BAB I
PENGERTIAN BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
MENURUT BEBERAPA TEORI
A. Pendahuluan
Bagian ini membahas tentang pengertiaan belajar dan pembelajaran menurut beberapa aliran dan teori. Bila anda mempelajari isi bab ini dengan baik anda diha-rapkan memiliki kemampuan sebagai berikut.
1. Mampu menjelaskan arti teori belajar, perbedaan dan persamaan teori-teori belajar behavioristik, kognitif, humanistik, sibernisik gestalt dan sosial berkenaan dengan
a. Makna belajar
b. Proses belajar
c. Kekuatan dan kelemahan
2. Dapat memberikan contoh konkrit penerapan setiap teori belajar di dalam melak-sanakan pembelajaran
B. Teori Belajar
Teori belajar adalah teori yang pragmatik dan eklektif, teori dengan sifat de-mikian ini hampir dipastikan tidak pernah mempunyai sifat ekstrim, tidak ada teori belajar yang secara ekstrim khusus menekankan kepada aspek siswa, guru, kurikulum saja.
Titik fokus yang menjadi pusat perhatian suatu teori selalu ada. Ada yang le-bih mementingkan proses belajar, ada pula yang lebih mementingkan sistem informasi yang diolah dalam proses belajar. Namun faktor–faktor lain di luar titik fokus itu selalu diperhatikan dan diperlukan untuk menjelaskan seluruh persoalan belajar yang dibahas.
Konsekwensi lain, taksonomi (penggolongan) teori–teori tentang belajar sering kali bervariasi antara penulis satu dengan lainnya, ada yang mengelompokkan teori belajar menurut berbagai aliran psikologi yang mempengaruhi teori–teori tersebut, ada pula yang mengelompokkannya menurut titik fokus dari teori–teori tersebut, bahkan ada juga yang menggolong–golongkan teori belajar menurut nama–nama ahli yang mengembangkan teori–teori itu. Pada prinsipnya tidaklah penting taksonomi mana yang akan kita ikuti, yang penting kita menyadari bahwa sebuah taksonomi adalah tak lebih dari suatu usaha untuk menyederhanakan permasalahan serta mempermudah pembahasannya. Untuk mempermudah pemahaman kita, dibagian akhir dari bab ini akan disajikan ringkasan isi/rangkuman dari pembahasan teori belajar yang akan dijelaskan berikut ini. Dalam ringkasan tersebut diberikan deskripsi tentang aplikasi setiap teori di dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas.
Secara umum semua teori belajar dapat kita kelompokan menjadi enam go-longan atau aliran, yaitu aliran tingkah laku, (Behavioristik), kognitif, humanistik, gestalt, dan sosial, Sibernetik. Aliran behavioristik (tingkah laku) menekankan kepada proses belajar aliran humanistik menekankan kepada isi “atau apa yang dipelajari aliran psikologi gestal menekankan kepada pemahaman menyeluruh yang berstruktur bukan terpisah–pisah sedangkan Aliran sibernetik menekankan kepada “sistem in-formasi” yang dipelajari, semuanya aliran di atas menekankan kepada proses belajar iru sendiri.
Aliran sibernetik menekankan kepada “sistem informasi” yang dipelajari, un-tuk memahami lebih jauh marilah kita kaji teori ini satu persatu.
C. Pengertian Belajar Menurut Teori
1 Aliran Behavioristik/Tingkah Laku
Beberapa teori belajar dari psikologi behavioristik dikemukakan oleh beberapa pakar psikologi behavioristik. Mereka ini sering Contemporasi behavioristik yang dikenal dengan S—R Psikologis. Mereka berpendapat tingkah laku manusia itu dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan (Reinforcement) dari lingkungan. Perkembangan teori ini dipelopori oleh Thorndike, Ivand Povlov, Watson, dan Guthris.
Jadi belajar menurut teori ini adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara Stimulus dan Respon atau lebih tepat perubahan yang diala-mi siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara baru se-bagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Meskipun semua penganut ini setuju dalam premis dasar namum mereka berbeda pendapat dalam beberapa hal penting. Berikut ini kita kaji hasil karya dari beberapa penganut aliran ini yang paling penting yaitu THORNDIKE, WATSON, HUL, GUTHRIE dan SKINNER
a. THORNDIKE
Menurut Thorndike, salah satu pendiri aliran tingkah laku, belajar adalah proses interaksi antara Stimulus dan Respon (mungkin berupa pikiran, pera-saan atau gerakan) dan respon (bisa berbentuk pikiran, perasaan atau gerakan, jelasnya menurut Thorndike, perubahan tingkah laku itu berupa wujud sesuatu yang kongkrit (dapat diamati) atau yang non konkret (tidak bisa diamati).
Meskipun Thorndike tidak menjelaskan bagaimana cara mengukur berbagai tingkah laku yang non konkrit itu ( pengukuran adalah suatu hal yang menjadi obsesi semua penganut aliran tingkah laku) tetapi teori Thorndike ini telah banyak memberikan insprirasi kepada pakar lain yang datang sesudahnya, teori Thorndike ini disebut sebagai aliran koneksionis (Connectionisme)
b. WATSON
Menurut Watson, pelopor lain yang datang sesudah Thorndike, stimulus dan respon, tersebut harus berbentuk tingkah laku yang bisa diamati (observable) dengan kata lain, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan menggabungnya sebagai faktor yang tak perlu diketahui. Bukan berarti semua perubahan mental yang mungkin terjadi dalam benak siswa tidak penting, semua itu penting tapi, faktor – faktor terse-but tidak bisa menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi atau belum.
Hanya dengan asumsi demikian, kata watson kita bisa meramalkan perubahan yang bakal terjadi pada siswa, dan hanya dengan demikianlah psikologi dan ilmu tentang belajar dapat disejajarkan dengan ilmu – ilmu lainnya seperti fi-sika, atau biologi yang sangat berorientasi kepada alam empirik.
Penganut aliran tingkah laku lebih suka memilih untuk tidak memikirkan hal-hal yang bisa diukur, meskipun mereka tetap mengakui bahwa semua itu pent-ing, teori watson ini juga disebut sebagai aliran tingkah laku (behaviorism) Tiga pakar lainnya adalah CLARK HULL, EDWIN GUTHRIE dan B.F. SKINNER. Ketiga pakar terakhir ini menggunakan variabel S-R. Untuk men-jelaskan teori – teori mereka, meskipun tiga pakar ini disebut tokoh Behavi-oristik namun pendapat mereka satu sama lainnya secara prinsip tetap berbeda
c. CLARK HULL
Clark Hull sangat terpengaruh oleh teori evolusinya, Charles Darwin. Bagi Hull, seperti dalam teori evolusi semua fungsi tingkah laku bermanfaat teru-tama untuk menjaga kelangsungan hidup, karena itu dalam teori Hull kebutu-han biologis dan pemuasan kebutuhan biologis menempati posisi sentral sti-mulus hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis ini, meskipun respon mungkin bermacam – macam bentuknya.
Teori ini, terutama setelah SKINNER memperkenalkan teori ternyata tidak banyak dipakai dalam dunia praktis, meskipun sering digunakan dalam berba-gai bidang eksperimen dalam laboratorium.
d. EDWIN GUTHRIE
Menurut Edwin Guthrie, stimulus tidak berbentuk kebutuhan biologis, yang terpenting dalam teori Guthrie adalah, bahwa hubungan antara stimulus dan respon cenderung bersifat sementara. Karena itu diperlukan pemberian stimu-lus yang sering agar hubungan ini menjadi labih langsung. Selain itu, suatu respon berhubungan dengan bermacam stimulus.
Contohnya kenapa kebiasaan merokok, sulit ditinggalkan. Seringkali terjadi, perbuatan merokok tidak hanya berhubungan dengan satu macam, stimulus (kenikmatan menorok), tetapi juga dengan stimulus lainnya (seperti minum kopi, teh, dan lain – lain, berkumpul dengan teman-teman, ingin nampak ga-gah dan lain–lain). Maka setiap kali salah satu atau lebih stumulus itu muncul maka segera pula keinginan merokok itu muncul.
Guthrie percaya bahwa “hukuman” memegang peranan penting dalam proses balajar. Menurut Guthrie suatu hukuman yang diberikan pada saat yang te-pat,untuk tujuan yang tepat, akan mampu merobah kebiasaan seseorang dima-sa yang akan datang. Faktor hukuman ini tidak lagi dominan dalam teori – teori tingkah laku, terutama setelah SKINNER yakni mempopulerkan ide ten-tang “penguatan” (Reinforcement)
e. B.F. SKINNER
B.F. Skinner adalah tokoh yang datang kemudian, mempunyai pendapat lain, yang ternyata mempumyai pamor teori – teori, Hull dan Guthrie. Hal ini mungkin karena kemampuan Skinner dalam “menyederhanakan kerumitan teorinya serta menjelaskan konsep – konsep yang ada dalam teorinya itu.
Menurut Skinner, deskripsi hubungan antara Stimulus dan Respon untuk me-nyelesaikan perubahan tingkah laku (dalam hubungannya dengan lingkungan) menurut versi Watson deskripsi belum lengkap, kalau respon yang diberikan oleh siswa sederhana sekali. Sebab pada dasarnya setiap stimulus yang diberi-kan berintegrasi satu sama lainnya, dan interaksi itu akhirnya mempengaruhi respon yang dihasilkan dengan berbagai konsekwen, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkah laku siswa.
Karena itu, untuk memahami tingkah laku siswa secara tuntas kita harus me-mahami hubungan antar satu stimulus dengan stimulus lainnya, memahami respon itu sendiri, dan berbagai konsekwen yang diakibatkan oleh respon ter-sebut.
Skinner juga menjelaskan bahwa menggunakan perubahan–perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan membuat segala se-suatunya menjadi bertambah rumit, sebab alat itu akhirnya juga harus dije-laskan lagi. Misalnya, bila kita mengatakan bahwa” seseorang siswa yang berprestasi rendah/buruk mungkin ia sedang mengalami frustasi “akan menun-tut kita akan menjelaskan” apa itu frustasi “ dan penjelasan frustasi itu besar kemungkinan akan memerlukan penjelasan lain, begitu seterusnya.
Dari semua pendukung teori tingkah laku, mungkin teori Skinnerlah yang pal-ing besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar. Beberapa program pembelajaran seperti TEACHING Mach INE” Mathetic” atau program– rogram lain yang memakai konsep stimulus–respon, dan faktor penguat (REINFORCEMENT) adalah sebagian contoh program yang memanfaatkan teori. SKINNER ini. Ada enam solusi yang melandasai teori kondisioning operand B.H. SKINNER adalah
1. Belajar itu adalah TL
2. Perubahan TL (belajar) secara fungsional berkaitan dengan adanya peru-bahan dalam kejadian dilingkungan.
3. Hubungan antara TL dengan hukum lingkungan
4. TL merupakan sumber informasi
5. TL. Organisme secara individu merupakan sumber data yang cocok
6. Dinamika interaksi organisme dengan lingkungan itu sama.
2. Aliran Kognitif
Teori kognitif, sebaliknya lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil bela-jar itu sendiri. Bagi penganut aliran ini belajar itu tidak sekedar melibatkan hu-bungan antara stimulus dan respon, lebih dari itu, belajar melibatkan proses ber-pikir yang sangat komplek, teori ini sangat erat hubungannya dengan teori siber-nitik.
Pada masa–masa awal mulai diperkenalkannya teori ini, para ahli mencoba men-jelaskan bagaimana siswa mengolah stimulus dan bagaimana siswa tersebut bisa sampai ke respon tertentu (pengaruh aliran tingkah laku masih terlihat disini). Namun lambat laun, perhatian ini mulai bergeser, saat ini perhatian mereka terpu-sat pada proses bagaimana suatu ilmu yang baru berasimilasi dengan ilmu yang sebelumnya telah dikuasai oleh siswa.
Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seseorang individu me-lalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan, proses ini tidak berjalan terpatah–patah, tetapi melalui proses yang mengalir, bersambung-sambung, menyeluruh ibarat seseorang yang memainkan musik, orang ini tidak memakai not–not balok yang terpampang di partitur sebagai informasi yang saling lepas berdiri sendiri, tetapi merupakan satu kesatuan yang secara utuh masuk kepikiran dan perasaannya. Seperti ketika anda membaca tulisan ini, bukan alfa-bet–alfabet yang terpisah–pisah yang anda serap dan kunyah dalam pikiran, tetapi adalah kata, kalimat, paragraf, semuanya itu seolah-olah menjadi satu, mengalir, menyerbu secara total bersamaan. Dalam praktek, teori ini antara lain terwujud dalam tahap–tahap perkembangan yang diusulkan oleh Jean Peaget “belajar ber-maknanya” Ausubel dan belajar penemuan yang bebas” (Free discovery learning) oleh Jerome Bruner.
Jadi menurut aliran Kognitif ini tingkah laku individu senantiasa didasarkan ke-pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi, di dalam situasi belajar individu harus terlibat langsung yang pada akhirnya ini akan memperoleh insight untuk memecahkan masalah.
Para penganut aliran kognitif ini adalah PIAGET , AUSUBEL dan BRUNER.
a. JEAN PIAGET
Menurut Jean Piaget proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahap yakni asimilasi, akomudasi, equilibrasi (penyambungan). Proses asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru, kestruktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kog-nitif kedalam situasi yang baru. Equalibrasi adalah penyesuaian berkesenam-bungan antara asimilasi dengan akomodasi.
Suatu contoh, seorang siswa yang sdah mengetahui prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip perkalian, maka proses Pengintegrasian an-tara prinsip penjumlahan (yang sudah ada dibenak siswa) dengan prinsip perkalian (sebagai informasi baru) disebut proses asimilasi, jika siswa diberi sebuah soal perkalian, maka situasi ini disebut akomodasi, ini berarti pema-kaian (aplikasi) prinsip perkalian tersebut terjadi dalam situasi yang baru dan spesifik.
Agar siswa tersebut dapat berkembang dan menambah ilmunya, harus tetap menjaga stabilitas mental dalam dirinya diperlukan proses penyeimbangan, proses inilah yang disebut equalibrasi. Proses penyeimbangan antara “dunia luar” dengan “dunia dalam” tanpa proses ini perkembangan kognitif seseo-rang akan tersendat–sendat dan berjalan tak teratur (Dis Organizet).
Dua orang yang mempunyai jumlah informasi yang sama di otaknya mungkin mempunyai kemampuan equilibrasi yang baik yang berbeda. Seseorang dengan kemampuan equilibrasi dan baik akan mampu menata informasi da-lam urutan yang baik, jernih, dan logis. Sedangkan rekannya yang tidak me-miliki kemampuan equilibrasi sebaik itu cenderung menyimpan semua in-formasi yang ada secara kurang teratur, karena itu orang ini cendrung mem-punyai alur berfikir ruwet, tidak logis, dan berbelit–belit. Menurut Piaget proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang dialami siswa. Dalam hal ini Piaget membagi empat tahap yaitu tahap sensoris motor ketika anak berumur 1,5–2 tahun, tahap pra operasional 2/3–7/8 tahun, tahap operasi konkrit 7/8–12/14 tahun dan tahap operasi formal 14 tahun keatas.
Proses belajar yang dialamai seorang anak pada tahap sensoris motor tentu lain yang dialami seorang anak yang sudah tahap kedua, begitu juga pada ta-hap–tahap berikutnya.
Oleh karena itu semakin tinggi tingkat kognitif semakin teratur cara berfikir-nya, maka guru seyogyanya memahami tahap–tahap perkembangan anak di-diknya serta memberikan meteri pelajaran dalam jumlah dan jenis yang sesuai dengan tahap–tahap tersebut. Guru yang mengajar tetapi tidak menghiraukan tahapan – tahapan perkembangan anak didiknya ini akan cenderung menyulitkan para siswa.
b. AUSUBEL
Menurut Ausubel siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut “pen-gatur kemajuan balajar (Advance Organizeis), didefenisikan dan dipresentasi-kan dengan baik dan tepat kepada siswa, pengatur kemajuan balajar adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi (mencakup) semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa.
Ausubel percaya bahwa “advance Organizers” dapat memberikan tiga macam manfaat yakni :
1. dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari oleh siswa.
2. dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang dipelajari olah siswa “saat itu” dengan apa yang “akan” dipelajari siswa sedemikian rupa sehingga
3. mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mu-dah.
Untuk itu pengetahuan guru terhadap isi pelajaran harus sangat baik, hanya dengan demikian sorang guru akan mampu menemukan informasi, yang me-nurut Ausubel sangat abstrak, umum dan inklusif “yang mewadahi apa yang akan diajarkan itu. Selain itu logika berpikir guru juga dituntut sebaik mung-kin, tenpat memiliki logika berfikir yang baik, maka guru akan kesulitan me-milah–milah materi pelajaran, merumuskannya dalam rumusan yang singkat dan padat, serta mengurutkan materi demi meteri itu kedalam struktur urutan logis serta mudah dipahami.
c. BRUNER
Bruner mengusulkan teorinya disebut Free Discovery Learning. Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori, definisi, dan sebagainya) melalui contoh – contoh yang menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya.
Dengan kata lain, siswa dibimbing secara induktif untuk memahami suatu ke-banaran umum, untuk memahami konsep “kejujuran” misalnya siswa tidak pertama – tama menghafal definisi kata itu, tetapi mempelajari contoh – con-toh konkrit tentang kejujuran, dan dari contoh – contoh itulah siswa dibimbing untuk mendefinisikan kata kejujuran.
Lawan pendekatan ini disebut “balajar ekspositori” (belajar dengan cara men-jelaskan), dalam hal ini, siswa di sodori sebuah informasi umum dan diminta untuk menjelaskan informasi ini melalui contoh–contoh konkrit. Dalam con-toh–contoh di atas maka siswa pertama–tama diberi definisi tentang kejujuran dan dari definisi itulah siswa diminta untuk mencari contoh–contoh konkrit yang dapat mengambarkan makna kata tersebut, proses belajar ini berjalan se-cara deduktif.
3. Aliran Humanistik
Bagi penganut teori ini, proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Dari beberapa teori belajar, teori humanistik inilah yang paling abstrak yang paling mendekati dunia filsafat dari pada dunia pendidikan.
Teori ini menekankan kepada pentingnya “isi” dari proses belajar dalam kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar, dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini bersifat eklektik, teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuannya untuk memuliakan kemanusiaan ma-nusia (mencapai aktualisasi dan sebagainya) itu dapat tercapai.
Dalam praktek, teori ini antara lain terwujud dalam pendekatan yang diusulkan oleh Ausubel yang disebut “belajar bermakna” atau meaningfull learning (sebagai catatan, teori Ausubel ini juga dimasukkan kedalam aliran kognitif). Teori ini juga terwujud dalam teori Bloom dan Krathwohl dalam bentuk taksonomi Bloom yang terkenal itu, selain itu empat tokoh lain yang termasuk kedalam kubu teori ini adalah Kolb, Honey dan Mumford serta Habermas.
a. BLOOM DAN KRATHWOHL
Bloom dan krathwohl, menunjukan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh siswa yang tercakup dalam tiga kawasan yaitu: kawasan kognitif, affek-tif, psikomotor.
1. Kognitif ada enam tingkatan
a. pengetahuan (mengingat, menghafal)
b. pemahaman (menginterpretasikan)
c. aplikasi (penggunaan konsep untuk memecahkan suatu masalah)
d. analisis (menjabarkan suatu konsep)
e. sintesis (menggabungkan bagian–bagian konsep menjadi suatu konsep yang untuh)
f. evaluasi (membandingkan nilai–nilai, ide, metode, dan sebagainya)
2. Affektif terdiri dari lima tingkatan
a. pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu)
b. merespon (aktif berpartisipasi)
c. penghargaan (menerima nilai–nilai, setia kepada nilai–nilai tertentu).
d. Pengorganisasian (menghubung–hubungkan nilai-nilai yang dipercayai)
e. Pengamalan (menjadikan nilai–nilai sebagai bagian dari pola hidup)
3. Psikomotor terdiri dari lima tingkatan
a. peniruan (menirukan gerak)
b. penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak)
c. ketetapan (melakukan gerak dengan benar)
d. perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar)
e. naturalisasi (melakukan gerak secara wajar)
Taksonomi Bloom ini telah berhasil memberikan inspirasi kepada banyak pakar lain untuk menyumbangkan teori–teori belajar dan pembelajaran pada tingkat praktis, bahkan telah banyak membantu praktisi pendidikan untuk memformulasikan tujuan – tujuan belajar dalam bahasa yang mudah dipahami, operasional, serta dapat diukur dari beberapa taksonomi belajar. Mungkin bloom ini yang paling populer khususnya di Indonesia. Selain itu teori bloom ini bayak dipakai untuk membuat kisi – kisi soal ujian.
b. KOLB
Kolb membagi tahapan belajar menjadi empat tahap yaitu :
1) pengalaman konkrit
2) pengamatan aktif dan replektif
3) konseptualisasi
4) ekspermentasi aktif
Pada tahap yang paling dini dalam proses belajar, seorang siswa hanya mam-pu sekedar ikut mengalami suatu kejadian, dia belum memahami hakikat ke-jadian tersebut. Dia belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu kejadian harus terjadi seperti itu, inilah yang terjadi pada tahap pertama proses balajar. Pada tahap kedua siswa tersebut lambat laun mampu mengadakan observasi aktif terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahami, inilah yang sering terjadi pada tahap pengamatan aktif dan replektif.
Pada tahap ketiga, siswa mulai belajar untuk membuat abstrak atau teori ten-tang suatu hal yang pernah diamati. Pada tahap ini siswa diharapkan mampu untuk membuat aturan – aturan umum (generalisasi) dari berbagai contoh ke-jadian yang meskipun tampak berbeda – beda, tetapi mempunyai landasan aturan yang sama.
Pada tahap terakhir (ekspermentasi aktif) siswa sudah mampu mengaplikasi-kan suatu akurat umum kesituasi yang baru. Dalam dunia matematika misal-nya, “siswa tidak banyak memami kami asal usul” sebuah rumus, tetapi ia juga nampu memakai rumus tersebut untuk memecahkan suatu masalah yang belum pernah ia temui sebelumnya. Menurut Kolb, siklus belajar semacam ini terjadi secara berkenambungan dan berlangsung diluar kesadarn sipelajar, meskipun dalam teorinya kita mampu membuat garis tegas antar tahap satu dengan tahap lainnya, namun dalam praktek peralihan dari satu tahap ke ta-hap lainnya itu sering terjadi begitu saja, sulit kita tentukan kapan berakhir-nya.
c. HONEY DAN MUMFORD
Berdasarkan teori Kolb, Honey dan Mumford mebuat penggolongan siswa. Menurut mereka, ada empat macam atau tipe siswa, yakni aktivis, reflektor, teoris, pragmatis.
Siswa tipe aktivis adalah mereka yang suka melibatkan diri pada pengalaman–pengalaman baru, mereka cenderung berfikiran terbuka dan mudah diajak berdialog, namun siswa semacam ini biasanya kurang skeptis menghadap se-suatu. Kadang kala indentik dengan sifat mudah percaya, dalam proses balajar mereka menyukai metode yang mampu mendorong seseorang menemukan hal – hal baru, seperti Brain Stroming, problem Solving, tetapi mereka cepat me-rasa bosan dengan hal-hal yang memerlukan waktu lama dalam Inflementasi.
Siswa tipe refleksi, sebaliknya, cenderung sangat hati-hati mengambil langkah, dalam proses pengambilan keputusan, siswa seperti ini cenderung konservatif, dalam arti mereka lebih suka menimbang-nimbang secara cermat baik buruk suatu keputusan.
Siswa tipe teoris, biasanya sangat kritis, senang menganalisis dan menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif bagi mereka, berfikir secara rasional adalah sesuatu yang sangat penting mereka biasanya juga sangat se-lektif dan tidak menyukai hal- hal yang bersifat spekulatif.
Siswa tepe pragmatis menaruh perhatian besar pada aspek aspek dari segala hal, teori memang penting, kata mereka, namun bila teori tak bisa dipraktek-kan, untuk apa ? mereka tidak bisa betele-tele, sesuatu dikatakan ada gunanya dan baik hanya jika bisa dipraktekan.
d. HABERMAS
Habermas percaya bahwa belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi baik den-gan lingkungan maupun dengan sesama manusia. dengan asumsi ini, dia membagi tipe belajar menjadi tiga macam yaitu :
1). Belajar teknis (technical Learning)
2). Belajar praktis (practical learning)
3). Belajar emansifatoris (emancifatory learning)
Dalam belajar teknis, siswa belajar bagaimana berinteraksi dengan alam se-kelilingnya, mereka berusaha menguasai dan mengelola alam dengan cara mempelajari keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk itu.
Dalam belajar praktis, siswa juga belajar berinteraksi, tetapi pada tahap ini lebih dipentingkan adalah interaksi dia dengan orang – orang sekelilingnya, pada tahap ini, pemahaman siswa terhadap alam tidak berhenti sebagai suatu pemahaman yang kurang dan terlepas kaitannya dengan manusia, tetapi pe-mahaman terhadap alam itu justru relevan jika berkaitan dengan kepentingan manusia.
Sedangkan dalam belajar emansipatoris, siswa berusaha mencapai pemaha-man dan kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan (transformasi) kultural dari suatu lingkungan. Bagi Habermas, pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kultural ini dianggap tahap belajar yang paling tinggi
4. Aliran Psikologi GESTALT
Tokoh Psikologi Gestalt adalah Wertheimer, Kohler, Kooffka. Wertheimer den-gan gejala “phi-phenomenom-nya” merupakan penemuan yang penting, oleh ka-rena melahirkan gejala penghayatan yang berbeda dengan unsur – unsur yang membentuknya. Gejala tersebut tidak dapat dijelaskan melalui analisis atas unsun-unsur, meskipun hasil gejala tersebut adalah dari unsur-unsur bagian tersebut. Jadi penghayatan psikologis adalah hasil bentukan dari unsur – unsur pengindraan, ia berbeda antar pengalaman phenomenologis dengan pengalaman pengindraan yang membentuknya. Gestalt mengatakan bahwa organisme menambahkan sesuatu pa-da penghayatan yang tidak terdapat didalam pengindraannya, maka sesuatu ada-lah organisme.
Dari sumber lain dengan gaya bahasa yang berbeda dapat dibaca pendapat gestalt sebagai berikut, bahwa pengalaman itu berstruktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan yang terorganisir, bukan dalam bagian – bagian yang terpisah.
Menurut gestalt, semua kegiatan belajar menggunakan insight atau pemahaman terhadap hubungan – hubungan, antara bagian atau keseluruhan, tingkat kejelasan atau keberartian dari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih mening-katkan belajar seseorang dari pada dengan hukuman dan jajaran.
5. Aliran / Teori Sosial Albert Bandura
Teori belajar sosial diawali dengan kepercayaan bahwa proses dan isu psikologi yang penting telah diabaikan atau hanya dipelajari sebagian–sebagian saja oleh teori–teori lain. Soal–soal yang diabaikan itu termasuk kapasitas orang sebagai sibelajar untuk berfikir simbolik, kecenderungan orang untuk belajar dengan arah sendiri dan luasnya faktor–faktor sosial yang dapat mempengaruhi perbuatan in-isiatif (peniruan).
Menurut terori belajar siswa, hal yang amat penting ialah kemampuan individu untuk mengambil sari informasi dari tangkah laku orang lain, memutuskan tingkah laku mana yang akan diambil. Teori belajar sosial Bandura oleh Albert. Bandura berusaha menjelaskan hal belajar dalam latar yang wajar. Asumsi yang menjadi dasar teori ini bahwa belajar sosial memberikan makna (a) hakekat belajar dalam latar alami (b) hubungan belajar dengan lingkungan (c) definisi dari apa yang dipelajari.
Hakekat proses belajar menurut teori sosial bandura ini bermula dari kupasan atas balajar munatif (peniruan) sebagaimana diperiksa oleh teori – teori terdahulu.
Tingkah laku dari lingkungan itu keduanya dapat diobah dan tak satupun meru-pakan penentuan utama dari terjadinya perubahan tingkah laku, Buku tidak akan mempengaruhi orang kecuali seseorang menulisnya, dan orang lain memilih serta membacanya, ganjaran dan hukuman tetap tidak berpengaruh sampai dibang-kitkan oleh performance yang cocok. (Bandura, 1974). Bandura berpendapat “pa-ham belajar sosial orang tidak didorong oleh tenaga dari dalam demikianpun tidak digencet stimulus–stimulus yang berasal dari lingkungan, alih – alih fungsi psi-kologi orang tidak dijelaskan sebagai interaksi timbal balik yang terus menerus terjadi antara faktor–faktor penentu pribadi dan lingkungannya (1977).
Oleh karena itu Bandura mengajukan hubungan segi tiga yang saling berkaitan antara tingkah laku (T) hubunhan (L) dan kejadian Internal yang memepengaruhi pessepsi (P) seperti Bagan ini :
Bagan hubungan segi tiga antara
Lingkungan, faktor pribadi, tingkah laku
(P)
Ekspektasi dan mulai Ciri – ciri fisik tampak menarik
mempengaruhi TL suku bangsa, perawakan, jenis
kelamin dan atribut sosial
mengaktifkan reakasi lingkungan yang berlainan
Tingkah laku sering
dimulai tanpa memper
hatikan balikan dari
lingkungan, dengan
mengubah kesan pribadi
Tingkah Laku (T) (L)
mengaktifkan kontengensi kontingensi yang diaktifkan
lingkungan dapat mengubah intensif
atau arah kegiatan
6. Aliran Sibernetik
Teori belajar jenis ke 6 mungkin paling baru dari semua teori belajar yang kita kenal, adalah teori Sibenertik. Teori ini berkembang sejalan dengan perkemban-gan ilmu informasi. Menurut teori ini belajar adalah pengolahan informasi.
Sekilas teori ini mempunyai kesamaan dengan teori kognitif yang mementingkan proses. Proses memang penting dalam teori sibernetik. Namun yang lebih penting adalah “sistem informasi” yang diproses itu.
Asumsi lain dari teori sibenertik ini adalah bahwa tidak ada satu proses belajarpun yang ideal untuk segala situasi, yang cocok untuk semua siswa, Maka sebuah informasi mungkin akan dipelajari seorang siswa dengan satu macam proses be-lajar dan informasi yang sama itu mungkin akan di pelajari Siswa lain melalui proses belajar yang berbeda.
Dalam bentuk yang lebih praktis, teori ini telah dikembangkan oleh Lauda (dalam pendekatan yang disebut “algoritmik” dan “heuristik”) Pas dan Scott (dengan pembagian siswa tipe “menyeluruh” atau Wholist” dan tipe “serial” atau “se-rialis”) atau pendekatan – pendekatan lain yang berorientasi pada pengolahan in-formasi.
a) Landa
Menurut Landa ada dua macam proses berfikir yang pertama disebut proses berfikir algoritmik, yaitu proses berfikir linear, konvergan, lurus menuju kesatu terget tertentu, Jenis kedua adalah cara berfikir heuristik, yakni cara berfikir divergan menuju beberapa target sekaligus.
Proses belajar akan berjalan dengan baik jika apa yang hendak dipelajari itu/masalah yang hendak dipecahkan diketahui ciri – cirinya. Satu hal lebih tepat disajikan dalam urutan teratur, linear sekuensial, satu hal lain lebih tepat bila disajikan dalam bentuk terbuka dan memberi keleluasaan pada siswa – siswa untuk berimajinasi dan berfikir.
Misalnya agar siswa mampu memahami sebuah rumus matematika, mungkin akan lebih efektif jika presentasi informasi tentang rumus ini disajikan secara algorirmik. Alasanya adalah sebuah rumus matematikan biasanya mengikuti urutan tahap demi tahap yang sudah teratur dan mengarah kesatu target tertentu.
b) Pask dan Scott
Pendekatan serialis yang diurutkan oleh Pask dan Scott itu sama dengan pen-dekatan algoritmik. Namun cara berfikir menyeluruh (wholist) tidak sama dengan heusristik. Cara berfikirnya menyeluruh adalah cara berfikir yang cenderung melompat kedepan, langsung ke gambaran lengkap sebuah sistem informasi.
Pendekatan yang berorientasi pada pengelolaan informasi menekankan bebe-rapa hal seperti ingatan jangka pendek (short termmemory) ingatan jangka panjang (long termmemory) dan sebagainya.
Teori pengelolaan informasi sesuatu deskripsi (Wittrock 1978) otak itu bukan konsumen yang pasif dari informasi, ia secara aktif memilih, menunjukan perhatian, mengorganisaikan mempersepsi, mengubah menjadi sandi, dan mendapatkan kembali simpanan informasi, kadang–kadang otak menghasilkan gambaran yang lengkap dari stimulus setengah angan–angan pada kali yang lain, otak mengupas pula runag yang komplek menjadi pola yang lebih sederhana operasi–operasi, interpretasi dan inferensi yang banyak jumlah dan ragamnya menyifatkan kenyataan rumit yang dibentuk oleh otak.
Rangkuman
A. Teori Belajar Behaviorisme (Tingkah Laku)
Menurut teori ini belajar adalah perubahan tingkah laku. Seseorang-dianggap telah belajar sesuatu bila ia mampu menunjukan perubahan tingkah laku.
Misalnya : seorang siswa belum bisa membaca maka iapun keras belajar, betapa-pun gurunya berusaha sebaik mungkin mengajar atau bahkan ia sudah hafal huruf A sampai Z diluar kepala, namun bila siswa itu gagal mendemonstrasikan ke-mampuannya dalam membaca, maka siswa itu belum bisa dianggap telah belajar. Ia dianggap telah belajar bila ia telah menunjukan sesuatu perubahan dalam ting-kah laku.
Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan / input yang berupa stimulus dan keluaran /output yang berupa respon. Sedangkan apa yang terjadi diantara stimulus dan respon itu dianggap tak penting di perhatikan sebab tidak bisa di-amati. Yang bisa diamati hanyalah stimulus respon.
Faktor lain yang juga penting adalah faktor penguatan. Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan maka respon akan menjadi kuat. Begitupun bila penguatan dikurangi, responpun akan tetap dikuatkan.
Pelopor terpenting teori ini antara lain adalah Parlov, Watson, Skinner, Hull dan Gethrie.
Pengaplikasian teori belajar behaviorisme didalam instruksional
Secara umum aplikasi teori behavoirisme biasanya meliputi bebrapa langkah berikut ini :1. Mementukan tujuan – tujuan instruksional
2. Menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini termasuk mengidentifikasi pengetahuan awal mahasiswa.
3. Menentukan materi pelajaran
4. Memecah materi pelajaran menjadi bagian kecil–kecil (pokok bahasan, SPB, Sub topik dan sebagainya)
5. Menyajikan materi pelajaran
6. Memberikan stimulus yang mungkin berupa pertanyaan (lisan, tertulis, tes, la-tihan, tugas–tugas)
7. Mengamati dan melengkapi respon yang diberikan
8. Memberikan penguatan/reimforcement (mungkin penguatan positif atau nega-tif)
9. Memberikan stimulus baru
10. Mengamati dan mengkaji respon yang diberikan
11. Memberikan penguatan dan seterusnya.
B. Teori Belajar kognitivisme
Menurut teori ini, balajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman, Peruba-han persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perilaku tingkah laku yang bisa diamati (bandingkan dengan teori Bahaviorisme)
Asumsi dasar teori ini adalah setiap orang telah mempunyai pengalaman dan penge-tahuan di/dalam dirinya, pengalaman dan pengetahuan ini tertera dalam bentuk struk-tur kognitif. Menurut teori ini proses belajar akan berjalan baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi (bersinambung) secara klop dengan struktur kognitif yang su-dah dimiliki oleh mahasiswa.
Dalam perkembangannya setidak – tidaknya ada tiga teori belajar yag bertitik tolak dari teori kognitisme ini, teori perkembangan Piaget, teori kognitif Bruner dan teori bermakna Ausabel.
Aplikasi teori ini dalam kegiatan instruksional
Piaget : seperti teori Bruner dan ausubel, teori piaget ini dalam aplikasi praktisinya sangat mementingkan keterlibatan mahasiswa secara aktif dalam proses belajar, hanya dengan mengaktifkan mahasiswa proses asimilasi / akomudasi, pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
Aplikasi teori ini sebagai berikut :
1. Menentukan tujuan –tujuan instruksional
2. Memilih materi palajaran
3. Menentukan topik – topik yang mungkin dipelajari secara aktif oleh mahasiswa.
4. Menentukan dan merancang KBM yang cocok
5. Mempersiapkan berbagai pertanyaan yang dapat memacu kratifitas mahasiswa untuk berdiskusi dan bertanya
6. Mengevaluasi proses dan hasil belajar.
Bruner : secara umum teori ini diaplikasikan dalam PBM sebagai berikut :
1. Menentukan tujuan instruksional
2. Memilih materi palajaran
3. Menentukan topik – topik yang bisa dipelajari secara indifidu atau ke-lompok
4. Mencari contoh-contoh, tugas, ilustrasi, yang dapat digunakan
5. Mengatur topik-topik pembalajaran sedemikian rupa sehingga urutan topik itu bergerak dari yang paling konkrit ke abstrak dari sederhana ke komplek dari tahap enaktif, ekonik, sampai ke tahap sembolik dan seterusnya.
6. Mengevaluasi PBM
Ausubel : secara umum teori ini diaplikasikan dalam PBM sebagai berikut :
1. Menentukan tujuan – tujuan instruksional
2. Mengukur kesiapan baik melalui tes awal interview dan lain – lain
3. Memilih materi pelajaran dalam bentuk konsep – konsep kunci.
4. Mengidentifikasikan prinsip yang harus dikuasai siswa
5. Menyajikan suatu pandangan secara menyeluruh tentang apa yanag dipelajari
6. Membuat dan menggunakan ADNANCE ORGANIZER
7. Mengajar mahasiswa memahami konsep – konsep dan prinsip – prinsip yang sudah ditentukan
8. Mengevaluasi proses dan hasil belajar
C. Teori Belajar Humanistik
Menurut teori Humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manu-sia. PBM dianggap berhasil jika pelajar telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan kata lain sibelajar dalam proses pembelajaran harus berusaha agar lambat laun mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik – baiknya.
Menurut Krathwole dan B. Bloom ada 3 kawasan tujuan belajar yang bisa dicapai mahasiswa yang dikenal dengan kognitif, affektif, psikomotor
Menurut Kolb ada 4 tahap proses balajar yaitu :
1. Pengalaman konkrit mahasiswa
2. Pengalaman aktif dab reflektif
3. Konsep tualisis berteori
4. Eksperimentasi aktif mahasiswa
Honey dan Mumford membagi mahasiswa menjadi 4 macam
1. Aktifis (melibatkan diri pada pengalaman baru)
2. Reflektor (hati – hati sebelum bertindak)
3. Teoris (kecendrungan berfikir rasional)
4. Pragmatis (menaruh perhatian kepada aspek praktis)
H.abernas : ada tiga tipe belajar menurut Habernas ini
1. Belajar teknis menekankan interaksi manusia dengan lingkungan
2. Belajar praktis
3. Belajar emansipatoris menekankan kepada transpormasi dan perubahan
Aplikasi teori Humanistik dalam kegiatan instruksional sebagai berikut
1. Menentukan tujuan instruksional
2. Menentukan materi pelajaran
3. Mengidentifikasi entry behavionis mahasiswa
4. Mengidentifikasi topik–topik yang memungkinkan mahasiswa mempelajari se-cara aktif.
5. Mendesain wahana
6. Membimbing mahasiswa belajar aktif
7. Membimbing mahasiswa memahami hakekat makna dan pengalaman belajar mereka
8. Membimbing mahasiswa membuat konseptualisme pengalaman tersebut
9. Membimbing mahasiswa mengaplikasikan konsep baru kesituasi yang baru
10. Mengevalusi proses dan hasil belajar mahasiswa.
D. Teori Belajar Sibernitik
Teori Sibernitik adalah teori yang relatif baru bila dibandingkan dengan ketiga teori belajar sebelumnya, teori ini berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu informasi, Menurut teori ini adalah pengelolaan informasi.
Teori ini menekankan pentingnya sistem informasi dari apa yang akan dipela-jari mahasiswa, sedangkan bagaimana PBM berlangsung sangat dipengaruhi oleh sis-tem informasi tersebut. Oleh karena itu teori ini berasumsi, bahwa tidak ada satupun jenis cara belajar yang ideal untuk segala situasi, sebab cara belajar sangat ditentukan oleh sistem informasi.
Dalam bentuknya yang lebih praktis, teori ini dikembangkan oleh Landa den-gan pendekatan ALGORITMIK dab HEURISTIK serta PAST dan SCOTT dengan pembangian tipe siswa dikenal dengan tipe Wholist dan tipe Scrialist Pendekatan be-lajar “Algoritmik” menuntut mahasiswa berpikir linear, lurus menuju target tertentu seperti matematika, fisika dan lain – lain.
Pendekatan Heuristik menuntut mahasiswa berfikir secara divergen, menyebar beberapa target sekaligus memahami suatu konsep yang penuh arti ganda dan penaf-siran biasanya menuntut cara berfikir Heuristik.
Aplikasi teori sebernitik ini kedalam kegiatan instruksional
Beberapa langkah umum yang biasa kita temui dalam implemantasi teori Sibernitik adalah sebagai berikut :
1. Menentukan tujuan – tujuan Instruksional
2. Menentukan materi pelajaran
3. Mengkaji sistem informasi yang terkandung dalam materi tersebut.
4. Menentukan pendekatan belajar yang sesuai dengan sistem informasi
5. Menyajikan materi dan membimbing mahasiswa belajar dengan pola yang sesuai dengan urutan materi pelajaran
E. Ciri – Ciri Belajar Dan Pembelajaran
1. Pengaruh “Kematangan” individu terhadap proses dan hasil belajar
a. Kematangan (maturity) ialah keadaan atau kondisi baik yang berkaitan dengan aspek bentuk, struktur maupun fungsi yang lengkap pada suatu organisme
b. Kematangan membentuk sifat dan kekuatan dalam diri individu yang ber-sangkutan untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disebut kesiapan (readines) kesiapan artinya seseorang individu telah siap betingkah laku, baik/tingkah laku yang bersifat instingtif maupun tingkah laku yang dipelajari.
c. Kematangan dapat mendukung terjadinya proses belajar yang effektif dan efesien akan tetapi kematangan dicapai tidak mesti melalui proses balajar.
