PENGEMBANGAN PROGRAM BIMBINGAN KONSELING PERKEMBANGAN MELALUI KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DALAM PENINGKATAN KEMANDIRIAN ANAK TUNGRAHITA RINGAN

PENGEMBANGAN PROGRAM BIMBINGAN KONSELING PERKEMBANGAN MELALUI KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DALAM PENINGKATAN KEMANDIRIAN
ANAK TUNGRAHITA RINGAN
(Studi Kolaboratif Layanan dasar di SPLB-C Cipaganti Bandung)

Oleh: Drs. JON EFENDI
Staf Pengajar PLB FIP Universitas Negeri Padang
ABSTRAK
The autonomy of mild intellectual handicap children are capabilities that must be had to help their-selves (self-help) with reduce dependencies from others assistance. Result of this research is to teachers program which guide autonomy for the mild intellectual handicap students. The research was done through the action research approach. Resulted “Autonomy Guidance Program” which was arranged collaboration action along with teachers of SPLB-C YPPLB Cipaganti Bandung, and then was examined through a seminary with whole SLB Bandung teachers.
Autonomy guidance serve to mild intellectual handicap are such as introduction to characteristics of their-selves, serve to take care their-selves, serve to plan their daily activities, do activities guidance consequently, guidance to make a decision, and practice to think positively. Realization through some practices that were started since low class, consecutively, give guidance, motivation and control that need participation and cooperation with student’s parents, teachers, other experts whom get involved to be refers.
I. PENDAHULUAN
Keluaran sekolah luar biasa belum mandiri melakukan aktivitas sehari-hari, sehingga timbul anggapan bahwa program pendidikan belum berhasil membantu kemandirian siswa secara optimal. Hasil observasi menunjukkan bahwa guru mengambil alih pekerjaan anak, menolong anak secara berlebihan, dan orang tua terlalu melindungi sehingga anak kurang diberikan kesempatan untuk berbuat.
Ahman (disertasi, 1998) bimbingan perkembangan sebagai tujuan bimbingan di SD, perlu diujiterapkan untuk membantu kemandirian ATG ringan. Kemandirian dimaksud berupa bimbingan perkembangan tentang belajar menjadi pribadi yang mandiri (self-help) bagi ATG ringan. Apakah bimbingan pekembangan belajar mengurus diri sendiri yang diterapkan oleh Ahman di sekolah dasar dapat digunakan untuk membantu kemandirian ATG ringan ? Pertanyaan tersebut ditelaah secara cermat tentang upaya guru dalam membantu kemandirian ATG ringan, sehingga perlu dirumuskan masalah berikut.
1. Kegiatan apa yang selama ini dilakukan oleh guru SPLB-C untuk membantu meningkatkan kemandirian ATG ringan ?
2. Apa sebabnya bimbingan belum berhasil membantu kemandirian anak ATG ringan ?
3. Kendala-kendala apa dan mana yang perlu diperbaiki (berkenaan dukungan sistem) yang dihadapi oleh guru dalam menerapkan bimbingan kemandirian ATG ringan ?
4. Aspek-aspek layanan dasar apa saja yang seyogyanya dilaksanakan untuk membantu meningkatkan kemandirian ATG ringan ?
Berdasarkan telaah pertanyaan tersebut disusun program bersama guru-guru (kolaborasi) untuk meningkatkan efektivitas bimbingan yang sesuai dengan karakteristik ATG ringan dalam peningkatan kemandirian.
Perwujudan kemandirian siswa tunagrahita ringan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan dan masyarakat menurut Bailey, (1982: 19) menyebutkan, aspek kemandirian bagi ATG berhubungan dengan kemampuan menolong diri sendiri (self-help) seperti kemampuan minum dan makan, kemampuan mobilitas, menggunakan WC, mandi, berpakaian serta berhias. Sedangkan Wehman, (1981 : 185) menyebutkan wilayah kemampuan merawat diri “The self-care domain involves eating, dressing, toileting, grooming, safety, and healt skills”.
Siswa dikatakan mandiri apabila dapat melakukan kegiatan menolong diri sendiri (self-help) tanpa bantuan orang lain, terampil mengurus diri sendiri, serta dapat menyesuaikan diri dengan budaya atau lingkungan secara optimal. Kartadinata (disertasi, 1988) menyatakan, esensi kemandirian berupa tanggung jawab dan pada hakekatnya bukanlah sesuatu yang diajarkan sebagai pengetahuan melainkan sebagai sesuatu yang harus dialami dan diwujudkan dalam tindakan. Namun kemampuan berpikir menjadi acuan utama untuk mencapai kemandirian. Winarti (Tesis, 1994) kemandirian pada anak diwujudkan melalui aktivitas-aktivitas orang tua yang dilakukan sejak anak berusia di bawah lima tahun, bahkan sejak dini anak-anak dilibatkan dalam kehidupan sehari hari secara bertahap sesuai perkembangannya.
