnain, (1995). Budaya Alam Minangkabau. Padang.

Zainal Asril, (1997). Pembinaan Akhlak dalam Kehidupan Budaya Masyarakat Minangkabau (Studi kasus tentang Peranan Orang Tua dan Mamak dalam Membina Akhlak Anak Kemenakan pada Lingkungan Keluarga di Kabupaten Padang Pariaman dan Tanah Datar Propinsi Sumatera Barat. Tesis, Bandung. PPS IKIP Bandung.

CURRICULUM VITAE PENELITI
I. KETERANGAN PERORANGAN
1. Nama : Drs. Jon Efendi, M.Pd
2. NIP : 132 092 865
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Tempat tanggal lahir : Padang 22 November 1965.
5. Agama : Islam
6. Status Dosen : Dosen tetap (biasa) Negeri
7. Pangkat/golongan : Penata muda/ IIIb
8. Jabatan : Asisten ahli
9. Pendidikan tertinggi : S2 IKIP Bandung 1999
10. Alamat : Vilaku Indah IV Blok.F No.3 Siteba Padang.
Telpon. (0751) 54544

II. RIWAYAT PENDIDIKAN
1. SD : SD Negeri 39 Padang, tahun 1979
2. SLTP : SMP Negeri 9 Padang, tahun 1982
3. SLTA : SMA Negeri 5 Padang, tahun 1985
4. Akademi : SGPLB Negeri Padang, tahun 1988
5. Perguruan tinggi : S1, Pendidikan Luar Biasa FIP IKIP
Bandung, tahun 1992
6. Pasca Sarjana : S2, Bimbingan Konseling Konsentrasi
Pendidikan Luar Biasa, PPS IKIP Bandung, tahun 1999.

III. DAFTAR KARYA ILMIAH :
1. Efektivitas metode bermain dan ceramah dalam mengajarkan nilai nominal uang bagi anak tunagrahita ringan di SPLB Cipaganti Bandung (skripsi) 1992.
2. Pengembangan program bimbingan konseling perkembangan melalui kegiatan belajar mengajar dalam peningkatan kemandirian anak tunagrahita ringan (Tesis) Bandung 1999.
3. Mainstreaming dalam system Pendidikan Anak Tunagrahita (Majalah Basandi) Tahun 1999
4. Remaja Tunagrahita & Orang Tua Otoriter. Tahun 1999.
5. Bimbingan Orang Tua dalam Intervensi Anak Tunarungu Suatu Optimalisasi Kemandirian. Tahun 2000
6. Peranan Kecerdasan Emosional dalam Menunjang Keberhasilan belajar Anak Tunagrahita. Tahun 2000

DAFTAR ISI

ABSTRAK……………………………………….………………………… I
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………… ii
FORMULIR ISIAN USUL PENELITIAN …………………………….… iii
A. LATAR BELAKANG ………………………………………………..…. 1
B. RUMUSAN MASALAH ……………………………………………..… 4
C. FOKUS PENELITIAN ……………………………………………….. 4
D. TUJUAN PENELITIAN…………………………………………………. 5
E. SASARAN PENELITIAN ………………………………………………. 5
F. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………… 6
G. METODE PENELITIAN ………………………………………………. 31
H. RUANG LINGKUP KEGIATAN ……………………………………….. 36
I. LUARAN PENELITIAN ……………………………………………….. 37
J. PELAKSANAAN PENELITIAN ……………………………………… 37
K. RINCIANALOKASI BIAYA …………………………………………… 38
L. PERSONALIA PENELITIAN …………………………………………. 39
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. 40
CURRICULUM VITAE ……………………………………………………. 43

Tinggalkan komentar