2. Kondisi fisik dan mental dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar
a. Diantara kondisi fisik dan mental yang mempengaruhi kegiatan belajar adalah
1. perubahan alat dria
2. kelelahan fisik (alat organisme)
3. kesehatan badan terganggu
4. fostur tubuh tidak memenuhi tuntutan tugas – tugas akademik
b. Perubahan kondisi mental berkaitan dengan
1. motivasi
2. minat
3. sikap
4. kematangan meliputi intelektual, emosional, sosial
5. keseimbangan pribadi (balance personality)
6. perhatian (konsentrasi)
7. kepribadian
8. percaya diri (self confidence)
9. disiplin diri (self diciplin)
10. dorongan ingin tahu (natural curriosity)
Daftar Pustaka
Bel – Gredler, ME, Learning and Instruction : Theory Into Practice, Macmilan Pub-lishing Company, New York, 1986, dikutip oleh Dr. Prasetya Irawan (1995) dalam : Teori Belajar, Motivasi dan Keterampilan Mengajar
Romiszowski A.J. Developing Auto Instructional Materials : From Programmed Texts, Cal and Interaktive Vedio Kogan Page, London, 1986
Suppos. P. The Place of Theory in Educational Research, dalam jurnal Educational Recearher No.3 (6) Hal 3-10-1974
E. Bell, Gredler M, Belajar dan Membelajarkan seri Pustaka Teknologi Pendidikan No.11 Universitas terbuka Rajawali Pers (1991) Jakarta
Uzim. S. Winata Putra : Belajar dan pembelajaran,Modul 1-6 PGSM (Dirjen pendidi-kan dasar dan menengah proyek peningkatan Mutu Guru SLTP Setara D III 1994/95 Jakarta
Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Teknologi Instruksional,Buku III-C Dep-dikbud Proyek Pengembangan Institusi Pendidikan Tinggi 1981 Jakar-ta.
BAB II
HAKEKAT BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
A. Pendahuluan
Tugas pokok seorang guru membelajarkan siswa. Masalah utama yang dihadapi dan perlu dipecahkan ialah apakah yang dapat dan harus dilaksanakan, selanjutnya bagaimana ia harus melakukannya. Sehubungan dengan itu, seorang guru perlu memahami dan menghayati kinerja belajar dan pembelajaran. Bagian ini mencoba menjelaskan kedua kinerja itu secara umum.
Dengan adanya pemahaman tentang kedua kinerja tersebut, akan memban-tu mahasiswa dalam mampelajari materi berikutnya. Pada gilirannya nanti akan akan terdapat pemahaman yang lebih terorganisasi dan komprensif tentang meteri mata kuliah ini.
Secara lebih khusus tujuannya ialah bahwa setelah mempelajari bagian ini mahasiswa dapat memahami :
1. Apa yang dimaksud dengan belajar pada umumnya, terutama menyangkut bata-san, ciri-ciri, unsur-unsur dan kapan dimulai.
2. Apa yang dimaksud dengan pembelajaran secara umum. Terutama menyangkut latar belakang dan pengertiannya.
B. Hakekat Belajar
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih mendorong, maka berikut ini akan di-bahas beberapa batasan, ciri-ciri, unsur-unsur, dan kapan seorang mulai belajar.
Batasan tentang belajar.
Rumusan tentang apa yang dimaksud dengan belajar cukup bervariasi. Perbe-daan tersebut tentu saja diwarnai atas perbedaan pandangan dan tekanan mas-ing-masing.
1) W. H. Buston memandang belajar sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu dan individu dengan lingkungannya.
Buston berpendapat bahwa unsur utama dalam belajar adalah terjadinya perubahan pada seseorang. Perubahan tersebut menyangkut aspek kepri-badian yang tercermin dari perubahan yang bersangkutan, yang tentu juga bersamaan dengan interaksinya dengan lingkungan dimana dia berada.
2) J. Neweg melihat dari dimensi yang dapat berbeda. Dia menganggap bahwa belajar adalah suatu proses dimana prilaku seseorang menga-lami perubahan sebagai akibat pengalaman unsur.
Paling tidak ada tiga unsur yang terkadang pemberian Neweg. Pertama dia melihat belajar itu sebagai suatu proses yang terajadi dalam diri seseo-rang.sebagai suatu proses berarti ada tahap-tahap yang dilalui seseorang. Unsur kedua ialah pengalaman. Belajar itu baru akan terjadi kalau proses seperti yang disebutkan terdahulu dialami sendiri oleh yang bersangkutan. Belajar itu pada dasarnya mengalami, learning by experiensi. Unsur ketiga ialah perubahan prilaku. Muara dari proses yang dialami seseorang itu ialah terjadinya perubahan prilaku pada yang bersangkutan.
Skiner berpendapat agak lain, dia berpandangan bahwa belajar adalah suatu prilaku. Pada seseorang yang belajar maka responnya akan menjadi lebih baik. Sebaliknya bila tidak belajar, responya menjadi menurun. Dalam hal ini dia menemukan :
1) Adanya kesempatan peristiwa yang menimbulkan respon si pembelajar.
2) Respon si pembelajar.
3) Konsekwensi yang bersifat menguatkan respon tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa Skiner menekankan belajar pada penguasaan ke-terampilan oleh seseorang melalui latihan.
b. Lain lagi pendapat Sogne, dia berpendapat bahwa belajar adalah proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi lingkungan, melewati pengolahan informasi men-jadi kopabilitas baru, berupa keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai.
Dia melihat, bahwa timbulnya kopibilitas baru itu sebagai hasil dari :
a. Stimulasi yang berasal dari lingkungan.
b. Proses kognitif yang dilakukan oleh individu.
Ada beberapa proses pikiran yang patut di kemukakan sehubungan den-gan pandangan Sagne ini, yaitu:
Pertama: Belajar itu menyangkut aktifitas individu berupa pengolahan in-formasi yaitu stimulasi dari lingkungan.
Kedua : Pengolahan stimulasi tersebut menghasilkan kopabilitas yang baru berupa keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai.
Sebenarnya masih banyak para ahli yang mecoba mejelaskan apa yang dimaksud dengan belajar menurut pandangannya. Namun untuk kepentin-gan pembahasan kita, rasanya cukup 4 pandangan itu yang dikemukakan.
Dari batasan-batasan yang dikemukakan di atas, dapat dikemukakan bah-wa paling tidak ada 2 unsur penting yang terkandung dalam konsep belajar yaitu : mengalami dan perubahan.
1. Mengalami.
Belajar adalah suatu atau serangkaian aktifitas yang dialami seseorang melalaui interaksinya dengan lingkungan.
Interaksi tersebut mungkin berawal dari faktor yang berasal dalam atau dari luar diri sendiri. Dengan terjadinya interaksi dengan lingkungan, akan menyebabkan munculnya proses penghayatan dalam diri individu tersebut, akan memungkinkan terjadinya perubahan pada yang ber-sangkutan.unsur mengalami ini perlu mendapatkan perhatian yang be-sar, karena dia merupakan salah satu prinsip utama dalam proses belajar dan pembelajaran, paling tidak menurut pandangan para ahli modern.
2. Perubahan dalam diri seseorang.
Proses yang dialami seseorang baru dikatakan mempunyai makna be-lajar, akan menghasilkan perubahan dalam diri yang bersangkutan, esensi dari perubahan ialah adanya yang baru. Dia mungkin bahagia dapat menyelesaikan diri dengan lebih baik, dapat menjaga kesehatan dengan lebih baik, atau dapat menulis dan berbicara dengan efectif. Perlu dicatat perubahan yang dimaksud harus bersifat normatif. Peru-bahan dalam belajar harus mengarah kepada dan sesuai dengan norma-norma atau nilai-nilai yang berhubungan dianut oleh masyarakat.
Dari unsur diatas dapat disimpulkan bahwa belajar secara umum diru-muskan sebagai :
Perubahan dalam diri seseorang yang dapat dinyatakan dengan adanya penguasaan pola sambutan yang baru, berupa pemahaman, keterampilan dan sikap sebagai hasil proses hasil pengalaman yang dialami.
c. Ciri-ciri dari belajar.
Berdasarkan rumusan diatas dapat dikatakan bahwa belajar itu diartikan dalam arti yang luas, meliputi keseluruhan proses perubahan pada individu. Perubahan itu meliputi keseluruhan topik kepribadian, intelek maupun sikap, baik yang tampak maupun yang tidak. Oleh karena itu tidaklah tepat kalau belajar itu diartikan sebagai “ungkapan atau membaca pelajaran” maupun menyimpulkan pengetahuan atau informasi. Selain dari itu, belajar juga tidak dapat diartikan sebagai terjadinya perubahan dalam diri in-dividu sebagai akibat dari kematangan, pertumbuhan atau insting. Untuk mendapatkan pengalaman yang lebih lengkap tentang pengertian belajar tersebut, maka berikut ini dikemukakan beberapa ciri-ciri penting dari konsep tersebut :
1. Perubahan yang bersifat fungsional.
Perubahan yang terjadi pada ospek kepribadian seseorang mempu-nyai dampak terhadap perubahan selanjutnya. Karena belajar anak dapat membaca, karena membaca pengetahuannya bertambah, ka-rena pengetahuannya bertambah akan mempengaruhi sikap dan prilakunya.
2. Belajar adalah perbuatan yang sudah mungkin sewaktu terjadinya prioritas.
Yang bersangkutan tidak begitu menyadarinya namun demikian paling tidak dia menyadari setelah peristiwa itu berlangsung. Dia menjadi sadar apa yang dialaminya dan apa dampaknya. Kalau orang tua sudah dua kali kehilangan tongkat, maka itu berarti dia tidak belajar dari pengalaman yang terdahulu.
3. Belajar terjadi melalui pengalaman yang bersifat individual.
Belajar hanya terjadi apabila dialami sendiri oleh yang bersangku-tan, dan tidak dapat digantikan oleh orang lain. Cara memahami dan menerapkan bersifat individualistik, yang pada gilirannya juga akan menimbulkan hasil yang bsersifat pribadi.
4. Perubahan yang terjadi bersifat menyeluruh dan terintegrasi.
Yang berubah bukan bagian-bagian dari diri seseorang, namun yang berubah adalah kepribadiannya.kepandaian menulis bukan di-lokalisir tempat saja. Tetapi di menyangkut ospek kepribadian lainnya, dan pengaruhnya akan terdapat pada perubahan prilaku yang bersangkutan.
5. Belajar adalah proses interaksi.
Belajar bukanlah proses penyerapan yang berlangsung yang ber-langsung tanpa usaha yang aktif dari yang bersangkutan. Apa yang diajarkan guru belum tentu menyebabkan terjadinya perubahan, apabila yang belajar tidak melibatkan diri dalam situasi tersebut. Perubahan akan terjadi kalau yang bersangkutan memberikan reaksi terhadap situasi yang dihadapi.
6. Perubahan berlangsung dari yang sederhana ke arah yang lebih kompleks.
Seorang anak baru akan dapat melakukan operasi bilangan kalau yang bersangkutan sedang menguasai simbol-simbol yang berkaitan dengan operasi tersebut.
d. Unsur-unsur dalam belajar.
Prilaku belajar merupakan prilaku yang konplek, karena banyak unsur yang terlibat didalamnya, diantaranya :
1. Tujuan.
Dasar dari aktifitas belajar ialah untuk memenuhi kebutuhan yang dira-sakan oleh yang bersangkutan. oleh karena itu prilaku belajar mempu-nyai tujuan untuk memecahkan persoalan yang dihadapi dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Seorang anak yang merasa lapar akan belajar bagai mana caranya untuk mendapatkan makanan.
2. Pola respon dan kemampuan yang dimiliki.
Setiap individu memiliki pola respon yang dapat digunakan saat meng-hadapi situasi belajar, dia mempunyai cara merespon tersendiri dan hal itu berkaitan erat dengan kesiapannya.
Kurangnya kesiapan yang bersangkutan menghadapi situasi yang diha-dapi dapat menyebabkannya gagal dalam mencapai tujuan.
3. Situasi belajar.
Situasi yang dihadapi mengandung berbagai alternatif yang dapat dipi-lih. Alternatif yang dipilih dapat memberikan kepuasan atau tidak. ka-dang-kadang situasi mengandung ancaman atau tantangan bagi indivi-du dalam rangka mencapai tujuan.
4. Penafsiran terhadap situasi.
Dalam menghadapi situasi, individu harus menentukan tindakan , mana yang akan diambil, mana yang harus dihindari dan mana yang paling aman. Mana yang akan diambil tentu saja didasarkan pada penafsiran yagn bersangkutan terhadap situasi yang dihadapi. Andaikan dia salah dalam penafsiran situasi yang dihadapi, dia akan gagal mencapai tujuan yang ingin dicapainya.
5. Reaksi atau respon.
Setelah pilihan dinyatakan, maka yang dapat dilakukan seseorang da-lam memenuhi kebutuhannya yaitu :
a. Situasi dihadapi secara instinktif.
Yang dimaksud dengan instinktif cara-cara bertindak atau kepan-daian yang dimiliki seseorang yang diperoleh dari kredity (wau-san). Prilaku yang demikian tidak diperoleh melalui usaha belajar atau pengalaman dan oleh karena itu tidak mengalami perubahan seperti halnya makhluk lain, mausia juga telah dilengkapi dengan berbagai instink yang untuk hal-hal tertentu sudah dapat memban-tu yang bersangkutan dalam memenuhi kebutuhannya. Andaikan suatu ketika benda kecil masuk kedalam mata anda, maka secara instinktif akan keluar air mata, atau kalau suatu benda masuk ke-dalam hidung, maka anda akan bersin. Keluarnya air mata dan bersin merupakan mekanisme pertahanan diri yang diperoleh seca-ra instink untuk memecahkan masalah adanya benda kecil dalam mata dan hidung.
b. Situasi dihadapi secara kapitual.
Adakalanya tindakan instinktif tidak mangkus, sehingga persoalan tidak terpecahkan. Dalam keadaan yang demikian maka muncul mekanisme yang kedua, yaitu situasi dihadapi dengan prilaku ke-biasaan. Sifat kebiasaan ialah seragam dan berlangsung secara otomatis. karena sifatnya yang seragam dan berlangsung secara otomatis, jadi tidak terjadi perubahan, maka pada tahap ini prilaku yang bersangkutan tidak merupakan aktifitas belajar, namun de-mikian tidak disangkal proses terbentuknya kebiasaan pada awal-nya memang melalui proses belajar.
Kembali kepada contoh masuknya benda kecil kedalam mata. Se-benarnya air mata yang keluar secara instinktif tidak berhasil mengeluarkan benda tersebut, maka mungkin anda akan menggo-sok-gosoknya. Tindakan menggosok-gosok tersebut anda lakukan karena cara yang demikian pernah dicoba dan ternyata mangkus. Karenanya sekarang anda ingin mengulang kembali cara tersebut.
c. Situasi dihadapi secara rasional.
Andaikata dengan cara menggosok-gosok tersebut benda kecil itu dapat keluar, maka anda merasa puas, persoalan terpecahkan. Na-mun sering terjadi bahwa cara yang sudah terbiasa tersebut tidak dapat memecahkan persoalan. Kalau demikian yang terjadi maka muncul mekanisme yang ketiga. Situasi akan dihadapi secara ra-sional dalam keadaan yang seperti itu perlu dicari cara pemecahan yang baru. Untuk itu yang bersangkutan perlu lebih memahami si-tuasi yang dihadapi. Kemudian alternatif lain akan perlu diinven-tarisis. Sebagai alternatif perlu dikaji kelebihan dan kekurangan-nya. Kemudian dari alternatif yang ada dipilih mana yang lebih efektif dan efisien, yagn untuk selanjutnya diimplementasikan. Pada tahap inilah prilaku belajar mulai terjadi.
d. Situasi dihadapi secara emosional.
Dapat terjadi bahwa cara-cara yang telah dikemukakan diatas ti-dak mangkus dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Dalam keadaan yang demikian maka situasi akan dihadapi secara emo-sional.
Apakah prilaku emosional diperoleh melalui usaha belajar? Ya. Sesungguhnya kita perlu belajar untuk mencintai seseorang dan menumbuh kembangkannya. Kita perlu belajar bagaimana caranya untuk menyenangi seseorang dan untuk mendapatkan belas kasi-han dari orang lain.
Dari penjelasan diatas, maka dapat diambil suatu kesimpulan yang umum apabila, cara-cara bertindak yang sudah dimiliki tidak lagi memuaskan yang bersangkutan dalam memenuhi kebutuhan, maka yang bersangkutan mulai belajar.
C. Hakekat Pembelajaran
Salah satu perubahan yang cukup mendasar dalam dunia pendidikan pada dasa warsa terakir ini ialah dalam fungsi guru. Perubahan yang dimaksud ialah guru sebagai pengajar menjadi sebagai pembelajar. Perubahan tersebut telah menimbulkan inplikasi dan implementasi yang cukup besar dalam dunia pen-didikan. Oleh karena itu semua calon guru – tentu juga guru – sangat diha-rapkan untuk dapat memahami dan mengikuti perubahan tersebut. Untuk da-pat memahami konsep pembelajaran itu dengan baik, maka pada bagian ini akan dibahas, latar belakang pengertian dan ciri-cirinya.
a. Latar belakang.
Terjadinya perubahan fungsi guru seperti telah dikemukakan diatas, ber-kaitan erat dengan munculnya perubahan pandangan para ahli. Perubahan pandangan yang dimaksud terutama dalam hal :
1. Pandangan terhadap manusia.
Pandangan orang terhadap manusia berkaitan erat dengan aliran psi-kologi yang berkembang. Dalam sejarah perkembangannya psikologi banyak dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan alam, yang menghasilkan aliran behaviorisme.
Seperti halnya ilmu pengetahuan, mereka memandang manusia se-perti makhluk alam lainnya. Prilaku manusia dikendalikan oleh pe-rubahan-perubahan yang terjadi diluar dirinya. Prilaku manusia dije-laskan dengan teori Stimulus (S) – Respon (R) kalau ada rangsangan (S) yang mempengaruhinya. Tanpa ada rangsangan mustahil ada respon. Oleh karena itu antara stimutus dan respon terdapat hubungan yang kuat (stimulus – respon boud).
Implikasi pandangan tersebut terdapat hubungan guru dengan murid diperbinakan. Dalam hubungan tersebut guru-lah yang lebih domi-nan, lebih aktif. Dipihak lain murid lebih bersifat pasif dan meneri-ma. Munculah istilah yang dikenal dengan “guru mencerek murid mencawan”. Tugas murid disekolah dapat digambarkan dengan D3 yaitu duduk, dengar, dan diam.
Kelemahan pandangan tersebut mudah dilihat, memang diakui bah-wa manusia terdiri dari unsur pisik. Oleh karena itu tidak dapat dis-angkal bahwa, adakalanya prilakunya ditentukan oleh faktor-faktor diluar dirinya. Namun demikian unsur pisik bukan satu-satunya unsur dari makluk yang dinamakan manusia. Dia juga terdiri dari unsur lain, yaitu kemauan, perasaan, dan pikiran. Bahkan unsur-unsur itulah yang lebih lebih berperan dalam kehidupannya. Prilaku manusia lebih banyak ditentukan oleh pikiran, perasaan, kemauan, dan kesa-darannya, hal ini yang dimungkin oleh aliran behavionisme. Cara pandang yang demikian di dalam psikologi dikenal dengan aliran humanisme. Amplikasi cara pandang yang demikian terhadap hubn-gan guru murid mudah diperkirakan. Faktor murid merupakan hal yang paling dominan. Mereka harus dipandang sebagai objek yang harus dihargai, baik dari segi perasaan, pikiran dan kemauan. Hasil bekerja akan lebih banyak ditentukan oleh bagai mana perlakuan guru terhadap unsur-unsur tersebut. Tugas guru bukan lagi sebagai pengajar, namun sebagai pembelajar.
2. Pandangan terhadap tujuan pendidikan.
Salah dampak dari perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat pada dasa warsa terakhir ini ialah ter-jadinya akselerasi perubahan dalam masyarakat.
Dalam masyarakat agroris dan tradisional perubahan-perubahan ber-langsung secara perlahan-lahan, dan dalam rintang waktu puluhan ta-hun. Apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang dapat dianti-sipasi obsernasi yang sangat tinggi. Karena itu kemampuan dan kete-rampilan apa yang akan diperlukan dan karenanya perlu dimiliki oleh anak sudah dapat ditentukan. Oleh karena itu tujuan pendidikan pada masyarakat tersebut ialah membentuk manusia yang siap pakai.
Dalam masyarakat industri yang terjadi malah sebaliknya. Perubahan berlangsung dengan sangat cepat. Dia berlangsung tidak dalam ren-tangan puluhan tahun malah dalam hitungan bulan, bahkan harian. Apa yang akan terjadi dan bagaimana wujud masyarakat yang akan datang sangat sukar untuk diprediksi, kecuali terjadinya perubahan makin cepat. Akibatnya ialah bahwa adalah sangat sukar bagi kita un-tuk menentukan kemampuan dan keterampilan yang bagai mana yang kan diperlukan dan dimiliki oleh anak.
Menghadapi situasi yang demikian, kebijaksanaan mendidik anak menjadi siap pakai merupakan kebijaksanaan yang tidak dapat diper-tanggung jawabkan. Oleh karena itu perlu diambil kebijaksanaan lain yaitu mendidik anak menjadi manusia yang mandiri yaitu yang mam-pu menganalisis situasi yang dihadapi, mencari dan memiliki alternatif pemecahan secara mandiri.
3. Peranan guru.
Dampak lain dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat ialah munculnya eraglobalisasi dan informasi. Dunia dimana kita hidup sekarang ini, menjadi bertambah kecil. Jarak yang begitu jauh yang dulunya ditempuh dalam hitungan bulan sekarang malah dapat dijangkau dalam hitungan hari, bahkan jam. Dewasa ini orang dapat makan pagi di jakarta, makan siang di kairo, makan malam di london. Hal yang tidak dapat dibayangkan pada masa-masa yang la-lu. Salah satu akibatnya ialah bahwa batas-batas antara suatu bangsa dengan bangsa lainnya menjadi lebih kabur.
Era informasi ditandai dengan terjadinya ledakan informasi yang dahsyat dan dikomunikasikan secara cepat dan lancar keseluruh pen-juru angin. Hal yang dimungkinkan dengan adanya perkembangan teknologi media komunikasi, baik cetak maupun elektronik yang canggih. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di belahan dunia lain dapat kita ketahui hanya dalam jarak waktu bilangan jam. Apa yag seka-rang ini kita anggap benar dan baru besoknya dapat berubah menjadi salah dan outdate.
Salah satu implikasi dari era globalisasi dan informasi seperti dike-mukakan diatas ialah bahwa, adalah mustahil bagi seseorang untuk dapat mengikuti dan menguasai semua perkembangan informasi yang terjadi, namun demikian perkembangan informasi tersebut dapat dikemas dan disimpan dalam berbagai bentuk media yang nantinya dapat dipandang sebagai sumbu informasi. Ini berarti kalau dulunya gur dianggap sebagai satu-satunya sumbu informasi bagi murid, maka sekarang anggapan demikian tidak dapat dipertahankan lagi, sekarang ini guru hanya merupakan salah satu sumbu informasi, disamping sumbu lain yang sangat banyak jenis dan jumlahnya. De-wasa ini guru tidak dapat dipandang sebagai orang yang serba tahu, harus dianggap sebagai orang yang serba terbatas. Cara diatas telah menyebabkan terjadinya perubahan dalam peranan gur dari sebagai pengajar sebagai fasilitator.
b. Pengertian
Perubahan pandangan seperti yang telah dijelaskan diatas juga telah mempengaruhi kebijakan dan pelaksanaan hubungan antara guru dan mu-rid. Pada awalnya guru dipandang sebagai pengajar, yang berupaya untuk menyampaikan pengetahuan kepada murid. Istilah mengajar pada waktu itu sangat populer. Munculnya pandangan yang lebih menghargai anak se-bagai manusia (objektif) yang mempunyai perasaan, pikiran dan kemauan, maka prialku guru dipandang sebagai mempunyai nuansa mencekoki anak ddengan berbagai pengetahuan, suatu tindakan dari untuk guru. Padahal para ahli mulai menyadari bahwa sesungguhnya dalam pendidikan dan pengajaran semua usaha dilakukan untuk kepentingan anak bukan untuk guru.
Bersamaan dengan pemikiran diatas, maka istilah mengajar diubah menjadi proses belajar-mengajar, yang lebih menekankan adanya suatu proses intrabsi antara siswa dan guru dimana guru mengajar dan siswa be-lajar. Esensi dari konsep tersebut ialah bahwa siswa telah dihargai kebera-daannya.
Namun demikian lama kelamaan para ahli melihat dan merasakan bahwa istilah diatas mempunyai konotasi yang negatif. Guru cenderung untuk terperosok kepada penataan kegiatan balajar-mengajar secara terpi-sah. Satu pihak ada kegiatan guru dan dipihak lain ada kegiatan siswa. Hal ini menimbulkan kekhawatiran pada sebagain ahli jangan-jangan istilah tersebut pada gilirannya akan menghasilkan cara mengajar gaya lama.
Misi utama seorang guru ialah mendorong atau menyebabkan siswa belajar. Jadi mengajar sekarang diartikan sebagai upaya guru untuk mem-bangkitkan hasrat siswa untuk belajar. Membangkitkan berarti menyebab-kan seseorang bangkit. Istilah ini dianalogikan “membelajarkan”.
Berdasarkan uraian diatas, maka pembelajaran dapat diartikan sebagai:
Upaya pembimbingan terhadap siswa agar yang bersangkutan secara sadar dan terarah berkeinginan untuk belajar dan memproleh hasil be-lajar seoptimal mungkin sesuai dengan keadaan dan kemampuannya.
Dari rumusan diatas ada beberapa pokok pikiran yang perlu dikemukakan:
1. Tugas guru sekarang ini bukanlah mengajar dalam arti mencurahkan atau menyampaikan ilmu pengetahuan namun lebih ditekankan pada memberikan bimbingan, dorongan dan arah pada siswa. Masalah utama yang dihadapi guru ialah apa harus dilakukan agar siswa mau dan berkeinginan untuk bela-jar. Adanya kemauan dan keinginan saja bukanlah cukup, namun perlu dibina dan diarahkan agar kegiatan mereka tetap pada jalan yang benar, sehingga tujuan yang sudah ditetapkan dapat tercapai.
2. Dalam kontek mau dan berkeinginan untuk belajar, diartikan bahwa siswa harus terlibat secara aktif dalam proses perubahan tersebut. Dalam hal ini mereka mungkin mencari, mengamati, membaca, memcatat, merumukan dan mengambil kesimpulan sendiri, pengalaman yang sudah dirancang dengan baik oleh guru. Agar aktivitas mereka berlangsung secara efektif dan efisien, maka pengendalian dari guru sangat penting. Mereka selalu diarahkan, apa yang harus mereka lakukan, mengapa harus dilakukan dan bagai mana mela-kukannya.
3. Sekiranya dengan bimbingan guru kemauan dan keinginan siswa untuk bela-jar sudah tumbuh dan berkembang, maka peluang untuk berhasil dengan baik sudah terbuka lebar. Mereka akan belajar secara serius dan dengan me-manfaatkan fasilitas yang ada sebaik-baik mungkin, dan yang lebih penting lagi ialah bahwa mereka akan menggunakan setiap kesempatan untuk belajar seoptimal mungkin. Kalau situasi yang demikian sudah tumbuh dalam diri siswa, maka hasil belajar yang optimal akan mudah dicapainya. Hasil optimal yang dimaksud disini tentu saja dalam batas-batas keadaan dan kemampuan yang dimilikinya.
Tugas dan latihan.
Mahasiswa diminta untuk mencari dan membuat laporan tertulis tentang bata-san dan pengertian belajar dan penbelajaran menurut beberapa ahli selain yang sudah dikemukakan diatas.
Rangkuman.
Tugas utama seorang guru sekarang ini tidak lagi ditekankan untuk mengajar, tetapi untuk membelajarkan. Yang dimaksud dengan membelajarkan ialah memberi-kan dorongan, bimbingan pada siswa agar mereka secara sadar dan terarah berkeingi-nan untuk belajar, untuk mendapatkan hasil seoptimal mungkin sesuai dengan kea-daan dan kemampuannya masing-masing.
Belajar tidak lagi ditekankan pada penguasaan ilmu pengetahuan, namun diar-tikan sebagai perubahan dalam diri seseorang, berupa adanya pola sambutan yang baru yang dapat dilihat pada perubahan kognitif, afektif, psikomotor.
Daftar Pustaka.
Diningrat dan Mudjiono (1994) Belajar Dan Pembelajaran , Jakarta : P2LPTK.
Witherington, H. Caul (1952) Educational Psychology New York Srina and Compe-ny
BAB III
TUJUAN BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
A. Pendahuluan
Belajar dan Pembelajaran adalah peristiwa yang bertujuan, artinya belajar dan pembelajaran adalah peristiwa yang terikat oleh tujuan, terarah pada tujuan dan dilak-sanakan khusus mencapai tujuan itu. Apabila yang dituju atau yang akan dicapai ialah titik C, maka dengan sendirinya proses belajar dan pembelajaran belum dapat diang-gap selesai apabila yang dicapai didalam kenyataan barulah titik A atau B. Dengan kata lain, taraf pencapaian tujuan belajar dan pembelajaran merupakan petunjuk prak-tis tentang sejauh manakahh interaksi educatif itu harus di bawa untuk mencapai tu-juan yang terakhir. Hal ini berlaku umum baik dalam situasi pendidikan keluarga maupun dalam situasi pendidikan kelompokk-kelompok social lainnya dalam organi-sasi dan sekolah.
Dalam masyarakat yang modern, setiap cabang pendidikan mempunyai pe-doman umum tentang tujuan akhir yang akan dicapai. Bahkan sifat pedoman itu bu-kan saja bersifat filosofis (bersifat hidup) tetapi juga bersifat politik (politik pemban-gunan). Menurut lazimnya, tujuan itu ditetapkan sebagai peraturan atau perundang-undangan. Bagi kita di Indonesia, telah ditetapkan pula dasar, tujuan dari sistim pen-didikan Nasional secara umum yakni Pendidikan Nasional Pancasila. Dari undang-undang serupa itu diperlukan ketentuan-ketentuan bagi tujuan lembaga-lembaga ter-tentu, misalnya tujuan Lembaga Perguruan Tinggi, Tujuan Pendidikan disekolah Da-sar, Maksudnya tidak lain ialah memberikan gambaran umum tentang kualitas manu-sia yang di cita-citakan terbentuk sebagai pengalaman educatif dalam lembaga-lembaga tersebut.
Tentu saja diperlukan satu cara bekerja yang lebih efesien agar tujuan yang sangat luas dan umum itu dapat mencapai bentuk yang nyata. Yang tidak kurang pen-tingnya ialah agar cara bekerja itu memberikan pula jaminan akan kewajaran penca-paian tujuan itu dari satu tingkat yang terendah ketingkat yang lebih tinggi.
Perkiraan mengenai cara tersebut menghasilkan suatu bentuk organisasi beserta pern-gaturannya yang secara umum di secara fundamental.
Tujuan yang sangat luas dan umum agar dapat diwujudkan menjadi tujuan yang nyata, maka menghendaki perumusan tujuan yang menurut hirarkhi tujuan itu adalah untuk mencapai tujuan pendidikan nasional perlu dijabarkan tujuan institusional (tujuan lembaga) dan tujuan kurikulum. Selanjutnya tujuan kurikulum akan dijabarkan kedalam tujuan instraksional (tujuan mata pelajaran) yang pada akhirnya dioperasionalkan kedalam tujuan instruksional umum (TIU) dan tujuan instruksional khusus (TIK).
Namun demikian dalam berbagai tingkat diartikan bahwa ada tujuan yang perlu dicapai lebih dahulu sebelum tujuan lain akan dicapai, dan begitu seterusnya sampai dianggap bahwa tujuan akhir tercapai. Tujuan itu perlu dirumuskan dalam sejumlah tujuan intermedier yang sifatnya khusus, serta dipusatkan pada perubahan pendewasaan anak secara realistic.
Pada perubahan berikutnya akan dijelaskan (a) Pengertian tujuan belajar dan pembelajaran (b) Perlunya tujuan belajar dan pembelajaran (e) Jenis-jenis tujuan belajar dan pembelajaran dan unsure dinamis dalam pembelajaran. Dengan memahami topik-topik ini diharapkan mahasiswa memahami konsep-konsep tentang tujuan belajar dan pembelajaran sehingga dapat merumuskan berbagai tujuan pembelajaran dari yang bersifat umum sampai pada keadaan nyata atau yang bersifat khusus pada mata pelajaran (Bidang Studi) yang ditemukan sehingga dapat dijadikan pengalaman dalam bentuk keterampilan pembelajaran, yang akan mereka pergunakan kalau mereka sudah menjadi pendidik di sekolah ataupun di luar sekolah.
B. Materi
Tujuan Belajar dan Pembelajaran
1. Pengertian tujuan Belajar dan Pembelajaran
Belajar merupakan peristiwa yang sepantasnya dialami oleh anak dalam situasi-situasi tertentu baik di sekolah maupun di luar sekolah (masyarakat). Belajar merupakan hal yang kompleks.
Kompleks belajar itu dipandang dari dua subjek yaitu dari siswa dan guru. Dari segi siswa, belajar dialami sebagai suatu proses siswa mengalami proses mental dalam menghadapi bahan belajar, Bahan belajar tersebut berupa keadaan alam, hewan, tumbuhan, manusia dan bahan yang telah terhimpun dalam buku-buku pelajaran. Dari segi guru, proses belajar tampak sebagai prilaku belajar tentang suatu hal.
Belajar merupakan proses internal yang kompleks. Yang terlibat dalam proses internal tersebut adalah seluruh mental, yang meliputi ranah-ranah kognitif, afiktif dan psikomotorif. Proses belajar yang mengaktualisasi ranah-ranah tersebut tertuju pada bahan belajar tertentu. Sebagai ilustrasi, siswa kelas tiga SMP menggunakan ranah kognitif, tingkat aplikasi dalam memecahkan soal matematika. Hal itu terujud pada penggunaan rumus kuadrat. Pada saat lain, siswa tersebut menggunakan ranah afektif tingkat penilaian dalam apresiasi kesusastraan. Hal itu terujud pada membaca buku belenggu.
Dari segi guru, proses belajar tersebut dapat diawali secara tidak langsung. Artinya proses belajar yang merupakan proses internal siswa tidak dapat diamati, tetapi dapat dapat dipahami oleh guru. Proses belajar tersebut ”tampak” lewat perilaku siswa mempelajari bahan belajar. Perilaku belajar tersebut tampak pada tindakan-tindakan belajar tentang matematika, kesusastraan, olah raga, kesenian, agama dan lain-lain. Prilaku belajar tersebut merupakan respon siswa terhadap tindak mengajar atau tindak pembelajaran dari guru. Prilaku belajar tersebut ada hubungannya dengan desain instruksional guru. Dalam desain instruksional guru membuat sejumlah tujuan instruksional khusus, atau sasaran belajar. Timbul pertanyaan sebagai berikut :
(i) Apakah tujuan instruksional khusus, atau tujuan pembelajaran serupa dengan tujuan pembelajaran ?
(ii) Siapakah yang memiliki tujuan belajar ?
(iii) Kapankah seorang belajar boleh memiliki tujuan belajar sendiri ?
Pola hubungan tujuan pembelajaran, prose belajar, prilaku belajar, dalam rangka eman sipasi diri siswa dilukiskan dalam bagan berikut ini :
Bagan 1 : Pola hubungan pembelajaran dalam rangka emansipasi dari siswa menuju kemandirian (Adaptasi : Flaishman & Quantance, 1984 : 173 ; Billgreidler, 1991 ; Winkel, 1991. Manks, Knocrs, Siti Rahayu; 1989 )
Bagan 1. Melukiskan pola hubungan tujuan pembelajaran, proses belajar dan hal ikhwal yang terjadi pada siswa dalam rangka kemandirian. Secara umum hal-hal tersebut terjadi sebagai berikut :
(1) Guru yang membuat disain instruksional memandang siswa sebagai partneryang memiliki azas emamsipasi diri menuju kemandirian guru menyusun acara pembelajaran.
(2) Siswa memiliki latar pengalaman dan kemampuan awal dalam proses pembelajara.
(3) Tujuan pembelajaran dalam disain instruksional dirumuskan oleh guru berdasarkan pertimbangan-pertibangan tertentu. Tujuan pembelajaran tersebut merupakan sasaran belajar bagi siswa menurut pandangan dan rumusan guru.
(4) Kegiatan belajar-mengajar merupakan tidak pembelajaran guru dikelas. Tindak pembeklajaran tersebut menggunakan bahan belajar. Wujud bahan belajar tersebut berbagai bidang studi disekolah .
(5) Proses belajar merupakan hal yang dialami siswa, suatu respon terhadap segala acara pembelajaran yang diprogramkan oleh guru. Dalam proses belajar tersebut, guru meningkatkan kemampuan-kemampuan kognitif, afektif dan psikomotoriknya.
(6) Prilaku siswa merupakan hasil proses belajar. Prilaku tersebut dapat berupa prilaku yang dikehendaki atau yang tidak dikehendaki. Hanya prilaku-prilaku yang dikehendaki yang diperkuat. Penguatan prilaku yang dikehendaki tersebut dilakukan dengan pengulangan, latihan drill atau aplikasi.
(7) Hasil belajar merupakan suatu puncak proses belajar. Evaluasi itu terjadi terutama berkat evaluasi yang dilakukan oleh guru. Hasil belajar dapat berupa dampak pengajaran dan dampak pengiring. Kedua dampak tersebut bermanfaat bagi siswa dan guru.
(8) Setelah siswa lulus, berkat hasil belajar, siswa menyusun program belajar sendiri. Dalam menyusun program belajar sendiri tersebut sedikit banyak siswa berlaku secara mandiri.
2. Perlunya Tujuan Belajar dan Pembelajaran
Tujuan merupakan satu diantara hal pokok yang harus diketahui dan disadari betul-betul oleh seorang guru sebelum mulai mengajar. Guru tersebut harus dapat memberikan penafsiran yang tepat mengenai jenis dan fungsi tujuan yang akan dicapainya secara kongkrit. Pada proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru untuk suatu bidang studi maka si guru hendaknya merumuskan tujuan instruksionalnya yang mana tujuan ini masih bersifat umum. Secara kongkrit tujuan ini dapat dicapai dengan merumuskan tujuan instruksional umum yang kemudian dijabarkan dalam tujuan instruksional khusus. Dengan kata lain tujuan khusus itu bersumber dari tujuan umum dan juga berarti tujuan khusus itu adalah bagian dari tujuan umum.
Jadi untuk keperluan yang praktis, tujuan umum itu perlu diurai didalam satu susunan atau sistematika tujuan, sehingga mudah bagi mendekati realisasi tujuan umum secara bertingkat atau bertahap ataupun kadang-kadang secara serempak. Dilihat dari sudut ini maka tujuan itu dapat dicapai dalam tahap-tahap kekhususan. Kalau tujuan umum itu hakikatnya adalah tujuan akhir suatu usaha belajar, tujuan-tujuan lainnya yang mengarah pada perujudan tujuan akhir itu dapat disebut tujuan khusus/ intermedier, ini terletak didalam kenyataan bahwa apabila tujuan khusus itu telah tercapai, maka tujuan itu menjadi alat untuk mencapai tujuan khusus lainnya, dan begitu seterusnya. Tujuan khusus itu tidak pernah menjadi tujuan yang terakhir. Dengan demikian kalau tujuan umum dipandang sebagai titik kulminasi maka tujuan khusus adalah titik terminal.
Yang dibutuhkan oleh guru secara praktis ialah perperincian tujuan umum sampai pada suatu taraf yang sedemnikian rupa sehingga yang diperlukan itu haruslah sedemikian rupa sehingga mencapai taraf yang dapat diukur dan dinilai. Jadi taraf kekhususan itu harus memungkinkan seseorang guru mengukur taraf pencapaian tujuan serta menilai setiap fase perubahan, (kematangan) tingkah laku yang diharapkan terjadi. Dengan demikian guru dapat lebih mudah menetapkan bentuk tingkah laku yang khusus akan diukurnya sesuai dengan tujuan yang khusus itui pula. Karena itu menjadi kewajiban guru untuk dengan sungguh-sungguh mengadakan analisa dan pengelompokan berdasarkan kategori mengenai susunan atau taraf tujuan-tujuan khusus. Pengelompokan berdasarkan analisa serupa ini taxsomi. Hasil-hasil pemikirannya kerap kali dirumuskan dalam disain instruksional (persiapan pengajaran).
3. Jenis-Jenis Tujuan Belajar dan Pembelajaran
Kegiatan belajar dan pembelajaran adalah suatu proses yang bertujuan dimana antara siswa dan guru sama-sama mengupayakan agar kegiatan pembelajaran memperoleh hasil belajar yang maksimal. Dengan demikian tujuan pembelajaran itu terdiri dari tujuan instruksional (tujuan mata-mata pelajaran), tujuan instruksional umum (tujuan umum) dan tujuan instruksional khusus (sasaran belajar). Ketiga jenis tujuan itu mempunyai hirarkhi yang jelas dimana tujuan instruksi awal dijabarkan melalui tujuan instruksional umum kemudian masing-masingnya dijabarkan pula menjadi sejumlah tujuan instruksi awal khusus.