Guru sekolah luar biasa dituntut untuk lebih memahami perkembangan intelektual siswa berserta kemungkinan-kemungkinan perkembangan individu. Diperlukan kepedulian guru terhadap kelainan-kelainan perkembangan, baik internal maupun fisik melalui latihan dan bimbingan yang berulang-ulang.
II. ATG RINGAN DAN MODEL BIMBINGAN PERKEMBANGAN
A. Pengetian ATG Ringan
Pandangan terbuka yang dibuat oleh American Association on Mental Retardation (AAMR) seperti berikut.
…mental retardation refers to significantly subaverage general intelectual functioning existing concurrently with deficits in adaptive behavior, and manifested during the developmental period (Grossman, 1983 dalam Hardman, L. Michael 1990:90)

…mental retardation refers to significantly subaverage general intellectual functioning resulting in or associated with concurrent impairments in adaptive behavior manifested during the develompemntal period (Grossman, 1983 dalam Linch, W.Eleanor. 1992:99)

AAMR membagi tiga komponen utama yaitu; Intelligence, adaptive behavior, and the developmental period. Robert, P. Ingals (1978:5) dalam Amin (1995:20) memberi sebutan ATG “mental retardation, mental defiency, mentally defective, mentally handicaped, feeblemindedness, mental subnormality, amentia and oligophrenia”. Istilah yang dipakai di Indonesia adalah terbelakang mental, dan tunagrahita. ATG Ringan menurut AAMD dan PP No. 72 Tahun 1991 disebut memiliki IQ antara 50-70. Meskipun dalam hal kecerdasan dan sosialnya terhambat, tapi mereka masih mempunyai kemampuan untuk berkembang dalam mata pelajaran akademik, penyesuaian sosial, dan kemampuan bekerja. Pendidikannya menggunakan program khusus sesuai dengan berat ringannya ketunagrahitaan yang disandanngnya. Mereka masih dapat bergaul, dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, dapat hidup mandiri di masyarakat, dapat melakukan pekerjaan yang bersifat semi keahlian.
B. Karakteristik ATG Ringan
Bloom, (1974) dalam Kirk & Gallagher (1990: 88), menyatakan ATG ringan mengalami kesulitan dalam perhatian, terbatas dalam penyesuaian sosial, terbatas dalam perkembangan bahasa, mudah tertarik perhatian atau hiperaktif, sering terlibat dalam kegiatan yang tak produktif (berkelahi, meninggalkan tempat duduk untuk bersosialisasi).
Polloway, Epstein & Cullinan (1985) dalam Kirk & Gallagher (1990: 89) menyebutkan berdasarkan hasil penelitian.
Murid-murid cacat mental menunjukkan lebih banyak masalah kekurangan perhatian dibanding teman seusianya yang tidak cacat. Mereka cenderung menarik diri, acuh tak acuh, mudah bingung dan mempunyai waktu perhatian yang lebih pendek.

ATG ringan umumnya lancar berbicara tetapi kurang perbendaharaan kata, sukar berfikir abstrak tapi masih dapat mengikuti pelajaran akademik. Usia 16 tahun baru mencapai usia kecerdasan usia 12 tahun, artinya kecerdasan ATG ringan paling tinggi sama dengan kecerdasan anak normal usia 12 tahun.
C. Tujuan Pendidikan ATG Ringan
Tujuan pendidikan ATG secara khusus tertuang dalam PP 72/1991 bab 2.
1. Dapat mengembangkan potensinya dengan sebaik-baiknya. Mereka harus dibantu untuk mencapai tingkat tersebut, sehingga ia dapat mengembangkan potensinya, dan memiliki kecakapan yang berarti dan berguna untuk bekal hidupnya
2. Dapat menolong diri (makan, mandi, berpakaian dan sebagainya) untuk itu mereka harus dilatih secara khusus untuk melakukan pekerjaan tersebut, berdiri sendiri dan berguna bagi masyarakat (memiliki penghasilan sendiri, mengambil keputusan sendiri dalam tingkatan yang sederhana).
3. Memiliki kehidupan lahir bathin yang layak seperti memiliki rasa kepercayaan diri, dapat membaca dan menulis secara sederhana, mempuyai hoby sesuai dengan kemampuan, bergaul dengan teman sebaya dan orang lain.

Melalui pendidikan ATG diharapkan dapat berkembang sesuai potensinya, melakukan kegiatan sehari-hari tanpa bantuan orang lain, dan hidup layak bersama masyarakat sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
D. Model Bimbingan Konseling Perkembangan
Muro dan Kottman (1995:50-53) menyebutkan bimbingan konseling perkembangan merupakan program yang mengandung prinsip-prinsip.
1. Guidance and counseling are needed by all children.
2. Developmental guidance and counseling has a focus on children’s learning.
3. Counselors and teachers are cofunctionaries in developmental guidance programs.
4. An organized and planed curriculum is a vital part of developmental guidance.
5. Developmental guidance is concerned with self-acceptance, self-understanding, and self-enhancement.
6. Developmental guidance and counseling focus on the encouragement process.
7. Developmental guidance acknowledges directional development rather than definitive ends.
8. Developmental guidance, while team oriented, requires the services of a trained professional counselor.
9. Developmental guidance is concerned with early identification of special needs.
10. Developmental guidance is concerned with the psychology of use.
11. Developmental guidance has foundations in child psychology, child development, and learning theory
12. Developmental guidance is both sequential and flexible.

Bimbingan konseling perkembangan merupakan bantuan yang memfokuskan pada kebutuhan, kekuatan minat, dan isu yang berkaitan dengan tahapan perkembangan anak merupakan bagian penting dan integral dari keseluruhan program pendidikan. Komponen yang terkandung dalam bimbingan konseling perkembangan yakni (1) layanan dasar bimbingan, (2) layanan responsif, (3) sistem perencanaan individual, dan (4) pendukung sistem.
Materi kurikulum diajarkan dengan unit fokus pada hasil dan pengajaran yang berorientasi tujuan bagi siswa dalam kelompok kecil atau kelas.
E. Aspek Tugas Perkembangan Belajar Menjadi Pribadi yang Mandiri
Hakekat tugas perkembangan belajar menjadi pribadi yang mandiri yaitu: mampu membuat perencanaan dan melaksanakan kegiatan pada saat ini dan di masa mendatang secara mandiri tidak tergantung pada orang tua atau orang lain yang lebih tua. Bertolak dari hasil kajian lapangan Ahman (1998), maka salah satu rumusan tugas-tugas perkembangan anak di SD adalah aspek “belajar menjadi pribadi yang mandiri”, yang meliputi: 1) memiliki kemampuan mengurus diri sendiri, 2) mampu menyusun rencana kegiatan sehari-hari tanpa bantuan orang lain, dan 3) mampu melaksanakan rencana kegiatan secara konsekuen.
III. PENDEKATAN
Penelitian ini dilakukan di SPLB-C Cipaganti Bandung, dengan menggunakan pendekatan collaborative action research. Carr & Kemmis (1986), dalam Natawidjaja (1997), merumuskan penelitian tindakan sebagai berikut.
Penelitian tindakan (Action Research) adalah suatu bentuk penelaahan atau inkuiri melalui refleksi diri yang dilakukan oleh peserta kegiatan pendidikan tertentu (misalnya guru, siswa, dan atau kepala sekolah dalam situasi sosial (termasuk pendidikan) untuk memperbaiki rasionalitas dan kebenaran serta keabsahan dari (a) praktek-praktek sosial atau kependidikan yang mereka lakukan sendiri, (b) pemahaman mereka mengenai praktek-praktek tersebut, dan (c) situasi kelembagaan tempat praktek-praktek itu dilaksanakan.

Elliott (1993 : 54) menyebutkan “Action research integrates teaching and teacher development, curriculum development and evaluation, reasearch and philisophical reflection, into a unified conception of a reflective educational practice”. Penelitian tindakan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan yang menyangkut suatu pemecahan terhadap persoalan antara teori dan praktek yang dihadapi para guru di sekolah. Penelitian tindakan benar-benar menggambarkan suatu proses dimana gagasan-gagasan diujikembangkan dalam bentuk tindakan. Makna kolaborasi dalam penelitian merupakan suatu kerja sama peneliti pada kegiatan yang diteliti. Pelaksanaan penelitian, menganalisis kesenjangan, dan menyusun program hipotetik sesuai dengan karakteristik ATG ringan.
Informasi dalam penelitian ini akan diperoleh melalui wawancara dengan guru kelas, kepala sekolah, serta melakukan observasi tentang layanan bimbingan terhadap ATG ringan yang mencakup situasi sosial, kondisi, dan fasilitas. Pengungkapan data yang dilakukan seperti (a) pengungkapan program aktual layanan dasar bimbingan kemandirian, (b) pengungkapan sebab-sebab bimbingan kemandirian belum berhasil, (c) pengungkapan kendala-kendala (dukungan sistem) yang dihadapi guru dan sistem yang perlu diperbaiki dalam melaksanakan bimbingan, dan (d) pengungkapan layanan dasar yang seyogyanya dilakukan dalam peningkatan kemandirian ATG ringan. Data dikumpulkan dan dirangkum sesuai permasalahan penelitian hingga mudah mengolahnya, membuat kesimpulan dan mengadakan ferifikasi. Elliott (1993 : 69) langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian tindakan “The basic cycle of activities is identifying a general idea, reconnaissance, general planning, developing the first action step, implementing the first action step, evaluation, revising the general plan”.