Dari segi siswa sasaran belajar (TIK) merupakan panduan belajar. Sasaran belajar tersebut diketahui oleh siswa sebagai akibat adanya informasi guru. Panduan belajar tersebut harus diikuti, sebab mengisyaratkan criteria keberhasilan belajar. Keberhasilan belajar siswa merupakan prasyarat bagi program belajar selanjutnya. Keberhasilan belajar siswa berarti “tercapainya” tujuan belajar siswa, dengan demikian tercapainya tujuan instruksional, dan sekaligus tujuan belajar “perantara” bagi siswa. Dengan keberhasilan belajar, maka siswa akan menyusun program belajar dantujuan belajar. Bagi siswa hal itu berani melakukan emansipasi dalam rangka mewujudkan kemandirian.
Siswa adalah subjek yang terlibat dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Dalam kegiatan tersebut siswa mengalami tindak mengajar, dan merespons dengan tindak belajar. Semula siswa belum memahami pentingnya belajar, namun berkat informasi tentang sasaran belajar maka mereka mengatakan apa dan arti bahan belajar baginya : Siswa mengalami suatu proses belajar. Dalam proses belajar tersebut siswa menggunakan kemampuan mentalnya untuk mempelajari bahan belajar. Kemampuan–kemampuan kognitif, afektif dan pikomotorik yang dibelajarkan dengan bahan belajar menjadi semakin rinci dan mengerti. Adanya informasi tentang sasaran belajar, adanya penguatan-penguatan, adanya evaluasi dan keberhasilan belajar menyebabkan siswa semakin sadar akan kemampuan dirinya. Hal ini memperkuat keinginan untuk semakin mandiri.
Dari segi guru, guru memberikan informasi tentangsasaran belajar. Bagi siswa sasaran belajar tersebut merupakan tujuan belajarnya “sementara”. Dengan belajar maka kemampuan meningkat. Meningkatnya kemampuan mendorong siswa untuk mencapai tujuan belajar yang baru. Bila semula siswa menerima tujuan belajar dari guru maka makin lama siswa membuat tujuan belajar sendiri. Dengan demikian makin lama siswa akan membuat program belajarnya sendiri.
Dengan kegiatan interaksi belajar mengajar, guru membelajarkan siswa dengan harapan siswa belajar. Dengan belajar maka kemampuan siswa meningkat. Ranah kognitif, afektif dan psikomotorik siswa semakin berfungsi. Karenanya sebagai guru hendaknya mampu merumuskan sasaran belajar yang dapat menjaring ketiga ranah tersebut sehingga kompetensi yang diharapkan pada siswa cukup luas. Untuk merumuskan tujuan belajar, si guru hendaknya memperhatikan beberapa hal yang harus dijadikan pedoman untuk perumusan operasional yang baik yaitu:
1) Berpusat pada perubahan tingkah laku siswa
2) Mengkhususkan dalam bentuk-bentuk yang terbatas
3) Realistis bagi kebutuhan perkembangan siswa.
Seringkali ditemukan tujuan khusus yang memang belum atau tidak cukup khusus perumusannya. Dalam hal ini maka guru akan menjalani kesulitan didalam menentukan patoak-patokan yang dapat dipakai sebagai “ pegangan atau acuan” bila sampai masanya dia harus mengadakan evaluasi. Kesulitan yang dihadapi oleh guru bila perumusan itu tidak dipusatkan pada perubahan tingkah laku siswa ialah bahwa perumusan itu terpusat pada dua kemungkinan yang lain : terpusat pada materi yang diajarkan atau terpusat pada guru yang mengajar. Tidak satupun dari kedua kemungkinan yang terakhir ini menolong guru untuk menarik kesimpulan tentang siswanya, pada hal siswa ah yang menjadi factor utama dalam hal ini. Walaupun dua syarat telah terpenuhi secara teknis (khusus dan berpusat opada siswa) tepapi bila yang ketiga diabaikan, maka segala aktivitas pengajaran akan sia-sia karena pencapaian tujuan tersebut tidak menjamin satu fase yang secara fungsional mempersiapkan guru dan siswa untuk mencapai fase lain yang lebih tinggi kedudukannya didalam sistim pentarafan tujuan umum.
Yang lazim diperbuat oleh guru-guru yang belum menyadari pentingnya perumusan tujuan dalam pembelajaran ialah :
1) Merumuskan tujuan terlalu umum
2) 2) Merumuskan tujuan dari sudut guru
3) Merumuskan tujuan dari sudut bahan pelajaran
4) Tidak merumuskan tujuan sama sekali
Bila tujuan dirumuskan dalam istilah-istilah yang umum dan luas, sulit bagi guru untuk mengadakan evaluasi mengenai hasil pelajaran. Begitu pula apabila tujuan ditinjau hanya dari sudut guru atau dari mata (bahan) pelajaran. Apabila yang akan dinilai perubahan tingkah laku siswa, jelas bahwa patokan-patokan pemnilaian akan menjadi sangat kabur.
Jadi dapat dikatakan bahwa tujuan yang secara umum yang dihadapi oleh seorang guru harus diperincididalam praktek untuk memberi isi dan makna yang nyata. Agar guru itu dapat memerincinya dengan baik, cara yang sepatutnya ditempuh oleh guru ialah :
1) Memerinci tujuan umum secara khusus
2) Memusatkan kekhususan itu pada diri anak didik, dan
3) Menetapkan kewajaran tujuan khusus itu ditinjau dari kebutuhan riil dari anak didik.
Didalam praktek kelak akan nyata bagaimana besar manfaatnya untuk mempergunakan pedoman tersebut.
Tujuan belajar itu penting bagi guru dan siswa sendiri. Tujuan tersebut berfaedah bagi guru untuk membelajarkan Siswa. Dalam hal ini ada kesejajaran pada tujuan belajar (seseorang belajar) dengan tujuan belajar siswa. Kesejajaran tersebut dapatdilukiskan dalam bagan 1.2 berikut:
Acara Pembelajaran
Sasaran belajar – Pokok bahasan – Evaluasi
Sesuai denganprogram pendidikan
Sasaran Sasaran Sasaran Sasaran
Belajar Belajar Belajar Belajar
01 02 03 04
Kemampuan Kemampuan Kemampuan Kemampuan
Meningkat meningkat meningkat meningkat
01 02 03 04
Pencapaian Tujuan-Tujuan Belajar
Untuk Mencapai Kemandirian
Kegiatan Belajar
Bagan 1.2 Kesejajaran sasaran belajar dan tujuan belajar siswa dalam kegiatan belajar menuju kemandirian (adaptasi: Briggs & J elfer, 1987 Monks Knours & Siti Rahayu 1989, Winkel 1991)
Bagan ini melukiskan kesejajaran tindakan guru mencapai sasaran belajar dan tindakan siswa yang belajar untuk mencapai tujuan belajar sampai lulus dan mencapai tingkat kemandirian.
1) Guru menyusun acara pembelajaran dan berusaha mencapai sasaran belajar, suatu perilaku yang dapat dilakukan oleh siswa.
2) Siswa melakukan tindakan belajar yang meningkatkan kemampuan-kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Akibat belajar itu siswa mencapai tujuan berlajar tertentu. Dengan makin meningkatnya kemampuan maka secara keseluruhan siswa dapat mencapai tingkat kemandirian.
6. Unsur-unsur Dinamis dalam Pembelajaran
Dari bagan 1.2 dan 1.3 dapat diketahui bahwa belajar merupakan proses internal siswa dan pembelajaran merupakan kondisi eksternal belajar. Dari segi siswa belajar merupakan peningkatan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik menjadi lebih baik. Timbul pertanyaan “Bagaimana cara siswa meningkatkan kemampuan dirinya tersebut ?”. Dari segi guru belajar merupakan akibat tindakan pembelajaran. Timbul pertanyaan “Bagaimana cara guru meningkatkan acara pembelajaran sehingga siswa belajar secara berhasil ?”.
1) Dinamika siswa dalam belajar
Bloom dan kawan-kawan tergolong pelopor yang mengkategorikan je-nis perilaku hasil belajar. Kebaikannya terletak pada rincinya jenis perilaku yang terkait dengan kemampuan internal dan kata-kata kerja operasional. Jenis perilaku tersebut dipandang bersifat hirarkhis. Walaupun ada ktirik-kritik ten-tang taxsonami Bloom, kerja taxsonami Bloom masih dapat dipakai untuk mempelopori prilaku dan kemampuan internal akibat belajar.
Ada 6 jenis perilku dari rarah kognitif adalah sebagai berikut :
(i) Pengetahuan, mencakup kemampuan irgatas tentang hal yang telah dipelajari dan tersimpan dalam irgatas. Pengetahuan itu berkenaan dengan fakta, peristiwa, pengertian, kaedah, teori, prinsip atau metode.
(ii) Pemahaman, mencakup kemampuan menangkap arti dan makna hal yang dipelajari.
(iii) Penerapan, mencakup kemampuan menerapkan metode dari kaedah untuk menghadapi masalah yang nyata dan baru. Misalnya menggunakan prinsip.
(iv) Analisis, mencakup kemampuan merinci suatu kesatuan dalam bagian-bagian sehingga struktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik. Misalnya menguraikan masalah menjadi bagian yang telah kecil.
(v) Sintesis, mencakup kemampuan membentuk suatu pola baru. Misalnya ke-mampuan menyusun suatu program kerja.
(vi) Evaluasi, mencakup kemampuan membentuk pendapat tentang beberapa hal berdasarkan kriteria tertentu. Misalnya kemampuan menilai hasil karangan.
Keenam jenis perilaku ini bersifat hierarkhis, artinya perilaku pengeta-huan tergolong terendah dan perilaku evaluasi tergolong tertinggi. Perilaku yang terendah merupakan perilaku yang haru dimiliki terlebih dahulu sebelum mem-pelajari perilaku yang lebih tinggi. Untuk dapat menganalisis misalnya, siswa harus memiliki pengetahuan, pemahaman penerapan tertentu. Rarah kognitif yang hierarkhis tersebut dapat dilukiskan dalam bagan 1.3 berikut :
Tinggi 6. Evaluasi
Kemampuan menilai berdasarkan norma seperti menilai mutu karangan.
5. Sintesis
Kemampuan menyusun seperti karangan, rencana, program kerja dsb.
4. Analisis
Kemampuan memisahkan membedakan seperti merinci bagian-bagian,hubunganantara dsb.
Rendah 3. Penerapan
Kemampuan memecahkan masalah, membuat bagan, menggunakan konsep, faedah, prinsip, metode, dsb.
2. Pemahaman
Kemampuan menterjemahkan, menafsirkan, memperkirakan, memahami isi pokok, meng artikan tabel dsb
1.Pengetahuan
Kemampuan mengetahui atau mengingat istilah fakta, aturan, metode ds
Bagan 1.3 hierarkhis jenis perlaku dan kemampuan internal menurut Taxsonami Bloom dan kawan-kawan {Adaptasi dari internal, (1991 : 149-176), Martin dan Briggs, (1986, 66-72). Fleisman dan Quan Tance (1984: 406-411)}.
Dari bagan 1.3 dapat diketahui bahwa siswa yang belajar akan memperbaiki kemampuan internalnya. Dari kemampuan-kemampuan awal pada pra-belajar, meningkat memperoleh kemampuan-kemampuan yang tergolong pada keenam jenis perilaku yang dididikan di sekolah.
Ranah afektif (Karthwohl dan Bloom, dan kawan-kawan) terdiri dari li-ma jenis perilaku sebagai berikut :
(i) Penerimaan, yang mencakup kepekaan tentang hal tertentu dna kesediaan memperhatikan hal tersebut. Misalnya kemampuan mengakui adanya perbe-daa-perbedaan tersebut.
(ii) Partisipasi, yang mencakup kerelaan, kesediaan memperhatikan dan berparti-sipasi dalam suatu kegiatan. Misalnya mematuhi aturan dan berpartisipasi da-lam suatu kegiatan.
(iii) Pemikiran dan penentuan sikap yang mencakup menerima sesuatu nilai, menghargai, mengakui dan menentukan sikap. Misalnya menerima sesuatu pendapat orang lain.
(iv) Organisasi, yang mencakup kemampuan membentuk suatu sistem nilai sebagai pedoman dan pegangan hidup. Misalnya menempatkan nilai dalam suatu skala nilai dan dijadikan pedoman bertindak secara bertanggung jawab.
(v) Pembentukan pola hidup, yang mencakup kemampuan menghayati nilai dan membentuknya menjadi pola nilai kehidupan pribadi. Misalnya kemampuan mempertimbangkan dan menunjukkan tindakan yang berdisiplin.
Kelima jenis perilaku tersebut tampak mengandung tumpang tindih, dan juga berisi kemampuan kognitif. Kelima jenis perilaku tersebut bersifat hirarkhis. Prilaku penerimaan merupakan jenis perilaku terendah dan perilaku pem-bentukan pola hidup merupakan perilaku tertinggi. Rarah afektif yang hirarkhis tersebut dapat dilukiskan dalam bagan 1.4 berikut :
5. Pembentukan
Kemampuan menghayati nilai sehingga menjadi pegangan hidup
Rendah
Tinggi
4. Organisasi
Kemampuan membentuk sistem nilai sebagai pe-doman hidup
3. Penilaian dan penentuan sikap
Kemampuan memberikan nilai dan menentukan sikap
2. Partisipasi
Kerelaan memperhatikan dan berpartisipasi dalam suatu kegiatan
1. Penerimaan
Kemampuan menjadi peka tentang suatu hal yang me- nerima sebagai mana adanya
0 pra belajar
Tabel 1.4. Hierarkhis jenis prilaku dan kemampuan internal menurut Taxsonami Krathwohl dan Bloom dkk, (Adaptasi dari Winkel, 1991 : 152-170, Martin dan Briggs, 1986 : 76-83).
Dari bagan 1.4 diketahui bahwa siswa yang belajar akan memperbaiki kemampuan-kemampuan internalnya yang afektif. Siswa mempelajari kepekaan tentang sesuatu hal sampai pada penghayatan nilai sehingga menjadi suatu pe-gangan hidup.
Rarah psikomotorik (Simpson) terdiri dari tujuh jenis perilaku :
(i) Persepsi, yang mencakup kemampuan memilah-milahkan (mendes-kriminasikan) hal-hal secara khas, dan menyadari adanya perbedaan yang khas tersebut, misalnya pemilahan warna, angka 6 (enam) dan 9 (sembilan), huruf b dan d.
(ii) Kesiapan, yang mencakup kemampuan penempatan dari dalam keadaan di-mana akan terjadi suatu gerakan atau rangkaian gerakan. Kemampuan ini mencakup jasmani dan rohani. Misalnya posisi start lomba lari.
(iii) Gerakan terbimbing, mencakup kemampuan melakukan gerakan sesuai contoh, atau gerak peniruan. Misalnya meniru gerak lari, membuat lingkaran di atas pola.
(iv) Gerakan yang terbiasa, mencakup kemampuan melakukan gerakan-gerakan tanpa contoh. Misalnya melakukan lompat-lompat tinggi dengan tepat
(v) Gerakan kompleks, yang mencakup kemampuan melakukan gerakan atau ke-terampilan yang terdiri dari banyak tahap, secara lancar, efisien dan tepat. Mi-salnya bongkar pasang peralatan secara tepat.
(vi) Penyesuaian pola gerakan, yang mencakup kemampuan mengadakan peruba-han dan penyesuaian pola gerak-gerik dengan persyaratan khusus yang berla-ku. Misalnya keterampilan bertanding lawan tanding.
(vii) Kreativitas, mencakup kemampuan melahirkan pola-pola gerak-gerik yang baru atas prakarsa sendiri. Misalnya kemampuan membuat kreari tari baru.
Ketujuh perilaku tersebut mengandung urutan taraf keterampilan yang berurutan dan berangkai. Kemampuan-kemampuan tersebut merupakan urutan fase-fase dalam proses belajar motorik. Urutan fase-fase motorik tersebut bersifat hirarkhis. Ranah psikomotorik dapat dilukiskan dalam bagan 1.5.
7. Kreativitas
Kemampuan
menciptakan
Tinggi pola baru
6. Penyesuaian
Kemampuan engubah
dan mengatur sendiri
5. Gerakan
kompleks
Berketerampilan lewes,
Lancar Gesit dan licah
Rendah 4. Gerakan
terbiasa
Keterampilan yang
Berpegang pada pola-pola
3. Gerakkan
terbimbing
Kemampuan meniru contoh
2. Kesiapan
Kemampuan bersiap diri secara pisik
1.Persepsi
Kemampuan memilah-milah dan kepekaan terhadap hal
0. Pra Belajar
Bagan 1.5. Hierarkhis perilaku dan kemampuan psikomotorik Taxonomi Simpson (Adaptasi dari Winkel, 1991 : 153-170, Fleisman dan Quan Tance, 1984 : 171 – 173, 412).
Dari bagai 1.5 dapat diketahui bahwa belajar kemampuan-kemampuan psikomotorik, belajar berbagai kemampuan gerak dapat dimulai dengan kepekaan dan memilah-milah sampai dengan kreativitas pola gerak baru. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan psikomotorik mencakup kemampuan fisik dan mental.
Siswa yang belajar berarti memperbaiki kemampuan-kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Dengan meningkatnya kemampuan-kemampuan tersebut maka keinginan, kemauan dan perhatian pada lingkungan sekitarnya makin bertambah.
2) Dinamika guru dalam kegiatan pembelajaran
Peranan guru dalam proses pembelajaran sangat hirarkhis dalam dina-misasi siswa dalam belajar. Peranana tersebut dapat dikondisikan agar terja-dinya peranan belajar siswa. Kondisi pembelajaran tersebut melalui acara-acara pembelajaran yang berpengaruh pad aproses belajar yang dapat ditentukan oleh guru. Kondisi eksternal yang berpengaruh pada belajar yang penting adalah bahan belajar, saran belajar, media dan sumber belajar dan subjek pembelajaran itu sendiri.
a. Bahan belajar
Bahan belajar merupakan sajian yang harus diberikan pada siswa be-rupa pengetahuan, perilaku, nilai, sikap dan metode perolehan. Bahan bela-jar dapat diperoleh dari berbagai buku-buku atau pun sumber-sumber lain-nya yang menyajikan pokok bahasan yang akan dijabarkan dalam perte-muan-pertemuan belajar.
Pertimbangan-pertimbangan yang perlu diperhatikan guru untuk me-milih bahan belajar adalah :
(i) Apakah isi bahan belajar sesuai dengan sasaran belajar
(ii) Bagaimanakah tingkat kesetaraan bahan belajar bagi siswa
(iii) Apakah isis bahan belajar tersebut menuntut digunakannya strategi be-lajar mengajar tertentu
(iv) Apakah evaluasi hasil belajar sesuai dengan baha belajar tersebut.
b. Susunan belajar
Kondisi gedung sekolah, tata ruang kelas, alat-alat belajar dan penga-ruhnya terhadap kegiatan belajar. Disamping kondisi fisik tersebut, suasana pergaulan di sekolah juga berpengaruh pada kegiatan belajar. Guru mem-punyai peranan penting dalam menciptakan suasana belajar yang menarik. Beberapa pertimbangan yang penting dilakukan oleh guru adalah
(i) Apakah gedung sekolah membuat kenyamanan belajar
(ii) Apakah pergaulan antar orang-orang yang terlibat proses pembelajaran menyenangkan
(iii) Apakah siswa memiliki ruang belajar di rumah
(iv) Apakah siswa memiliki kelompok-kelompok yang dapat merusak tertib pergaulan, maka perlu melakukan pencegahan.
c. Media dan sumber belajar
Guru berperan penting dalam menempatkan media dan sumber belajar. Beberapa pertimbangan yang harus dilakukan oleh guru :
(i) Apakah media dan sumber belajar tersebut bermanfaat untuk mencapai sasaran belajar
(ii) Apakah isi pengetahuan pada media massa dapat digunakan sebagai sumber belajar pada pokok bahasan tertentu
(iii) Apakah isi pengetahuan pada alam dan lingkungan ada bermanfaat un-tuk pokok bahasan tertentu.
d. Guru sebagai sumber belajar
Guru adalah sumbjek pembelajaran siswa. Disadari bahwa setiap sis-wa memiliki perbedaan individu yang harus dipahami oleh guru dalam membimbing mereka di sekolah.
Untuk itu peranan penting guru dalam acara pembelajaran adalah :
(i) Membuat desain pembelajaran secara tertulis, lengkao dan menyeluruh
(ii) Meningkatkan diri menjadi seorang guru yang berkepribadian utuh
(iii) Bertindak sebagai guru yang mendidik
(iv) Meningkatkan profesionalitas keguruan
(v) Melakukan pembelajaran sesuai dengan berbagai model pembelajaran yang sesuai dengan kondisi siswa, bahan belajar dan kondisi sekolah setempat
(vi) Dalam berhadapan dengan siswa, guru berperan sebagai fasilitator bela-jar, pembimbing belajar dan memberi perbaikan belajar.
Dengan adanya peran-peran tersebut, maka sebagai pengajar guru adalah pembelajar sepanjang hayat (Winkel, 1991: Monks, Knoers. Siti Rahayu 1989 : Biggs dan Telfer 1987).
Tugas dan Latihan
1. Jelaskan dengan kata-kata sendiri apa yang dimaksud dengan tujuan belajar dan tujuan pembelajaran.
2. Jelaskan apa manfaat merumuskan tujuan belajar bagi guru.
3. Sebutkan syarat-syarat dalam merumuskan tujuan belajar (sasaran belajar).
4. Bandingkan apa faedah tujuan pembelajaran bagi guru dan siswa.
5. Dapatkah dikatakan bahwa pengajaran yang berhasil adalah juga belajar yang berhasil. Mengapa demikian?
6. Sebutkan hierarki rarah kognitif, afektif dan psikhomotorik yang diperoleh da-lam proses pembelajaran.
7. Jelaskan kondisi-kondisi eksternal yang berpengaruh pada kegiatan pembelaja-ran.
8. Sebutkan langkah-langkah guru untuk mendidik pentingnya pembuatan pro-gram belajar bagi siswa SLTP dan SMU.
9. Sebutkan upaya yang dapat dilakukan guru untuk membuat suasana belajar yang berhasil di sekolah.
10. Carilah informasi dari siswa SLTP atau SMU, apakah mereka sudah memiliki program belajar dan tujuan belajar sendiri. Laporkan temuan anda dan bagai-mana komentar anda tentang temuan tersebut.
Rangkuman
Belajar yang dihayati oleh seorang pelajar (siswa) ada hubungannya dengan usaha pembelajaran. Usaha pembelajaran merupakan kegiatan yang disengaja dan di sadari, karenanya seorang guru yang menata acara pembelajaran haruslah meru-muskan tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran dirumuskan mulai dari yang ber-sifat umum seperti tujuan lembaga, tujuan kurikulum, tujuan instruksional sampai pada yang bersifat khusus yaitu sasaran belajar yang dirumuskan secara operasional agar kegiatannya nyata dan dapat diukur.
Dalam hal mengoperasionalkan sasaran belajar yang berorientasi pada prilaku yang belajar maka hendaknya menjaring rarah kognitif, afektif dan psikomotorik dengan berbagai tingkat.
Belajar yang terjadi pada individu merupakan prilaku kompleks, tindak inte-raksi antara si belajar dan pembelajar yang bertujuan, oleh karena itu belajar dapat didinamiskan melauli perlakuan yang bersifat internal yang berkaitan dengan rarah kognitif, afektif dan psikomotorik yang kesemuanya itu terkait dengan tujuan pembe-lajaran.
Usaha guru untuk menciptakan kedinamisan belajar berkaitan dengan faktor eksternal yaitu kesiapan guru dalam menata bahan belajar, penciptaan suasan belajar yang menyenangkan, mengoptimalkan media dan sumber, memaksimalkan peranan sebagai pembelajar.
Daftar Pustaka
Bell Gredler, Margareth E. 1991. Belajar dan Pembelajaran (terjemahan Munandir), Jakarta: Rajawali Pers
Biggs, Jonh B dan Tefler, Roos. 1987. The Process of Learning, Sydney: Prentice-Hall of Australia Pty Ltd
Fleismen, Edwin A dan Quaintance, Marilyn K. 1984. Taxonomies of Human Per-formance, New York : Academie Press, Inc
Dimyanti. 1994. Belajar dan Pembelajaran, Proyek P3 PT KSM, Jakarta
Martin, Barbara L, Briggs, Leslie J. 1986. The Affective and Cognitive Domains, New Jersey : Educational Technologi Publications
Monks, Fj Kamvers, AMP, Siti Rahayu Haditomo. 1989. Psikologi Perkembunan, Yogyakarta : Gajah Mada University Press
Rooijakkers, Ad. 1990. Mengajar dengan Sukses, Jakarta : Gramedia
Winkel, WS. 1991. Psikologi Pengajaran. Jakarta : Gramedia
Winirno Surakhmad. 1982. Pengantar Interaksi Belajar Mengajar. Tarsito : Ban-dung
Woolkfolh, Anita E. Nicolich, Lorraine, Mc Cene. 1980. Educational Psychologi for Teacher, Sydney : Prentice-Hall of Australia Pty Ltd.
BAB IV
PRINSIP BELAJAR DAN IMPLIKASINYA
DALAM PEMBELAJARAN
A. Pendahuluan
Pada bagian ini menyajikan informasi dan pembahasan mengenai prinsip bela-jar dan implikasinya dalam pembelajaran. Anda telah mempelajari konsep belajar dan pembelajaran yang secara konseptual menjadi dasar dari uraian berikut ini.
Setelah mempelajari bagian ini anda diharapkan dapat menjelaskan prinsip be-lajar, prinsip belajar merujuk pada kepercayaan mengenai hubungan dua hal atau lebih yang selanjutnya dijadikan patokan dalam melihat, mengkaji dan memperlakukan sesuatu.
Dalam bagian ini akan disajikan pembahasan mengenai :
1. Prinsip belajar ditinjau dari segi proses dan hasil belajar
2. Implikasi prinsip belajar
B. Prinsip Siswa Aktif
Mengajar adalah membimbing kegiatan belajar siswa sehingga ia mau belajar. “Teaching is the guidance of learning activitas, teaching is for purpose of aiding the pupil learn”. (Burton).
Dengan demikian aktivitas murid sangat diperlukan dalam kegiatan, belajar mengajar sehingga siswalah yang seharusnya banyak aktif, sebab siswa sebagai subjek didik adalah merencanakan, dan ia sendiri yang melaksanakan belajar.
Pada kenyataannya di sekolah-sekolah sering kali guru yang aktif sehingga siswa tidak diberi kesempatan untuk aktif. Betapa pentingnya aktivitas belajar siswa dalam proses belajar mengajar sehingga John Dewey sebagai tokoh pendidikan, men-gemukakan pentingya prinsip ini melalui metode proyeknya dengan semboyan “learning by doing”. Bahkan tokoh lainnya seperti Rousseau, Pestalozi, Probel dan Montessory telah mendukung prinsip aktivitas dalam pengajaran.
Aktivitas belajar siswa yang dimaksud disini adalah aktivitas jasmaniah mau-pun aktivitas mental. Aktivitas belajar siswa dapat digolongkan ke dalam beberapa hal.
1. Aktivitas visual seperti membaca, menulis, melakukan eksperimen dan Demonstrasi
2. Aktivitas lisan seperti bercerita, membaca sajak, tanya jawab, diskusi, me-nyanyi.
3. Aktivitas mendengarkan seperti mendengarkan penjelasan guru, ceramah, pengarahan.
4. Aktivitas gerak seperti senam, atletik, menari, melukis.
5. Aktivitas menulis seperti mengarang, membuat makalah, membuat surat
Setiap jenis aktivitas tersebut memiliki kadar atau bobot yang berbeda bergantung pada segi tujuan mna yang akan dicapai.
C. Prinsip Motivasi
Tujuan untuk belajar diperlukan untuk suatu proses belajar yang terarah. Mo-tivasi adalah suatu kondisi dari siswa untuk memprakarsai kegiatan, mengatur arah kegiatan itu, dan memelihara kesungguhan. Secara alami siswa selalu ingin tahun dan melakukan kegiatan penjajakan dalam lingkungannya. Rasa ingin tahun ini seyo-gyanya didorong dan bukan dihambat dengan memberikan aturan yang sama untuk semua siswa.
Berkenaan dengan motivasi ini ada prinsip yang seyogyanya kita perhatikan.
1. Individu bukan hanya didorong oleh kebutuhan untuk memenuhi kebutu-han biologis, social dan emosional tetapi di samping itu ia dapat diberi do-rongan untuk mencapai sesuatu yang lebih dari yang ia miliki saat ini.
2. Pengetahuan tentang kemajuan yang dicapai dalam memenuhi tujuan mendorong terjadinya peningkatan usaha. Pengalaman tentang kegagalan yang tidak merusak citra diri siswa dapat memperkuat kemampuan meme-liharan kesungguhannya dalam belajar.
3. Dorongan yang mengatur perilaku tidak selalu jelas bagi siswa. Contohnya seorang siswa yang mengharapkan bantuan dari gurunya bisa berubah lebih dari itu, karena kebutuhan emosi daripada karena keinginan untuk mencapai sesuatu.
4. Motivasi dipengaruhi oleh unsur-unsur kepribadian seperti rasa rendah diri, atau keyakinan diri. Seorang siswa yang termasuk pandai atau kurang juga bisa menghadapi masalah.
5. Rasa aman dan keberhasilan dalam mencapai tujuan cenderung mening-katkan motivasi belajar. Kegagalan dapat meningkatkan atau menurunkan motivasi tergantung berbagai faktor. Tidak bisa setiap siswa diberi doron-gan yang sama untuk melakukan sesuatu.
6. Motivasi bertambah bila para siswa memiliki alasan untuk percaya bahwa sebagian besar dari kebutuhannya dapat dipenuhi.
7. Kajian dan penguatan guru, orang tua, dan teman sebaya berpengaruh ter-hadap motivasi dan perilaku.
8. Insentif dan hadiah material kadang-kadang berguna dalam situasi kelas, memang ada bahayanya bila siswa belajarja karena ingin mendapat hadiah dan bukan karena memang ingin belajar.
9. Kompetisi dan insentif bisa efektif dalam memberi motivasi, tapi bila ke-sempatan untuk menang begitu kecil kompetisi dapat mengurangi motivasi dalam mencapai tujuan.
10. .Sikap yang baik untuk belajar dapat dicapai oleh kebanyakkan individu dalam suasana belajar yang memuaskan.
11. Proses belajar dan kegiatan yang dikaitkan kepada minat siswa saat itu da-pat mempertinggi motivasi.
D. Prinsip Perbedaan Individu
“Proses belajar bercorak ragam bagi setiap orang”. Proses pengajaran seyo-gyanya memperhatikan perbedaan individual dalam kelas sehingga dapat memberi kemudahan pencapaian tujuan belajar yang setinggi-tingginya. Pengajaran yang hanya memperhatikan satu tingkat sasaran akan gagal memenuhi kebutuhan siswa. Karena itu seorang guru perlu memahami latar belakang, emosi, dorongan dan kemampuan individu dan penyesuaian materi pelajaran dan tugas-tugas belajar kepada aspek-aspek tersebut.
Berkenaan dengan perbedaan idividual ada beberapa hal yang perlu diingat :
1. Siswa harus dapat dibantu untuk memahami kekuatan dan kelemahan di-rinya dan selanjutnya mendapat perlakuan dan pelayanan kegiatan, tugas belajar dan pemenuhan kebutuhan yang berbeda-beda.
2. Siswa perlu mengenal potensinya dan seyogyanya dibantu untuk meren-canakan dan melaksanakan kegiatannya sendiri.
3. Siswa membutuhkan variasi tugas, bahan, dan metode yang sesuai dengan tujuan, minat dan latar belakangnya.
4. Siswa cenderung memilih pengalaman belajar yang sesuai dengan penga-lamannya masa lampau yang bermakna untuknya. Setiap siswa biasanya memberi respon yang berbeda-beda karena memang setiap orang memiliki persepsi yang berbeda mengenai pengalamannya.
5. Kesempatan-kesempatan yang tersedia untuk belajar dapat diperkuat bila individu tidak merasa terancam lingkungannya, sehingga ia merasa mer-deka untuk turut ambil bagian secara aktif dalam kegiatan belajar. Mana-kala siswa memiliki kemerdekaan untuk berfikir dan berbuat sebagai indi-vidu, upaya untuk memecahkan masalah motivasi dan kreativitasnya akan lebih meningkat.
6. Siswa yang didorong untuk mengembangkan kekuatannya akan mau bela-jar lebih giat dan sungguh-sungguh. Tapi sebaliknya bila kelemahannya yang lebih ditekankan maka ia akan menunjukkan ketidakpuasannya bela-jar.
E. Prinsip Kesiapan
Proses belajar dipengaruhi kesiapan siswa. Yang dimaksud dengan kesiapan atau readiness ialah kondisi individu yang memungkinkan ia dapat belajar. Berkenaan dengan hal itu terdapat berbagai macam taraf kesiapan belajar untuk suatu tugas khu-sus. Seseorang siswa yang belum siap untuk melaksanakan suatu tugas dalam belajar akan mengalami kesulitan atau malah putus asa. Yang termasuk kesiapan ini ialah kematangan dan pertumbuhan fisik, intelegensi, latar belakang pengalaman, hasil be-lajar yang baku, motivasi, persepdi dan faktor-faktor lain yang memungkinkan seseo-rang dapat belajar.
Berdasarkan dengan prinsip kesiapan ini dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut :
1. Seseorang individu akan dapat belajar dengan sebaik-baiknya bila tugas-tugas yang diberikan kepadanya erat hubungannya dengan kemampuan, minat dan latar belakangnya.
2. Kesiapan untuk belajar harus dikaji bahkan diduga. Hal ini mengandung arti bila seseorang guru ingin mendapat gambarab kesiapan siswanya untuk mempelajari sesuatu, ia harus melakukan pengetesan kesiapan.
3. Jika seseorang individu kurang memiliki kesiapan untuk suatu tugas, ke-mudian tugas itu seyogyanya ditunda sampai dapat dikembangkan kesia-pan itu atau guru sengaja menata tugas itu sesuai dengan kesiapan siswa.
4. Kesiapan untuk belajar mencerminkan jenis dan taraf kesiapan, misalnya dua siswa yang memiliki kecerdasan yang sama mungkin amat berbeda dalam pola kemampuan mentalnya.
5. Bahan-bahan, kegiatan dan tugas seyogyanya divariasikan sesuai dengan faktor kesiapan kognitif, afektif dan psikomotor dari berbagai individu.
F. Prinsip Persepsi
“Seseorang cenderung untuk percaya sesuai dengan bagaimana ia memahami situasi”. Persepsi adalah interpretasi tentang situasi yang hidup. Setiap individu melihat dunia dengan caranya sendiri yang berbeda dari yang lain. Persepsi ini mempengaruhi peri-laku individu. Seorang guru akan memahami siswanya lebih baik bila ia peka terhadap bagaimana cara seseorang melihat suatu situasi tertentu.
Berkenaan dengan ini ada beberapa hal yang penting harus kita perhatikan :
1. Setiap siswa melihat dunia berbeda satu dari yang lainnya karena setiap siswa memiliki lingkungan yang berbeda. Semua siswa tidak dapat melihat lingkungan yang sama dengan cara yang sama.
2. Seseorang menafsirkan lingkungan sesuai dengan tujuan, sikap, alasan, pengalaman, kesehatan, perasaan dan kemampuannya.
3. Cara bagaimana seseorang melihat dirinya berpengaruh terhadap perila-kunya. Dalam suatu situasi seorang siswa cenderung bertindak sesuai den-gan cara ia melihat dirinya sendiri.
4. Siswa dapat dibantu dengan cara memberi kesempatan menilai dirinya sendiri. Guru dapat menjadi contoh hidup. Perilaku yang baik tergantung pada persepsi yang cermat dan nyata mengenai suatu situasi. Guru dan pi-hak lain dapat membantu siswa menilai persepsinya.
5. Persepsi dapat berlanjut dengan memberi siswa pandangan bagaimana hal itu dapat dilihat.
6. Kecermatan persepsi harus dicek. Diskusi kelompok dapat dijadikan sara-na untuk mengklasifikasi persepsi mereka.
7. Tingkat pertumbuhan dan perkembangan siswa akan mempengaruhi pan-dangannya terhadap dirinya.
G. Prinsip Tujuan
“Tujuan harus tergambar dalam pikiran dan diterima oleh siswa pada saat proses be-lajar terjadi”.
Tujuan ialah sasaran khusus yang hendak dicapai oleh seseorang dan mengenai tujuan ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :
1. Tujuan seyogyanya mewadahi kemampuan yang harus dicapai.
2. Dalam menetapkan tujuan seyogyanya mempertimbangkan kebutuhan in-dividu dan masyarakat.
3. Siswa akan dapat menerima tujuan yang dirasa akan dapat memenuhi ke-butuhannya.
4. Tujuan guru dan siswa seyogyanya sesuai
5. Aturan-aturan atau ukuran-ukuran yang ditetapkan oleh masyarakat dan pemerintah biasanya akan mempengaruhi perilaku.
6. Tingkat keterlibatan siswa secara aktif mempengaruhi tujuan yang dica-nangkannya dan yang dapat ia capai.
7. Perasaan siswa mengenai manfaat dan kemampuannya dapat mempenga-ruhi perilaku. Jika ia gagal mencapai tujuan ia akan merasa rendah diri atau prestasinya menurun.
8. Tujuan harus ditetapkan dalam rangka memenuhi tujuan yang nampak un-tuk siswa. Karena guru harus dapat merumuskan tujuan dengan jelas dan dapat diterima.
H. Prinsip Transfer dan Retensi
“Belajar dianggap bermanfaat bila seseorang dapat menyimpan dan menerapkan hasil belajar dalam situasi baru”.
Apapun yang dipelajari dalam suatu situasi pada akhirnya akan digunakan da-lam situasi yang lain. Proses tersebut dikenal sebagai proses transfer, kemampuan se-seorang untuk menggunakan lagi hasil belajar disebut retensi. Bahan-bahan yang di-pelajari dan diserap dapat digunakan siswa dalam situasi baru.
Berkenaan dengan proses transfer dan retensi ada beberapa hal yang harus kita ingat :
1. Tujuan belajar dan daya ingat dapat memperkuat retensi. Usaha yang aktif untuk mengingat atau menugaskan sesuatu latihan untuk dipelajari dapat meningkatkan retensi.
2. Bahan yang bermakna bagi siswa dapat diserap dengan baik.
3. Retensi seseorang dipengaruhi oleh kondisi psikis dimana proses belajar itu terjadi. Karena itu latihan seyogyanya dilakukan dalam suasana yang nyata.
4. Latihan yang terbagi-bagi memungkinkan retensi yang baik. Suasana bela-jar yang dibagi ke dalam unit-unit kecil waktu dapat menghasilkan proses belajar dengan retensi yang baik daripada proses belajar yang berkepan-jangan. Waktu belajar dapat ditentukan oleh struktur-struktur logis dari materi dan kebutuhan siswa.
5. Penelaahan bahan-bahan yang factual, keterampilan dan konsep dapat me-ningkatkan retensi dan nilai transfer.
6. Prose belajar cenderung terjadi bila kegiatan-kegiatan yang dilakukan da-pat memberikan hasil yang memuaskan.
7. Sikap pribadi, perasaan, atau suasana emosi para pelajar dapat menghasil-kan proses pelupaan hal-hal tertentu. Karena itu bahan-bahan yang tidak disepakati tidak akan dapat diserap sebaik bahan-bahan yang menyenang-kan.
8. Proses saling mempengaruhi dalam belajar akan terjadi bila bahan baru yang sama dipelajari mengikuti bahan yang lalu. Kemungkinan lupa ter-hadap bahan yang lama dapat terjadi bila bahan baru yang sama yang di-tuntut.
9. Pengetahuan tentang konsep, prinsip, dan generalisasi dapat diserap den-gan baik dan dapat diterapkan lebih berhasil dengan cara menghubung-hubungkan penerapan prinsip yang dipelajari dan dengan memberikan ilu-strasi unsur-unsur yang sempurna.
10. Transfer hasil belajar dalam situasi baru dapat lebih mendapat kemudahan bila hubungan-hubungan yang bermanfaat dalam situasi yang khas dan da-lam situasi yang agak sama dibuat.
11. Tahap proses belajar seyogyanya memasukkan usaha untuk menarik gene-ralisasi, yang pada gilirannya nanti dapat lebih memperkuat retensi dan transfer.
I. Prinsip Belajar Kognitif.
“Belajar kognitif melibatkan proses pengenalan dan atau penemuan”.
Belajar kognitif mencakup asosiasi antar unsur, pembentukan konsep, pene-muan masalah, dan keterampilan memecahkan masalah yang selanjutnya membentuk perilaku baru. Berfikir, menalar, menilai, dan berimajinasi merupakan aktivitas mental yang berkaitan dengan proses belajar kognitif. Proses belajar itu dapat terjadi pada berbagai tingkat kesukaran dan menuntut berbagai aktifitas mental.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam belajar kognitif.
1. Perhatian harus dipusatkan kepada aspek-aspek lingkungan yang relevan sebelum proses-proses belajar kognitif terjadi. Dalam hubungan ini pelajar perlu mengarahkan perhatian yang penuh agar proses belajar kognitif be-nar-benar terjadi.
2. Hasil belajar kognitif akan bervariasi sesuai dengan taraf dan jenis perbe-daan individual yang ada.
3. Bentuk-bentuk kesiapan perbendaharaan kata, kemampuan membaca, ke-cakapan, dan pengalaman berpengaruh langsung terhadap proses belajar kognitif.
4. Pengalaman belajar harus diorganisasikan ke dalam satuan-satuan atau unit-unit yang sesuai.
5. Bila menyajikan konsep, kebermaknaan dari konsep amatlah penting. Pe-rilaku mencari, penerapan, pendefinisian resmi, dan penilaian sangat di-perlukan untuk menguji bahwa suatu konsep benar-benar bermakna.