Tahap kegiatan yang dilakukan (1) tahap orientasi bulan Februari 1998, (2) tahap eksplorasi tanggal 21 September 1998 s.d. 24 Oktober 1998, (3) tahap member check, penyampaian laporan kepada guru untuk di chek kebenarannya, kemudian memperbaiki sesuai saran guru-guru, (4) tahap triangulasi untuk pemeriksaan keabsahan data sebagai pembanding terhadap data, (5) tahap audit trail untuk membuktikan kebenaran data, (6) tahap kolaborasi, tanggal 22 s.d. 24 Desember 1998 untuk menyusun program bimbingan kemandirian dengan guru-guru kelas, (7) tahap uji validasi, tanggal 11 Januari 1999. Pesertanya guru-guru SLB-C se-Kodya Bandung.

IV. PEMBAHASAN
A. Layanan Aktual Bimbingkan Kemandirian ATG Ringan
1. Mengenalkan ciri-ciri diri sendiri
Upaya guru dalam membekali siswa mengenal ciri-ciri diri sendiri dilakukan melalui perbedaan jenis kelamin dan pemahaman ukuran badan. Pengenalan terhadap ciri-ciri diri sendiri bagi siswa tunagrahita ringan tidak dimasukkan dalam program kegiatan belajar mengajar.
Pemahaman siswa terhadap pengenal ciri-ciri diri sendiri masih terbatas pada mengenal jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Selain itu perlu usaha pengenalan bentuk wajah dan ciri-ciri yang menyertainya. Beberapa kemungkinan yang menyebabkan kesenjangan layanan bimbingan kemandirian yakni kurikulum yang tidak memuat materi, dan program kegiatan guru yang belum mau membuka diri terhadap kebutuhan siswa.
2. Mempersiapkan siswa agar mampu mengurus diri sendiri
1) Kegiatan makan dan minum, menyiapkan makanan di meja makan, dan membantu memasak di dapur.
Melalui peragaan siswa dapat memperhatikan kegiatan serta runtun pekerjaan yang semestinya dilakukan. Bila siswa tidak mampu guru mengambil alih pekerjaannya, namun tetap memberikan bimbingan, arahan dan petunjuk melaksanakan kegiatan. Kurangnya usaha memperagakan benda-benda asli merupakan hambatan utama bagi diperolehnya kemandirian siswa. Kenyataan ini manandakan dangkalnya upaya guru dalam meningkatkan kemandirian siswa.

2) Memelihara kebersihan badan, lingkungan, dan merawat kesehatan.
Langone, Jr. John. dalam Fallen & Umansky (1985: 366) menyatakan: self-help skills (eating, dressing, grooming, and toiletting) comprise a large portion of an individual’s daily living task. Consequently, the teaching of self-help skills should be an important component of the school curriculum.
Keterampilan menolong diri sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari bagi setiap individu. Bagi ATG perlu memperhatikan keberadaan dirinya di tengah masyarakat. Untuk itu pengajaran keterampilan menolong diri sendiri perlu dipersiapkan oleh guru sebagai komponen yang paling penting dari kurikulum ATG ringan.
3) Berbusana, berhias, dan menggunakan kosmetik sederhana
Guru membimbing kegiatan berbusana dengan mengenalkan jenis pakaian disesuaikan dengan pakaian yang sering dipakai oleh siswa ke sekolah. Penerapannya memerlukan perintah dan pengawasan dari guru. Kondisi ini perlu didukung oleh upaya yang sama dari pihak keluarga, seperti orang tua perlu menindaklanjuti upaya yang telah dilakukan guru di sekolah, memberikan perlakuan sebagaimana guru memperlakukan siswa.
4) Mengenal dan menghindari macam-macam bahaya
Guru berusaha mananamkan pada siswa tentang upaya yang semestinya dilakukan dengan menghindari diri dari bahaya-bahaya yang mungkin dihadapi. Berdasarkan penjelasan guru siswa mampu mengenal larangan-larangan dengan mengingat resiko yang akan dialami. Siswa diberi pengertian agar dapat menjaga diri dalam berlalu lintas di jalan raya.
5) Merawat pakaian dan alat-alat rumah tangga.
Unsur penting yang menjadi kesenjangan dalam upaya meningkatkan kemampuan dan keterampilan merawat pakaian serta alat-alat rumah tangga pada siswa lebih diakibatkan kerena jarangnya kegiatan itu dilakukan. Kegiatan yang mendukung tidak dimilikinya kemandirian dan keterampilan siswa adalah terbatasnya peralatan dalam melaksanakan kegiatan, waktu yang tidak sesuai, dan perhatian guru pada banyaknya ragam materi yang harus diselesaikan dalam kurun waktu tertentu.
6) Mengenal peraturan, rambu-rambu, dan mentaati peraturan lalu lintas
Sesuatu yang sering dilihat atau dijumpai dalam kehidupan sehari-hari seperti rambu-rambu lalu lintas dapat dipahami oleh siswa. Kepada orang tua hendaknya berusaha memberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan aktivitas menggunakan kendaraan secara bertahap. Dengan demikian kepada siswa ditumbuhkan rasa percaya diri dan merasa diakui sebagai individu yang tidak selalu mengantungkan diri pada orang lain.