6. Dalam pemecahan masalah para pelajar harus dibantu untuk mendefinisi-kan dan membatasi lingkup masalah, menemukan informasi yang sesuai, menafsirkan dan menganalisis masalah dan memungkinkan berfikir me-nyebar (divergent thinking).
7. Perhatian terhadap proses mental yang lebih daripada terhadap hasil kog-nitif dan afektif akan lebih memungkinkan terjadinya proses pemecahan masalah, analisis, sintesis, dan penalaran.
J. Prinsip Belajar Afektif
“Proses belajar afektif seseorang menentukan bagaimana ia menghubungkan dirinya dengan pengalaman baru.
Belajar afektif mencakup nilai emosi, dorongan, minat dan sikap. Dalam ba-nyak hal pelajar mungkin tidak menyadari belajar afektif. Sesungguhnya, proses bela-jar afektif meliputi dasar yang asli untuk dan merupakan bentuk dari sikap, emosi, dorongan, minat dan sikap individu.
Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses belajar afektif.
1. Hampir semua situasi kehidupan mengandung aspek afektif.
2. Hal bagaimana para pelajar menyesuaikan diri dan memberi reaksi terha-dap situasi akan memberi dampak dan pengaruh terhadap proses belajar afektif.
3. Suatu waktu, nilai-nilai yang penting yang diperoleh pada masa kanak-kanak akan tetap melekat sepanjang hayat. Nilai, sikap dan perasaan yang tidak berubah akan tetap melekat pada keseluruhan proses perkembangan.
4. Sikap dan nilai sering diperoleh melalui proses identifikasi dari orang lain dan bukan sebagai hasil belajar langsung.
5. Sikap lebih mudah dibentuk karena pengalaman yang menyenangkan
6. Nilai-nilai yang ada pada diri individu dipengaruhi oleh standar perilaku kelompok.
7. Prose belajar di sekolah dan kesehatan mental memiliki hubungan yang erat. Pelajar yang memiliki kesehatan mental yang baik akan belajar lebih mudah dari pada yang memiliki masalah.
8. Belajar afektif dapat dikembangkan atau diubah melalui interaksi guru dengan kelas.
9. Pelajar dapat dibantu agar lebih matang dengan cara membantu mereka mengenal dan memahami sikap, peranan dan emosi. Penghargaan terhadap sikap, perasaan dan frustasi sangat perlu untuk membantu pelajar memperoleh pengertian diri dan kematangannya.
K. Prinsip Belajar Psikomotor
“Proses belajar psikomotor individu menentukan bagaimana ia mampu mengendalikan aktivitas ragawinya”.
Belajar psikomotor mengandung aspek mental dan fisik. Berkenaan dengan hal ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
1. Di dalam tugas suatu kelompok akan menunjukkan variasi dalam kemam-puan dasar psikomotor.
2. Perkembangan psikomotor anak tertentu terjadi tidak beraturan.
3. Sktruktur ragawi dan sistem syaraf individu membantu menentukan taraf penampilan psikomotor.
4. Melalui bermain dan aktivitas informasi para pelajar akan memperoleh kemampuan mengontrol gerakkannya lebih baik.
5. Dengan kematangan fisik dan mental kemampuan pelajar untuk memadu-kan dan memperhalus gerakannya akan lebih dapat diperkuat.
6. Faktor-faktor lingkungan memberikan pengaruh terhadap bentuk dan ca-kupan penanpilan psikomotor individu.
7. Penjelasan yang baik, demontrasi, dan partisipasi aktif pelajar dapat me-nambah efisiensi belajar psikomotor.
8. Latihan yang cukup yang diberikan dalam rentang waktu tertentu mem-perkuat proses belajar psikomotor. Latihan yang bermakna seyogyanya mencakup semua urutan lengkap aktivitas psikomotor dan tempo tidak bi-sa hanya didasarkan pada faktor waktu semata-mata.
9. Tugas-tugas psikomotor yang terlalu sukar bagi pelajar dapat menimbulkan frustasi (keputusasaan) dan kelelahan yang lebih cepat.
L. Prinsip Evaluasi
“Jenis cakupan dan validitas evaluasi dapat mempengaruhi proses belajar saat ini dan selanjutnya”.
Pelaksanaan latihan evaluasi memungkinkan bagi individu untuk menguji kemajuan dalam pencapaian tujuan. Penilaian individu terhadap proses belajarnya dipengaruhi oleh kebebasan untuk menilai. Evaluasi mencakup kesadaran individu mengenai penampilan, motivasi belajar, dan kesiapan untuk belajar. Individu yang berinteraksi dengan yang lain pada dasarnya ia mengkaji pengalaman belajarnya, dan hal ini pada gilirannya akan dapat meningkatkan kemampuannya untuk menilai pen-galamannya.
Berkenaan dengan evaluasi ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :
1. Evaluasi memberi arti pada proses belajar dan memberi arah baru pada pe-lajar.
2. Bila tujuan dikaitkan dengan evaluasi maka peran evaluasi menjadi begitu penting bagi pelajar.
3. Latihan penilaian guru dapat menpengaruhi bagaimana pelajar terlibat da-lam evaluasi dan belajar.
4. Evaluasi terhadap kemajuan pencapaian tujuan akan lebih mantap bila guru dan murid saling bertukar dan menerima pikiran, perasaan dan pen-gamatan.
5. Kekurangan atau ketidaklengkapan evaluasi dapat mengurangi kemam-puan guru dalam melayani muridnya. Sebaiknya evaluasi yang menyeluruh dapat memperkuat kemampuan pelajar untuk menilai dirinya.
6. Jika tekanan evaluasi guru diberikan terus-menerus terhadap penampilan siswa, pola ketergantungan penghindaran dan kekerasan akan berkembang.
7. Kelompok teman sebaya berguna dalam evaluasi
Setelah Anda membaca dan memahami prinsip-prinsip yang berkenaan dengan proses belajar dan pengajaran, cobalah Anda kerjakan latihan di bawah ini. Dengan demikian Anda akan dapat memahami dan menerapkan prinsip-prinsip itu lebih jauh. Bagaimana Anda menerapkan prinsip-prinsip :
1. Kesiapan
2. Motivasi
3. Persepsi
4. Tujuan
5. Perbedaan Individual
6. Transfer dan Retensi
7. Belajar Kognitif
8. Belajar Afektif
9. Belajar Psikomotor, dan
10. Evaluasi
Rangkuman
1. Proses belajar dipengaruhi oleh kesiapan murid
2. Tujuan belajar diperlakukan untuk suatu proses belajar yang terarah
3. Seseorang cenderung untuk percaya sesuai dengan bagaimana ia memahami situasi
4. Tujuan harus tergambar jelas dalam pikiran dan diterima oleh para pelajar pada saat proses belajar terjadi
5. Proses belajar bercorak ragam bagi setiap orang
6. Belajar dianggap bermanfaat bila seseorang dapat menyimpan dan menerapkan hasil belajar dalam situasi baru
7. Belajar kognitif melibatkan proses pengenalan dan atau penemuan
8. Proses belajar afektif seseorang menentukan bagaimana menghubungkan dirinya dengan pengalaman baru
9. Proses belajar psikomotor individu menentukan bagaimana ia mampu mengenda-likan aktivitas ragawi/jasmaninya.
10. Jenis, cakupan, dan validitas evaluasi dapat mempengaruhi proses belajar saat ini yang selanjutnya.
Daftar Pustaka
Fontana, D., Psyhologi for Teacher, London : A. Whwaton, 1981.
Gagne, R.M Ana Briggs, L.J., Prinsiples of Instrumentational Design, New York : hol, Renehart and Winston, 1974.
Rothwell, A.B., Learning Principles, dalam Clark L.H. Strategies and Tacties in Sec-ondary School Teaching : A. Book of Readings, Toronto : The Mac Millan, Co., 1968.
Tjokrodikaryo, M., Perencanaan dan Pelaksanaan Pengajaran IPA, ( Buku Materi Po-kok). Jakarta : Penerbit Karunika Jakarta Universitas Terbuka, 1986.
Walkel, El., Conditioning and Instrumental Learning, balmont : Books/Cole Publish-ing Company, 1967.
BAB V
KESUKSESAN DAN DAYA SERAP SISWA
DALAM BELAJAR
A. Pendahuluan
Fokus utama kegiatan belajar dan pembelajaran di sekolah diarahkan kepada peningkatan kesuksesan belajar siswa. Siswa yang diangap sukses dalam belajar apabila mereka memperoleh hasil (pretasi) belajar yang tinggi (sukses akademik) serta diiringi dengan kesuksesan dalam bidang sosial –kemasyarakatan, dan karir Prestasi atau hasil belajar yang tinggi akan tidak mungkin dicapai siswa apabila mereka memiliki daya serap/penguasaan yang rendah terhadap materi-materi pelajaran yang mereka jalani setiap hari disekolah dibawah pengelolaan guru mata pelajaran.
Daya serap siswa dalam belajar berkaitan erat dengan mutu kegiatan belajar yang mereka jalani sehari- hari, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Siswa tidak dapat hanya mengandalkan kegiatan belajar dan pembelajaran di kelas yang waktunya amat terbatas itu. Kegiatan belajar di luar kelas memberi peluang lebih banyak kepada siswa untuk meningkatkan daya serap atau penguasaan terhadap materi pelajaran.
Dalam upaya mencapai hasil belajar dan daya serap siswa yang tinggi amat tergantung pada mutu kegiatan belajar yang dijalani siswa baik di sekolah maupun di luar sekolah. Untuk itu, mutu kegiatan belajar siswa perlu diperkuat melalui optimalisasi segenap unsur belajar dan pembelajaran sehingga mereka dapat meraih kesuksesan belajar.
Upaya optimalisasi unsur pembelajaran dapat dilakukan guru melalui sentuhan dan rangsangan psiko-pedagogis-edukatif dan optiomalisasi kegiatan belajar oleh siswa itu sendiri, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Dalam uraian berikut dikemukakan lima kondisi utama yang ada pada diri sisiwa yang secara langsung mempengaruhi mutu kegiatan belajarnya (kesuksesan dan daya serap) yang tercakup dalam unsur PTSDL serta berbagai kondisi yang relevan dengan hal tersebut.
B. Materi
1. Kesuksesan Belajar dan PTSDL
Tugas utama siswa adalah belajar . Belajar dalam arti kata yang sempit merupakan kegiatan untuk menguasai materi pelajaran atau perkuliahan dengan berbagai tuntutannya, sedangkan belajar dalam arti yang luas merupakan upaya pengembangan diri dalam segenap bidang kehidupan. Belajar yang dimaksud da-lam buku ini adalah dalam arti yang sempit itu.
Hasil belajar (daya serap) siswa di sekolah yang ideal ialah apabila mereka mampu mengusai sepenuhnya (kalau dapat sampai 90-100%) segenap materi pe-lajaran dengan berbagai tuntutan yang meliputi unsur-unsur atau ranah kognitif, afektif, dan psikomotoriknya. Hasil demikian itu digantungkan pada dua hal, yai-tu proses belajar-mengajar (PBM) yang terjadi dalam kelas dibawah pengelo-laan pengajar (guru mata pelajaran/praktek) selama jam pelajaran/praktek tertentu, dan kegiatan belajar siswa sendiri selama mengikuti PBM dan di luar PBM.
Adalah suatu pandangan yang keliru apabila pencapaian hasil belajar yang tinggi (penguasaan/daya serap) siswa sangat ditentukan oleh kegiatan belajar di-kelas. Prayitno, dkk. (1997) mengemukakan bahwa, selemah-lemahnya PBM di dalam kelas, apabila siswa/mahasiswa melakukan kegiatan belajar sendiri dengan sehebat-hebatnya, hasil yang lebih tinggi (bahkan setinggi-tingginya) akan lebih mugkin dicapai. Kegiatan belajar mahasiswa atau siswa di dalam mengikuti PBM dan belajar di luar kelas itu amat tergantung kepada lima hal, yaitu :
a. Prasyarat penguasaan materi pelajaran (disingkat P)
b. Keterampilan belajar (disingkat T)
c. Sarana belajar (disingkat S)
d. Keadaan diri pribadi (disingkat D)
e. Lingkungan belajar dan sosio-emosional (disingkat L)
Keadaan PTSDL siswa/mahasisiwa akan menentukan mutu kegiatan bela-jar yang selanjutnya akan menentukan hasil belajar mereka. Dalam kaitan itu, keadaan PTSDL siswa/mahasiswa perlu diketahui dan diungkapkan untuk diting-katkan dalam rangka pencapaian hasil belajar yang optimal siswa / mahasiswa yang bersangkutan.
2. PTSDL
a. Prasyarat Penguasaan Materi Belajar (P)
Rendahnya penguasaan materi / daya serap siswa dalam mata pelajaran terten-tu sering kali bukan disebabkan karena kemampuan dasar atau kecerdasan siswa itu yang rendah tetapi mungkin disebabkan oleh kondisi yang secara langsung terkait dengan materi pelajaran itu sendiri, yaitu mereka tidak men-guasai materi-materi tertentu yang menjadi prasyarat untuk menguasai materi selanjutnya. Seorang siswa SLTP/SLTA yang mampu menamatkan pendidikan pada jenjang pendidikan sebelumnya secara normal dapat diasumsikan memiliki kecerdasan rata-rata ke atas. Misalnya, seorang murid SD adalah ti-dak mungkin menguasai dengan baik (terlebih-lebih lagi untuk menerapkan-nya) konsep tentang “pembagian “dan”perkalian” jika mereka belum mengua-sai dengan baik konsep tentang “penjumlahan” dan”pengurangan”.
Materi yang dipelajari dalam mata-mata pelajaran sebagaimana termuat dalam kurikulum, pada umumnya disusun sesuai dengan urutan-urutan tertentu ber-dasarkan prasyarat itu atau setidaknya dari materi yang sederhana sampai ke-pada yang lebih kompleks. Kondisi seperti di atas sering tidak menjadi perha-tian guru, siswa dibiarkan berada dalam “ketidakpahaman” materi pelajaran sebelumnya dan mengalami kesulitan untuk mempelajari materi berikutnya, sementara guru tetap “melaju” dengan materi-materi baru.
Sejumlah kegiatan belajar yang dapat dicermati guru bahwa seorang siswa mengalami kesulitan berkenaan dengan materi prasyarat penguasaan materi belajar yang dimaksud antara lain:
1) Tugas-tugas pelajaran tidak dapat dikerjakan dengan baik karena materi pe-lajaran yang menunjang penyelesaian tugas itu tidak dikuasai.
2) Tidak mengulang kembali materi yang diberikan oleh guru pada pelajaran sebelumnya sebagai persiapan untuk menghadapi pelajaran berikutnya.
3) Apabila terpaksa tidak dapat mengikuti pelajaran, tidak berupaya mengejar ketinggalan agar materi pelajaran berikutnya dapat diikuti dengan baik.
4) Tidak dapat mengkaitkan atau melihat urutan yang teratur dan saling me-nunjang antara materi pelajaran terdahulu dengan materi pelajaran berikut-nya.
5) Tidak berusaha menguasai materi pelajaran terdahulu sebagai persiapan un-tuk menghadapi materi berikutnya.
6) Mengalami kesulitan dalam belajar karena materi pelajaran tidak berurutan, sehingga materi pelajaran terdahulu tidak menunjang untuk mempelajari materi pelajaran berikut.
7) Tidak dapat memahami materi pelajaran secara lengkap dan menyeluruh.
8) Mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas pelajaran karena tidak mengerti perintah/petujuk mengerjakan tugas tersebut
9) Tidak menpelajari kembali materi pelajaran terdahulu untuk menunjang penguasaan materi pelajaran berikutnya.
10) Dalam belajar untuk mempersiapkan ulangan/ujian, materi pelajaran tidak disusun sedemikian rupa sehingga materi yang terdahulu tidak membantu menguasai materi berikutnya.
11) Kesulitan membaca buku pelajaran karena materi tidak berurutan
12) Terhalang untuk mengikuti pelajaran dan /atau kegiatan sekolah tertentu karena tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar untuk mengua-sai materi pelajaran/kegiatan tersebut.
13) Ketidakmampuan siswa dalam menjawab soal-soal ulangan/ujian disebab-kan karena kurangnya pengetahuan dasar yang menunjang terhadap jawa-ban soal-soal ulangan/ujian tersebut.
14) Mengalami kesulitan memahami bahan pelajaran baru karena bahan-bahan terdahulu tidak atau kurang dikuasai.
15) Siswa kesulitan memahami kesulitan pelajaran karena tidak memahami konsep-konsep dasar, ungkapan-ungkapan dan /atau istilah-istilah yang ha-rus dikuasai terlebih dahulu.
b. Keterampilan Belajar (T)
Keterampilan belajar yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah suatu kete-rampilan yang sudah dikuasai oleh seorang siswa untuk dapat sukses dalam menjalani pembelajaran disekolah (sukses akademik) dengan menguasai materi yang dipelajari. Kenyataan emperis menunjukan bahwa dari hasil Uji-Coba Alat Ungkap Masalah (AUM) PTSDL (Prayitno,dkk: 1997) memperlihatkan bahwa lebih dari 60% mutu skor keterampilan belajar mahasiswa UNP dari berbagai program studi masih rendah. Rata-rata pencapaian skor mutu kegiatan belajar mereka baru mencapai 50 % dari skor ideal. Sementara dari subyek siswa SLTA ditemui tidak jauh berbeda, bahkan lebih rendah. Hal ini mengisyaratkan perlu peningkatan keterampilan belajar siswa dalam belajar.
Sejumlah keterampilan belajar yang secara praktis perlu dikuasai oleh siswa untuk mencapai hasil belajar dan daya serap yang tinggi, antara lain Ron Fry (1994) mengemukakan ada tujuh keterampilan, yaitu bagaimana secara efektif siswa (1) mengatur pelajaran, (2) membaca dan mengingat, (3) mengatur wak-tu belajar, (4) mengikuti pelajaran di kelas, (5) mengunakan kepustakaan dan sumber-sumber belajar, (6) menulis karya tulis dengan baik, dan (7) memper-siapkan diri untuk ujian.
Dalam kenyataan sehari-hari siswa dalam belajar baik di sekolah maupun di-luar sekolah sering menjumpai berbagai kesulitan yang menunjukkan bahwa mereka kurang memiliki keterampilan dasar tentang “learning how to learn” yang amat diperlukan mencapai kesuksesan belajar, seperti keterampilan dalan bertanya, menjawab dan mengemukakan pendapat, mencatat bahan pelajaran, meringkas bahan bacaan membaca cepat, mengatur jadwal belajar, kosentrasi, daya ingat dan ketahanan dalam belajar, belajar kelompok, mengerjakan tugas-tugas, menyiapkan diri mengikuti ujian, dan sebagainya.
Berikut dikemukakan sejumlah (contoh) perilaku siswa yang menunjukkan bahwa mereka memiliki keterampilan belajar (T) yang kurang memadai seba-gaimana diungkapkan dalam instrumen Alat Ungkap Masalah (AUM) PTSDL (Prayitno, dkk 1997), yang mencakup berbagai keterampilan tersebut diatas, antara lain :
1) Kurang dapat memanfaatkan kesempatan dan/atau mengalami kesulitan mengusun kata-kata untuk bertanya kepada guru tentang hal-hal yang ku-rang dipahami dalam PBM.
2) Kesulitan menghindarkan diri dari berbuat curang dan/atau melayani perta-nyaan teman sewaktu ulangan/ujian berlangsung.
3) Senang mengunakan waktu belajar untuk hal-hal diluar kegiatan belajar.
4) Catatan pelajaran tidak lengkap dan banyak kekurangan
5) Mengalami kesulitan dalam mempersiapkan kondisi fisik dan psikis sehingga waktu mengikuti pelajaran dan/atau ulangan/ujian siswa berada dalam kondisi yang kurang bersemangat.
6) Tidak membuat pertinggal dari tugas yang dikerjakan dan diserahkan pada guru sebagai bahan pelajaran berikutnya.
7) Tidak mencari/memanfaatkan kesempatan untuk memperbaiki ulangan/ujian dan/atau tugas yang nilainya rendah kepada guru.
8) Semua tugas yang dikerjakan, termasuk yang sudah dikembalikan oleh guru dibiarkan begitu saja dan tidak dijadikan sebagai bahan belajar berikutnya.
9) Mengalami kesulitan dalam menyari (membuat ringkasan) bahan bacaan (misalnya dari buku pelajaran) untuk melengkapi buku catatan pelejaran.
10) Jika diberikan kebebasan tempat duduk didalam kelas, maka yang bersangkutan akan memilih tempat duduk yang tidak menguntungkan untuk mengikuti pelajaran dengan sebaik-baiknya, misalnya bagian belakang.
11) Tidak mampu membuat pertanyaan tentang materi pelajaran yang dipelajari dan mencoba menjawab dalam rangka untuk memahami materi pelajaran.
12) Apabila terpaksa tidak masuk sekolah dan pada waktu itu ada tugas, tidak segera menyelesaikan tugas tersebut sebelum mengikuti materi pelajaran berikutnya.
13) Jarang mengunakan waktu yang tersisa untuk mengoreksi kembali semua jawaban ulangan harian/ujian sebelum diserahkan kepada guru/ pengawas.
14) Bahan/materi yang akan dipelajari, terlebih dahulu tidak ditentukan dan tidak menyusun secara berurutan.
15) Sering merasa tidak yakin terhadap hasil ulangan/ujian.
16) Menghafal hukum-hukum, defenisi-defenisi, rumus-rumus dan sebagainya tanpa mamahami benar apa yang dimaksudkanya.
17) Kurang senang belajar bersama untuk mendalami materi pelajaran atau mempersiapkan ulangan/ujian.
18) Mengalami kesulitan memahami bahan bacaan ( misalnya dari buku pelajaran ) yang membuat istilah-istilah baru, terutama istilah asing.
19) Dalam belajar di kelas, tidak berusaha menahan diri untuk tidak terganggu atau menganggu teman.
20) Dalam mempelajari bahan bacaan, melampaui bagian-bagian tertentu, seperti grafik, diagram, dan tabel, yang ternyata itu adalah amat penting
21) Hanya mengandalkan catatan pelajaran yang dibuat sewaktu proses belajar –mengajar didalam kelas berlangsung
22) Mengalami kesulitan dalam menentukan ide pokok/inti sari bahan bacaan (misalnya dari buku pelajaran) yang harus dipelajari.
23) Ceroboh dalam menjawab soal-soal ujian sehingga sering terjadi kesalahan.
24) Apabila tidak terpaksa mengikuti pelajaran, tidak berusaha meminjam catatan teman dan mendiskusikan materi pelajaran yang tertingal tersebut.
25) Tidak menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan, seperti buku catatan, buku-buku pelajaran, alat-alat tulis dan sebagainya sebelum berangkat kesekolah.
26) Tidak memiliki jadwal sendiri yang memuat kegiatan belajar, tugas-tugas, ulangan harian, ulangan /ujian umum , dan mengikuti jadwal tersebut dengan sepenuhnya.
27) Jarang membuat inti sari bahan bacaan (misanya dari buku pelajaran) yang dituliskan pada kartu-kartu atau catatan yang disediakan khusus untuk ini sebagai bahan pelajaran selanjutnya.
28) Tidak mempersiapkan diri untuk mengahadapi ulangan/ujian dalam bentuk apapun juga, seperti bentuk obyektif, uraian (essay) ataupun lisan, dan berusaha menjawab soal-soal yang pernah ditanyakan/ diujikan dalam mata pelajaran tersebut
29) Keterlambatan dalam belajar karena lambat dalam membaca
30) Hasil ulangan/ujian rendah karena kurang menguasai materi pelajaran yang diajarkan dan/atau ditugaskan oleh guru.
31) Kurang memperdalam pemahaman tentang bahan bacaan (misalnya dari buku pelajaran) dengan menyusun pertanyaan-pertanyaan untuk dijawab sendiri dan /atau didiskusikan dengan teman-teman.
32) Tidak memperbaiki atau mempelajari kembali tugas yang nilainya rendah
33) Setelah selesai pelajaran sekolah tidak segera menyusun kembali dan me-lengkapi pelajaran tersebut
34) Tidak memperlakukan semua mata pelajaran sama pentingnya, baik kegia-tan belajarnya disekolah, tugas-tugasnya maupun ulangan-ulangan/ujian-ujiannya
35) Dalam belajar mudah terpengaruh oleh keadaan lingkungan, seperti teman yang mengajak berbicara, suara-suara atau orang lain yang lewat diluar ruang, dan sebagainya.
36) Mengalami kesulitan dalam menjawab pertanyaan dan/atau menangapi hal-hal yang dilontarkan guru
37) Tidak suka mendiskusikan catatan dan materi pelajaran dengan teman sekelas
38) Tidak mampu mengatur waktu dalam mengerjakan soal ulangan/ujian sesuai alokasi waktu yang disediakan.
39) Mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas dalam bentuk makalah atau laporan tertulis berkenan dengan tata cara penulisan (ejaan, tata bahasa, dan tanda baca), pengutipan, format, dan sistimatika penulisan.
40) Tidak mampu mengatur kegiatan sehari-hari, seperti mengikuti kegiatan belajar, ekstra kurikuler, latihan-latihan khusus, dan kegiatan lainnya sehingga jadwal satu hari penuh dapat diisi denan baik.
41) Untuk setiap soal ulangan/ ujian, tidak berusaha menampilkan jawabannya dengan jelas, tepat dan lengkap.
42) Mengalami kesulitan membagi waktu dan/ atau memamfaatkan waktu luang mendalami waktu luang untuk mendalami materi pelajaran.
43) Mengabaikan hal-hal yang kurang mengerti dari bahan bacaan (misalnya dari bahan bacaan) dan tugas-tugas.
44) Mengalami kesulitan dalam menemukan bahan bacaan tambahan yang berkaitan dengan materi pelajaran.
45) Mengerjakan tugas-tugas pelajaran yang diangap berat dan/atau tidak me-narik seadanya untuk sekedar memenuhi tuntutan saja.
46) Kurang berminat dan cepat bosan dalam membaca buku pelajaran.
47) Selalu terlambat hadir dalam belajar disekolah.
48) Tidak suka mempelajari catatan dan bahan-bahan terdahulu serta membuat pertanyaan tentang bahan yang belum dipahami untuk disampaikan kepada guru pada pelajaran esok harinya.
49) Kurang mampu memberikan ide atau pendapat dalam kegiatan belajar kelompok
50) Dalam mengerjakan tugas lebih mengutamakan cepat selesai dari pada mutu hasilnya.
c. Sarana Belajar.
Ketersediaan sarana belajar merupakan salah satu aspek yang amat penting da-lam menunjang kesuksesan siswa dalam memcapai hasil belajar yang optimal. Siswa yang sedang menjalani kegiatan belajar seharusnya dilengkapi dengan sarana yang cukup memadai sehingga mereka mampu memanfaatkannya untuk kelancaran kegiatan belajar dengan hasil belajar yang tinggi.
Sarana belajar yang dimaksud disini adalah materi dan perlengkapan serta pera-latan yang dapat digunakan oleh siswa dalam kegiatan belajar baik belajar di kelas, sekolah, di labor/workshop, maupun di rumah. Sarana belajar yang diha-rapkan tersedia dan dimamfaatkan secara baik oleh siswa dalam kegiatan belajar meliputi :
Dana
Perlengkapan sekolah umumnya
Buku-buku sumber
Buku dan alat-alat tulis
Alat-alat praktek
Ruang belajar dirumah beserta perlengkapanya
Tetapi perlu diingat bahwa ketersediaan sarana belajar yang cukup tidak akan dapat menunjang pencapaian hasil belajar sebagaimana dikemukakan diatas, antara lain:
1) Tidak memiliki atau tidak berusaha melengkapi buku-buku pelajaran
2) Tidak didukung oleh sarana dan biaya yang cukup untuk sekolah
3) Kegiatan belajar dan kegiatan sekolah lainnya terganggu karena harus membantu orang tua bekerja demi mencukupi ekonomi keluarga
4) Banyak kehilangan waktu untuk mengikuti pelajaran dan kegiatan sekolah lainnya karena harus mempersiapkan biaya hidup dan biaya lain-lainnya seperti pulang kampung untuk menjemput pembelakan
5) Ruang dan sarana belajar yang tersedia dirumah tidak memenuhi persyara-tan
6) Buku-buku pelajaran yang dibutuhkan tidak tersedia di sekolah
7) Kegiatan belajar tidak menarik, karena tidak dilengkapi dengan alat penun-jang pelajaran, seperti alat peraga dan/atau alat untuk melakukan percobaan
8) Kegiatan belajar terganggu karena siswa setiap kali harus memikirkan biaya untuk membayar SPP dan/atau biaya lainnya
9) Tidak memiliki biaya yang diperlukan untuk tugas-tugas pelajaran tertentu
10) Kurang mampu tampil dengan kepercayaan diri yang tinggi dihadapan gu-rudan/atau teman-temankarena kekurangan sarana/ biaya hidup sehari-hari.
11) Tidak berusaha membeli dan meminjam dari perpustakaanatau teman bila tidak memiliki buku pelajaran
12) Pemikiran dan konsentrasi terganggu dalam belajar karena selalu memikirkan biaya sekolah
13) Kurang nyaman dan senang belajar di sekolah karena tidak didukung oleh kondisi ruangan atau kelas yang memadai
14) Kurang bersemangat dalam mengikuti pelajaran kerena tidak mampu memenuhi tuntutan sekolah seperti pakaian seragam, iuran dan sebagainya
15) Dalam kegiatan sehari-hari tidak didukung oleh sarana yang memadai
d. Keadaan Diri Pribadi (D)
Bagaimanapun lengkapnya sarana belajar yang tersedia bagi siswa, berbagai ke-terampilan belajar dan persyaratan penguasaan materi telah dilatihkan, tetapi apabila kondisi diri pribadi siswa, baik berkenan dengan kondisi psikis ataupun kondisi fisik siswa tersebut banyak mengalami hambatan, maka sukar diha-rapkan siswa mampu meraih prestasi belajar yang baik. Oleh sebab itu kondisi diri pribadi siswa perlu menjadi perhatian guru untuk dikembangkan kearah yang lebih positif.
Kondisi atau keadaan diri pribadi siswa yang dimaksud, terutama dalam menja-lani kegiatan belajar di sekolah meliputi, antara lain :
Kondisi kesehatan fisik pada umumnya
Minat,bakat,dan kemampuan
Rasa percaya diri, kemauan dan semangat
Persepsi, dan kenyakinan pentingnya kesuksesan belajar
Aspirasi terhadap pendidikan
Faktor kondisi dari pribadi di atas apabila dicermati tidak jarang muncul pada diri siswa sewaktu mereka mengikuti kegiatan belajar dalam bentuk perilaku tertentu sebagaimana digambarkan dalam AUM PTSDL sebagai berikut :
1) Tampil dengan rasa percaya diri rendah dalam kegiatan belajar di kelas dan/atau di luar kelas
2) Giat belajar hanya pada mata pelajaran dan/atau kegiatan ko/ekstra kurikuler yang disenangi saja
3) Sering menghayal melamun tentang sesuatu sehinga mengangu konsentrasi dalam belajar
4) Tidak senang membantu teman untuk menjelaskan dan mendalami materi pelajaran
5) Kelancaran dalam belajar, baik di rumah ataupun di sekolah banyak dibantu oleh kemampuan berhubungan /bergaul dengan orang lain.
6) Gelisah setiap kali menghadapi ulangan/ujian
7) Merasa hasil belajar yang diperoleh lebih banyak tergantung pada foktor untung-untungan bukan karena usaha
8) Merasa belajar disekolah hanya membuang-buang waktu dan tenaga
9) Merasa nilai-nilai yang diperoleh tidak mencerminkan kemampuannya
10) Kurang semangat dalam mengikuti pelajaran
11) Merasa guru memberi nilai tidak obyektif
12) Mempunyai minat yang rendah dalam belajar untuk hampir semua mata pe-lajar
13) Merasa guru-guru mengharapkan siswa belajar berlebihan diluar jam pela-jaran/atau memberi tugas-tugas untuk sekedar menyusahkan siswa
14) Tidak dapat belajar dengan baik karena sering mengalami perasaan gelisah, murung atau pikiran kacau
15) Merasa menggunakan waktu untuk sesuatu yang menyenang-kan/mengembirakan lebih penting dari keperluan dari keperluan belajar
16) Sering merasa sangat lelah, jemu dan/atau mengantuk ketika belajar
17) Sering membuang-buang waktu untuk mengobrol, menonton televisi, mendengar radio, menonton dibioskop, dan sebagainya, yang sebenarnya waktu itu sangat berguna untuk belajar.
18) Percaya bahwa mata pelajaran-matapelajaran yang diikuti tidak berguna untuk melanjutkan pendidikan, dan/atau untuk bekerja kelak dan /atau kehidupan sehari-hari.
19) Dorongan utama untuk memasuki sekolah hanya sekedar untuk memperoleh ijazah, melanjutkan dan/menyenangkan orang tua, dan/atau memperoleh kehormatan dimata umum.
e. Lingkungan Sosio-Emosional (L)
Unsur kelima dari PTSDL adalah lingkungan sosio-emosional dari siswa beta-papun baiknya penguasaan materi persyaratan, keterampilan belajar, serta du-kungan sarana belajar dan keadaan diri pribadi siswa, apabila tidak didukung secara positif oleh lingkungan sosio-emosional yang berada disekitarnya, maka kesuksesan belajar yang tinggi sulit dicapai oleh siswa yang bersangkutan.
Lingkungan sosio-emosional siswa yang dapat menganggu kelancaran belajar siswa meliputi, antara lain :
Hubungan guru dengan siswa,dan sesama siswa
Hubungan dan perlakuan anggota keluarga
Suasana lingkungan belajar (dirumah dan disekolah)
Pergaulan dengan teman-teman diluar sekolah
Kondisi geografis tempat tinggal dan sekolah
Kondisi lingkungan sosio-emosional sebagaimana tersebut di atas amat mempengaruhi kegiatan belajar siswa dan memunculkan berbagai perilaku siswa yang kurang mendukung dalam belajar antara lain :
1. Mengalami kesulitan dalam mengajukan pertanyaan kepada guru kerena kurang baiknya hubungan dengan guru tersebut
2. Merasa guru-guru tidak cukup mengerti terhadap minat dan keinginannya
3. Merasa disiplin dan peraturan yang diberlakukan terlalu ketat
4. Tidak suka kepada guru tertentu menyebabkan lalai terhadap tugas-tugas pelajaran
5. Merasa guru-guru lebih menyenangi siswa yang suka menghafal dari pada mereka yang suka berfikir dan mendalami materi pelajaran
6. Memiliki ruang belajar dirumah kurang bersih, rapi, dan berisi hal-hal yang tidak perlu sehingga melemahkan semangat belajar
7. Pergaulan dengan teman-teman atau guru-guru menurunkan semangat belajar.
8. Suara musik yang bergema dilingkungan rumah dan/atau tetangga serta kebisingan lainnya mengakibatkan sukar berkonsentrasi dalam belajar
9. Guru-guru lebih senang memperlihatkan kepada siswa bahwa mereka lebih berkuasa dan mempunyai hak istimewa
10. Sukar belajar di rumah karena penghuni terlalu banyak dan/atau banyak tamu.
11. Di rumah harus membantu adaik-adik belajar, dan/atau mengasuh mereka, dan/atau membantu pekerjaan sehari-hari, sehingga pelajaran terbengkalai
12. Merasa guru-guru kurang memberikan perhatian dan membantu para siswa secara lembut, bijaksana dan adil
13. Terpengaruh dengan teman yang kurang baik (misalnya santai, ceroboh) dalam belajar sehingga kegiatan belajar tidak penuh
14. Orang tua dan/atau saudara-saudara tidak memberikan perhatian dorongan kegiatanbelajar siswa baik disekolah maupun dirumah
15. Tidak mau bertanya dan/atau memberikan tanggapan sewaktu pelajaran dalam kelas berlangsung karena takut ditertawakan oleh teman-teman
16. Merasa guru-guru berbicara terlalu banyak dan membosankan baik didalam maupun diluar kelas
17. Berpendapat guru-guru mempunyai pandangan yang sempit dan mereka membuat keputusan kurang adil dan.atau tidak mempertimbangkan kea-daan dan kepentingan pada siswa
18. Merasa kegiatan organisasi kesiswaan dan/atau organisasi lainnya baik dis-ekolah maupun diluar sekolah sangat menganggu kegiatan belajar
19. Lingkungan sekolah yang kurang nyaman dan/atau kurang terawat menga-kibatkan proses belajar terganggu.
Sejalan dengan keterampilan belajar di atas, satuan tugas khusus 3 SCPD (1997) mengemukakan sekurang-kurangnya ada lima keterampilan belajar yang dapat dilatihkan kepada siswa dalam rangka meningkatkan unsur-unsur PTSDL yang dimaksudkan, yaitu: (1) Program studi dan beban studi, (2) Kemampuan menjalani pelajaran / perkuliahan secara efektif, (3) Peningkatan kemampuan membaca, dan (5) Penyelesaian tugas dan penulisan karya tulis
1) Program Studi dan Beban Studi
Mengenali program studi (sekolah) dan beban studi / belajar secara lengkap amat diperlukan agar siswa mampu merencanakan kegiatan belajar secara baik (tepat waktu dengan prestasi maksimal) di samping dapat menumbuh-kan motivasi belajarnya. Permasalahan yang sedang muncul dalam hal ini adalah siswa lebih mengutamakan rutinitas belajar dikelas dari pada penca-paian mutu hasil belajar serta mengabaikan kegiatan-kegiatan akademik lainnya.
Sehubungan dengan hal tersebut ada empat unsur yang perlu didalami oleh siswa yaitu (1). program study/sekolah secara lengkap,(2). Kurikulum dan mata-mata pelajaran yang akan diikuti, (3). Penyusunan rendcana belajar dan (4). Pemahaman kegiatan akademik lainnya seperti kegiatan praktek dila-bor/workshop dan sebagainya.
2). Kemampuan Menjalani Pembelajaran Secara Efektif
Menjalani pembelajaran merupakan bagian yang amat penting dalam kegiatan belajar di sekolah, bukan sekedar hadir dikelas tetapi siswa perlu men-gaplikasikan berbagai sikap positif dan keterampilan. Semua meteri pokok yang harus dikuasai oleh siswa akan dibahas oleh guru bersama siswa terma-suk kegiatan latihan berbagai ketrampilan dan mengerjakan tugas-tugas ter-tentu sehubungan dengan materi perkuliahan tersebut.
Empat unsur pokok yang amat penting diperhatikan oleh guru agar siswa te-rampil dalam menjalani pembelajaran adalah :
a). Sikap positif terhadap pelajaran, yaitu mencakup persepsi yang positif terhadap sekolah dan sikap dan pandangan positif terhadap kehadiran dalam belajar, guru, bahan serta fasilitas belajar.
b). Persiapan diri untuk belajar, seperti mempersiapkan materi pelajaran, mempelajari catatan yang lalu, persiapan fisik, menyelesaikan tugas, menbaca bahan-bahan yang relevan, membuat pertanyaan, dan memper-siapkan alat-alat.
c). Mengikuti pelajaran, seperti memilih tempat duduk, memusatkan perha-tian, mencatat materi pelajaran, bertanya dan menjawab dan mengemu-kakan pendapat.
d). Kegiatan pasca belajar, yaitu melengkapi catatan, pemerkasaan, menye-lengarakan latihan, dan mengerjakan tugas-tugas.
3) Peningkatan Kemampuian Belajar
Rendahnya hasil belajar siswa sering disebabkan karena lemahnya kemam-puan membaca mereka. Permasalahan dalam membaca yang sering dijumpai seperti cepat bosan, lambat, sukar menangkap ide-ide pokok, tidak mengerti istilah istilah penting, melampaui bagian-bagian penting, kurang cermat, dan sebagainya.
Sehubungan dengan kemampuan membaca tersebut ada empat unsur yang perlu mendapat perhatian, yaitu (1) minat dan semangat membaca, (2) kegia-tan membaca yang dilakukan dengan cermat, lengkap, cepat, memahami isti-lah, ide pokok, dan isi bacaan dengan baik, (3) hasil bacaan dengan mengua-sai keseluruhan isi bacaan, dan (4) memperkaya dengan sumber-sumber lain.
4). Kemampuan Mengingat, Konsentrasi, dan Ketahanan dalam Belajar
Tidak jarang dijumpai bahwa siswa sering mengeluh, mereka sukar mengin-gat materi pelajaran, tidak mampu konsentrasi dan kurang tahan dalam bela-jar. Untuk meningkatkan kemampuan mengingat, konsentrsi, dan ketahanan dalam belajar siswa perlu berlatih dengan memperhatikan hal berikut :
a) Kemampuan mengingat
Kemampuan mengingat siswa sebetulnya dapat ditingkatkan melalui berbagai cara dan teknik seperti melalui latihan :
1) Pencapaian kriteria kemampuan mengingat : volume, kualitas dan kegunaan
2) Pentahapan dan teknik mengingat:
a. Masukan:
• Teknik pengenalan dan penulisan
• Memo teknik
(b) Penyimpanan
• Pengulangan sederhana
• Penguatan antarmateri
• Perluasan isi materi
(c) pengungkapan kembali dengan :
• Relevansi
• Penerapan
• Kreatifitas
b) Konsentrasidalam belajar dapat ditingkatkan melalui :
(1) penetapan tujuan belajar dengan cara membagi-bagi bahan, menetapkan terget, dan penilaian diri sendiri
(2) pengendalian lingkungan seperti suasana hati, sosio-emosional, pengaturan tugas-tugas lain, dan lingkungan fisik
c) Ketahanan dasar belajar
ketahanan dalam belajar dapat ditingkatkan dengan memperhatikan unsur-unsur yang mempengaruhinya, yaitu ketahanan mental dan ketahana fisik seperti :
(1) perasaan tenang, aman dan tentram, keteraturan kegiatan, keberanian menanggung resiko, dan penguatan
(2) makanan/minunan, gizi dan kesehatan
5). Penyelesaian Tugas dan Penyusunan Karya Tulis
Siswa atau mahasiswa senantiasa dihadapi pada penyelesaian tugas-tugas dan karya tulis. Untuk itu keterampilan ini perlu dan amat penting dikuasai oleh mereka. Guru hendaknya selalu memberi peluang dan fasilitas kepada siswa agar mereka menguasai keterampilan yang dimaksudkan. Tugas-tugas dan karya tulis yang tidak selesai, terlambat dan apalagi rendahnya mutunya akan membawa dampak terhadap rendahnya prestasi belajar.