7) Berbelanja
Guru menunjukkan keterbatasan dalam mengupayakan kemampuan berbelanja bagi siswa, sehingga guru memerlukan kiat-kiat tertentu dalam memberikan pemahaman nilai uang bagi siswa. Cara lain yang bisa ditempuh yakni mengadakan kerjasama dengan pedagang yang ada di sekitar sekolah untuk bersama-sama memberikan pemahaman tentang nilai nominal uang saat proses berbelanja. Hasil penelitian Jon Efendi (1992: 75), pengenalan nilai nominal uang dapat dilakukan melalui bermain monopoli, kartu remi, domino, ular tangga.
8) Bekerjasama
Data yang berkenaan dengan kerjasama bagi siswa terintegrasi dalam kegiatan belajar, bermain, dan bergotong royong dalam suatu pekerjaan. Kerjasama juga merupakan suatu kebutuhan siswa dan perlu diupayakan pemenuhan dengan menciptakan situasi menyenangkan. Adanya perkecualian yang menunjukkan siswa tidak mau bekerjasama dikarenakan keterbatasan cara berpikir, belum tumbuhnya kebiasaan, situasi yang tidak menyenangkan, menuntut guru untuk menggunakan pendekatan yang lebih menarik hingga siswa terlibatkan dalam situasi kebersamaan.
9) Mengenal dan memanfaatkan lembaga pemberi jasa
Minimnya usaha guru membiasakan siswa untuk melakukan kegiatan pemanfaatan lembaga biro jasa, disebabkan oleh banyaknya aktivitas yang bisa dilakukan siswa tetapi waktu kegiatan formal sangat terbatas, ditambah kesibukan guru mengawasi siswa yang hiperaktif. Solusi lain yang dapat dilakukan guru untuk memanfaatkan lembaga biro jasa adalah dengan melibatkan guru lain untuk meningkatkan pengawasan pada siswa, kerjasama guru dengan melibatkan orang tua atau pengantar dalam peningkatan bimbingan dan pengawasan di lokasi.
3. Merencanakan kegiatan harian
Diperlukan tindakan guru dalam membuat perencanaan bagi kegiatan siswa. Perencanaan disusun secara menarik dapat mendorong tumbuhnya motivasi siswa untuk melakukan kegiatan sebagaimana tertuang dalam perencanaan guru. Kegiatan bertujuan untuk mengenalkan pada siswa tata cara menata kegiatan harian sesuai dengan kemampuannya.
4. Melaksanakan kegiatan secara konsekuen
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rutinitas merupakan kegiatan yang mudah dilakukan oleh siswa. Sebaliknya ketergantungan pada respon lingkungan masih tinggi. Sesuai dengan keadaan perlu usaha yang lebih giat untuk melatih, mengawasi, mengingatkan siswa melalui pembiasaan yang berulang-ulang.
5. Mengambil keputusan
Peran guru dalam menentukan keputusan bagi siswa masih dominan. Guru beranggapan bahwa siswa tidak memiliki kemampuan untuk mengarahkan diri sesuai keinginannya. Untuk itu guru perlu memberikan peluang kepada siswa yang diperkirakan mampu. Pemberian kesempatan ini merupakan upaya menumbuhkan keberanian berpendapat dan mengurangi ketergantungan siswa kepada pihak lain melalui bimbingan orang lain yang lebih mampu.
6. Cara berpikir positif
Siswa belum memiliki kemampuan untuk berinisitif sendiri untuk memanfaatkan waktu luang. Upaya menumbuhkan inisiatif berpikir positif diperlukan bantuan guru untuk memanfatkan waktu luang sepulang di luar jam sekolah. Ketergantungan siswa pada orang lain lebih mendukung tidak munculnya inisiatif diri, mereka membutuhkan arahan dan bimbingan dalam melakukan kegiatan sesuai dengan perintah guru atau dari orang yang lebih mampu.

B. Sebab-sebab Bimbingan Belum Berhasil Membantu Kemandirian ATG
1. Faktor penyebab yang berkenaan dengan keadaan siswa
Pencapaian kemandirian bagi ATG tidak hanya tergantung pada program dan pendekatan layanan, tetapi juga ditentukan oleh faktor mendasar yang dimilikinya seperti inteligensi, tingkah laku hiperaktivitas, dan kemampuan siswa dalam bersosialisasi. Anak tungarahita kurang memungkinkan untuk melatih penerimaan informasi secara baik karena kemampuan mereka untuk menggunakan memori rentang waktunya pendek dan terbatas. Kirk (1986) dalam Amin (1990 : 83) menyatakan “Hampir semua anak-anak yang tunagrahita yang tingkat IQ-nya rendah menderita kerusakan biologis pada otak dan sistem syaraf pusat yang membuat pemrosesan informasi itu sangat sulit. Karenanya ATG cenderung seringnya mengalami masalah penglihatan dan syaraf.