(a) Penyelesaian Tugas
Beberapa unsur yang perlu ditingkatkan penguasaan siswa dalam kete-rampilan ini adalah :
(1) Pemahaman terhadap tugas : materi dan intruksi
(2) Penyediaan sumber : buku, dokumen, orang, contoh dan model
(3) Penyelesaia tugas : mutu dan waktu
(4) Penyerahan tugas : waktu, tempat, dan bentuk
(5) Tidak lanjut : perbaikan dan pemanfaatan
b) Penyusunan karya tulis
Tidak jarang dijumpai bahwa siswa mengalami kesulitan untuk mengelu-arkan ide-ide dan gagasan secara tertulis. Misalnya dalam menyusun dan membuatmakalah atau tugas-tugas lainnya. Terlebih-lebih lagi apabila mereka sudah diperguruan tinggi, kemampuan untuk menyelesaikan tu-gas-tugas karya tulis sangat diperlukan. Untuk itu siswa perlu memperoleh bimbingan dan latihan dalam penyusunan karya tulis. Dua unsur pokok yang perlu difahami oleh siswa /mahasiswa adalah :
(1) Pemahaman terhadap jenis-jenis karya tulis dan tuntutan masing-masing karya tulis, seperti pembuatan makalah, laporan, skripsi /tugas akhir ( khusus mahasiswa)
(2) Sistim dan alur penyusunan, seperti penentuan topik,perumusan masa-lah, pembuatan out-line dan penyiapan materi/bahan yang diperlukan.
Rangkuman.
Kesuksesan dan daya serap (hasil belajar) siswa yang tinggi tidak tergan-tung hanya pada kegiatan belajar dikelas yang dikelola oleh Guru Mata pelajaran, tetapi sebetulnya juga ditentukan oleh keadaan atau kondisi siswa itu sendiri yang dapat disimpulkan kedalam lima unsur pokok, yaitu (1) persyaratan penguasaan materi belajar –P (2) keterampilan belajar –T, (3) sarana belajar –S, (4) keadaan diri pribadi –D, (5) lingkungan sosio-emosional –L.
Prasyaratan penguasaan materi belajar (P) mencakup materi – materi pela-jaran yang menjadi persyaratan atau materi yang dipelajari di kelas/ sekolah sebe-lumnya bagi terkuasainya materi pelajaran yang baru pada kelas/ sekolah yang le-bih tinggi.
Unsur keterampilan belajar (T) meliputi berbagai keterampilan dasar yang dapat digunakan siswa dalam belajar seperti keterampilan dalam bertanya, men-jawab dan mengemukakan pendapat, mencatat bahan pelajaran, meringkas bahan bacaan, membaca cepat mengatur jadwal belajar, konsentrasi, daya ingat dan ke-tahanan dalam belajar, belajar kelompok, mengerjakan tugas – tugas, serta me-nyiapkan diri dan mengikuti ujian.
Sarana belajar (S) yang dimiliki dan dimamfaatkan sekolah dan siswa juga amat berperan terhadap pencapaian dan peningkatan daya serap siswa dalam be-lajar, terutama menyangkut tentang dana, pelengkapan sekolah umumnya, buku–buku sumber, buku dan alat–alat tulis, alat–alat praktek, serta ruang belajar di se-kolah/rumah beserta perlengkapannya.
Keadaan diri pribadi (D) siswa sendiri juga amat menentukan keberhasi-lannya dalam belajar serta kondisi kesehatan fisik pada umumnya, minat, bakat, dan kemampuan, rasa percaya diri, kemauan dan semangat, persepsi, dan kenya-kinan pentingnya kesuksesan belajar, serta inspirasi terhadap pendidikan.
Demikian juga kondisi lingkungan sosio-emosional (L) yang tidak kalah pentingnya guna mendukung tercapainya hasil belajar yang tinggi oleh siswa. Kondisi lingkungan tersebut berupa hubungan guru dengan siswa, dan sesama siswa, hubungan dan perlakuan anggota keluarga, suasana lingkungan belajar (di rumah dan di sekolah), pergaulan dengan teman – teman di luar sekolah, dan kon-disi geografis tempat tinggal dan sekolah.
Kelima unsur PTSDL tersebut satu sama lain saling menunjang atau saling mempengaruhi terhadap keberhasilan atau kegagalan siswa dalam belajar. Makin tinggi mutu PTSDL seorang siswa makin tinggi pula tingkat keberhasilan atau daya serap yang dicapai siswa dalam belajar.
Mutu PTSDL siswa dapat diperkuat dan ditingkatkan melalui berbagai la-tihan peningkatan pemahaman dan penguasaan keterampilan belajar, terutama berkenaan dengan pemahaman tentang program studi/sekolah dan beban studi, kemampuan menjalani pelajaran secara efektif, peningkatan membaca, kemam-paun mengingat, konsentrasi, dan ketahanan dalam belajar, penyelesaian tugas dan penulisan karya tulis, dan menyiapkan diri dan mengikuti ujian.
Tugas dan Latihan.
Setelah anda selesai membaca materi diatas, lakukan hal – hal berikut :
1. Pelajarilah kembali perilaku siswa yang mungkin terjadi dalam kegiatan belajar dari masing – masing unsur P, T, S, D, L.
2. Tuliskan dengan bahasa anda sendiri aspek – aspek apa saja yang terdapat ke dalam unsur – unsur PTSDL tersebut.
3. Tandailah perilaku mana yang sesuai dengan keadaan diri anda sekarang, ma-kin banyak butir perilaku tersebut yang anda tandai, maka makin rendah pula mutu PTSDL yang anda miliki.
4. Berdasarkan perilaku yang anda tandai untuk setiap unsur (PTSDL), rencana-kanlah jenis keterampilan apa yang anda perlukan untuk meningkatkanhasil atau daya serap anda dalam belajar.
Daftar Pustaka
Dimyati dan Mudjiopno, (1994). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta, Dikti Depdikbud.
Fry, Ron, (1994). How to Study, Singapore, S.S. Munarak dan Brothers Pte. Ltd.
Prayitno, Dkk. (1997). Alat Ungkap Masalah (AUM) PTSDL Format 2 SLTA : Pa-dang Tim Pengembang 3 SCPD, Proyek PGSM Depdikbud.
Satgasus 3 SCPD. (1997). Seri Latihan Keterampilan Belajar. Padang : Tim Pengem-bangan 3 SCPD Proyek PGSM Depdikbud.
Steera, Richard. M. (1987). Motivation and Work Behavior, New York : McGraw Hill Book Company.
BAB VI
MOTIVASI BELAJAR
A. Pendahuluan
Dalam proses pendidikan di sekolah, belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Artinya berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan ditentukan oleh bagaimana proses belajar dan pembelajaran yang dialami siswa. Belajar merupakan usaha yang dilakukan siswa untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dan berinteraksi dengan lingkungan. Keberhasilan belajar seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satu diantaranya adalah “motivasi belajar” yang dimiliki seseorang.
Kenyataan di lapangan menunjukkan, banyak siswa yang belajar karena terpaksa atau karena kewajiban, bukan karena kebutuhan. Sehingga mereka melaksanakan kegiatan belajar tidak sepenuh hati atau asal–asalan, dan pada gilirannya hasil belajar yang diperoleh tidak optimal. Hal itu diduga antara lain disebabkan kurangnya motivasi belajar dan kurangnya pemahaman berkenaan dengan motivasi belajar itu, baik oleh siswa maupun guru atau pendidik.
Bagian ini, menyajikan topik : “Motivasi Belajar”, dengan ruang lingkup materi meliputi : pengertian motivasi, motivasi dan kebutuhan, pentingnya motivasi dalam belajar, jenis dan sifat motivasi, faktor – faktor yang mempengaruhi motivasi belajar, dan upaya meningkatkan motivasi belajar.
Setelah mempelajari isi dan menyelesaikan tugas – tugas dalam bab ini, anda diharapkan berkemampuan untuk :
1. merumuskan dengan kata – kata sendiri pengertian motivasi
2. menjelaskan pentingnya motivasi dalam belajar
3. mengindentifikasi jenis dan sifat motivasi belajar siswa.
4. Mengindentifikasi faktor – faktor yang mempengaruhi motivasi belajar siswa.
5. Mengupayakan peningkatan motivasi belajar siswa.
B. Motivasi Belajar
1. Pengertian Motivasi
Untuk memahami konsep tentang motivasi, dapat dilihat dari pengertian motivasi berdasarkan asal katanya yaitu motif yang berarti suatu kondisi atau keadaan pada diri seseorang atau organisme yang menimbulkan kesiapan untuk memulai atau melanjutkan perilaku. Sedangkan pengertian motivasi adalah suatu proses untuk menggiatkan motif menjadi tindakan atau perilaku untuk memenuhi atau memuaskan kebutuhan.
Thomas L. Good dan jere M. Brophy (dalam Elida Prayitno, 1989:80) menyatakan “motivasi sebagai suatu energi penggerak, pengarah, dan memperkuat tingkah laku”. Lebih lanjut dikatakan, bahwa motivasi hendaknya dianggap sebagai suatu yang terkait dengan kebutuhan, yaitu individu akan termotivasi untuk melakukan tindakan tertentu apabila aktivitas atau tindakan yang akan dilakukannya dapat memenuhi kebutuhan yang diinginkan.
Pada diri siswa sebenarnya terdapat kekuatan mental yang menjadi penggerak belajar. Siswa belajar kerena didorong oleh kekuatan mentalnya tersebut. Kekuatan mental itu berupa keinginan, perhatian, kemauan, atau cita – cita. Ada ahli psikologi pendidikan yang menyebut kekuatan mental yang mendorong terjadinya belajar tersebut sebagai motivasi belajar. Motivasi dipandang sebagai dorongan mental yang menggerakan dan mengarahkan perilaku manusia, termasuk perilaku belajar. Dalam motivasi terkandung adanya keinginan, harapan, kebutuhan, tujuan, sasaran, dan insentif. Keadaan kejiwaan inilah yang mengaktifkan, menggerakkan, menyalurkan, dan mengarahkan sikap dan perilaku individu belajar (Koeswara, 1989 ; Siagian, 1989 ; Schein, 1991 ; Briggs & Teffer, 1987, dalam Dimyati, 1994).
Ada tiga komponen utama dalam motivasi yaitu (1) kebutuhan, (2) dorongan, dan (3) tujuan. Kebutuhan terjadi apabila individu merasa ada ketidak seimbangan antara apa yang ia miliki dan ia harapkan. Misalnya, siswa merasa bahwa hasil belajarnya rendah, pada hal ia memiliki buku pelajaran yang lengkap. Ia merasa memiliki cupkup waktu., tetapi ia kurang baik mengatur waktu belajar. Waktu belajar yang digunakannya tidak memadai untuk memperoleh hasil belajar yang baik, sedangkan ia membutuhkan hasil belajar yang baik, oleh karena itu siswa mengubah cara–cara belajarnya. Dorongan merupakan kekuatan mental untuk melakukan kegiatan dalam rangka memenuhi harapan. Dorongan merupakan kekuatan mental yang berorientasi pada pemenuhan harapan atau pencapaian tujuan. Dorongan yang berorientasi tujuan tersebut merupakan inti motivasi. Sedangkan tujuan adalah hal yang ingin dicapai oleh seseorang individu. Tujuan tersebut menggerakan perilaku belajar.
2. Motivasi dan Kebutuhan
Motivasi dan kebutuhan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Satu sama lain saling berkaitan dan fungsional. Artinya, motivasi timbul karena didorong oleh kebutuhan yang ingin dipenuhi. Semakin tinggi kebutuhan dan keinginan yang dirasakan seseorang, maka akan mendorong muncul kekuatan (motif) untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Sebaliknya, jika kebutuhan dan atau keinginan yang dirasakan individu itu kurang atau lemah, secara otomatis motivasi untuk melakukan tindakan pemenuhan kebutuhan akan lemah pula.
Berkaitan dengan kebutuhan yang dibutuhkan oleh individu, Maslow membagi atau mengelompokkan kebutuhan manusia menjadi lima tingkat, yaitu (1) kebutuhan fisiologis (physiologis), (2) kebutuhan akan keselamatan dan keamanan (Saftety and security), (3) kebutuhan akan rasa kasing sayang dan memilik (Love and belonging), (4) kebutuhan akan penghargaan (self esteem), dan (5) kebutuhan mengaktualisasikan diri ( self actualization).
Kebutuhan fisiologis berkenaan dengan kebutuhan pokok manusia, seperti sandang, pangan, dan perumahan. Kebutuhan akan rasa aman berkenaan dengan keamanan yang bersifat fisik, dan psikologis. Kebutuhan dihargai dan menghargai, berkenaan dengan perwujudan berupa diterima oleh orang lain, jati diri yang khas, berkesempatan maju, merasa diikutsertakan, pemilihan harga diri. Kebutuhan untuk aktualisasi diri berkenaan dengan kebutuhan individu untuk menjadi sesuatu yang sesuai dengan kemampuannya.
Pendapat lain berkenaan dengan kebutuhan ini, dikemukakan oleh Mc. Cleland, bahwa setiap orang memiliki tiga jenis kebutuhan dasar, yaitu (1) kebutuhan akan kekuasaan, (2) kebutuhan untuk berafiliasi, dan (3) kebutuhan berprestasi. Kebutuhan akan kekuasaan terwujud dalam keinginan mempengaruhi orang lain. Kebutuhan berafiliasi tercermin dalam terwujudnya situasi bersahabat dengan orang lain. Sedangkan kebutuhan berprestasi terwujud dalam keberhasilan melakukan tugas–tugas yang diembankan.
Dari aspek dorongan menurut Hull, motivasi berkembang untuk memenuhi kebutuhan organisme, selain itu juga merupakan sistem yang memungkinkan organisme dapat memelihara kelangsungan hidupnya. Kebutuhan – kebutuhan organisme merupakan penyebab munculnya dorongan, dan dorongan akan mengakibatkan tingkahlaku mengembalikan keseimbangan fisiologis organisme. Tingkah laku organisme terjadi disebabkan oleh respons dari organisme, kekuatan dorongan organisme dan penguatan kedua hal tersebut. Hull menekankan dorongan sebagai motivasi penggerak utama perilaku, tetapi kemudian juga tidak sepenuhnya menolak adanya pengaruh faktor – faktor eksternal. Dalam hal ini insentif (hadiah atau hukum) mempengaruhi intensitas dan kualitas tingkah laku organisme.
Dari segi tujuan, maka tujuan merupakan pemberi arah pada perilaku. Secara psikologis, tujuan merupakan titik akhir, “sementara” pencapaian kebutuhan. Jika tujuan tercapai, maka orang menjadi puas, dan dorongan mental untuk berbuat berhenti sementara.
3. Pentingnya motivasi dalam belajar
Motivasi merupakan jantungnya proses belajar. Oleh karena demikian pentingnya motivasi dalam proses belajar dan pembelajaran, maka tugas guru yang utama adalah bagaimana membangun motivasi siswa terhadap apa yang dipelajari. Motivasi bukan saja menggerakan tingkah laku, tetapi juga mengarahkan dan memperkuat tingkah laku. Siswa yang termotivasi dalam belajar menunjukkan minat, kegairahan dan ketekunan yang tinggi dalam belajar, tanpa tergantung banyak pada guru.
Motivasi dalam belajar tidak saja merupakan energi yang menggerakkan saiswa untuk belajar, tetapi juga sebagai suatu yang mengarahkan aktivitas siswa kepada tujuan belajar. Marx dan Tombouch (1967) mengumpamakan motivasi sebagai bahan bakar dalam beroperasinya mesin gasolin. Tidaklah menjadi berarti, betapapun baiknya mesin dan kehalusan penyetelan kita dalam mengoperasikan mesin gesolin tersebut, kalau bahan bakarnya tidak ada. Identik dengan betapapun besarnya potensi anak (kemampuan intelektual atau bakat siswa) dn materi yang akan diajarkan, dan lengkapnya sarana balajar, namun jika siswa tidak termotivasi dalam belajar, maka proses belajar tidak akan berlangsung dengan optimal.
Motivasi belajar penting bagi siswa dan guru. Bagi siswa, pentingnya motivasi belajar, antara lain karena : (1) Menyadarkan kedudukan pada awal belajar, proses dan hasil akhir. (2) Menginformasikan tentang kekuatan usaha belajar, bila dibandingkan dengan teman sebayanya, (3) Mengarahkan kegiatan belajar, (4) Membesarkan semangat belajar, (5) Menyadarkan tentang adanya penjelasan belajar dan kemudian bekerja yang bersinambungan, individu dilatih untuk menggunakan kekuatannya sedemikian rupa, sehingga dapat berhasil.
Motivasi belajar penting pula diketahui oleh seorang guru. Pengetahuan dan pemahaman tentang motivasi belajar pada siswa bermanfaat bagi guru yaitu (1) Membangkitkan, meningkatkan dan memelihara semangat siswa untuk belajar sampai berhasil, membangkitkan bila siswa tidak bersemangat, meningkatkan bila semangat belajarya tenggelam, memelihara bila semangatnya telah kuat untuk mencapai tujuan belajar. Dalam hal ini, hadiah, pujian dorongan,atau pemicu semangat dapat digunakan untuk mengobarkan semangat belajar. (2) Motivasi belajar siswa di kelas bermacam – macam, ada yang acuh tak acuh, ada yang tak memusatkan perhatian, ada yang bermain, di samping yang bersemangat untuk belajar. Diantara yang bersemangat belajar, ada yang tidak berhasil, dan ada yang berhasil. Dengan bermacam ragam motivasi belajar tersebut, maka guru dapat menggunakan bermacam–macam strategi belajar mengajar. (3) Meningkatkan dan menyadarkan guru untuk memilih satu diantara bermacam – macam peran, seperti penasehat, fasilitator, instruktur, teman diskusi, penyemangat, pemberi hadiah, atau guru pendidik. Peran pedagogis tersebut sudah barang tentu sesuai perilaku siswa. (4) Memberi peluang guru untuk “unjuk kerja” rekayasa pedagogis. Tugas guru adalah membuat semua siswa belajar sampai berhasil. Tantangan profesionalnya justru terletak pada “mengubah” siswa tank berminat menjadi bersemangat belajar. “mengubah” siswa cerdas yang acuh tak acuh menjadi bersemangat belajar.
4. Jenis dan Sifat Motivasi
a. Jenis Motivasi
Motivsi sebagai kekuatan mental individu memiliki tingkat – tingkat tertentu. Para ahli ilmu jiwa mempunyai pendapat yang berbeda tentang tingkatan kekuatan mental tersebut. Perbedaan pendapat tersebut umumnya didasarkan atas hasil penelitian yan dilakukannya terhadap perilaku belajar pada hewan. Meskipun mereka berbeda pendapat mengenai tingkatan kekuatan mental tersebut, namun secara umumnya mereka sependapat bahwa motivasi tersebut dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu (1) motivasi primer, dan (2) motivasi sekunder.
1) Motivasi Primer
Motivasi primer adalah motivasi yang didasarkan atas motif–motif dasar yang umumnya berasal dari segi biologis, atau jasmani mereka. Sebagaimana diketahui bahwa manusia adalah makhluk–makhluk berjasmani, maka dengan demikian perilakunya terpengaruh oleh insting atau kebutuhan jasmaninya. Dalam kaitan ini, MC. Donald, menyatakan bahwa tingkah laku terdiri dari pemikiran tentang tujuan, perasaan subjektif, dan dorongan mencapai kepuasan. Insting tersebut memiliki tujuan, dan memerlukan pemuasan. Tingkah laku insting dapat diaktifkan, dimodifikasi, dipicu secara spontan, dan dapat diorganisasikan. Diantara insting yang penting adalah memelihara, mencari makan, melarikan diri, berkelompok, mempertahankan diri, rasa ingin tahu, membangun dan kawin. Freud, mengemukakan bahwa insting mepunyai empat ciri yaitu tekanan , sasaran, objek, dan sumber. Tekanan adalah kekuatan yang memotivasi individu untuk berperilaku. Semakin besar energi dalam insting, maka tekanan terhadap individu semakin besar. Sasaran insting adalah kepuasan atau kesenangan. Kepuasan tercapai bila tekanan energi pada insting berkurang. Misalnya, keinginan makan berkurang bila individu masih kenyang. Objek insting adalah hal – hal yang memuaskan individu atau dari dalam individu. Insting manusia dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu insting kehidupan (life instincts), dan insting kematian (death instincts). Insting – insting kehidupan teridi dari insting yang bertujuan memelihara kelangsungan hidup. Insting kehidupan tersebut berupa makan, minum, instirahat, dan memelihara keturunan. Insting kematian, tertuju pada penghancuran, seperti merusak, menganiaya, atau mebunuh orang lain atau diri sendiri.
Freud, menjelaskan bahwa energi bekerja memelihara keseimbangan finis. Insting bekerja sepanjang hidup. Yang mengalami perubahan adalah cara pemuasan atau objek pemuasan. Tingkah laku individu yang memuaskan insting dapat secara langsung atau dengan menekan; penekanan insting tersebut tidak menghilangkan energi. Penekanan insting tersebut diupayakan masuk alam tidak sadar. Insting yang ditekan berkaitan dengan seksualitas dan agresivitas. Penakanan insting ke alam ketidaksadaran tersebut merupakan salah satu kunci perilaku motivasi. Tingkah laku manusia sedemikian komplek, ada yang dapat dikenali motivasi dari alam sadarnya, dan ada pula yang berasal dari alam tak sadarnya.
2) Motivasi Sekunder
Motivasi sekunder berbeda dengan motivasi primer. Motivasi sekunder adalah meotivasi yang dipelajari. Misalnya orang yang lapar akan tertarik pada makanan tanpa belajar. Untuk memperoleh makanan tersebut orang harus bekerja terlebih dahulu. Agar dapat bekerja dengan baik, orang harus belajar bekerja. “Bekerja dengan baik” merupakan penguat motivasi sekunder. Bila orang memiliki uang, setelah ia bekerja dengan baik, maka ia dapat membeli makanan untuk menghilangkan rasa laparnya.
Sebagai makhluk sosial, perilaku manusia tidak hanya dipengaruhi oleh faktor biologis saja, tetapi juga faktor sosial. Perilaku tersebut terpengaruh oleh tiga komponen penting yaitu afektif, kognitif, dan konatif. Komponen efektif adalah aspek emosional, yang meliputi motif sosial, sikap, dan emosi. Komponen kognitif, adalah aspek intelektual yang terkait dengan pengetahuan. Komponen konatif adalah terkait dengan kemauan dan kebiasaan bertindak.
Motivasi sosial (sekunder) memegang peran penting dalam kehidupan manusia. Motivasi sekuner, oleh beberapa ahli dapat digolongkan atas beberapa golongan. Thomas dan Zanniecki menggolongkan motivasi sekunder menjadi keinginan – keinginan (1) memperoleh pengalaman baru, (2) untuk mendapat respon, (3) memperolah pengakuan, dan (4) memperoleh rasa aman. Sementara itu Mc. Cleland, menggolongkannya menjadi kebutuhan – kebutuhan untuk (1) berprestasi, seperti bekerja dengan penuh kualitas tinggi, IPK tinggi, (2) memperoleh kasih sayang, seperti rela berkorban untuk sesama, dan (3) memperoleh kekuasaan, kesetiaan kepada tujuan perkumpulan. Sedangkan Maslow, menggolongkannya menjadi kebutuhan untuk (1) memperoleh rasa aman, (2) memperoleh kasih sayang dari kebersamaan, (3) memperoleh penghargaan, dan (4) pemenuhan diri atau aktualisasi diri. Pemenuhan diri tersebut dilakukan dengan berbagai cara seperti ungkapan dalam kesenian, berdarmawisata, membentuk hubungan persahabatan, dan berusaha menjadi teladan.
Perilaku motivasi sekunder juga terpengaruh oleh adanya “sikap”. Sikap adalah suatu motif yang dipelajari. Ciri – ciri sikap antara lain (1) merupakan kecendrungan berfikir, merasa, kemudian bertindak, (2) memiliki daya dorong bertindak, (3) relatif bersifat menetap, (4) berkecenderungan melakukan penilaian, dan (5) dapat timbul dari pengalaman, dapat dipelajari atau berubah.
Perilaku juga terpngaruh oleh emosi. Emosi menunjukkan adanya sejenis kegoncangan seseorang. Kegoncangan tersebut disertai proses jasmani, perilaku, dan kesadaran emosi. Emosi memiliki fungsi antara lain (1) pembangkit energi ; misalnya karena dicemoohkan orang menjadi berusaha keras sehingga berhasil, (2) pember informasi pada orang lain; seperti rasa sedih tertulis dalam wajah, (3) pembawa pesan dalam berhubungan dengan orang lain ; seperti pembicara yang bersemangat menimbulkan semangat kerja, (4) sumber informasi tentang diri seseorang, seperti pemerolehan rasa sehat wal afiat.
Perilaku juga dipengaruhi oleh adanya pengetahuan dipercaya. Pengetahuan tersebut adakalanya berdasarkan akal, ataupun tidak berdasarkan akal sehat. Pengetahuan dimaksud dapat mendorong terjadinya perilaku. Contoh orang tetap merokok dengan motivasi yang berbeda, ada yang ingin menunjukkan kejantanan, ada yang mengisi waktu luang, ada pula yang ingin menimbulkan kreativitas. Mereka juga menyadari akan bahaya merokok.
Aspek lain yang mempengaruhi perilaku individu adalah kebiasaan dan kemauan. Kebiasaan ; merupakan perilkau menetap, berlangsung otomatis, dan kemungkinan besar perilaku tersebut hasil belajar. Kemauan, merupakan tindakan mencapai tujuan secara kuat. Kemauan seseorang timbul karena adanya (1) keinginan yang kuat untuk mencapai tujuan, (2) pengetahuan tentang cara memperoleh tujuan, (3) energi dan kecerdasan, dan (4) pengeluaran energi yang tepat untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain, kebiasaan kemauan seseorang mempertinggi motif untuk berperilaku.
b. Sifat Motivasi
Berdasarkan sumbernya, motivasi dapat tumbuh dari dalam diri sendiri, yang dikenal motivasi internal, dan motivasi yang muncul berasal dari luar diri seseorang, yang disebut dengan motivasi eksternal. Selain itu, kita juga dapat membedakan motivasi instrinsik, dan motivasi ekstrinsik.
Motivasi instrinsik, merupakan motivasi yang terkandung dalam diri siswa (individu), atau pengaruh dari dalam dirinya. Sedangkan motivasi ekstrinsik, adalah dorongan terhadap perilaku seseorang yang ada di luar perbuatan yang dilakukanya. Orang berbuat sesuatu kalau ada dorongan dari luar, seperti adanya hadiah, menghindari hukuman, dan sebagainya.
Motivasi ekstrinsik banyak dilakukan di sekolah dan di masyarakat. Hadiah dan hukuman sering digunakan untuk meningkatkan kegiatan belajar. Jika siswa belajar dengan hasil sangat memuaskan, maka ia akan memperoleh hadiah dari guru atau orang tua. Sebaliknya jika hasil belajar tidak baik (memperoleh nilai kurang), maka ia akan memperoleh peringatan atau hukuman dari guru atau orang tua. Peringatan tersebut tidak menyenangkan siswa
Motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik dapat dijadikan pangkal rekayasa pedagogis guru. Sewajarnyalah, guru mengenal dan memahami adanya motivasi – motivasi tersebut. Untuk mengenal dan memahami adanya motivasi – motivasi yang sebenarnya, guru perlu melakukan penelitian, sesuai dengan tuntutan profesinya, guru belajar meneliti sambil praktek mendidik di sekolah. Adakalanya guru menghadapi siswa yang belum memiliki motivasi yang baik. Dalam hal ini berpegang pada motivasi eksrimsik. Dengan menggunakan penguat berupa hadiah atau hukuman seyogyanya guru memperbaiki disiplin dari siswa dalam beremansipasi.
5. Faktor–faktor yang Mempengaruhi Motivasi Dalam Belajar
Dalam perilaku belajar terdapat motivasi belajar. Motivasi belajar tersebut ada yang instrisik dan ekstrinsik. Penguatan dan pengembangan motivasi belajar tersebut berada ditangan guru/pendidik dan anggota masyarakat lain. Guru sebagai pendidik dan pengajar bertugas memperkuat motivasi belajar siswanya di sekolah. Orang tua bertugas memperkuat motivasi belajar siswa sepanjang hayat. Ulama dan tokoh masyarakat memperkuat motivasi belajar sepanjang hayat.
Dalam pendidikan formal, motivasi belajar tersebut ada dalam jaringan rekayasa pedagogis guru. Dengan tindakan perbuatan persiapan mengajar, pelaksanaan belajar menagajar, maka guru menguatkan motivasi belajar siswa. Sebaliknya dari segi emansipasi kemandirian siswa, motivasi belajar semakin meningkat pada tercapainya hasil belajar. Motivasi belajar merupakan segi kejiwaan yang mengalami perkembangan perkembangan, artinya terpengaruh oleh kondisi fisiologis dan kematangan psiologis siswa.
Banyak faktor yang mempengaruhi motivasi belajar, antara lain (a) cita-cita atau aspirasi siswa, (b) kemampuan siswa, (c) kondisi siswa, (d) kondisi lingkungan siswa, (e) unsur–unsur dinamis dalam mempelajaran, dan (f) upaya guru dalam membelajarkan siswa.
a) Cita-cita atau aspirasi siswa
Motivasi belajar tampak pada keinginan anak sejak kecil. Keberhasilan mencapai keinginan tersebut menumbuhkan kemauan belajar, bahan dikemudian hari cita – cita dalam kehidupan. Timbulnya cita-cita dibarengi oleh perkembangan akal, moral, kemauan, bahasa, dan nilai – nilai kehidupan. Timbulnya cita – cita dibarengi oleh perkembangan kepribadian.
Keinginan yang terpuaskan dapat memperbesar kemauan dan semangat belajar. Cita – cita akan memperkuat motivasi belajar instrinsik maupun skstrinsik. Sebab tercapainya suatu cita-cita akan mewujudkan aktualisasi diri.
b) Kemampuan Siswa
Seperti halnya cita – cita atau aspirasi, kemampuan siswa turut mempengaruhi motivasi belajarnya. Karena dengan kemampuan yang dimiliki siswa, ia dapat melaksanakan tugas – tugas belajarnya. Dengan kata lain, kemampuan akan memperkuat motivasi siswa untuk melaksanakan tugas – tugas perkembangan.
c) Kondisi Siswa
Kondisi yang dimaksud adalah kondisi jasmani dan rohani. Dan kondisi tersebut mempengaruhi motivasi belajar. Siswa yang sedang sakit, lapar, atau marah, akan menganggu perhatian belajar. Demikianpula sebaliknya, siswa yang sehat, kenyang, dan gembira akan mudah memusatkan perhatian, dan sebagainya. Dengan kata lain, kondisi jasmanai dan rohani siswa berpengaruh pada motivasi belajar.
d) Kondisi Lingkungan Siswa
Keadaan alam, tempat tinggal, pergaulan sebaya, merupakan lingkungan siswa yang turut mempengaruhi belajar siswa. Oleh karena itu kondisi lingkungan sekolah yang sehat, lingkunagn masyarakat yang aman, tenteram rukun dan nyaman, perlu ditingkatkan mutunya. Dengan lingkungan yang aman, tenteram, tertib dan indah, semangat dan motivasi belajar mudah diperkuat.
e) Unsur – unsur dinamis dalam pembelajaran
Seperti diketahui,siswa mempunyai perasaan, perhatian, kemauan, ingatan, pikiran yang mengalami perubahan berkat pengalaman hidup. Siswa yang masih berkembang jiwa raganya, lingkungan yang semakin bertambah baik berkat dibangun, merupakan kondisi dinamis yang baik bagi pembelajaran. Guru profesional diharapkan mampu memanfaatkan berbagai sumber belajar, seperti surat kabar, siaran radio, televisi, dan sumber belajar di sekitar sekolah untuk memotivasi belajar siswa.
f) Upaya guru dalam membelajarkan siswa.
Upaya membelajarkan siswa oleh guru, bisa terjadi disekolah dan juga di luar sekolah. Upaya pembelajaran di sekolah, antara lain dapat dilakukan dengan (a) menyelanggarakan tertib belajar di sekolah, (b) membina disiplin belajar dalam tiap kesempatan, seperti pemanfaatan waktu belajar, (c) membina belajar tertib pergaulan, (d) membina belajar tertib lingkungan sekolah. Selain penyelenggaraan tertib yang umum tersebut, secara individual guru menghadapi anak didiknya. Upaya pembelajaran tersebut meliputi (a) pemahaman tentang diri siswa dalam rangka kewajaran tetib belajar, (b) pemanfaatan penguatan berupa hadiah, kritik, hukuman secara tepat, dan (c) mendidik cinta belajar.
6. Upaya Meningkatkan Motivasi Belajar.
Perilaku belajar siswa berbeda satu sama lain, hal itu sangat tergantung pada motivasi belajarnya. Guru di sekolah menghadapi banyak siswa dengan bermacam–macam motivasi belajar. Oleh karena itu guru harus mampu meningkatkan motivasi belajar siswa memalui peran–peran yang dimainkan, yaitu sebagai berikut :
a. Optimalisasi penerapan prinsip belajar
Perilaku belajar di sekolah telah menjadi pola umum. Dalam upaya pembelajaran, guru berhadapan dengan siswa dan bahan belajar. Untuk dapat membelajarkan atau mengajarkan bahan pelajaran di persyaratkan ; guru telah (1) mempelajari bahan pelajaran, (2) memahami bagian – bagian yang mudah, sedang, dan sukar, (3) menguasai cara – cara menpelajari bahan, dan (4) memahami sifat bahan pelajaran tersebut.
Upaya pembelajaran terkait dengan beberapa prinsip belajar, bahwa belajar akan menjadi bermakna bila : (1) siswa memahami tujuan belajar; oleh karena itu guru perlu menjelaskan tujuan belajar secara hierarkis, (2) siswa dihadapkan pada pemecahan masalah yang menantangnya ; oleh karena itu pelatakan urutan masalah yang menantang harus menyusun guru dengan baik, (3) guru mampu memuaskan segala kemampuan mental siswa dalam kegiatan program tertentu; oleh karena itu, disamping mengajarkan bahan secara terpisah – pisah, guru sebaiknya membuat pengajaran unit atau proyek, (4) sesuai dengan perkembangan siswa, maka kebutuhan bahan – bahan belajar siswa semakin bertambah; oleh karena itu guru perlu mengatur bahan dari yang paling sederhana sampai paling menantang. Sebaiknya bahan diatur dalam prinsip pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri, (5) belajar menjadi menantang bila siswa memahami prinsip penilaian dan faedah nilai bilajarnya bagi kehidupan di kemudian hari; oleh karena itu guru perlu memberi tahukan kriteria keberhasilan atau kegagalan belajar.
b. Optimalisasi unsur dinamis belajar dan pembelajaran.
Seorang siswa akan belajar dengan seutuh pribadinya, perasaan, kemauan, pikiran, perhatian, fantasi, dan kemampuan yang lain tertuju pada belajar. Meskipun demikian ketertujuan tersebut tidak selamanya berjalan lancar. Ketidak kesejajaran tersebut disebabkan oleh kelelahan jasmani atau mentalnya, ataupun naik turun energi jiwa.
Guru sebagai pendidik dan pembimbing, lebih memahami keterbatasan waktu bagi siswa. Sering kali siswa lengah tentang nilai kesempatan belajar. Oleh karena itu guru dapat mengupayakan optimalisasi unsur – unsur dinamis yang ada dalam diri dan yang ada dilingkungan siswa. Upaya optimalisasi tersebut adalah (1) pemberian kesempatan kepada siswa untuk mengungkap hambatan belajar yang dialaminya, (2) memelihara minat, kemauan, dan semangat belajarnya sehingga terwujud tindak belajar, betapa lamban gerak belajar, guru tetap secara terus menerus mendorong, (3) meminta kesempatan pada orang tua siswa atau wali, agar memberi kesempatan kepada siswa beraktualisasi diri dalam belajar, (4) memanfaatkan unsur – unsur lingkungan yang mendorong belajar; surat kabar, tayangan telavisi yang menganggu pemusatan belajar dicegah, (5) menggunakan waktu secara tertib, penguat dan suasana gembira terpusat pada perilaku belajar; pada tingkat ini guru memberlakukan upaya “belajar merupakan aktualisasi diri siswa, dan (6) guru meransang siswa dengan penguat memberi rasa percaya diri bahwa ia dapat mengatasi segala hambatan, dan pasti berhasil.
c. Optimalisasi pemanfaatan pengalaman dan kemampuan siswa
Perilaku belajar siswa merupakan rangkaian tindak – tindak belajar setiap hari. Perilaku belajar setiap hari bertolak dari jadwal pelajaran sekolah. Untuk menghadapi hari pertama masuk sekolah guru telah membuat rancangan pelajaran. Sedangkan siswa telah terbiasa dengan membawa buku pelajaran. Siswa telah mengalami belajar yang berhasil atau belajar yang gagal sebelumnya. Siswa menghayati “pahitnya kegagalan belajar, dan manisnya keberhasilan belajar. Oleh karena itu rancangan pengajaran selalu diharapkan siswa.
Guru sebagai penggerak perjalanan belajar bagi siswa, perlu memahami dan mencatat kesukaran – kesukaran siswa. Sebagai fasilitator belajar, guru diharapkan memantau tingkat kesukaran pengalaman belajar, dan segera membantu mengatasi kesukaran belajar. Guru wajib menggunakan pengalaman belajar dan kemampuan siswa dalam mengelola siswa belajar. Upaya optimalisasi pemanfaatan pengalaman siswa tersebut dapat dilekukan sebagai berikut (1) siswa ditugasi membaca bahan belajar sebelumnya : setiap membaca bahan belajar siswa mencatat hal – hal yang sukar, catatan tersebut diserahkan kepada guru, (2) guru mempelajarai hal – hal yang sukar bagi siswa, (3) guru memecahkan yang sukar, dengan mencari cara pemecahan, (4) guru mengajarkan cara memecahan dan mendidikan keberanian mengatasi kesukaran, (5) guru mengajak serta siswa menagalami dan mengatasi kesukaran, (6) guru memberi kesempatan kepada siswa yang mampu memecahkan masalah untuk membantu rekan–rekannya yang mengalami kesukaran, (7) guru pemberi penguatan kepada siswa yang berhasil mengatasi kesukaran belajarnya sendiri, (8) guru menghargai pengalaman dan kemampuan siswa agar belajar secara mandiri.
d. Pengembangan cita-cita dan aspirasi balajar
Dewasa ini keinginan hidup lebih baik telah dimiliki warga masyarakat. Belajar telah dijadikan alat hidup, oleh karena itu warga masyarakat mendambakan agar anak – anaknya memperoleh tempat belajar di sekolah yang baik.
Memasyarakatkan “cita-cita untuk hidup labih baik” akan berpengaruh pada generasi muda. Namun pengaruh tersebut perlu dikembangkan lebih lanjut oleh guru dan pendidik lain. Sekolah sebagai pusat kegiatan belajar adalah tempat tim guru profesional pendidik. Tim guru bekerja secara berkesenambungan, sejak dari TK, SD, SLTP, dan SLTA.
Guru sebagai pendidik, berpeluang merekayasa dan mendidikan cita – cita belajar. Mendidikan cita-cita belajar pada siswa merupakan upaya “memberantas” kebodohan masyarakat. Upaya mendidikkan dan mengembangkan cita-cita belajar tersebut dapat dilakukan denga berbagai cara, antara lain (a) guru menciptakan suasana belajar yang kondusif, (b) Guru mengikut sertakan siswa untuk memelihara fasilitas belajar, (c) guru mengajak serta siswa untuk membuat perlombaan untuk belajar, (d) guru mengajak serta orang tua siswa untuk memperlengkap fasilitas belajar, (e) guru “memberanikan” siswa untuk mencapai, siswa diajak berdiskusi tentang keberhasilan atau kegagalan mencapai keinginan yang baru yang diduga dapat tercapai, (f) guru bekerjasama dengan pendidik lain, untuk mendidikkan dan mengembangkan cita –cita belajar sepanjang hayat.
Untuk pengembangan cita – cita belajar siswa, guru dan pendidik lain dapat membuat program – program balajar. Guru dan pendidik lain berlaku “tut wuri handayani”. Pengembangan cita-cita belajar dilakukan sejak siswa sekolah dasar. Pengembangan cita – cita belajar tersebut “ ditempuh” dengan jalan membuat kegiatan belajar sesuatu. Penguat berupa hadiah diberikan pada setiap siswa yang berhasil. Sebaliknya dorongan keberanian untuk memiliki cita – cita diberikan kepada setiap siswa yang berasal dari semua lapisan masyarakat.
Rangkuman
Belajar merupakan perilaku yang dilakukan oleh pebelajar. Pebelajar menampilkan perilaku balajar karena adanya kekuatan mental sebagai penggerak yang ada pada dirinya. Kekuatan mental tersebut berupa keinginan, perhatian kemauan, atau cita-cita, yang disebut dengan motivasi belajar, unsur utama motivasi belajar adalah kebutuhan, dorongan, dan tujuan dari pembelajaran. Motivasi belajar ini sangat penting dipahami dan diketahui oleh siswa, maupun guru.
Sebagai kekuatan mental, motivasi dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu motivasi primer dan sekunder. Sifat motivasi dapat dibedakan menjadi instrinsik dan ekstrinsik. Ada pula pendapat yang membedakan motivasi atas motivasi internal dan eksternal. Maslow dan Rogers misalnya, mengakui pentingnya motivasi instrinsik dan ekstrinsik bagi acara pembelajaran. Beberapa ahli menekankan bahwa segi – segi tertentu pada motivasi justru mengisyaratkan agar guru bertindak taktis dan kreatif dalam mengelola motivasi belajar siswa. Motivasi belajar dihayati, dialami, dan merupakan kekuatan mental pebelajar dalam belajar. Motivasi belajar siswa perlu dihidupkan terus menerus untuk mencapai hasil belajar yang optimal dan dijadikan dampak pengiring, yang selanjutnya menumbuhkan program belajar sepanjang hayat. Dari sisi guru motivasi belajar pada siswa berada pada lingkup program dan tindak pembelajaran. Oleh karena itu guru berpeluang meningkatkan, mengembangkan, dan memelihara motivasi belajar dengan optimalisasi, (1) terapan prinsip belajar, (2) dinamisasi perilaku siswa seutuhnya, (3) pemanfaatan pengalaman dan kemampuan siswa, (4) aspirasi dan cita–cita siswa, dan (5) tindakan pembelajaran sesuai rekayasa pedagogis.
Tugas
Setelah anda mempelajari isi bab ini kerjakanlah (jawablah) tugas–tugas di bawah ini.
1. Buatlah rumusan mengenai pengertian motivasi belajar, dengan kata – kata sendiri !
2. Diskusikan dengan teman, mengapa calon pendidik maupun guru perlu mengetahui dan memahami motivasi belajar siswa !
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan motif dasar (primer), berikan contoh !
4. Identifikasi, perbedaan motivasi instrinsik dengan motivasi ekstrimisik, dan lengkapi dengan contoh !
5. Jelaskan pentingnya motivasi belajar bagi seorang guru dalam mengelola pembelajaran di kelas !
6. Jika anda seorang guru, upaya apa yang akan anda lakukan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa anda ?
Daftar Pustaka
Dimyati dan Mudjiono, (1994). Belajar dan Pembelajaran, Jakarta P2PLTK, Dirjendikti Depdikbud.
Prayitno, Elida, (1989), motivasi dalam belajar, Jakarta P2PLTK. Dirjendikti Depdikbud.
Slameto, (1991), belajar dan faktor – faktor yang mempengaruhinya, Jakarta, Reineke Cipta.
BAB VII
DASAR-DASAR PENGEMBANGAN DAN FUNGSI KURIKULUM
A. Pendahuluan
Mencermati dalam dimensi yang lebih luas dan mendalam, langsung atau tidak, kurikulum berperan amat penting dalam menentukan pembentukan generasi masa depan, generasi yang akan menentukan hidup dan kehidupannya sendiri. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa “mau dibawa kemana generasi masa depan “ maka kurikulum sangat berperan dalam keseluruhan aktivitas pendidikan yang dilakasanakan.
Selanjutnya, apabila dikaitkan dengan salah satu kompetensi guru, maka penguasaan terhadap kurikulum adalah salah satu kompetensi guru yang harus dimiliki dan dikuasai oleh guru dalam menjalankan tugasnya sehari-hari sebagai tenaga guru yang profesional.
Sehubungan dengan hal diatas, bagian ini akan menguraikan dan membahas tentang; Dasar-dasar Pengembangan kurikulum yang meliputi; Pengertian Kurikulum; Landasan Pengembangan Kurikulum; Komponen Kurikulum; dan Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum.
Dengan memberikan wawasan tentang hal ini, diharapkan calon guru (mahasiswa kependidikan) memiliki kemampuan yang dibutuhkan sebagai guru yang profesional, khususnya dalam hal pengembangan kurikulum
B. Materi
Pengembangan Kurikulum
a. Pengertian Kurikulum
Pengertian kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori-teori pendidikan yang dianutnya. Menurut pandangan lama, kurikulum merupakan kumpulan dari mata-mata pelajaran atau bahan ajaran yang harus disampaikan guru atau dipelajari oleh siswa. Anggapan ini telah ada sejak zaman dahulu (Yunani Kuno), dalam hubungan atau lingkungan tertentu pandangan itu masih terpakai sampai sekarang, Robert S. Zais ; 1976 (dalam Nana Syaodih ; 1988) menyatakan bahwa “curriculum is rececourse of subject matters to be mastered’. Banyak orang tua bahkan guru-guru, bila ditanya tentang kurikulum akan memberikan jawaban sekitar mata-mata pelajaran, lebih khusus mungkin kurikulum diartikan sebagai isi mata-mata pelajaran. Apabila dicermati pengertian tersebut tentu pengertian kurikulum bukan hanya sekedar itu, namun lebih luas dan lebih kompleks. Berbagai pengertian tentang kurikulum telah banyak dikemukakan dalam berbagai literatur, untuk mengemukakannya dalam kesempatan yang terbatas ini semua pengertian tentang kurikulum adalah hal yang tidak mungkin. Oleh sebab itu dalam hal ini hanya akan dikemukakan oleh beberapa ahli saja.
1) Mc Donald (1965;3)
Kurikulum merupakan sebuah rencana kegiatan yaitu rencana yang memberi pedoman kepada pengajaran
2) Mauritz Johnson (1967:130)
Kurikulum berkenaan dengan rentetan hasil-hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh siswa
3) Krug (1956) (dalam Zais; 1976:8)
Kurikulum adalah semua yang dipakai oleh sekolah untuk menyediakan kesempatan-kesempatan bagi siswa untuk memperoleh pengalaman belajar yang diperlukan
Pengertian yang dimasyarakatkan dan dipakai di Indonesia adalah sebagaimana yang tertera dalam UU No 2 tahun 1989 tentang Sistim Pendidikan Nasional, yaitu Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.
b. Landasan Pengembangan Kurikulum
Landasan kurikulum adalah nilai-nilai, tradisi, kepercayaan dan kekuatan lain yang berpengaruh terhadap bentuk dan kualitas pendidikan yang diberikan kepada peserta didik. Landasan tersebut dapat berupa; filosofis, psikologis, sosiologis, historis dan IPTEK.
1) Landasan Filosofis
Landasan filosofis pada hakekatnya adalah suatu kekuatan yang memberikan arah dalam semua keputusan dan tindakan yang diambil dalam bidang pendidikan. Pendidikan ada dan berada dalam kehidupan masyarakat, sehingga apa yang dikehendaki oleh masyarakat untuk dilestarikan, diselenggarakan melalui pendidikan (dalam arti yang seluas-luasnya). Dengan kata lain, pandangan hidup, wawasan yang ada dalam masyarakat merupakan landasan filosofis penyelenggaraan pendidikan. Sehubungan dengan hal di atas, pandangan hidup orang dan bangsa Indonesia adalah Pancasila. Oleh karena itu sistim nilai yang harus dipegang oleh seluruh jalur dan satuan pendidikan di Indonesia dalam penyelenggaraan pendidikannya secara keseluruhan, termasuk dalam pengembangan kurikulum adalah Pancasila
2) Landasan Psikologis
Landasan psikologis berkenaan dengan cara peserta didik belajar, faktor apa yang menghambat kemajuan belajar, memberikan landasan berfikir tentang hakikat proses belajar dan pembelajaran dan tingkat-tingkat perkembangan peserta didik. Kurikulum pada dasarnya disusun agar peserta didik dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dengan memperhatikan teori-teori dan prinsip-prinsip belajar yang sesuai dengan tingkat perkembangan psikologi peserta didik yang bersangkutan akan menghasilkan kurikulum yang efektif.
3) Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis menyangkut kekuatan-kekuatan sosial kemasyarakatan yang selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Hal itu akan memberikan warna dan pengaruh terhadap pengembangan kurikulum. Sekolah didirikan untuk mengembangkan kebudayaan masyarakat. Penerusan kebudayaan kepada peserta didik sebagai generasi penerus merupakan tujuan utama pendidikan yang pada akhirnya dapat menentukan kualitas masyarakat, sekarang dan masa depan. Tentu saja landasan ini tidak hanya berpengaruh terhadap pengembangan kurikulum pada dimensi kurikulum sebagai dokumen tertulis, tetapi juga lebih berpengaruh pada dimensi implementasi kurikulum yang bersangkutan.
4) Landasan Historis
Landasan historis berkaitan dengan keputusan-keputusan program pendidikan dan formulasi-formulasi program-program sekolah pada waktu lampau yang masih hidup sampai sekarang, atau yang pengaruhnya masih besar pada kurikulum saat ini. Kurikulum yang dikembangkan saat ini, perlu mempertimbangkan apa yang telah dilakukan dan apa yang telah kita capai melalui kurikulum sebelumnya. Demikian juga, kita perlu memper timbangkan kurikulum yang ada sekarang waktu mempertimbangkan kurikulum di masa depan, karena apa yang kita lakukan sekarang akan berpengaruh terhadap kurikulum yang akan kita kembangkan di masa depan. Contohnya, pengembangan kurikulum yang akan dan sedang dalam proses perbaikan dan penyempurnaan, tentu tidak akan dimulai dari nol (awal), tetapi mengambil pelajaran dan pengalaman dari kurikulum yang berlaku sebelumnya (kurikulum 1975, kurikulum 1984). Tujuan dan materi kurikulum sebelumnya tentu dipakai sebagai acuan dan pedoman bagi kurikulum berikutnya. Dengan demikian pelajaran dan pengalaman yang dapat diambil dari pelaksanaan kurikulum sebelumnya menjadi pelajaran yang berharga dan berpengaruh terhadap berbagai komponen kurikulum berikutnya.
5) Landasan Perkembangan IPTEK
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terus berlangsung, apakah menghasilkan teori (hukum) baru dan teknologi baru atau menggugurkan teori (hukuk) dan teknologi yang telah ada. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan hanya berkenaan dengan cara-cara dan alat-alat fisik-mekanik tetapi juga berkenaan dengan pemecahan masalah-masalah yang membutuhkan pendekatan dari sistem tertentu, logika, eksperimen tertentu dan sebagainya. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi cukup luas, menyentuh segala bidang kehidupan seperti; politis, ekonomi, sosial, keagamaan, etika, keamanan, pendidikan dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara langsung maupun tidak langsung menuntut perkembangan pendidikan. Pengaruh langsung perkembangan IPTEK ini adalah memberikan isi/materi atau bahan yang akan disampaikan dalam pendidikan. Pengaruh tidak langsung adalam perkembangan IPTEK, menyebabkan perkembangan masyarakat, dan perkembangan masyarakat menimbulkan problem-problem baru yang menuntut pemecahan dengan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan baru yang dikembangkan dalam pendidikan dan khususnya dalam pengembangan kurikulum.
c. Komponen Kurikulum
Kurikulum dapat diumpamakan sebagai suatu sistim atau suatu organisme manusia ataupun binatang, yang memiliki komponen tertentu. Komponen-komponen kurikulum yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum adalah :
1) Tujuan
Komponen Tujuan berkaitan dengan arah atau sasaran yang ingin dicapai dalam penyelenggaraan pendidikan dan akan mewarnai seluruh komponen lainnya dan akan mengarahkan semua kegiatan belajar pembelajaran. Oleh karena itu dalam pengembangan kurikulum komponen tujuan merupakan komponen pertama dan utama yang harus ditetapkan atau dikembangkan.
Tujuan ini, diangkat dari tuntutan dan kebutuhan masyarakat dan didasari oleh falsafah negara. Dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah tahuan 1994 dikenal beberapa kategori tujuan yang dapat dilihat secara hierarkis (berjenjang)
a) Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan ini merupakan tujuan ideal pendidikan seluruh bangsa Indonesia.
b) Tujuan Satuan Pendidikan
Tujuan Satuan Pendidikan (sebelumnya tujuan ini disebut tujuan Institusional) merupakan tujuan pendidikan yang akan dicapai suatu satuan pendidikan.
c) Tujuan Pengajaran
Merupakan tujuan yang ingin dicapai untuk setiap mata pelajaran/bidang studi.
d) Tujuan Pembelajaran
Tujuan Pembelajaran merupakan target yang harus dicapai oleh suatu pokok bahasan/suatu topik/suatu konsep/suatu tema/suatu sub tema. Tujuan yang terakhir ini dirinci lagi menjadi Tujuan Pembelajaran Umum (TPU) dan Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK).
2) Materi
Komponen materi berkenaan dengan hal/apa saja yang diajarkan agar peserta didik memperoleh pengalaman belajar seperti yang dirumuskan pada tujuan. Materi pelajaran mencakup;
a) Ilmu pengetahuan, seperti; konsep, ide, fakta, data dan prinsip;
b) Keterampilan, seperti; membaca, menulis, berhitung, berfikir, berkomunikasi dan
c) Nilai-nilai dan sikap yang terorganisasi dalam suatu pelajaran/bidang studi seperti baik-buruk, betul-salah, indah-jelek dsb.
Materi pelajaran tersebut perlu disusun (diorganisasi) sehingga peserta didik memperoleh pengalaman belajar untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Organisasi materi pelajaran dapat dimensi.
a) Organisasi horizontal
Organisasi materi dalam dimensi ini menyangkut ruang lingkup dan keterpaduan (integrasi) dari keseluruhan materi. Dengan kata lain, organisasi horizontal merupakan kaitan antara satu materi dengan materi pelajaran lainnya pada kelas yang sama. Umpama antara materi mata pelajaran Sejarah, Geografi, Antropologi, dan Sosiologi, baik secara terpisah-pisah maupun terpadu dalam satu mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial, dinamakan organisasi horizontal
b) Organisasi Vertikal
Organisasi materi dalam dimensi ini mencakup urutan dan kesinambungan materi pelajaran berupa hubungan longitudinal materi pelajaran dengan peserta didik. Misalnya, materi pelajaran Sejarah kelas V SD yang dikaitkan dengan materi pelajaran sejarah kelas VI SD, tetapi dengan tingkat kesukaran, keluasan dan kedalaman yang berbeda.
Untuk mengorganisaikan materi pelajaran ada 5 kriteria a) ruang lingkup; b) integrasi; c) urutan; d) berkelanjutan serta ; e) artikulasi dan keseimbangan.
3). Strategi dan Media Pembelajaran
Pengembangan materi (isi dan pengorganisasiannya) berhubungan erat dengan Strategi dan Media Pembelajaran, karena pada waktu dan setelah pengembangan materi juga harus dipikirkan strategi dan media pembelajaran mana yang sesuai untuk menyajikan materi yang bersangkutan.
Ada beberapa strategi yang dapat digunakan dalam pembelajaran yaitu:
a) Reception (Exposition/learning-Discovery Learning)
Dalam reception atau exposition learning keseluruhan materi/isi pelajaran disampaikan kepada peserta didik, baik secara lisan maupin secara tertulis. Peserta didik tidak dituntut mengolah atau melakukan aktivitas lainnya.
Dalam discovery learning materi/isi pelajaran tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan; menganalisis, menyimpulkan, mereorganisasi dan mengintegrasikan materi tersebut. Dengan demikian peserta didik akan menemukan hal-hal yang bermanfaat dan berarti baginya.
b) Rote Learning-Meaningfull Learning
Dalam rote learning materi/isi pelajaran disampaikan kepada peserta didik tanpa memperhatikan maknanya bagi mereka. Dalam meaningfull learning penyampaian materi/isi pelajaran mengutamakan maknanya bagi peserta didik. Suatu materi/isi pelajaran akan bermakna bila dihubungkan dengan struktur kognitif, yaitu; segala fakta, konsep, proporsi, teori dan data perseptual yang telah dikuasai siswa sebelumnya.
c) Group Learning-Individual Learning
Strategi pembelajaran ini berkenaan dengan pengorganisasian siswa dalam aktivitas belajar (dalam bentuk kelompok kecil dan secara individual)
Selanjutnya media pembelajaran merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan kepada penerima pesan. Di samping itu, yang penting untuk diketahui bahwa pemilihan dan penggunaan media pembelajaran secara tepat akan menghasilkan pengalaman belajar yang optimal bagi peserta didik.
4) Evaluasi
Komponen evaluasi dimaksudkan untuk mengetahui tujuan-tujuan yang telah ditentukan serta menilai proses belajar mengajar secara keseluruhan. Tiap kegiatan akan memberikan umpan balik, dan digunakan untuk mengadakan berbagai upaya penyempurnaan tujuan materi/isi pelajaran, strategi dan media pembelajaran dan evaluasi itu sendiri.
d. Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum
Ada beberapa prinsip pokok pengembangan kurikulum yang harus diperhaikan. Prinsip-prinsip tersebut ialah;
1) Prinsip Relevansi
Prinsip relevansi dapat diartikan bahwa kurikulum harus diuraikan dengan tuntutan kehidupan dan kehidupan peserta didik. Pada dasarnya prinsip ini dapat dibedakan kepada dua bagian yaitu ;
a) Relevansi ke dalam
Relecansi ke dalam adalah menyangkut kesesuaian atau keserasian antar komponen-komponen yang ada dalam kurikulum.
b) Relevansi ke luar
Relevansi keluar adalah menyangkut kesesuaian kurikulum dengan peserta didik, dengan perkembangan zaman sekarang dan masa datang serta dengan tuntutan dunia pekerjaan.
2) Prinsip Fleksibilitas
Prinsip fleksibilitas maksudnya adalah tidak kaku artinya adanya dan terbukanya kemungkinan bagi peserta didik untuk memilih beberapa alternatif di luar ketentuan yang berlaku. Misalnya, disediakannya beberapa program pilihan; program spesialisasi, jurusan dan program keterampilan. Peserta didik dapat memilih alternatif yang sesuai dengan kemampuan, bakat atau minat peserta didik yang bersangkutan.
Prinsip ini juga berlaku bagi guru dalam memilih, menentukan dan menyumbangkan program pembelajaran yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang memungkinkan aktivitas berjalan dan berhasil secara maksimal.
3) Prinsip Kontinuitas
Prinsip ini mengandung ide bahwa perlu dijaga atau dipelihara adanya saling keterkaitan materi pelajaran yang ada pada berbagai satuan dan jenjang pendidikan. Dalam pengembangan materi pelajaran perlu adanya kesinambungan agar materi pelajaran yang diperlukan untuk mempelajari materi pada tingkat yang lebih tinggi sudah dikuasai pada tingkatan materi dan tingkatan sekolah sebelumnya.
4) Prinsip Efektivitas
Prinsip ini berkaitan dengan tingkat pencapaian atau tingkat keberhasilan yang telah direncanakan atau yang diinginkan dapat terlaksana (tercapai). Dengan arti kata bahwa sejauh mana tingkat pencapaian atau keberhasilan proses dan hasil pembelajaran yang telah dilaksanakan.
5) Prinsip efisiensi
Prinsip ini menyangkut dengan perbandingan antara tenaga, waktu, dana dan sarana yang dimanfaatkan dengan hasil yang diperoleh. Untuk itu prinsip ini perlu diperhatikan misalnya, dengan tenaga guru yang berkualitas tinggi, sarana dan prasarana yang memadai, dan waktu yang mencukupi, berapa jauh semua proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan mencapai hasil seperti yang telah direncanakan.
2. Fungsi Kurikulum
Pada dasarnya kurikulum berfungsi sebagai pedoman kerja bagi berbagai pihak yang ikut terkait dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kurikulum. Dengan demikian segala pekerjaan yang erat kaitannya dengan implementasi kurikulum dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan yang diharapkan. Namun demikian ada beberapa hal penting san yang seyogianya diperhatikan atau di ketahui bahwa keberhasilan/kesuksesan implementasi kurikulum dipengaruhi oleh banyak faktor. Di samping itu, kurikulum bukanlah hal yang statis, tetapi merupakan unsur yang dunamis seiring dengan dinamika yang terjadi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi kita dengan dinamika perkembangan zaman. Hal ini tentu saja terkait dengan keputusan dan kebijakan mengenai penyempurnaan dan perubahan kurikulum.
Sehubungan hal di atas, bagian ini akan membahas tentang; fungsi kurikulum, faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan/kesuksesan kurikulum dan penyempurnaan/perubahan kurikulum. Dengan kajian ini diharapkan mahasiswa memahami secara lebih luas dan memadai sebagai bekal untuk melaksanakan tugasnya sebagai guru yang profesional.
Fungsi kurikulum dapat ditujukan kepada :
a. Bagi Pencapaian Tujuan
Salah satu fungsi kurikulum adalah untuk pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkan atau digariskan sebelumnya. Dengan kurikulum, maka tujuan akan dapat dicapai. Oleh sebab itu komponen kurikulum ini merupakan unsur pokok/penting kedudukannya untuk mencapai suatu tujuan, baik tujuan yang sifatnya lebih khusus maupun tujuan yang lebih umum, seperti tujuan Pendidikan Nasional.
b. Bagi Guru
Dalam mengemban tugas sebagai pelaksana kurikulum maka kurikulum berfungsi sebagai pedoman kerja. Dengan itu guru akan terhindar dari melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam kurikulum tersebut. Hal ini berarti bahwa kurikulum akan memberikan arah yang benar bagi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang menjadi tugas pokok guru.
c. Bagi Sekolah
Bagi sekolah kurikulum berfungsi sebagai :
1) Sebagai alat mencapai tujuan lembaga pendidikan yang diinginkan. Setiap lembaga (satuan pendidikan) mempunyai tujuan yang akan dicapai sesuai dengan jenjang pendidikannya. Kurikulum merupakan alat yang berfungsi untuk mencapai tujuan masing-masing lembaga yang bersangkutan.
2) Sebagai pedoman mengatur segala kegiatan sehari-hari di sekolah. Fungsi ini meliputi
a) Jenis program pendidikan yang harus dilaksanakan
b) Cara pelaksanaan/penyelenggaraan setiap jenis program pendidikan
c) Pihak yang bertanggung jawab dalam melaksanakan program pendidikan
d) Bentuk dan cara evaluasi dilaksanakan terhadap program pendidikan
d. Bagi Kepala Sekolah
Kepala Sekolah juga merupakan salah satu unsur pengembang kurikulum di sekolah. Oleh karena itu, kurikulum bagi kepala sekolah merupakan barometer atau alat ukur keberhasilan program pendidikan di sekolah yang dipimpinnya.
Kepala Sekolah dituntut untuk menguasai, dan mampu mengontrol apakah kegiatan-kegiatan proses pendidikan yang dilaksanakan itu berpijak pada kurikulum yang berlaku. Pengembangan kurikulum dan kegiatan administrasi dan program pembelajaran yang dibuat dan dilaksanakan di kelas, seyogianya semua berpedoman pada dan untuk menunjang kurikulum yang berlaku.
e. Bagi Masyarakat
Dengan adanya kurikulum, maka melalui kurikulum sekolah yang bersangkutan, masyarakat dapat mengetahui apakah pengetahuan, sikap dan nilai serta keterampilan yang dibutuhkannya relevan atau tidak dengan kurikulum suatu sekolah.
Perlu ditegaskan sini bahwa hasil pendidikan yang diperoleh peserta didik akan sukar mencapai manfaat optimal tanpa adanya partisipasi masyarakat baik langsung maupun tidak langsung. Oleh sebab itu, sewajarnyalah masyarakat khususnya para orang tua turut membantu pendidikan anak-anaknya di rumah masing-masing, dengan cara membimbing, membantu latihan dan sebagainya guna mencapai hasil yang optimal.
Selanjutnya, bantuan, bimbingan dan latihan yang tidak didasarkan atas kurikulum yang berlaku, tidak mustahil membawa akibat yang dapat merugikan peserta didik, merugikan sekolah, sekaligus masyarakat atau orang tua.
2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pengembangan Kurikulum
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengembangan kurikulum diantaranya ialah;
a. Pendidikan Tinggi
Kurikulum yang dikembangkan minimal mnedapat pengaruh dari pendidikan tinggi, yaitu, dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan di perguruan tinggi; dari pendidikan guru yang dilaksanakan oleh LPTK. Pengetahuan dan teknologi hanya memberikan sumbangan bagi isi kurikulum dan jenis pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan di Perguruan tinggi akan mempengaruhi isi pelajaran yang akan dikembangkan dalam kurikulum. Kurikulum di LPTK akan sangat mempengaruhi kompetensi guru dan tenaga kependidikan lainnya yang dihasilkan itu.
b. Masyarakat
Sekolah merupakan bagian dari masyarakat dan bertugas mempersiapkan anak untuk kehidupannya di masyarakat sebagai bagian dan agen dari masyarakat, sekolah sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dimana sekolah tersebut berada. Isi kurikulum hendaknya mencerminkan kondisi dan dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Salah satu contoh konkrit sebagai suatu kekuatan yang ada dalam masyarakat adalah dunia usaha. Perkembangan dunia usaha ynag ada di masyarakat mempengaruhi pengembangan kurikulum sebab sekolah bukan hanya mempersiapkan anak untuk hidup, tetapi juga untuk bekerja dan berusaha, hal-hal seperti ini tentu saja perlu disiapkan oleh sekolah melalui kurikulum.
c. Sistim Nilai
Dalam kehidupan masyarakat terdapat sistem nilai, seperti: nilai moral, nilai sosial maupun nilai politis. Sekolah sebagai lembaga masyarakat bertanggung jawab dalam pemeliharaan dan perumusan nilai-nilai dan yang akan dipelihara dan diteruskan kepada generasi muda harus terintegrasi dalam kurikulum.
Terdapat beberapa hal yang perlu diketahui dan diperhatikan dalam memberikan nilai-nilai tersebut, seperti: 1) semua nilai yang ada dalam masyarakat harus diketahui dan diperhatikan, 2) berpegang pada prinsip demokrasi, etis dan moral, 3) berusaha menjadi teladan yang dapat dan patut ditiru, 4) menghargai nilai0nilai kelompok lain, 5) memahami dan menerima keragaman kebudayaan sendiri.
3. Penyempurnaan dan Perubahan Kurikulum
Dalam proses pengembangan kurikulum secara keseluruhan, penyempurnaan dan perubahan suatu kurikulum adalah suatu kegiatan yang mesti ada dan harus dilakukan. Dilakukannya kegiatan tersebut karena pada hakikatnya kurikulum bukanlah sesuatu yang statis, namun merupakan suatu hal yang dinamis, seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat, dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika tuntutan dan aspirasi segala aspek kehidupan, penyempurnaan dan perubahan kurikulum dapat dilakukan pada sebagian atau keseluruhan dari komponen kurikulum dan dari segi waktu. Penyempurnaan dan perubahan tersebut tidak mesti pula menunggu lama baru dilakukan, kalau demikian yang terjadi adalah kurikulum akan selalu ketinggalan dan menjadi usang.
Tugas dan Latihan
1. Individual
a. Mencari 3 (tiga) pengertian menurut beberapa ahli dan berikan pendapat saudara tentang konsep/pengertian tersebut!
b. Menjelaskan maksud yang terkandung dalam pengertian kurikulum menurut UU No 2 tentang Sistim Pendidikan Nasional
c. Memberikan contoh untuk masing-masing landasan kurikulum (filosofis, sosiologis, historis dan IPTEK)
2. Kelompok
a. Mencari rumusan masing-masing tujuan berdasarkan hierarkis (jenjang) tujuan yang ada dan menjelaskan hubungan dan keterkaitan masing-masingnya
b. Menjelaskan keterkaitan antara komponen yang ada dalam kurikulum yang disertai contohnya masing-masing
c. Merumuskan implementasi dari masing-masing prinsip pengembangan kurikulum dalam kaitannya dengan pengembangan proses pembelajaran.
3. Melakukan kajian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan kurikulum dikaitkan dengan kurikulum dikaitkan dengan kurikulum dalam bentuk (dimensi) tertulis dan kurikulum dalam dimensi implementasi.
4. Mengkaji secara lebih luas dan mendalam terhadap penyempurnaan dan perubahan kurikulum ditinjau dari :
a) Penyempurnaan dan perubahan kurikulum yang terjadi di Indonesia
b) Alasan-alasan dilakukannya penyempurnaan dan perubahan kurikulum
c) Dampak positif (manfaat) yang dapat diperoleh dengan adanya penyempurnaan dan perubahan kurikulum tersebut.
Rangkuman
Pengertian kurilikum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan, juga bervariasi sesuaid engan aliran atau teori pendidikan yang dianutnya. Bentuk dan kualitas pendidikan yang diberikan kepada peserta didik melalui kurikulum sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai tradisi, kepercayaan dan kekuatan lainnya yang disebut dengan landasan pengembangan kurikulum yaitu; landasan filsofis, psikologis, sosiologis,historis dan IPTEK. Sebagai suatu sistem, kurikulum mempunyai beberapa komponen yang berkaitan satu dengan lainnya. Komponen yang dimaksud adalah: tujuan, materi, strategi dan media pembelajaran dan evaluasi. Dalam pengembangan kurikulum dan pengembangan proses pembelajara khususnya perlu diperhatikan prinsip-prinsipnya seperti; prinsip relevansi, kontinuitas, fleksibilitas, efektivitas dan efisiensi.
Fungsi kurikulum sangat krusial dan penting oleh berbagai pihak yang ikut bertanggung jawab terhadap terlaksananya pengembangan kurikulum secara optimal, seperti: bagi guru, bagi sekolah, bagi masyarakat dan paling utama adalah bagi pencapaian tujuan pendidikan. Dalam pengembangan kurikulum ada 3 faktor yang sangat berpengaruh yaitu : pendidikan tinggi, masyarakat dan sistim nilai. Ketiga faktor tersebut ada dan merupakan bagian dalam lembaga masyarakat, ia selalu tumbuh dan berkembang. Kondisi seperti itu, hendaknya menjadi pertalian utama dalam penyempurnaan dan perubahan kurikulum yang akan dilakukan.
Daftar Pustaka
Ansyar, M dan Nurtain. 1991/1992. Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Jakarta : Depdikbud P2TK.
Dimyati dan Mudjiono. 1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: P2LPTK
Sukmadinata, Nana S. 1988. Prinsip dan Landasan Pengembangan Kurikulum. Jakarta. P2LPTK.
Ansyar, M dan Nurtain. 1991. Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Jakarta : P2LPTK.
Dimyati dan Mudjiono. 1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : P2LPTK
Sudirman, dkk. 1987. Ilmu Pendidkan. Bandung : Remaja Karya.
Sukmadinata, Nana S. 1988. Prinsip dan Landasan Pengembangan Kurikulum. Jakarta. P2LPTK.
BAB VIII
JENIS–JENIS PENDEKATAN DAN PERANAN GURU
DALAM BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
A. Pendahuluan
Pendekatan dan peranan guru dalam pembelajaran penting dipahami oleh guru atau mahasiswa calon guru karena melalui pendekatan pembelajaran inilah kurikulum dari suatu lembaga pendidikan dapat diaplikasikan.
Proses belajar mengajar melibatkan guru dan sekelompok siswa yang jumlahnya sampai empat puluhan atau lebih. Keadaan demikian menuntut keterampilan guru dalam mengorganisir agar seluruh siswa terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran. Selain itu guru juga harus mengorganisir bahan atau materi pelajaran yang berasal dari berbagai sumber.
Hal ini membutuhkan keterampilan khusus dalam mengolah pesan. Pembelajaran juga berarti meningkatkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor dari siswa. Kemampuan–kemampuan tersebut dikembangkan bersamaan dengan pemerolehan pengalaman–pengalaman belajar tertentu. Dengan menghadapi sejumlah pelajar, berbagai bahan yang terkandung dalam bahan ajar, peningkatan kemampuan belajar, dan proses pemerolehan pengalaman, maka setiap guru memerlukan pengeta-huan tentang pendekatan pembelajaran.
Setelah mempelajari isi dan menyelesaikan tugas–tugas dalam bab ini Anda diharapkan mampu :
1. Mengenal pengertian pendekatan dalam pembelajaran dengan pengorganisasian siswa secara individual, kelompok, dan klasifikasi.
2. Menganalisis posisi guru dan siswa dalam pengolahan pesan, baik secara ekpsositori maupun secara inkuiri.
3. Menerapkan proses pembelajaran secara induktif dan deduktif.
4. Mengenal pengertian keterampilan proses dalam kaitannya dengan CBSA
5. Menjelaskan pentingnya penerapan keterampilan proses dalam pembelajaran.
6. Mengenal keterampilan dasar yang perlu dilatihkan dalam penerapan pendekatan keterampilan proses.
7. Merancang penerapan pendekatan keterampilan proses dalam kegiatan pembelajaran
8. Merancang kegiatan pembelajaran berdasarkan modal mengajar
B. Pengertian Pendekatan Pembelajaran
Pada kegiatan belajar–mengajar di kelas adakalanya guru memberikan bahan belajar kepada siswa untuk dikerjakan secara individu di kelas. Siswa mengerjakan tugas–tugas secara individu sesuai dengan petunjuk yang ada dalam bahan ajar. Guru bertugas mengontrol masing–masing siswa dan memberikan bimbingan kepada siswa yang membutuhkan.
Dalam kesempatan lain guru membentuk kelompok–kelompok siswa yang bertugas mendiskusikan materi dan tugas tertentu yang kemudian harus disampaikan di depan kelas. Guru menyediakan bahan yang diperlukan oleh masing–masing kelompok dan memberikan bimbingan yang dibutuhkan.
Sering pula guru menyampaikan materi pelajaran dengan cara menjelaskan di depan kelas sementara murid mendengar dan mencatat bagian–bagian yang penting. Kemudian murid diberi kesempatan untuk menanyakan bagian yang belum jelas, dan pada bagian akhir murid diberi tugas tertentu sesuai dengan materi yang telah dibahas.
Ketiga bentuk perlakuan guru yang dilukiskan di atas menggambarkan cara yang dipilih oleh guru dalam upaya membelajarkan siswa. Ketiga pendekatan yang dilakukan tersebut mempunyai tujuan, prinsip, dan tekanan yang berbeda.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan atau strategi pembelajaran merupakan penterjemahan filsafat atau teori mengajar menjadi rumusan tentang cara mengajar yang harus ditempuh dalam situasi-situasi khusus atau dalam keadaan tertentu yang spesifik.
C. Pendekatan ditinjau dari segi Pengolahan Pesan
Ada dua cara pandangan yang sangat berbeda mengenai pendekatan dalam proses belajar mengajar yaitu belajar penerimaan (reception learning) dan belajar penemuan (discovery laerning).
Pendekatan proses pembelajaran penerimaan dikembangkan menjadi strategi ekspositif, dengan langkah – langkah sebagai berikut.
1. Penyajian informasi, yang diberikan dalam bentuk penjelasan simbolik atau demonstrasi praktis.
2. Tes terhadap resepsi, ungkapan, dan pemahaman. Ulangi pesan/ informasi bila diperlukan.
3. Menyediakan kesempatan untuk menerapkan prinsip umum sebagai latihan dengan suatu contoh tertentu.
4. Menyediakan kesempatan untuk penerapan ke dalam situasi nyata sesuai dengan informasi yang baru dipelajari.
Pendekatan proses belajar pengalaman dikembangkan menjadi strategi diskoveri dengan langkah – langkah sebagai berikut :
1. Menyajikan kesempatan untuk bertindak atau berbuat dan mengamati konsekuensi – konsekuensi tindakan tersebut.
2. Tes terhadap pemahaman tentang hubungan sebab akbat.
Caranya dengan mempertanyakan atau mengamati reaksi – reaksi siswa. Sajikan kesempatan – kesempatan berikutmya bila diperlukan.
3. Mempertanyakan atau mengamati kegiatan selanjutnya, tes susunan prinsip umum yang mendasari kasus yang disajikan itu. Bila diperlukan, sajian kasus – kasus lainnya sampai prinsip – prinsip umum itu benar – benar dipahami.
4. Penyajian kesempatan – kesempatan guna penerapan hal yang baru saja dipelajari ke dalam situasi atau masalah – masalah yang nyata.
Langkah-langkah dalam melaksanakan metode inquiry
1. Identifikasi kebutuhan siswa
2. Seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian (konsep) dan generalisasi yang akan dipelajari dan peranan masing-masing siswa.
3. Guru membantu memperjelas tugas atau problema yang akan dipelajari dan peranan masing-masing siswa.
4. Seleksi bahan dan problema atau tugas-tugas
5. Mempersiapkan setting kelas dan alat-alat yang diperlukan
6. Mencek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan dan tugas-tugas siswa
7. Memberi kesempatan bagi siswa untuk melakukan penemuan
8. Membantu siswa dengan informasi atau data jika diperlukan
9. Guru memimpin analisis sendiri (self analisis) dengan pertanyaan yang mengarah dan mengidentifikasi proses.
10. Merangsang terjadinya interaksi antar siswa
11. Memotivasi siswa yang giat dalam proses penerimaan
12. Membantu siswa merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi atas hasil penemuan.
D. Pendekatan ditinjau dari Pengorganisasian Siswa.
1. Pembelajaran Secara Individual
Pembelajaran secara individual adalah kegiatan belajar – mengajar yang menitik beratkan bantuan dan bimbingan belajar kepada masing – masing individu. Ciri – ciri utama pada pembelajaran individual dapat dilihat dari beberapa hal.
a. Pencapaian tujuan pengajaran
Pencapaian tujuan pengajaran pada pengajaran individual tergantung kepada kemampuan individual siswa. Awal pelajaran dimulai dari kemampuan yang sudah ada pada individu. Kemampuan tersebut dikembangkan secara optimal.
b. Paranan siswa dan guru
Dalam pembelajaran individual siswa merupakan titik sentral dalam pelayanan pembelajaran. Siswa memiliki keleluasaan dalam beberapa hal seperti menggunakan waktu belajar, mengontrol kecepatan dan intensitas belajar, dan menyusun jadwal belajar sendiri.
Peranan guru pada pembelajaran individual adalah memfasilitasi siswa dalam beberapa hal antara lain membantu merencanakan kegiatan belajar, mengorganisasikan kegiatan belajar, memberikan fasilitas dan mempermudah cara belajar. Di samping itu guru juga berperan sebagai pembimbing dalam memecahkan kesulitan dalam belajar.
c. Program pembelajaran
Program pembelajaran individual adalah program yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat digunakan secara mandiri dengan bantuan yang sangat minim dari guru. Bentuknya antara lain berupa modul, paket belajar, pengajaran berprogram, dan pengajaran berbatuan komputer (Computerized Assisted Intructior, CAI).
Program pembelajaran individual beroriantasi pada pemberian fasilitas pada setiap siswa agar siswa dapat belajar secara mandiri. Kemandirian dalam belajar sesuai dengan tuntutan perkembangan individu.
2. Pembelajaran Secara Kelompok
Dalam kegiatan belajar mengajar di kelas adakalanya guru membentuk kelompok–kelompok kecil dengan amggota antara 4-8 orang siswa. Dalam pembelajaran kelompok guru dapat memberikan bimbingan yang lebih intensif kepada setiap anggota kelompok. Dalam pembelajaran kelompok hubungan guru dengan siswa lebih akrab, kelompok memperoleh bantuan sesuai dengan kebutuhan dan keamanan, sementara siswa terlibat secara aktif dalam kelompok rangka pencapaian tujuan balajar. Ciri–ciri yang nampak dari pembelajaran kelompok ini dapat dilihat dari beberapa aspek.
a. Pencapaian tujuan pengajaran
Pencapaian tujuan pengajaran pada pembelajaran kelompok dapat dicapai melalui proses kerja kelompok. Pembagian kerja untuk masing – masing anggota memupuk rasa tanggung jawab dari siswa. Siswa dilatih agar mampu memecahkan masalah secara rasional dalam kelompok yang dinamis.
b. Peranan guru dan siswa
Siswa dalam pembelajaran kelompok adalah anggota kelompok belajar yang kompak dan solid dalam memecahkan masalah kelompok. Ciri – ciri yang menonjol dari kelompok adalah adanya kesadaran bersama untuk mewujudkan tujuan kelompok, adanya rasa saling tergantung dan saling membutuhkan, interaksi antar anggota dan tindakan bersama sebagai perwujudan tanggung jawab kelompok.
Peranan guru dalam pembelajaran kelompok terutama sekali adalah memberikan perhatian kepada semangat kerja kelompok dalam memecahkan masalah kelompok. Oleh sebab itu guru perlu memperhatikan tentang bagaimana membentuk kelompok, perencanaan tugas masing – masing kelompok, mengawasi pelaksanaan, dan mengevaluasi hasil belajar kelompok.
3. Pembelajaran Secara Klasikal
Pengajaran klasikal merupakan pengajaran yang paling praktis dimana seorang guru menghadapi siswa yang jumlahnya mencapai empat puluhan. Walaupun demikian, pembelajaran klasikal menuntut kemampuan guru sekaligus dalam dua hal yaitu mengelola kelas dan mengelola pembelajaran.
Pengelolaan kelas adalah penciptaan kondisi yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan belajar dengan baik. Dalam hal ini mencakup kondisi fisik kelas dan kondisi emosional siswa yang akan belajar. Pengelolaan kelas yang baik oleh guru dapat mengatasi gangguan yang muncul dalam proses belajar dengan menggunakan teknik – teknik tertentu.
Pengelolaan pembelajaran bertujuan untuk mencapai tujuan belajar. Tekanan utama dalam pembelajaran klasikal adalah seluruh anggota kelas. Oleh sebab itu guru perlu menyusun disain intruksional yang lengkap, sehingga pelajaran dapat berjalan lancar,. Sebelum penyajian pelajaran, guru sudah menetapkan tugas yang harus dilakukan oleh siswa. Dengan demikian, siswa memahami apa yang harus dilakukan dan bagian mana yang mendapat penekanan untu dicatat dan dipahami. Di samping itu guru perlu menciptakan suasana tertib sehingga perhatian dapat tercurah pada meteri pelajaran dan siswa terlibat secara aktif.
4. Posisi Guru dan Siswa dalam pengelolaan pesan
Dalam kegiatan belajar – mengajar guru berusaha agar pesan atau meteri pelajaran yang mencakup pengetahuan, sikap dan keterampilan dapat dikuasai oleh siswa dengan baik. Cara yang ditempuh dapat bertumpu pada kegiatan apa yang dilakukan oleh murid (diskoveri dan inkuiri).
E. Pendekatan Keterampilan Proses
Dalam pencapaian hasil belajar, sering kita jumpai beberapa masalah. Contohnya adalah adanya siswa meskipun mendapat nilai yang tinggi dalam beberapa mata pelajaran di sekolah tetapi mereka tidak mampu menerapkan apa yang diperolehnya dalam kehidupan sehari – hari.