2. Faktor penyebab yang berkaitan dengan kurikulum
Upaya meningkatkan kemandirian siswa perlu di dukung dengan perangkat kurikulum yang fleksibel sesuai kebutuhan dan kondisi siswa. Tuntutan materi yang terlalu tinggi/padat dalam kurun waktu tertentu dapat mengakibatkan pemerolehan kemandirian tidak optimal. Kemungkinan ini menuntut guru sesegera mungkin menyampaikan materi sesuai dengan target materi dalam setiap kurun waktu.
3. Faktor penyebab ketidak berhasilan yang berkenaan dengan kemampuan guru sebagai pelaksana bimbingan
Kemampuan guru dalam memilih materi dapat menentukan kemandirian siswa, hal ini menuntut guru mempersiapkan urunan materi yang bersinambungan sesuai kebutuhan perkembangan siswa. Peran bimbingan dalam proses belajar mengajar menuntut suatu kompetensi dari guru dalam keseluruhan pribadinya, guru dituntut untuk memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan karakteristik dan suasana belajar siswa.
Guru dituntut untuk benar-benar memahami karakteristik siswa, merencanakan program secara bertahap dalam kurun waktu tertentu, dan mengevaluasi keberhasilan kemandirian siswa. Bila tidak memahami keadaan siswa tanpa persiapan memadai akan timbul rasa bosan karena situasi yang monoton dengan tingkat keberhasilan rendah.
4. Faktor penyebab keberhasilan bimbingan yang berkenaan dengan sarana
Atkinson, C.Harry (1968) dalam Surjadi (1983:13-15) keberhasilan belajar dipengaruhi faktor penunjang yang menyertainya seperti besar kecilnya ruang yang digunakan, fasilitas yang tersedia, sumber yang tersedia, dan waktu yang diperlukan dalam proses belajar/bimbingan.
Berhasil tidaknya suatu proses belajar/bimbingan turut ditentukan oleh sarana yang mendukung pelaksanaannya. Seorang guru sebelum melaksanakan kegiatan perlu merencanakan sumber belajar yang akan digunakan, ruang yang diperlukan, fasilitas dan alat bantu yang dibutuhkan. Perencanaan yang dibuat perlu disesuaikan dengan kesediaan dana sebagai penunjang utama.
C. Kendala-kendala Dukungan Sistem dan yang Perlu Diperbaiki
Berdasarkan kendala dukungan sistem yang muncul kiranya perlu mengupayakan kemandirian yang di arahkan pada usaha menjalin kerjasama dengan para ahli terkait dalam membimbing siswa, peningkatan kemampuan profesional guru melalui pelatihan, seminar, diskusi ilimiah, dan lokakarya. Dalam pelaksanaan perlu didukung dengan tenaga guru yang memahami arti bimbingan dalam peran hubungan antarpribadi dengan siswa. Sambil mengajar guru selalu menerapkan peran membimbing siswanya. Pentingnya peningkatan koordinasi dan kerjasama yayasan dengan kepala sekolah untuk menyatukan visi bimbingan dalam mengupayakan kemandirian siswa secara aktif dalam kehidupan sehari-hari dengan mengurangi rasa ketergantungan pada orang lain.
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
1. Layanan Aktual Bimbingan Kemandirian
Layanan kemandirian dalam mengurus diri sendiri bagi siswa merupakan kemampuan kemandirian yang seyogyanya dimiliki. Layanan bimbingan yang diberikan meliputi (a) mengenalkan ciri-ciri diri sendiri, (b) mempersiapkan siswa agar mampu mengurus diri sendiri, (c) merencakan kegiatan harian, (d) melaksanakan kegiatan secara konsekuen, (e) mengambil keputusan, dan (f) cara berpikir positif. Pada prinsipnya pelaksanaan kegiatan diupayakan agar dapat membuat siswa senang dan gembira, dilakukan melalui kerjasama dalam bermain, belajar, dan kegiatan gorong royong dengan teman sekelas.
2. Sebab-sebab Bimbingan Belum Berhasil
Faktor-faktor penentu dalam usaha peningkatan kemandirian siswa seperti hambatan dalam IQ sehingga kurang cakap dalam kegiatan-kegiatan yang memerlukan konsentrasi dan pemikiran. Perilaku hiperaktivitas merupakan kendala utama bagi guru bila mengadakan kegiatan ke luar lingkungan sekolah.
Sebagai pembimbing di sekolah guru mengalami kesulitan dalam memilih/menentukan materi bimbingan sesuai dengan waktu yang tersedia, kadang-kadang ada materi yang tidak sesuai dengan kemampuan siswa. Perasaan jenuh dan bosan timbul bagi guru adalah berawal dari suasana yang monoton dan pencapaian kemandirian siswa tidak sesuai dengan uasaha yang telah dilakukan.
Kegiatan-kegiatan yang berkenaan dengan perencanaan, penentuan keputusan, dan berpikir positif bagi siswa tunagrahita ringan sangat diperlukan intervensi guru, orang tua, dan orang lain yang lebih mampu dalam mengarahkan, mengingatkan, memberikan dorongan pada siswa.
3. Kendala Dukungan Sistem dan yang Perlu Diperbaiki
Usaha kerjasama antar orang tua, guru, dan tenaga ahli profesi lain sangat diperlukan dalam penanganan masalah siswa secara lebih profesional dan menyeluruh sehingga pencapaian kemandiran yang diharapkan dimiliki oleh siswa demi mempersiapkannya berintegrasi dengan masyarakat. Dukungan dari orang tua untuk menindak lanjuti program guru di rumah sangat diperlukan dengan cara memberikan kesempatan-kesempatan pada siswa untuk mencoba melakukan kegiatan melalui pengawasan yang disertai arahan-arahan. Dengan demikian sikap orang tua yang selama ini (over protection) dapat dikurangi.
B. Program Bimbingan Kemandirian
Acuan yang digunakan dalam penyusunan program berdasarkan pendapat, saran, dan tanggapan oleh guru-guru terhadap program hipotetik yang disusun peneliti sebagai program awal. Pendapat yang dikemukakan guru-guru tersebut sebagi berikut.
1. Materi bimbingan disesuaikan dengan kemampuan baik dari segi fisik, inteligensi, dan tingkat kebutuhan siswa sehingga tidak terfokus pada tingkat kelas tertentu.
2. Sebaran materi dalam satu tingkatan kelas terlalu padat dan tidak sesuai dengan keadaan dan kemampuan siswa, keseimbangan sebaran materi dalam stiap caturwulan perlu diperhatikan.
3. Waktu yang tersedia untuk penyampaian materi disesuaikan dengan keadaan meskipun guru dituntut untuk menyampaikan semua materi, untuk guru perlu merencanakan waktu dengan sebaik-baiknya.
4. Penyerapan siswa tentang materi cendrung rendah sehingga guru perlu mengulang-ulang. Menyimak keadaan seperti ini guru perlu menyusun penjabaran kurikulum menjadi program yang fleksibel.
5. Guru mengalami kesulitan dalam memilih materi bimbingan yang sesuai dengan prioritas kebutuhan siswa. Perlu diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk menentukan materi yang dirasakannya cocok bagi siswa.
6. Penentuan prioritas materi dari program bimbingan diusahakan dapat dilakukan sesuai kemampuan dan ketersediaan dana.
7. Muatan materi program bimbingan diupayakan berkesinambungan dan merupakan tuntutan perkembangan siswa.
8. Proses kemandiran siswa merupakan usaha bersama antar guru-guru, orang tua, tenaga ahli lain, dan melibatkan masyarakat.
9. Program yang disusun diusahakan dapat membantu siswa untuk menentukan sendiri kegiatan yang disukai dalam bentuk beberapa pilihan.

Program ini diharapkan bermanfaat dalam rangka membantu siswa meningkatkan kemandirian dalam kehidupan sehari-hari. Unsur-unsur dari program ini meliputi: Visi dan misi bimbingan di SLB-C, tujuan bimbingan di SLB-C, dan Pendekatan bimbingan.
1. Visi dan Misi Bimbingan di SLB-C
Visi dan misi bimbingan dan konseling adalah preventif, edukatif, dan developmental. Oleh karena itu program layanan bimbingan di SLB-C adalah bimbingan yang diberikan untuk membantu kemandirian siswa tunagrahita dan mengurangi ketergantungan pada orang lain.
2. Tujuan Bimbingan di SLB-C
Bimbingan di SLB-C bertujuan agar murid dapat: (a) mengatasi kesulitan dalam mengurus diri sendiri, (b) mengatasi kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah, keluarga/masyarakat dan lingkungan kerja (karier), (c) mengatasi kesulitan dalam menyalurkan kemampuan yang masih ada untuk mengikuti pendidikan/latihan dan pekerjaan/karier, dan (d) menggunakan kemampuan yang masih ada untuk mendapatkan keterampilan dan kesanggupan kerja secara maksimal.(Depdikbud, 1987: 7)
3. Pendekatan Bimbingan
Sebagai pengajar guru lebih berorientasi pada penguasaan materi pelajaran. Sementara sebagai pembimbing guru menciptakan suasana yang dapat menunjang peningkatan kemandirian siswa dalam kehidupan sehari-hari dan mengembangkan kepribadian siswa. Bimbingan di SLB-C yang bersifat khusus dapat berupa layanan terapi bagi siswa tertentu yang memerlukan penangan secara profesional dari para tenaga ahli terkait.
C. Rekomendasi
1. Program ini disusun melalui kolaborasi antara peneliti dengan guru-guru kelas tingkat SDLB di SPLB-C Cipaganti Bandung. Kemudian diuji dengan seminar sehari yang melibatkan guru-guru SLB se-Kodya Bandung.