Para siswa memang memperoleh sejumlah pengetahuan, namun pengetahuan itu diterima sebagai informasi saja. Sementara siswa kurang mempunyai inisiatif dan tidak dibiasakan atau dilatih untuk mendapatkan pengetahuan melalui usaha dan pengalaman siswa itu sendiri. Peran siswa lebih banyak hanya menerima informasi dari guru yang kemudian dihapalkan untuk ujuan atau mendapatkan nilai.
Guru sebagai orang yang menggerakan terlaksanannya proses belajar mengajar tidak menggunakan strategi yang meransang keaktifan siswa. Sebagai sebuah ilustrasi, guru mengajarkan pokok bahasan tentang kebutuhan oksigen makhluk hidup, antara lain ikan. Dalam air yang tenang jumlah oksigen yang tersedia sedikit sedangkan dalam air yang bergerak jumlah oksigen lebih banyak. Kebutuhan akan oksigen dalam air yang tenag tidak cukup sementara dalam air yang bergerak lebih mencukupi. Hal ini akan mempengaruhi pertumbuhan ikan di kolam. Tetapi siswa yang mengukiti pelajaran tersebut tidak mampu memberikan saran kepada orang tuanya yang memelihara ikan dan kolam yang airnya tenang. Ia tidak bisa mengaplikasikan pengetahuannya dalam kehidupan nyata.
1. Rasional
Beberapa alasan yang mendasari perlunya diterapkan pendekatan keterampilan proses.
a. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat.
Perkembangan ilmu berlangsung sangat cepat, sehingga tidak mungkin bagi guru untuk menjadi satu–satunya sumber belajar dengan menuangkan semua informasi dan konsep yang diperlukan. Guru dituntut untuk membimbing siswa dalam menemukan informasi dan konsep yang selanjutnya mengolah perolehan tersebut. Pendekatan “menjajalkan ikan” dicoba mengalihkan pada pendekatan “memberikan kail” kepada siswa.
b. Anak didik mudah memahami konsep – konsep yang rumit dan abstrak jika anak dilibatkan secara fisik dan mental melalui percobaan dan praktek langsung.
c. Anak didik perlu dilatih untuk berfikir secara aktif, kreatif dan inovatif melalui latihan bertanya, diskusi, mengamati mengklasifikasi, menginterprestasi, mempredikasi, menerapkan, menilai berpikir, kritis dan mengupayakan berbagai kemingkinan jawaban.
d. Pendekatan keterampilan proses memberikan keluwesan dalam belajar dan perbedaan individual anak dapat dilayani dalam kegiatan belajar mengajar.
2. Pengertian Pendekatan Keterampilan Proses
Pendekatan keterampilan proses adalah pendekatan belajar mengajar yang mengarah pada pengembangan kemampuan mental, fisik, dan sosial yang mendasar sebagai penggerak kemampuan yang lebih tinggi dalam diri individu siswa.
Keterampilan proses terdiri dari tujuh ketermapilan yang masing – masing terbuna melalui beberapa kemampuan. Penjabarannya dapat dilihat pada tabel berikut.
Keterampilan Kemampuan
Mengamati
Mengklasifikasikan
(menggolongkan)
Menginterprestasikan
(menafsirkan)
Meramalkan
(memprediksi)
Menerapkan
Merencanakan penelitian
Mengkomunikasikan
– Melihat
– Mendapat
– Merasa (kulit), meraba
– Membaui
– Mencicipi, mengecap
– Menyimak
– Mengukur membaca
– Mencari persamaan, menyamakan
– Mencari perbedaan, membedakan
– Membandingkan
– Mengkontraskan
– Mencari dasar penggolongan
– Menaksir
– Memberi arti, mengartikan
– Mempromosikan
– Mencari hubungan ruang/waktu
– Menemukan pola
– Menarik kesimpulan
– Menggeneralisasi
– Mengantisipasi (berdasarkan kencendrungan, pola atau hubungan antar data atau informasi).
– Menggunakan (informasi, kesimpulan, konsep, hukum, teori, sikap, nilai atau keterampilan dalam situasi lain.
– Menghitung.
– Menentukan variabel
– Mengendalikan variabel
– Menghubungkan konsep
– Menyusun hipotesis
– Membuat model
– Menentukan masalah/objek yang akaan diteliti.
– Menentukan tujuan penelitian
– Menentukan ruang lingkup penelitian
– Menentukan sumber data
– Menentukan langkah–langkah pengumpulan data.
– Menentukan alat, bahan dan sumber kepustakaan.
– Menentukan cara melakukan penelitian.
– Berdiskusi
– Mendeklamasikan
– Mendramakan
– Bertanya
– mengarang
– meragakan
– mengungkapkan/melaporkan (dalam bentuk lisan, tulisan, gambar, gerak, penampilan).
Keterampilan dan kemampuan yang dijabarkan dalam daftar ini tidak berurutan secara hirarkhis, karena keterampilan bukanlah merupakan urutan langkah, tetapi merupakan sejumlah keterampilan yang perlu dibina dan dikembangkan sejak dari kanak – kanak.
3. Hal – hal yang harus diperhatikan dalam penerapan PKP
a. Sebelum pelaksanaan PKP, guru haruslah membuat program yang direncanakan sedemikian rupa sehingga menunjang CBSA dengan kadar tinggi.
b. Perlunya pengorganisasian kelas yang memungkinkan terciptanya suasana interaksi belajar mengajar yang mendorong siswa untuk aktif. Misalnya pengaturan siswa, pengaturan tempat duduk, pengaturan bahan – bahan dan alat – alat yang digunakan dalam pembelajaran.
c. Memilih metoda dan media yang dapat menunjang aktifitas siswa dalam belajar.
d. Evaluasi yang dilakukan hendaknya mencakup evaluasi proses dan hasil belajar siswa secara komprehensif.
4. Peranan Guru dalam penerapan PKP
a. Guru membimbing dan mendidik siswa untuk labih trampil dalam mengemukakan pengalaman, pendapat, dan hasil temuannya.
b. Guru menghidupkan suasana balajar yang kondusif sehingga mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif.
c. Guru mengajulan pertanyaan – pertanyaan yang mentang sehingga siswa dapat meneliti, mencari jawaban atas pertanyaan tersebut.
d. Guru harus memancing keterlibatan siswa dalam belajar, misalnya dengan cara memberikan semangat yang tinggi kepada siswa dalam mengajar.
e. Guru harus memberikan semangat yang tinggi kepada siswa dalam mengajar.
f. Guru melakukan komunikasi yang efektif dan informasi yang jelas, tepat dan tidak samar – samar pada siswa.
g. Guru mendorong siswa untuk dapat menyimpulkan suatu masalah / peristiwa berdasarkan fakta, konsep, dan prinsip yang diketahui.
F. Model-Model Mengajar
Yakni Model-model mengajar yang dimaksud adalah dimana proses dan prosedur KBM yang dapat mengoptimalkan kegiatan belajar siswa. Model tersebut didasarkan kepada teori-teori intruksional yang digabung dengan pengalaman lapangan di sekolah.
Nana Sudjana mengemukakan model-model tersebut sebagai berikut:
Model Delikan, Model Pemas, Model Mengajar Induktif, Model Mengajar Deduktif, dan Model Mengajar Deduktif-Induktif.
1. Model Dengar-Lihat-Kerjakan (delikan)
Model ini dapat digunakan untuk mengajar bahan pengajaran yang sifatnya fakta dan konsep. Aktivitas mental siswa dalam penggunaan model mengajar ini adalah: mengingat, mengenal, menjelaskan, membedakan, menyimpulkan, dan menerapkan. Model ini menekankan informasi partisipasi. Penyusunan satuan pelajaran: Sama dengan sistematika satpel biasa ——> perbedaannya hanya pada urutan kegiatan belajar siswa dikembangkan menjadi tiga kegiatan yakni: (a) kegiatan dengar, (b) kegiatan lihat, (c) kegiatan kerja.
Untuk jelasnya lihat prosedur menggunakan model delikan ini yang dilakukan dalam diagram berikut ini:
Diagram: Model Mengajar Delikan
2. Model Mengajar Pemecahan Masalah (Pemas)
a. Pola B-M yang mengandung aktivitas belajar siswa cukup tinggi, tepat digunakan untuk mengajarkan konsep dan prinsip. Aktivitas mental yang dapat dijangkau melalui model ini antara lain adalah: mengaingat, mengenal, menjelaskan, membedakan, menyimpulkan, menerapkan, menganalisis, mensitesis, menilai dan meramal. Menggunakan pendekatan interaksi sosial. Mengutamakan aktivitas belajar siswa dalam memecahkan masalah baik individual maupun kelompok.
b. Penyusunan satuan pelajaran hampir sama dengan model lain. Yang perlu diperhatikan adalah menyusun dan mengorganisasikan bahan ajar. Urutan kegiatan belajar dimu;ai dari klasikal (memperhatikan informasi) kemudian kegiatan individu (mencari jawaban), dilanjutkan dengan kegiatan diskusi dan diakhiri dengan kegiatan klasikal kembali.
c. Prosedur menggunakan model mengajar dilukiskan dalam diagram berikut:
Diagram: Model Mengajar Pemas
3. Model Mengajar Induktif
a. Pola interaksi B-M yang dikembangkan cara berfikir induktif yakni menarik kesimpulan dari fakta khusus menuju kepada hal yang umum. Model ini menekankan pentingnya pengalaman lapangan seperti mengamati gejala dan mencoba suatu proses, kemudian baru mengambil kesimpulan atau generalisasi sesuai dengan prinsip dan konsep dalam keilmuan.
b. Petunjuk pembuatan satuan pelajaran
– Waktu paling sedikit 2 jam pelajaran
– Rumusan tujuan mencakup penyusunan bahan ajar dan keterampilan proses
– Bahan pengajaran terdiri dari konsep materi (garis besarnya), fakta, peristiwa, gejala yang akan diamati oleh siswa dan topik atau masalah yang akan didiskusikan.
– Urutan belajar siswa, menerima informasi kunjungan lapangan atau laboratorium diskusi kelompok melaporkan hasil diskusi oleh setiap kelompok dan merangkumnya sebagai kesimpulan diskusi kelas
– Penialaian; penilaian proses selama kegiatan berlangsung dan penilaian hasil belajar setelah pelajaran selesai.
c. Prosedur menggunakan model terlihat dalam bahan berikut:.
Berikut uraian lebih lanjut untuk setiap tahap.
Tahap Kegiatan Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
Pra instruksional 1. Menumbuhkan motivasi belajar siswa
2. Informasi TIK . 1. Merespon guru
2. Mencatat dan bertanya.
Instruksional 1. Menjelaskan konsep dan prinsip bahan pengajaran serta tugas tugas belajar siswa
2. Mengidentifikasi gejala dan fakta yang harus diamati oleh siswa di lapangan atau laboratorium, atau sumber-sumber belajar lainnya
3. Membentuk kelompok belajar siswa untuk berdiskusi, menilai proses diskusi, dan menilai laporan hasil diskusi-diskusi kelompok
4. Menyimpulkan bahan pengajaran berdasarkan hasil pengamatan dan diskusi kelompok. 1. Memperhatikan, men-catat bahan dan tugas yang akan dikerjakan
2. Mengamati gejala/fakta, mencatatnya secara individual
3. Diskusi kelompok mem bahas dan merumuskan hasil pengamatannya secara tertulis, setiap kelompok melaporkan hasil
4. Mencatat kesimpulan hasil pengamatan dan diskusi.
Evaluasi 1. Menilai hasil perumusan kelompok yang dilaporkan oleh setiap kelompok
2. Mengajukan pertanyaan kepada kelas, lisan atau tertulis dan menyimpulkan bahan pelajaran. Menjawab/merespon guru dan mencatat kesimpulan pelajaran
Tindak lanjut Memberikan tugas pekerjaan ruman untuk pendalaman dan pengayaan konsep/prinsip yang telah dipelajarinya Mencatat pekerjaan rumah atau tugas yang diberikan oleh guru
4. Model Mengajar Deduktif
a. Pola B-M yang didasarkan atas cara berfikir deduktif, yakni menarik kesimpulan dari pernyataan umum menjadi pernyataan khusus, dari konsep teori menjadi fakta.
Proses pembelajaran dimulai dengan pembahasan teori, konsep dan prinsip oleh para siswa, kemudian setiap siswa mencoba mempraktekkan atau menggunakan konsep dan prinsip itu dalam memecahkan masalah atau membuktikan kebenaran konsep itu melalui percobaan (lebih tepat untuk pengajaran IPA dan Matematika).
b. Petunjuk pembuatan satuan pelajaran. Satuan pelajaran model pembelajaran deduktif tidak berbeda dari prinsip dengan satuan pelajaran model pembelajaran induktif. Perbedaan hanya terletak dalam menentukan urutan KBM-nya.
Model Pembelajaran Induktif mulai dari kegiatan empiris melalui pengamatan gejala peristiwa atau proses di lapangan atau dilaboratorium dan diakhiri dengan generalisasi/penemuan, sedangkan model pembelajaran deduktif dimulai dari pembahasan konsep dan prinsip menuju pembuktian empiris di lapangan atau di laboratorium.
Prosedur menggunakan model:
Prosedur menggunakan model pembelajaran deduktif dapat dilukiskan dalam diagram berikut:
Diagram: Model Mengajar Deduktif
5. Model Mengajar Gabungan Deduktif Induktif
a. Pola BM yang menggabungkan penggunaan kedua model ini dalam satu proses pembelajaran. Tahap pertama menggunakan pendekatan deduktif, kemudian dilanjutkan dengan pendekatan induktif
– Pendekatan deduktif menekankan kajian konsep dan prinsip bahan pengajaran secara teoritis, berdasarkan prinsip-prinsip pengetahuan ilmiah.
– Pendekatan induktif menekankan kajian bukti-bukti empiris dari konsep dan prinsip di laporatorium atau dengan alat sederhana atau dalam bentuk pemecahan masalah.
Melalui kedua pendekatan tersebut, siswa memahami prinsip-prinsip suatu ilmu serta pembuktian kebnaran prinsip tersebut secara faktual (teori didukung oleh fakta).
b. Petunjuk pembuatan satuan pelajaran
KBM yang ada dalam satuan pelajaran harus mengandung:
– Penjelasan masalah dan gejala oleh guru, supaya siswa memahami ruang lingkupnya.
– Penelaahan buku sumber/informasi untuk mendukung pemecahan masalah
– Pembahasan atau penelaahan masalah dan gejala berdasarkan pengetahuan ilmiah (dari bahan bacaan)
– Mencari jawaban dan pembuktian masalah dan gejala berdasarkan konsep dan prinsip pengetahuan ilmiah dengan melalui diskusi, pratikum atau pengamatan lapangan.
– Klasifikasi TIK-nya mengandung unsur kognitif tingkat tinggi seperti aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi.
c. Prosedur menggunakan model gabungan ini dilukiskan dalam diagram berikut ini:
Catatan :
Kelima model pengajaran CBSA yang telah dibahas di atas semuanya dapat digunakan untuk mengarahkan pengajaran terutama konsep, prinsip, generalisasi dan keterampilan. Hasil uji coba dari kelima model mengajar di atas untuk bidang studi IPA di SD menunjukkan bahwa proses belajar dan hasil belajar yang diperoleh cukup optimal (di atas 90% dan ada yang mencapai 100%). Kelima model mengajar ini cukup efektif.
– Model mengajar dengar-lihat-kerjakan sangat optimal pada kegiatan belajar individual
– Model mengajar pemecahan masalah sangat optimal dalam kegiatan klasikal dan kegiatan belajar kelompok
– Model mengajar induktif dan deduktif sangat optimal dalam kegiatan belajar kelompok dan individual
– Model mengajar gabungan deduktif-induktif sangat optimal dalam kegiatan belajar klasikal, kelompok dan individual.
Rangkuman
Pendekatan pembelajaran dapar berarti acuan pembelajaran yang berusaha meningkatkan kemampuan – kemampuan kognitif, efektif, dan psikomotoril siswa dalam pengolahan pesan sehingga tercapai sasaran belajar. Pendekatan pembelajaran tersebut dapat dilihat dari segi (a) pengoperasian siswa, (b) posisi guru dan siswa dalam pengolahan pesan, (c) pemerolehan kemampuan dalam pendekatan pembelajaran.
Pendekatan pembelajaran dengan pengoperasian siswa dapat dilakukan dengan (a) pembelajaran secara individual, (b) pembelajaran dengan kelompok, dan (c) pembelajaran secara klasikal. Ketiga pengorganisasian siswa tersebut; tujuan pengajaran, peran guru dan siswa, program pembelajaran, dan sisiplin belajar berbeda – beda. Ketiga pengorganisasian siswa tersebut hendaknya digunakan untuk melayani perbedaan individual siswa dalam memperoleh informasi.
Pendekatan dalam pengolahan pesan guru dan siswa dapat menggunakan strategi. Strategi ekspositori masih terpusat pada guru, oleh sebab itu hendaknya dikurangi. Strategi diskoveri dan inkuiri terpusat pada siswa, hendaknya inilah yang lebih banyak dikembangkan dalam pembelajaran, di mana siswa dirancang untuk efektif belajar sehingga ia dapat menemukan, bekaerja secara ilmuah, dan merasa senang melakukannya.
Untuk mengaktifkan siswa dalam belajar guru dapat menggunakan pendekatan keterampilan proses (PKP) sebagai acuan untuk pengembangan keterampilan–keterampilan intelektual, sosial dan fgisik yang bersumber dari kemampuan–kemampuan dasar yang telah ada dalam diri siswa. Dengan menggunakan PKP siswa akan (a) memperoleh pengertian yang tepat tentang hakekat pengetahuan, (b) memperoleh kesempatan belajar dengan ilmu pengetahuan, (c) memperoleh kesempatan melakukan proses dan memperoleh hasil belakar melalui pengalaman langsung.
Tugas
1. Lakukanlah observasi ke sekolah menengah untuk melihat pendekatan–pendekatan yang dilakukan oleh guru dalam mengajar dari segi pengolahan pesan, pengelompokan siswa dan pengorganisasian materi !
2. Buatlah sebuah perencanaan mengajar dalam bidang studi anda masing – masing yang mencerminkan kadar CBSA tinggi !
Daftar Pustaka
A. Tabrani Rusyin, dkk. (1989). Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung, CV. Remaja Karya.
Cony Seniawan, dkk, 1986, Pendekatan Keterampilan Proses : Bagaimana mengaktifkan Siswa dalam Belajar, Jakarta : PT Gramedia
Darmo Mulyoatmojo, dkk. (1982). Strategi dan Pengembangan Kegiatan Belajar Mengajar, Jakarta: Depdikbud.
Depdikbud. (1989). Pedoman Proses Belajar Mengajar di Sekolah Dasar, Jakarta: Direktur Pendidikan Dasar.
Moedjiono. (1986). Proses Belajar Mengajar, Bandung: Remaja Karya
Moedjiono dan Moh. Dumiyati. (1991-1993). Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Depdikbud.
Nana Sudjana dan Wari Suwaryah. (1991). Model-model Mengajar CBSA, Bandung: Sinar Baru.
T. Raka Joni, 1992, Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah melalui Strategi Pembelajaran Aktif (Cara Belajar Siswa Aktif) dan Pembinaan Profesional Guru, Kepala Sekolah, Penilik dan Pengawas Sekolah serta Pembina Lainnya, Jakarta : Depdikbud.
———–, 1984, Strategi Belajar Mengajar, Suatu Tinjauan Pengantar, Jakarta : P2LPTK
Oemar Hamalik,…., Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, Jakarta.
Tangyong A.F. (1988). Belajar Aktif dan Pembinaan Profesional Peningkatan Mutu Pendidikan di Sekolah Dasar Melalui Bantuan Profesional Bagi Guru, Jakarta : Depdikbud
Tjipto Utomo, dkk, 1991, Peningkatan dan Pengebangan Pendidikan, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
BAB IX
CARA BELAJAR SISWA AKTIF (CBSA)
DALAM PEMBELAJARAN
A. Pendahuluan
Konsep cara belajar siswa aktif (CBSA) bukanlah suatu hal yang baru dalam proses pendidikan dan pengajaran. Dalam proses pembelajaran kita sadari bahwa peserta didik harus dilibatkan, meskipun sudah barang tentu keaktifan mereka bera-da dalam kadar atau derajat yang berbeda-beda. Terdapat diantara mereka men-gikuti proses pengajaran dengan cara melihat, mendengar, dan memperhatikan guru, kemudian mereka mencatat dalam berbagai hal menurut apa yang diperitahkan guru sementara anak-anak lain, melakukan percobaan, mengamati dengan senang dan penuh kesunguhan, mencatat hal-hal yang terjadi, dan melaporkannya kepada te-man-teman yang lain. Mereka aktif berdiskusi tentang proses dan hasil atau temuan yang diperoleh melalui percobaan itu.
Kehadiran CBSA nampaknya mengandung maksud hendaknya mendorong guru-guru untuk bersungguh-sungguh menyelengarakan proses pengajaran yang memungkinkan peserta didik-terlibat dalam kadar keaktifan belajar yang tinggi. Se-bagaimana halnya yang kita ketahui bahwa dalam proses belajar mengajar yang be-lajar itu sesungguhnya adalah peserta didik bukan guru. Guru sudah jelas tugasnya yaitu mengajar ( menciptakan suatu kondisi agar terjadi proses belajar pada peserta didik ) bukan belajar. Maksudnya, bahwa pengajaran yang berpusat pada guru ( theacer centered ) sudah saatnya melalui untuk mempertimbangkan pengajaran yang berpusat pada peserta didik ( student centered ) mengajar bukanlah pekerjaan yang dilakukan menurut maunya guru saja, apalagi dalam keadaan terpaksa tetapi harus memperhatikan berbagai asfek yang terkait dengan tugas mengajarnya tersebut. uN-tuk maksud diatas berikut ini akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan keaktifan peserta didik dalam belajar, hal ini lebih ba-nyak membahas tentang CBSA
B. Tujuan
Dengan mempelajari bahan pelajaran yang dipaparkan pada bagian ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menjelaskan pengertian CBSA.
2. Mengungkapkan alasan yang kuat mengapa CBSA itu penting dipelajari
3. Mengemukakan prinsip-prinsip CBSA secara umum
4. Mengemukakan prinsip-prinsip CBSA dilihat dari pada dimensi peserta didik.
5. Mengemukakan prinsip-prinsip CBSA dilihat pada dimensi guru
6. Mengemukakan prinsip-prisip CBSA dilihat pada dimensi program pem-belajaran
7. Mengemukakan prinsip-prinsip CBSA dilihat pada dimensi situasi belajar mengajar
C. Pengertian CBSA
Cara Belajar Siswa Aktif ( CBSA) merupakan istilah yang berupa makna sama dengan Studend Active Learning (SAL). Cara Belajar Siswa Aktif bukan disiplin ilmu atau dalam masa populer bukan “teori “ melainkan merupakan cara, teknik, dan ada juga mengatakan sebagai sutau pendekatan. Dalam dunia pendidikan CBSA bukanlah suatu yang baru, bahkan dalam teori pengajaran CBSA me-rupakan konsekwensi logis dari pengajaran yang seharusnya. Artinya merupakan tuntutan logis dari hakekat belajar dan pembelajaran. Hampir tidak ada atau tidak pernah tejadi proses belajar tanpa adanya keaktifan individu atau siwa yang bela-jar. Permasalahannya hanya terletak dalam kadar atau bobot keaktifan belajar siswa.
Sebagai konsep CBSA adalah suatu proses kegiatan belajar mengajar yang subjek didiknya terlibat secara intelektual dan emosional sehingga ia betul-betul berperan dan berpartisipasi aktif dalam melakukan kegiatan belajar. Sejalan den-gan pengertian di atas, pengertian CBSA menurut Muhamad Ali (1984) menya-rankan dua sudut pandang, yaitu CBSA sebagai suatu konsep dan CBSA sebagai pendekatan dalam belajar mengajar.
Sebagai suatau konsep, CBSA merupakan konsep dalam mengembangkan keaktifan proses belajar mengajar, baik keaktifan mengenai kegiatan guru maupun keaktifan mengenai kegiatan peserta didik. Untuk meningkatkan proses pen-gajaran ini, sudah tentu guru membuat perencanaan dengan sebaik-baiknya dan melaksanakan pengajaran tersebut berdasarkan rencana yang telah dibuat itu. Dengan cara demikian hasil belajar peserta didik diharapkan menjadi lebih baik dibanding dengan pengajaran yang berpusat pada peserta didik. CBSA merupakan usaha pertemuan dua kutub ekstrim dalam pengajaran, yaitu guru aktif pesrta didik pasif atau guru pasif peserta didik aktif, sehingga terjadi keseimbangan keaktifan tersebut baik dipihak guru maupun dipihak peserta didk.
Sebagai suatu pendekatan dalam pengajaran, CBSA merupakan suatu upaya yang dilakukan guru yang dimulai dengan perencanaan pengajaran, pelaksanaan proses belajar mengajar, dan diakhiri dengan penilaian hasil belajar berdasarkan konsep tertentu. CBSA mencakup pengembangan strategi, metode dan teknik mengajar. Pengembangan srategi merupakan siasat untuk melakukan kegiatan-kegiatan dalam pengajaran yang mencakup metode dan teknik.
Pengembangan metode menunjukkan bahwa mengajar itu sendiri memerlukan berbagai cara, seperti cara ceramah, tanya jawab, atau diskusi dan sebagainya. Sedangkan pengembangan teknik menunjukkan bahwa pengajaran sebagai pen-dekatan CBSA menuntut kejelasan cara-cara yang lebih khusus lagi, seperti teknik bertanya, teknik memberi penguatan, dan sebagainya.
Lebih lanjut, Dimyati dan Mujiono (2002) mengatakan bahwa pendekatan CBSA dapat diartikan sebagai anutan pembelajaran yang mengarah pada pengop-timalisasian pelibatan intelektual emosional siswa dalam proses pembelajaran, dengan pelibatan fisik siswa apabila diperlukan. Pelibatan intelektual emosional–fisik secara optimal dalam pembelajaran diarahkan untuk membelajarkan siswa bagaimana belajar memperoleh dan memproses perolehan belajarnya tentang pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap.
Raka Joni (1992) dalam Dimyati dan Mujiono (2002) mengemukakan bahwa sekolah yang memiliki CBSA dengan baik menuntukkan ciri-ciri sebagai berikut :
1. Pembelajaran yang dilakukan berpusat kepada kepentingan peserta didik.
Peserta didik dipandang sebagai komponen terpenting dalam sistem dan proses pengajaran. Karena itu peranannya menjadi lebih kuat dalam pengembangan dan menetuan cara-cara belajarnya. Mereka berpeluang untuk berperan aktif dalam menetapkan rencana pelajaran, proses kegiatan belajar mengajar dan penilaian yang dilakukan. Pengalaman belajar mereka benar-benar menjadi titik tillah kegiatan belajar mengajar. Peserta didik sangat dimungkinkan menjadi lebih mandiri dalam menempuh kegiatan belajarnya.
2. Guru berperan sebagai pembimbing bagi terjadinya pengalaman belajar peserta didik.
Guru sebagai pembimbing memperlihatkan cara-cara belajar yang tidak pernah didikte si anak. Sebaliknya anak-anak itu memperoleh peluang, kemudahan dan dorongan untuk berbuat banyak dalam belajar. Mereka memperoleh pengetahuan, keterampilan dan pengetahuan belajarnya yang berharga melalui usahanya sendiri. Guru suka mensiasati peserta didiknya agar peserta didiknya selalu memiliki motivasi dan rasa harga diri dalam belajar, dan mereka selalu berusaha untuk berkarya secara nyata.
3. Tujuan kegiatan belajar berorientasi pada perkembangan kemampuan siswa secara utuh dan seimbang
Tujuan belajar bukanlah mewujudkan salah satu aspek saja. Mereka belajar bukan sekedar mencapai standard akademik saja, melainkan menyangkut selu-ruh aspek kehidupan baik secara utuh dan seimbang. Ini berarti menyangkut segi-segi wawasan pengetahuan, keterampilan yang dimilikinya, sikap yang dibentuknya, kepercayaan akan nilai-nilai yang diyakininya, sruktur emosi yang dipunyainya, rasa keindahan atau estetikanya yang dikembangkannya, dan lain-lain. Semua aspek kepribadiannya dikembangkan secara menyeluruh dan terpadu melalui kegiatan-kegiatan belajar yang diciptakan guru.
4. Penyelengaraan kegiatan belajar lebih berorientasi pada kreativitas peserta didik.
Kegiatan belajar yang diciptaan guru sangatlah dituntut untuk menghadapi berbagai permasalahan dan mengarahkan mereka untuk mampu mencari pe-mecahannya. Ini berarti pula bahwa peserta ini dituntut untuk terbiasa bekerja keras dengan penuh kesungguhan sehingga menghasilkan karya-karya nyata yang bermanfaat.
5. Penilaian diarahkan pada kegiatan dan kemajuan peserta didik
Proses penilaian yang dilakukan, adalah benar-benar memantau setiap bentuk kegiatan belajar yang dilakukan peserta didik dan mengukur setiap bentuk kemajuan yang diraih. Berbagai keterampilan seperti keterampilan berbahasa, keterampilan sosial, keterampilan matematika, keterampilan berpikir dan ber-tindak, keterampilan dalam proses belajar itu sendiri senantiasa mendapat per-timbangan penilaian.
D. Rasional CBSA
Tidak bisa kita pungkiri bahwa masih banyak diantara guru-guru menyelenga-rakan pengajaran secara tidak menarik dan karena kurang dapat mencapai sasaran-sasaran yang diharapkan. Pengunaan metode ceramah masih mendominasi kegiatan guru sehari-hari. Peserta didik kegiatannya berulang-ulang sekitar mendengar, mem-perhatikan penjelasan dan mencatat hal-hal yan diperintahkan guru. Kegiatan belajar telah menjadi sesuatu yang rutin, monoton dan membosankan, bukan lagi sebagai ke-giatan yang menarik, menantang, dan menuntut partisipasi aktif peserta didik
Dalam kehidupan yang penuh perubahan untuk berbagai sektor, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat, aman yang makin menglobal, dan persaingan hidup yang makin ketat, membawa implikasi ke dalam pentingnya reorientasi proses pengajaran. Proses pengajaran seperti digambarkan dalam alinea pertama bagian ini, jelas tidak mungkin dapat mempersiapkan peserta didik yang mampu bersaing dalam kehidupan dan menyesuaikan diri terhadap berbagai tantangan yang makin berat. Pengajaran harus diorientasikan pada kemampuan bersikap dan berpikir kritis, dibangun dari konsep-konsep dari filosofis yang kuat, dilakukan melalui proses pengajaran yang memberikan berbagai peluang dan pengalaman belajar yang penuh arti, dan dilakukannya penilaian yang benar-benar akurat, jujur, obyektif dan penuh antisipasi dalam menjawab tantangan hidup masa depan.
Pada gilirannya, wawasan pendidikan sepanjang hayat tidak boleh terabaikan dari perhatian guru dan peserta didik sebagaimana keterlibatan mereka dalam proses belajar mengajar sehari-hari. Motivasi yang kuat dari peserta didik maupun guru, se-benarnya untuk belajar terus mesti tumbuh, terpelihara dan giat belajar nampaknya harus dilatihkan mereka sepantasnya dibiasakan menghadapi masalah dan berusaha mencoba dan mencari jawaban atas masalah yang dihadapi itu. Mereka harus benar-benar dipersiapkan untuk benar-benar sudi dan mampu bersaing tidak hanya dengan teman-teman sekelasnya, tetapi juga dengan siapa saja sebayanya di daerah, di tingkat wilayah, secara nasional, bahkan bersaing dengan bangsa lain secara internasional.
Guru–guru sudah seharusnya mampu melibat-aktifkan peserta didik dengan penuh kemerdekaan. Peserta didik harus merasa senang dalam belajar, dalam mencari ilmu pengetahuan dan teknologi. Demokratisasi juga harus terjadi dalam proses pen-gajaran sehari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Mereka-pun harus memperoleh prestasi belajar yang tinggi. CBSA baik sebagai konsep mau-pun pendekatan dalam pengajaran bermaksud merespon berbagai tantangan sebagai-mana diuraikan di atas. Karena itu CBSA sepantasnya mendapat prioritas tinggi un-tuk dikuasai semua kalangan, khususnya guru dan siswa dalam pelaksanaan proses belajar pembelajaran.
E. Prinsip-prinsip CBSA
Sebagaimana diungkapkan Moejiono dan Dimyati dalam strategi belajar men-gajar (1992) prinsip-prinsip CBSA ini dapat di kelompokkan menjadi : pertama : prinsip-prinsip CBSA secara umum yang diturunkan dari prinsip-prinsip belajar. Ke-dua : adalah prinsip-prinsip CBSA yang secara khusus dilihat dari beberapa dimensi, yaitu pada dimensi guru, dimensi peserta didik, dimensi program pembelajaran dan pada dimensi situasi belajar mengajar.
1. Prinsip-prinsip CBSA secara umum
Secara umum prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam CBSA ini adalah :
a. Hal apapun yang dipelajari murid, maka ia harus mempelajari sendiri tidak ada seorang pun dapat melakukan kegiatan belajar tersebut
b. Setiap murid belajar menurut tempo (kecepatannya sendiri dan untuk se-tiap kelompok umur terdapat variasi kecepatan belajar)
c. Seorang murid belajar lebih banyak bilamana setiap langkah segera diberi penguatan (reinforcement)
d. Penguasaan secara penuh dari setiap langkah memungkinkan belajar secara keseluruhan lebih berarti
e. Apabila murid diberikan tanggungjawab untuk mempelajari sendiri, maka ia lebih termotivasi untuk belajar, ia akan belajar dan mengingat secara le-bih baik.
2. Prinsip-prinsip CBSA pada dimensi peserta didik
Menyangkut dimensi peserta didik, berbagai hal yang mesti diperhati-kan adalah :
a. keberanian peserta didik untuk menunjukkan minat, keinginan, dan do-rongan yang ada pada dirinya. Yang penting mendapat perhatian disini adalah bahwa peserta didik menyadari betul belajar sebagai tugasnya. Ia terlihat aktif dengan menunjukkan minatnya, berusaha meraih keinginan-nya dan melakukan kegiatan belajar untuk mewujudkan dorongan atau motifnya.
b. Keinginan dan keberanian untuk ikut dalam kegiatan belajar prinsip ini menuntut peserta didik untuk terdorong keinginannya berpatisipasi aktif dalam kegiatan belajar. Dengan kaa lain, keinginan dan keberanian untuk terlibat aktif harus dibangkitkan. Kehendak mereka tidak boleh terpen-dam, keinginan tidak perlu tertunda dan keberanian mereka tidak boleh menjadi kendor sebelum teraktiaslisasikan dalam pengalaman belajar me-reka sendiri
c. Usaha dan kreativitas peserta didik.
Kerja keras peserta didik dalam berusaha mencari pemecahan masalah yang dihadapi dalam belajar perlu menjadi perhatian yang penting. Mereka tidak diharapkan mengindari tantangan dan masalah-masalah yang di-hadapi, kreativitas mereka justru harus muncul dan berkembang dengan optimal
d. Keinginan yang kuat
Sifat keingintahuan (curiosity) yang kuat, yang secara alamiah telah ada dalam diri anak sejak kecil, tidak boleh terhambat. Peristiwa pembelajaran hendaknya memelihara kondisi belajar peserta didik untuk selalu bertanya dan berusaha mencari jawabannya secara memuaskan. Mereka menjadi lebih aktif dalam belajar karena berbagai hal yang merangsang untuk dita-nyakan dan dicari respon-responnya secara tepat.
e. Rasa lapang dan bebas
Kegiatan belajar sepatutnya menyenangkan, menimbulkan rasa lapang dan perasaan bebas, kegiatan itu bukanlah sesuatu yang menimbulkan beban, perasaan strees, situasi yang mencekan dan menakutkan. Mereka tidak bo-leh terganggu untuk mengekakan ide-ide atau gagasannya dalam kegiatan belajar. Mereka harus terbiasa dalam keadaan merdeka, memiliki kebeba-san yang bertanggung jawab.
3. Prinsip-prinsip CBSA pada dimensi guru
Dilihat dari dimensi guru, sejumlah prinsip yang harus dipatuhi adalah:
a. usaha guru menbina dan mendorong peserta didik
prinsip ini menuntut guru untuk senangtiasa bertindak sebagai motivator dan mempertahankan keterlibatan aktif peserta didik selama berlangsung-nya kegiatan belajar mengajar
b. guru sebagai inovator dan fasilitator
guru adalah seseorang yang selalu tanggap terhadap setiap perubahan dan pembaruan atau inovasi. Ia harus responsif terhadap ide-ide atau gagasan baru dan berusaha untuk menerapkan dan menyebarluaskannya kepada pi-hak-pihak yang berkepentingan. Ia juga dituntut untuk selalu berusaha menberikan bantuan, peluang dan kemudahan-kemudahan bagi terjadinya proses belajar peserta didiknya.
c. Sikap tidak mendominasi
Hal yang harus disadari guru adalah peran peserta didik dalam kegiatan be-lajar mengajar menduduki posisinya yang promer. Sedangkan guru sendiri menduduki posisinya yang sekunder. Peserta didiklah yang lebih penting dari pada guru. Karena itu guru tidak boleh mendikte atau mendominasi peserta didik. Peserta didik adalah seorang yang aktif belajar. Mereka pada dasrnya mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dengan cara-cara yang di-lakukan sendiri pula.
d. Menberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar menurut irama,cara dan kemampuannya.
Setiap peserta didik hendaklah disadari sebagai seorang individu yang me-miliki karakteristik masing-masing. Mereka itu memiliki keunikan, berbeda antara yang satu dengan yang alinnya dalam hal kekuatan motivasi belajar-nya, kebutuhan belajarnya, kemampuan , dan kecepatan belajarnya. Guru dituntut berusaha melayani kepentingan peserta didik yang berbeda itu. Pengajaran yang diciptakan guru hendaklah semakin membuka adanya ke-mungkinan pelayanan yang bersifat individual.
4. Prinsip- prinsip CBSA pada dimensi proyek pengajaran
Dari dimensi program pengajaran, prinsip-prinsip CBSA yang harus diperhatikan adalah :
a. Tujuan dan isi pelajaran memenuhi kebutuhan, minat, serta kemampuan peserta didik.
Menurut prinsip ini, tujuan dan isi program pengajaran hendaknya dapat disesuaikan dengan kebutuhan, minat dan kemampuan peserta didik
b. Kemungkinan terjadinya pengembangan konsep dan aktifitas peserta didik
Program pengajaran yang disusun dan dilaksanakan guru, hendaklah pro-gram yang menyediakan berbagai pengalaman belajar yang memungkinkan peserta didik mengembangkan konsep-konsep dan aktifitas belajarnya
c. Pengunaan dan pemilihan berbagai metode dan media. Suatu strategi dan metode mengajar yang bisa dipilih serta media yang bisa digunakan hen-daknya dapat ditelusuri dari program pengajaran itu mencerminkan tuntu-tan pemilihan suatu strategi dan metode belajar mengajar yang penuh makna (meaningfull learning).
d. Penentuan metode dan media yang fleksibel. Program pengajaran hendak-lah menyediakan pula adanya alternatif atau metode media secara fleksi-bel. Pilihan ini dilakukan bukanlah mengurangi keberartian proses belajar mengajar yang dilakukan, melainkan merupakan penetapan atas tindakan-tindakan atau pilihan-pilihan yang nilainya setara
5. Prinsip-prinsip CBSA pada dimensi situasi belajar mengajar
Prinsip-prinsip CBSA yang penting dipertimbangkan pada dimensi situasi be-lajar mengajar ini adalah :
a. Komunikasi guru-peserta didik yang intim dan hangat
Prinsip ini menunjukkan bahwa kedudukan guru dan peserta didik dalam peristiwa komunikasi (belajar-mengajar) menempati posisi yang sederajat. Hal demikian dimaksudkan agar hubungan diantara keduanya berada da-lam situasi keterbukaan, kebersamaan kekeluargaan, intim dan hangat. Da-lam situasi yang tercipta semacam ini tidaklah kewibawaan guru akan ber-kurang, melainkan hal ini dapat memperlancar jalannya proses belajar mengajar yang pada akhirnya dapat meningkatkan usaha pencapaian pres-tasi belajar peserta didik yang tinggi.
b. Terjadinya kegairahan dan kegembiraan dalam belajar
c. Guru-guru hendaknya mempertimbangkan betul karakteristik peserta didik dan melakukan penyesuaian pada situasi belajar mengajar yang dikondisi-kannya.
F. Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) sebagai Suatu Strategi Pembelajaran
Sebagaimana juga telah disinggung pada uraian sebelumnya, bahwa setiap kegiatan pembelajaran diyakini adanya keterlibatan dan keaktifan peserta didik. Hanya, permasalahannya adalah terletak pada bobot atau kadar keterlibatan dan keaktifan belajar peserta didik. Terdapat keterlibatan dan keaktifan peserta didik dalam proses pembelajaran dalam kategori rendah, sedang atau tinggi. Jika dibuat suatu skala keaktifan 1-10 maka setiap proses pembelajaran tentu ada dalam skala tersebut. Tidak ada skala keaktifan “nol” seberapapun keaktifan itu. Adapun keha-diran CBSA sebagai sebuah alternatif strategi pembelajaran dimaksudkan untuk mempertinggi atau mengoptimalkan aktifitas dan keterlibatan peserta didik dalam proses pembelajaran, khususnya belajar.
Keterlibatan peserta didik secara aktif dalam proses pembelajaran yang diha-rapkan adalah keterlibatan secara mental (intelektual dan emosional) yang dalam beberapa hal diikuti dengan keaktifan fisik. Sehingga peserta didik betul-betul berperan serta dan berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.