2. Kondisi yang mendukung pelaksanaan program.
a. Lembaga perlu menyiapkan tenaga guru SLB-C dan membekali dengan pengetahuan dan keterampilan untuk melaksanakan bimbingan.
b. Dilakukan kerjasama dengan LPTK khususnya jurusan PPB dalam mengembangkan kemampuan guru dalam melaksanakan bimbingan.
c. Kerjasama kepala sekolah dan guru-guru perlu mengupayakan pengadaan atau penambahan fasilitas yang mendukung PBM bernuansa bimbingan.
d. Guru-guru di sekolah perlu meningkatkan kerjasama sesama guru, para ahli terkait, dan kerja sama dengan orang tua menuju layanan peningkatan kemandirian yang lebih optimal.
e. Kepala sekolah bersama guru-guru perlu merealisasikan program kedalam bentuk program harian yang digunakan sebagai pedoman melaksanakan bimbingan melalui proses belajar mengajar.
3. Temuan penelitian ini menunjukkan perlunya usaha membekali guru SLB-C dengan pengetahuan serta keterampilan bimbingan melalui penataran-penataran ataupun pelatihan dari lembaga terkait, sehingga tidak perlu mempersiapkan tanaga kuhusus bimbingan (konselor) untuk menangani permasalahan siswa. Cara ini akan menghemat pendanaan jika dibanding dengan mempersiapkan tenaga khusus bimbingan yang lebih banyak membutuhkan biaya dan waktu untuk pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA
Amin, Moh. (1995). Orthopedagogik Anak Tunagarahita. Depdikbud Dikti, Proyek pendidikan Tenaga Guru, Jakarta
Ahman, (1998). Bimbingan Perkembangan: Model bimbingan dan Konseling di Sekolah dasar. Disertasi. PPS IKIP Bandung: Tidak diterbitkan.
Bailey, D. Roy., (1982). Therapeutic Nursing for the Mentally Handicapped. Oxford University Press, New Yoork Toronto.
Depdikbud, (1987). Petunjuk Pelaksanaan Kurikulum SLB-C, Pedoman bimbingan dan Penyuluhan. Jakarta.
_________, (1991). Peraturan Pemerintah No.72 . Jakarta.
Elliott John, (1993), Action Research for Educational Change, Open University Press, Milton Keynes, Philadelphia.
Fallen, H. Nancy and Umansky, Warern. (1985), Young Children With Special Needs, Secon Edition, Charles E. Merrill Publishing Company.
Hardman, L. Michael dkk, (1995). Human exceptionality. Third Edition, Allyn And Bacon, Boston- London-Sydney-Toronto.
Jon, Efendi. (1992). Efektivitas Metode Bermain dan Metode Ceramah dalam Mengajarkan Nilai Nominal Uang Bagi ATG Ringan, di SPLB-C YPPLB Cipaganti Bandung, Skripsi, PLB FIP IKIP Bandung, Tidak diterbitkan.
Kartadinata, Sunaryo (1983). Kontribusi Iklim Kehidupan Keluarga dan Sekolah Terhadap Adekuasi Penyesuaian Diri. Bandung: Tesis PPS IKIP Bandung. tidak diterbitkan.
Kirk, A. Samuel & James, J Gallagher, (1986). Exceptional Children. Alir bahasa. Moh. Amin & Ina Yusuf K, (1990), DNIKS. Jakarta.
Lynch Eleanor, W and Rena, B. Lewis, (1992). Exceptional Children And Adults. Scott, Foresman and Company, Glenview, Illionis Boston London.
Muro, J. James and Kottman, Terry. (1995). Guidance and Counseling in Elementary School and Midlde School. Iowa: Brown and Benchmark Publisher.
Natawidjaja, Rochman. (1988). Peranan Guru dalam Bimbingan di Sekolah. CV. Abardin, Bandung.
_________, (1997). Penelitian tindakan (Action Research). Bandung: IKIP Bandung.
Surjadi. (1983). Membuat Siswa Aktif Belajar, Binacipta. Bandung.
Wehman, paul & McLaughlin Philip J, (1981). Program Development In Special Education, McGraw-Hill Book Company.
Wolfedale, Sheila. (1992). Primary Schools And Special Needs. Second Edition: Policy Planning Provision, Colset Private Limited, Singapore.
Winarti, Agus. (1994). Upaya Karyawan Pabrik Membina Kemandirian Anaknya dalam Keluarga, Bandung: Tesis PPS IKIP Bandung. Tidak diterbitkan.

BIO DATA PENULIS
Drs. Jon Efendi, lahir di Padang tanggal 22 November 1965. Memasuki Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa Padang, selesai tahun 1988. Sarjana Pendidikan Luar Biasa IKIP Bandung diselesaikan tahun 1992. Tahun 1994 diangkat sebagai staf pengajar SGPLB Negeri Padang, yang kemudian berintegrasi dengan IKIP Padang pada tahun yang sama dengan pangkat/golongan III/a. Mengikuti Program Pascasarjana (PPs) IKIP Bandung pada jurusan Bimbingan Anak Khusus tahun 1996. Menyelesaikan program Magister tanggal 9 April 1999 dan saat ini bertugas sebagai dosen di jurusan Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Padang.

Tinggalkan komentar