Dengan demikian, CBSA menempatkan kedudukan peserta didik sebagai subjek, pihak yang penting dan merupakan inti dalam kegiatan belajar mengajar.
Derajat ke CBSA-an yang bisa mengarah secara optimal bagi keterlibatan dan keaktifan peserta didik adalah jika diterapkan suatu pola pembelajaran “stu-dent cetered instruction” yaitu suatu pengajaran yang menempatkan peserta didik sebagai kedudukan sentral, berorientasi pada keaktifan belajar, dan guru memberi-kan kesempatan peserta didik untuk memecahkan masalah sendiri.
McKenchie sebagaimana dikutip oleh Roestiyah (1991 : 58) mengisyaratkan bahwa variasi kadar CBSA itu dipengaruhi oleh 7 (tujuh) faktor :
1. Faktor partisipasi peserta didik dalam menetapkan tujuan pengajaran. Misalnya, tujuan dirumuskan suatu peserta didik mempelajari bunyi-bunyi vokal Bahasa Indonesia. Maka dalam kegiatannya peserta didik meneliti bunyi-bunyi yang didengarkan lewat rekaman wacana lisan Bahasa Indonesia.
2. Stressing pada segi afektif dalam pengajaran, seperti tujuan tersebut maka segi efektif dapat ditumbuhkan dengan menjelaskan peranan bunyi-bunyi vokal da-lam menentukan makna kata.
3. Interaksi antara guru dengan siswa dalam kelas pengajaran. Hendaknya di-upayakan oleh guru suatu interaksi optimal (komunikasi multi arah).
4. Tanggapan guru terhadap peserta didik. Bahwa guru jangan sekali-kali men-ganggap dirinya serba tahu dan paling tahu. Guru harus memandang peserta didiknya sebagai manusia yang punya potensi dan daya kemandirian.
5. Rasa keterpaduan dalam kelompok kelas.
6. Pengambilan keputusan terhadap sesuatu masalah oleh peserta didik, hendak-nya mereka diberi waktu yang cukup.
7. Ada cukup waktu untuk memberikan bimbingan bagi peserta didik.
Lebih lanjut, Sudjana (1989) berpendapat bahwa, optimalitas keterlibatan atau keaktifan belajar peserta didik itu dapat dikondisikan. Menurutnya, melalui indikator CBSA dapat dilihat tingkah laku mana yang muncul dalam suatu proses pengajaran berdasarkan apa yang dirancang oleh guru. Indikator-indikator dimak-sud sebagaiman digambarkan dalam prinsip-prinsip penerapan CBSA itu sendiri.
Dari indikator tersebut setidaknya dapat memberikan rambu-rambu bagi guru untuk merancang dan melaksanakan pengajaran. Sejalan dengan itu, Raka Joni (1985) menyarankan yang penting, yang harus ditandaskan dalam gerakan meningkatkan kadar CBSA dalam proses pengajaran adalah bahwa apapun strategi pengajaran yang dipergunakan hendaknya diusahakan kadar keterlibatan mental peserta didik yang setinggi/seoptimal mungkin. Peserta didik diberi kesempatan :
1. Menyerap informasi ke dalam strukstur kognitif atau menyesuaikan struktur kognitif dengan informasi-informasi baru yang diperoleh (diakomodasi) se-hingga dapat dicapai kebermaknaan (meaningfulness) yang setinggi-tingginya.
2. Menghayati sendiri peristiwa-peristiwa untuk membentuk sikap dan internali-sasi nilai-nilai.
3. Melakukan sesuatu secara langsung dalam rangka pembentukan keterampilan yang menjalin percobaan perbuatan langsung dengan pengkajian teoritis secara fungsional.
Kegiatan pengajaran dalam konteks strategi CBSA tentu selalu melibatkan peserta didik secara aktif untuk mengembangkan kemampuan dan penalarannya seperti memahami, mengamati, menginterprestasikan konsep, merancang penelitian, melaksanakan penelitian, mengkomunikasikan hasilnya dan seterusnya, dengan mengikuti prosedur/langkah-langkah yang teratur dan urut
Rangkuman
Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) merupakan istilah yang berupa makna sa-ma dengan Student Active Learning (SAL). CBSA adalah suatu proses kegiatan belajar mengajar yang subjek didiknya terlibat secara intelektual dan emosional sehingga ia betul-betul berperan dan berpartisipasi aktif dan melakukan kegiatan belajar.
Ciri-ciri CBSA alam kegiatan pembelajaran adalah sebagai berikut :
1. Pembelajaran yang dilakukan berpusat kepada kepentingan peserta didik
2. Guru berperan sebagai pembimbing bagi terjadinya pengalaman belajar peserta didik
3. Tujuan kegiatan belajar berorientasi pada pengembangan kemampuan siswa secara utuh dan seimbang
4. Penyelenggaraan kegiatan belajar lebih berorientasi pada kreativitas peserta didik
5. Penilaian diarahkan pada kegiatan dan kemajuan peserta didik.
Prinsip-prinsip CBSA dapat dikelompokkan menjadi : pertama : prinsip-prinsip CBSA secara umum yang diturunkan dari prinsip-prinsip belajar. Kedua : adalah prinsip-prinsip CBSA yang secara khusus dilihat dari beberapa dimensi, yaitu pada dimensi guru, dimensi peserta didik, dimensi program pembelajaran dan pada dimensi situasi belajar mengajar.
Kegiatan pengajaran dalam konteks strategi, CBSA tentu selalu melibatkan peserta didik secara aktif untuk mengembangkan kemampuan dan penalarannya seperti memahami, mengamati, menginterprestasikan konsep, merancang penelitian, melaksanakan penelitian, mengkomunikasikan hasilnya dan seterusnya, dengan mengikuti prosedur/langkah-langkah yang teratur dan urut.
Pertanyaan dan Tugas
Anda diminta untuk menjawab pertanyaan dan tugas dibawah ini :
1. Jelaskan pengertian CBSA yang anda ketahui.
2. Coba anda kemukakan ciri-ciri sekolah yang memiliki CBSA
3. Coba anda ungkapkan pula alasan yang kuat mengapa CBSA itu penting dikem-bangkan dan diterapkan disekolah-sekolah.
4. Kemukakan yang anda ketahui tentang empat prinsip CBSA secara umum
5. Kemukakan empat prinsip CBSA dilihat pada dimensi peserta didik .
6. Kemukakan tiga prinsip CBSA dilihat pada dimensi guru
7. Kemukakan tiga prinsip CBSA dilihat pada dimensi program pembelajaran
Daftar Pustaka
Dimyati dan Mudjiono (1994), Belajar dan Pembelajaran
Depdikbud Dikti
JJ. Hasibuan dan Moedjiono, (1986), Proses Belajar Mengajar,
Bandung : Remaja karya
Mohammad Ali, (1984), Guru dalam Proses Belajar Mengajar,
Bandung : Sinar Baru
T. Raka Joni, (1985), Strategi Belajar Mengajar, Suatu Tinjauan Pengantar, Depdik-bud, Jakarta Ditjen Dikti Depdikbud.
Nana Sujana, dan Ahmad Rivai, (1989), Teknologi Pendidikan, Bandung : Sinar Ba-ru.
T. Raka Joni, (1985), Strategi Belajar Mengajar, Suatu Tinjauan Pengantar, Depdik-bud, Jakarta Ditjen Dikti Depdikbud.
BAB X
SUMBER BALAJAR DAN MEDIA PEMBELAJARAN
A. Pendahuluan
Dalam kegiatan pembelajaran, guru memilih dan menggunakan sumber belajar dan media pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan tujuan dan materi pembela-jarannya. Oleh karena itu sebagai seorang calon guru, anda perlu mengetahui berbagai jenis sumber belajar dan media pembelajaran serta karakteristiknya. Untuk itu di dalam bab ini akan dibahas pengertian, jenis dan manfaat sumber belajar dan media pembelajaran, serta karakteristik utama dari jenis media tertentu, serta kriteria pemi-lihan dan penggunaannya.
Dengan mempelajari isi bab ini, anda diharapkan mampu :
1. Membedakan pengertian sumber belajar dengan media pembelajara.
2. Menjelaskan manfaat penggunaan sumber belajar dan media pembelajaran.
3. Menjelaskan berbagai jenis sumber belajar dan media pembelajaran.
4. Menjelaskan hal–hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan dan penggunaan media pembelajaran.
B. Pengertian Sumber Belajar.
Proses belajar merupakan proses yang komplek yang dapat terjadi pada semua orang, dapat berlangsung kapan dan dimana saja tanpa terikat pada apakah ada yang mengajar atau tidak. Dengan demikian proses belajar terjadi karena adanya interaksi seseorang dengan lingkungannya.
Seseorang yang telah mengalami proses belajar ditandai dengan adanya perubahan perilaku pada dirinya. Perubahan tersebut dapat berupa pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor), maupun yang menyangkut nilai dan sikap (efektif). Sebagai contoh : Hendri Kurnia telah pandai menulis dan membaca dengan lancar setelah ia tamat Sekolah Dasar. Tati terampil merangkai bunga setelah melihat tayangan televisi, demikian pula dengan Mira menjadi lebih patuh dan hormat kepada orang tuanya serta lebih sayang kepada saudaranya setelah ia membaca buku agama dan mendengar ceramah agama.
Perubahan–perubahan yang terjadi pada Hendri Kurnia, Tati dan Mira menunjukkan hasil dari proses belajar yang mereka lakukan, meskipun tidak seluruhnya mereka belajar melalui guru yang mengajar. Jadi seseorang dapat belajar dari berbagai hal seperti melalui membaca, mendengar radio, menonton televisi, film atau dari pergaulan dengan orang di sekitarnya. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa banyak yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar. Selain dari guru, dan guru dapat memanfaatkannya untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran di sekolah.
Nana Sudjana & Ahmad Rivai (198) menyatakan bahwa sumber belajar adalah segala daya yang dapat dimanfaatkan guna memberi kemudahan kepada seseorang dalam belajar. Sumber belajar dapat sengaja dirancang atau dibuat untuk membantu proses balajar, biasanya disebut learning resource by design (sumber belajar yang dirancang), misalnya buku, brosur, film dan lain sebagainya. Sumber belajar lain yang membantu proses belajar siswa adalah sumber belajar yang walaupun tidak sengaja dirancang untuk pembelajaran tetapi dapat dimanfaatkan langsung untuk itu. Sumber belajar jenis ini disebut learning resource by utilization (sumber belajar yang dimanfaatkan); misalnya perkebunan, tanaman, pasar, masjid, musium, tokoh masyarakat, gambar kalender atau kartu pos, dan sebagainya yang ada di lingkungan siswa.
C. Jenis – Jenis Sumber Belajar
Semua sumber belajar dapat dikelompokan menjadi sumber belajar yang di-rancang dan sumber belajar yang dimanfaatkan. Rinciannya dikemukakan Nana Sudjana dan Ahmad Rivai (1989) seperti yang terlihat pada tabel berikut :
Tabel
Klasifikasi Jenis – Jenis Sumber Belajar
Jenis
Sumber Balajar Pengertian Contoh
Dirancang Dimanfaatkan
1. Pesan
(Message)
Informasi yang harus disalurkan oleh komponen lain berbentuk ide, fakta, pengertian data
Bahan–bahan pelajaran
Cerita rakyat, dongeng, nasi-hat
2. Manusia
(People)
Orang yg menyimpan infor-masi atau menyalurkan infor-masi. Tidak termasuk yang menjalankan fungsi pengem-bangan dan pengelolaan sumber belajar
Guru, aktor, siswa pembicara, pemain, tidak termasuk teknisi dan tim kurikulum Nara sumber, pemuka masyarakat, pimpinan, kantor, responden
3. Bahan
(Materials) Sesuatu, biasa disebut media/ software, yang mengandung pesan untuk disajikan melalui pemakaian alat.
Transparansi, film, slides, tape, buku, gambar, dan lain – lain. Relief, candi, arca, peralatan teknik
4. Peralatan
(Device) Sesuatu, biasa disebut media/ software, yang menyalurkan pesan untuk disajikan yang ada di dalam software
OHP, Proyektor slides, film, TV, kamera, papan tulis Generator, mesin, alat-alat mobil
5. Teknik/metode
(Technique) Prsedur yang disiapkan dalam mempergunakan bahan pelajaran, peralatan, situasi, dan orang untuk menyampaikan pesan
Ceramah, diskusi, sosiodrama, simulasi, kuliah, belajar sendiri Permainan, sa-reseh-an, percakapan bi-asa/spontan
6. Lingkungan
(Setting) Situasi sekitar dimana pesan disalurkan/ditransmisikan. Ruangan kelas, radio, perpusta-kaan, auditorium, aula, laboratorium
Taman, kebun, pasar, museum, toko
D. Manfaat Sumber Balajar
Sumber belajar sebagai bagian yang tidak dapat terlepas dari kegiatan pembe-lajaran sangat besar kegunaannya. Ada berbagai manfaat dari sumber belajar, antara lain :
1. Meningkatkan produktivitas pendidikan. Siswa belajar tidak tergantung pada satu–satunya sumber, seperti guru, melainkan dapat memanfaatkan berbagai sum-ber lain. Dengan demikian tugas guru menjadi berkurang dalam meyampaikan in-formasi kepada siswa, dan dapat lebih banyak membina dan meningkatkan ke-gairahan belajar siswa.
2. Memberikan kemungkinan terlaksananya pembelajaran yang sifatnya lebih individual. Penyediaan berbagai sumber belajar seperti modul, kaset rekaman dan sebagainya dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk berkembang sesuai dengan kemampuannya.
3. Memberikan dasar yang lebih ilmiah terhadap pembelajaran, misalnya perencanaan program pembelajaran dapat dibuat lebih sistematis, dan guru dapat pula melakukan pengembangan bahan pembelajaran melalui penelitian.
4. Lebih memantapkan pembelajaran. Dengan menggunakan berbagai jenis media yang dapat menyajikan informasi atau materi pembelajaran secara lebih konkret, pemahaman mahasiswa terhadap materi pembelajaran akan meningkat.
5. Memungkinkan belajar secara seketika. Hal ini dimungkinkan terjadi karena penyediaan berbagai sumber belajar dapat memberikan pengalaman langsung bagi seseorang tanpa harus terikat atau tergantung pada guru.
6. Memungkinkan penyajian untuk jangkauan lebih luas, pengakijan, untuk objek atau peristiwa penyajian untuk sesuatu yang sulit dijangkau oleh indra kita. Hal itu dapat dilakukan melalui penggunaan media elektronik dan media massa.
Diantara beberapa jenis sumber belajar yang telah dijelaskan diatas, ada dua jenis yang banyak mendapatkan perhatian untuk dikembangkan dan digunakan yaitu yang tergolong alat dan bahan, biasa disebut sebagai media pembelajaran.
E. Pengertian Media Pembelajaran
Kata “media” berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata “medium” yang berarti perantara atau pengantar. Dalam proses komunikasi, media merupakan apa saja yang mengantarkan atau membawa informasi ke penerima informasi. Di dalam proses belajar mengajar yang pada hakikatnya juga merupakan proses komunikasi, informasi atau pesan yang dikomunikasikan adalah isi atau materi pelajaran yang telah ditetapkan dalam kurikulum, sumber informasi adalah guru, penulis buku atau modul, perancang dan pembuat media pembelajaran lainnya ; sedangkan penerimaan informasi adalah siswa atau warga belajar.
Kalau ditinjau dari perkembangannya, media pembelajaran itu dahulunya dikenal sebagai alat bantu mengajar yang terutama berfungsi sebagai alat peraga, dan jenisnya juga mula–mula terbatas pada alat bantu visual yang dapat memberikan pengalaman kongkret melalui pemglihatan, antara lain : gambar, model, dan benda nyata.
Seiring dengan perkembangan teknologi, sejak pertengahan abad ke 20, alat bantu yang digunakan dalam pembelajaran juga mengalami perkembangan menjadi alat bantu audio visual yaitu berupa alat dan bahan untuk menyampaikan materi pembelajaran yang dapat diterima siswa melalui indera pendengaran dan penglihatan.
Pada akhir tahun 1950-an, dengan masuknya pengaruh teori komunikasi dalam penggunaan alat bantu audio visual, fungsi alat bantu bukan lagi sekedar alat peraga tetapi meningkat menjadi alat penyalur informasi atau materi pembelajaran. Disamping itu, sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi, jenis media pembelajaran yang dikembangkan juga semakin banyak dan beragam. Kalau dulunya gambar dibuat di papan tulis dia atas kertas misalnya, kemudian ada yang dibuat di atas transparansi dan diproyeksikan dengan proyektor. Begitu juga kalau dulunya foto dapat dikembangkan menjadi film bingkai (slaid) dan film rangkai, dan lain sebagainya.
Selanjutnya pada periode tahun 1960-1965, teori behaviorisme dari B.F.Skinner mulai berpengaruh terhadap pengembangan media pembelajaran yang mengutamakan pemberian penguatan (reinforcement) untuk terjadinya perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar. Pada waktu itu media yang dikembangkan bukan hanya untuk digunakan oleh guru di kelas, tetapi ditunjukan untuk dapat digunakan sebagai sumber belajar oleh siswa atau warga belajar tanpa kehadiran guru, contohnya adalah mesin ajar dan pembelajaran terprogram.
Pada periode 1965-1970, pendekatan sistem mulai pula terlihat pengaruhnya dalam sistem pembelajaran. Dengan diterapkannya pendekatan sistem, media pembelajaran menjadi bagian integral dalam program pembelajaran dan pemilihan serta penggunaannya sudah ditetapkan dengan penuh pertimbangan di saat membuat rancangan pembelajaran.
Dengan adanya perkembangan jenis dan fungsi media pembelajaran seperti diuraikan di atas, pengertian media pembelajaran juga menjadi bervariasi. Di samping itu, ada ahli media yang mebuat definisi yang menagcu hanya pada alat atau perangkat kerasnya, ada juga yang menonjolkan perangkat lunaknya. Contoh definisi yang mengacu pada perangkat kerasnya adalah definisi yang dikemukakan oleh Schramm (1977). Ia mendefinisikan media pembelajaran sebagai teknologi pembawa informasi yang dapat dimanfaatkan untuk proses belajar mengajar; sedangkang Briggs mendifikasikannya sebagai sarana fisik untuk menyampaikan materi pelajaran. Apabila dikaitkan dengan uraian mengenai sumber belajar di atas, dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah alat dan bahan yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk menyampaikan materi pembelajaran, baik dengan guru ataupun tanpa kehadiran guru.
F. Rasional Penggunaan Media Pembelajaran
Media pembelajaran digunakan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas proses belajar mengajar yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Ada beberapa alasan pentingnya penggunaan media pembelajaran dalam upaya meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa. Alasan utama adalah terkait dengan kemampuan media dalam membuat materi pelajaran yang bersifat abstrak menjadi lebih konkret dan lebih jelas. Sebagaimana diketahui bahwa sesuatu yang dipelajari akan lebih mudah dipahami dan diingat apabila diperoleh melalui pengalaman konkret yang melibatkan banyak indera.
Alasan lainnya terkait dengan manfaat yang dapat diperoleh melalui penggunaan media itu sendiri, yaitu antara lain :
1. Dapat membuat proses belajar mengajar lebih menarik dan lebih interaktif kerena penggunaan media dapat meningkatkan rasa ingin tahu, sikap poisitif dan motivasi belajar siswa. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap kecintaan siswa pada ilmu dan proses pencarian ilmu.
2. Dapat mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera karena rumit dapat digunakan untuk memanipulasi objek dan peristiwa, antara lain :
a. Objek yang berbahaya, yang terlalu besar, terlalu kecil atau terlalu rumit dapat dipelajari melalui gembar atau model dengan memperkscil yang berukuran kecil, meyederhanakan yang rumit, atau mengatur gerakan yang terlalu cepat dan terlalu lambat.
b. Peristiwa dan prosedur yang perlu diamati secara berulang dalam mempelajarinya dapat direka,/dofoto dan ditampilkan kembali melalui rekaman vidio dan audio, film, film rankai, atau film bingkai.
3. Dapat memperjelas, menyeragamkan dan mengefisienkan penyajian materi pembelajaran, dengan dapatnya media dipersiapkan terlebih dahulu, banyak hal yang dapat dipertimbangkan dan dilakukan untuk membuat panyajian materi pembelajaran lebih jelas, lebih sistematis, dan lebih efisien.
G. Jenis Media Pembelajaran
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, jenis media pembelajaran semakin banyak dan beragam. Secara sederhana sering orang membaginya atas dua kelompok besar antara lain :
• Media cetak media non cetak
• Media elektronik dan media non elektronik
• Media sederhana dan media rumit
• Media yang dirancang dan media yang dimanfaatkan
Ada banyak hal yang dapat dipakai sebagai dasar pengelompokkan media oleh para ahli. Schramm (1997) membagi media atas tiga kelompok daya liputnya atau ukuran banyaknya audiens yang dapat dijangkau oleh media tersebut. Ketiga ke-lompok media tersebut adalah :
1. Media masal : yaitu media yang liputannya luas, dapat menjangkau banyak orang ditempat yang tersebar. Contohnya : Telavisi, radio.
2. Media klasikal ; yaitu media yang liputannya terbatas, dapat menjangkau sekelompok orang dalam tempat tertentu seperti di kelas atau di tempat lainnya, dimana kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Contohnya : Film, video, slide.
3. Media individual; yaitu media yang dipakai untuk belajar secara perorangan. Contohnya : Media Cetak, telepon, CIA
Pengelompokkan media yang lebih rinci dilakukan oleh para ahli berdasarkan ciri atau karakteristiknya. Bretz dalam Arief dkk. (1986) misalnya, mengelompokkan media pembelajaran ke dalam delapan kelompok besar berdasarkan unsur pokok yang terkandung di dalamnya (suara gambar, grafik garis, simbol verbal tercetak, dan gerak). Kedelapan kelompok itu adalah :
1. Media cetak; ukuran utamanya simbol verbal
2. Media audio; unsur utamanya suara
3. Media semi gerak; unsur utamanya garis, simbol verbal, dan gerak.
4. Media visual diam; unsur utamanya garis, simbol verbal, dan gambar
5. Media visual gerak; unsur utamanya gambar, garis, simbol verbal, dan gerak.
6. Media audio semi gerak; unsur utamanya suara, garis, simbol verbal, dan gerak
7. Media audio visual diam; unsur utamanya suara, gambar, garis, dan simbol verbal.
8. Media audio visual gerak; unsur utamanya mencakup kelima – limanya yaitu suara, gambar, garis, simbol verbal dan gerak
Berbeda dengan Bretz, Kemp (1985) mengelompokkan media pembelajaran yang banyak digunakan sebagai sumber belajar di lingkungan pendidikan dan pelatihan berdasarkan cara pengoperasiannya, dia membagi media atas enam kelompok yaitu :
1. Benda nyata
Contohnya : benda, peralatan, model, mock-ups
2. Bahan yang tidak diproyeksikan
Contohnya : bahan cetak, papan tulis, bagan balik (flip chart), diagram, bagan, Grafik, foto.
3. Rekaman audio
Contohnya : Rekaman audio dalam kaset atai piringan
4. Gambar diam yang diproyeksikan
Contohnya : Slaid (film bingkai), film rangkai, OHT (transparansi). Program Komputer.
5. Gambar bergerak yang diproyeksikan
Contoh : film, rekaman video
6. Gabungan media
Contohnya : bahan dengan pita video, slaid dengan pita audio, film rangkai
dengan pita audio, mikrofis dengan pita audio, komputer interaktif dengan pita audio atau piringan video.
Setiap jenis media mempunyai karakteristik atau ciri tertentu dan masing–masingnya memiliki kelebihan dan kekurangan. Coba anda perhatikan media yang sering dipakai di kelas yang pernah anda ikuti, misalnya papan tulis dan buku. Dari kedua media tersebut anda pasti dapat mengemukakan kelebihan dan kekurangannya. Untuk dapat mengetahui lebih lanjut tentang kelebihan dan kekurangan media jenis lainnya, anda dapat mempelajarinya dari kepustakaan yang diberikan atau dari literatur lain yang terkait.
H. Kriteria Pemilihan dan Penggunaan Media Pembelajaran
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan media untuk dikembangkan dan digunakan. Yang pertama dan terutama sekali adalah kesesuaiannya dengan materi dan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Oleh karena media merupakan salah satu komponen sistem pembelajaran, faktor–faktor lain seperti karakteristik siswa, strategi pembelajaran, dan alokasi waktu juga perlu dipertimbangkan. Selain itu bagi media tertentu yang memerlukan fasilitas pendukung, perlu dipertimbangkan apakah fasilitas itu tersedia atau tidak; dan bagi media yang harganya atau biaya pembuatannya mahal juga perlu dipertimbangkan efektifitas biaya dalam jangka waktu lama. Adakalanya, ada media yang kalaupun biayanya mahal tetapi penggunaannya dapat berulang – ulang dalam jangka waktu yang panjang, sebaliknya ada media yang walaupun biaya pembuatan murah, karena hanya dapat digunakan untuk sekali waktu saja, akhirnya kalau dihitung untuk jangka panjang, malah jadi lebih mahal.
Latihan dan Tugas
1. Jelaskan pengertian sumber belajar dan media pembelajaran sehingga jelas keter-kaitan antara keduanya.
2. Berikan contoh sumber belajar yang dirancang dan sumber belajar yang diman-faatkan yang dapat dipakai masing–masingnya dalam mata pelajran :
a. Sejarah
b. Geografi
c. Bahasa Inggris
d. Akuntansi
e. Olah Raga
f. Biologi
g. Fisika
3. Jelaskan sekurang–kurangnya tiga alasan perlunya guru menggunakan media pembelajaran.
4. Berikan 2 (dua) buah contoh media pembelajaran yang dapat dipakai sebagai sumber belajar tanpa kehadiran guru
5. Jelaskan faktor–faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan media
6. Berikan masing–masing 2 (dua) buah contoh materi dan tujuan pembelajaran yang cocok bagi guru menggunakan media pembelajaran berikut ini.
a. Model dan mock-ups
b. Rekaman audio
c. Rekaman video
7. Baca buku–buku yang tercantum dalam Daftar Pustaka atau literatur lain tentang media pembelajaran. Pembelajaran ciri serta kelebihan dan kekurangan media ter-tentu yang sering digunakan dalam pembelajaran, dan tulis rangkumannya dengan kalimat anda sendiri berbentuk makalah, minimum lima halaman.
Rangkuman
Sumber belajar adalah segala daya yang dapat dimanfaatkan untuk memberi-kan kemudahan dalam belajar, baik yang sengaja dirancang maupun yang tidak . sumber belajar dapat dikelompokkan kedalam 6 (enam) kelompok yaitu : pesan, manusia, bahan, peralatan, teknik, dan lingkungan.
Sumber belajar yang tergolong bahan dan peralatan banyak dikembangkan dan digunakan untuk keperluan pendidikan dan pelatihan. Dalam hal ini keduanya disebut sebagai media pembelajaran. Para ahli sering menggunakan definisi yang berbeda untuk media pembelajaran, ada yang melihatnya dari perangkat kerasnya dan sebaliknya ada yang melihatnya dari perangkat lunaknya, tetapi kita perlu me-nyadari bahwa media pembelajaran mencakup keduanya. Oleh karena itu media pembelajaran dapat difenisikan sebagai bahan dan alat untuk menyampaikan materi pembalajaran.
Penggunaan media dalam proses pembelajaran memberikan beberapa manfaat yang dapat membantu siswa belajar secara optimal, antara lain kemampuan media dalam: (a) membuat materi pelajaran yang bersifat abstrak atau kurang jelas menjadi lebih konkret dan lebih jelas, (b) membuat proses belajar mengajar (pbm) lebih me-narik dan interaktif, (c) mengatasi keterbatasan waktu, ruang, dan daya indera, dan (d) memperjelas, menyeragamkan dan mengefisienkan penyajian materi pembelaja-ran.
Media pembelajaran sering dikelompokkan dengan menggunakan kriteria yang berberbeda. Setiap jenis media mempunyai ciri utama serta kelebihan dan kurangan. Oleh karena itu dalam memilih media untuk dikembangkan dan digunakan perlu dipertimbangkan kesesuainnya dengan materi dan tujuan pembelajaran yang diharapkan. Selain itu ada beberapa faktor lain yang perlu dikaji yaitu karakteristik siswa, strategi pembelajaran yang dipakai, alokasi waktu, ketersediaan media itu sendiri dan fasilitas pendukung, serta efektivitas biaya.
Daftar Pustaka
Arief. S. Sadiman, dkk, Media Pendidikan, Jakarta: CV rajawali, 1986
Bretz Rudy, A Taxonomy of Communication Madia, Englewood Cliffs, N. J. : Educational Technology Publications, 1971
Nana Sudjana & Ahmad Rivai, Teknologi pengajaran, Bandung : Sinar Baru 1989
——————Media Pengajar, Bandung : Sinar Baru 1989.
Schramm, Wilber. Big Madia Litte Media: Tools and Technology for Instruction, Beverly Hills, California : Sage Publication, Inc., 1977
BAB XI
EVALUASI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
A. Pendahuluan
Saudara–saudara para mahasiswa, pada bab ini saudara akan mempelajari ten-tang konsep dasar evaluasi belajar dan pembelajaran.
Pembahasan yang akan saudara pelajari pada evaluasi belajar meliputi: pen-gertian evaluasi dan pengakuran, kedudukan evaluasi dalam pendidikan, syarat-syarat pengukuran, kemudian dilanjutkan dengan evaluasi hasil belajar dan pembe-lajaran. Pada bagian ini yang akan dibahas adalah : tujuan dan fungsi, sasaran (ra-nah), prinsip-prinsip, bentuk dan alat evaluasi, prosedur dan pelaporan serta pengu-naan hasil evaluasi.
Pada evaluasi pembelajaran saudara akan mempelajari tentang tujuan dan fungsi, sasaran prosedur, pelaporan dan pengunaan hasil evaluasi pembelajaran.
Pengetahuan dan keterampilan yang saudara pelajari sehubungan dengan evaluasi belajar dan pembelajaran ini merupakan salah satu dari sekian banyak pengetahuan dan keterampilan untuk mempersiapkan kemampuan saudara sebagai seorang calon guru dan tenaga kependidikan lainnya. Salah satu kemampuan yang harus dipunyai oleh seorang guru adalah mampu melaksanakan evaluasi hasil belajar dan pembelajaran
Kemampuan guru untuk melaksanakan evaluasi hasil belajar, dimaksud agar para guru dapat mengukur dan menilai sampai sejauh mana para siswa yang mengikuti suatu proses pembelajaran yang dilaksanakan dapat mencapai keberhasilan. Untuk dapatnya menentukan keberhasilan siswa dalam belajar tidaklah merupakan suatu pekerjaan yang mudah, karena keputusan penilaian yang diberikan seseorang guru dapat memberikan dampak positif dan negatif terhadap siswa. Hasil penilaian yang didapat siswa mungkin dapat memacu memotivasi semangat belajarnya menjadi lebih baik dimasa yang akan datang, atau sebaliknya, hasil penilaian yang dapat menurunkan/mematikan semangat siswa untuk belajar selanjutnya.
Berdasarkan kemungkinan tersebut diatas, maka tentu saja para guru diharapkan dapat melaksanakan kegiatan penilaian dengan sebaik dan setepat mungkin dan jangan sampai kesalahan dalam menetapkan keputusan hasil belajar yang dicapai oleh para siswa.
Kemampuan guru melaksanakan evaluasi pembelajaran lebih diarahkan untuk menilai tentang upaya yang dilakukan guru dalam merekayasa terjadinya pembelajaran pada siswa. Pada pembahasan terdahulu (dalam bab-bab sebelumnya) telah dijelaskan bahwa tugas pokok guru dalam pembelajaran adalah merancang suatu desain pengajaran (desain instruksional), yang dapat mengupayakan terjadinya belajar pada siswa dan melaksanakan pengajaran
Dalam desain pengajaran (DI) tersebut, kegiatan guru dimulai dari mempelajari kurikulum yang berhubungan dengan bidang studi yang diajarkannya, kemudian menentukan TIU yang akan dicapai oleh siswa, setelah itu merumuskan tujuan pembelajaran (TIK) penetapan materi pelajaran, strategi belajar mengajar, media dan fasilitas belajar dan penentuan kegiatan evaluasi untuk pengukur keberhasilan.
Semua komponen yang disiapkan guru dalam desain pengajaran ini perlu dievaluasi, guna mengetahui efektifitas dan efisiensinya dengan diketahui efektifitas dan efisiensinya guru dapat secara terus menerus menyempurnakan setiap desain dan pelaksanaan pengajaran yang dilakukan.
Berdasarkan penjelasan–penjelasan diatas jelaslah keberadaan pengetahuan, keterampilan tentang evaluasi belajar dan pembelajaran penting dikuasai oleh seorang guru
Tentunya saudara –saudara para mahasiswa calon guru ingin mengetahui lebih lanjut tentang hal ini? teruskanlah membaca bahan ajar ini dan selamat belajar!
B. Tujuan Instruksioanal
Tujuan Instruksional khusus yang akan dicapai mempelajari pokok bahasan evaluasi belajar dan pembelajaran adalah mahasiswa dapat :
1. Menjelaskan pengertian evaluasi belajar dan pembelajaran
2. Membedakan antara tes, pengukuran, penilaian, dan evaluasi belajar
3. Menjelaskan kedudukan evaluasi dalam pendidikan
4. Menyebutkan syarat-syarat pengukuran yang baik
5. Menjelaskan tujuan dan fungsi evaluasi
6. Melaksanakan penilaian berdasarkan ranah
7. Menjelaskan prinsip-prinsip evaluasi
8. Mengidentifikasi bentuk – alat evaluasi yang dapat digunakan guru
9. Menjelaskan prosedur evaluasi yang cepat
10. Membuat pelaporan kegiatan evaluasi
11. Mengunakan hasil penilaian
12. Menjelaskan tujuan dan fungsi pembelajaran
13. Menjelaskan sarana evaluasi pembelajaran
14. Menjelaskan prosedur evaluasi pembelajaran
15. Membuat pelaporan kegiatan evaluasi pembelajaran.
16. Menjelaskan pengunaan hasil evaluasi pembelajaran
C. Pengertian Evaluasi dan Pengukuran
Istilah evaluasi berasal dari bahasa Inggris yaitu “ evaluation” Istilah ini diterjemahan kedalam bahasa Indonesia adalah “ Penilaian”.
Penilaian merupakan suatu pekerjaan yang selalu dilakukan oleh manusia didalam kehidupannya. Setiap hari barang kali kita tidak pernah luput dari pekerjaan melakukan penilaian. Misalnya kalau saudara membeli buku ditoko buku, saudara tentu akan memilih – milih buku dulu yang akan yang dibelis sampai berjam – jam berada disana, baru menentukan buku yang akan dibeli. Begitu juga dengan ibu-ibu jika belanja kepasar tentu akan berkeliling pasar dulu untuk membeli keperluannya, misalnya ingin membeli buah jeruk dari suatu penjual kepenjual lain setelah berada disalah satu penjual. Sebelum memutuskan membeli jeruk tersebut biasanya memilih-milih dahulu dari sejumlah jeruk yang ada baru setelah itu jeruk ditimbang, dibayar dan dibawa pulang.
Berdasarkan ilutrasi dan dikemukakan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sebelum mengambil keputusan perlu dilakukan beberapa kegiatan terlebih dahulu. Kegiatan itu diantaranya : membandingkan diantara suatu obyek dengan suatu kriteria ukuran tertentu, baru kemudian setelah obyek tersebut dibandingkan maka dibuat suatu keputusan.
Pada ilustrasi diatas, seseorang yang berjam-jam ditoko buku dan memilih buku serta berkeliling pasar dan memilih buah jeruk, sebenarnya sedang membandingkan antara kriteria yang mereka miliki dengan obyek yang dicarinya (yaitu buku dan buah jeruk). Dalam pekerjaan mahasiswa dengan si ibu tentu sudah ada suatu kriteria tentang buku dan buah jeruk yang akan dibelinya.
Kriteria untuk buku, munngkin , 1) berguna untuk bahan rujukan suatu mata kuliah, 2) cetakan terbaru, 3) pengarang terkenal, 4) bahasanya mudah dimengerti, 5) harganya relatif murah.
Sedangkan ibu yang membeli jeruk, mungkin memiliki kriteria/ukuran jeruk yang bagus adalah : terlihat segar, besar-besar, pori-pori kulitnya besar-besar, harganya relatif murah.
Kriteria/ukuran yang dimiliki oleh dua orang ini terlihat berbeda, sesuai dengan obyeknya dan kriteria tersebut bisa saja antara satu orang dengan orang lain terhadap obyek yang sama akan berbeda. Hal ini disebabkan karena kriteria yang digunakanlah perkiraan saja.
Kriteria/ukuran dari suatu obyek ada yang sifatnya standard. Misalnya kalau kita memiliki panjangnya 2 buah meja tulis, biasanya kita akan memakai ukuran yang standard yaitu meteran (m, cm) dan akan memakai timbangan ( kg, gram dsb). Setelah mengukur benda-benda tersebut baru kita dapat menentukan/ membuat suatu keputusan mana meja yang lebih panjang dan mana yang lebih berat.
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa dalam melakukan kegiatan penilaian terlebih dahulu harus melakukan kegiatan pengukuran. Pengukuran dapat dilakukan bila tersedia objek/benda yang akan diukur serta kriteria/ukuran. Kriteria dan ukuran itu ada yang sifatnya standard dan tidak standard. Jadi dalam melakukan penilaian hendaklah dilakukan kegiatan pengukuran terlebih dahulu.
Suharsumi Arikunto dalam bukunya Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (1986;3) mengatakan bahwa evaluasi meliputi dua bagian yaitu mengukur dan menilai. Mengukur adalah membanding suatu dengan satu ukuran, pengukuran bersifat kuantitatif, dan penilaian yaitu menambil keputusan terhadap suatu dengan suatu ukuran baik buruk, kualitatif.
Pendapat lain tentang evaluasi dikembangkan pula oleh Edwind Wand dan Gerald W. Brown, seperti di kutip oleh Wayan Nurkancana, yaitu suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari pada sesuatu. Sedangkan pengukuran suatu tindakan atau proses untuk menentukan luas atau kuantitas dari pada sesuatu.
Jadi saudara-saudara para mahasiswa, dari defenisi yang telah dikemukakan itu terlihat jelas adanya perbedaan antara pengukuran dan penilaian.
Meskipun ada perbedaan antara penilaian dan pengukuran. Namun kedua hal itu tidak dapat dipisahkan karena terdapat hubungan yang sangat erat. Penilaian tidak dapat dilakukan jika sebelum dilakukan pengukuran terlebih dahulu. Pengukuran bila sudah dilakukan belumlah memiliki “ Arti”, dan untuk menberi arti haruslah dilakukan penilaian. Jadi dalam penilaian sebenarnya sudah ada secara implisit terkandung pengukuran.
Saudara para mahasiswa, sekarang pekerjaan tentang penilaian dalam kegiatan pendidikan !. bagaimanakah menurut pendapat kamu semua ? apakah penilaian yang dilakukan dalam kegiatan pendidikan, misalnya penilaian yang dilakukan guru terhadap siswa juga mengandung unsur pengukuran ? bagaimanakah pelaksanaannya dan apakah kriteria/ ukuran yang dipakai oleh guru ?
Keberhasilan siswa dalam belajar tentu harus diketahui secara jelas. Untuk itu setelah siswa mengikuti suatu P.B.M. maka biasanya guru akan memberikan ujian kepada siswa. Para siswa diminta untuk menjawab sejumlah soal. Kemudian guru akan menghitung berapa skor yang diperoleh siswa. (berapa jumlah jawaban yang benar yang dapat oleh siswa) dan setelah itu skor-skor yang diperoleh siswa itu dapat dibandingkan dengan suatu kriteria tertentu dan dapat pula dibandingkan dengan sesama siswa. Berdasarkan hasil perbandingan itulah dapat diputuskan nilai yang diperoleh siswa dan sekaligus menunjukkan tingkat keberhasilan yang mereka capai.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa kegiatan pengukuran dilakukan guru dengan jalan meminta siswa menjawab soal-soal ujian. Soal – soal itu sendiri tentunya telah disiapkan sedemikian rupa sehingga soal itu merupakan alat ukur, skor yang diperoleh siswa setelah mengikuti ujian adalah hasil pengukuran yang bersifat kuantitatif.
Penilaian yang dilakukan oleh guru adalah guna memberi arti terhadap hasil pengukuran. Dengan kata lain hasil pengukuran yang diperoleh siswa belumlah memiliki arti apa-apa. Untuk itu guru memberikan arti dengan jalan menbandingkan sesama hasil pengukuran dengan suatu patokan tertentu sehingga hasil penilaian itu memiliki sifat kualitatif.
D. Kedudukan Evaluasi Dalam Pendidikan
Pelaksanaan kegiatan pendidikan sangat memerlukan sekali adanya kegiatan evaluasi. Kegiatan evaluasi itu digunakan pada setiap komponen yang ada dalam proses pendidikan. Sebelum kita membahas kegiatan evaluasi pada pendidikan tersebut, maka terlebih dahulu kita bahas bagaimana proses pendidikan itu dilaksanakan.
Pendidikan yang terlaksana secara formal dilembaga –lembaga pendidikan di Indonesia merupakan suatu sistim atau lebih dikenal dengan sistem transpormasi pendidikan, yang dapat diartikan sebagai suatu kesatuan yang terorganisir yang terdiri dari atas sejumlah komponen yang saling berkaitan satu sama lain untuk mencapai suatu tujuan. Untuk lebih jelasnya pemahaman saudara para mahasiswa tentang sistem transpormasi itu, perhatikanlah gambar sebagai berikut :
Row input atau masukan mentah dalam suatu proses pendidikan adalah siswa dengan segala karakteristik dan keunikannya. Setiap siswa Jelas memiliki perbedaan antara satu sama lain ada yang berkemampuan tinggi, sedangkan ada pula yang berkemampuan rendah. Guna menentukan karakteristik dan keunikan siswa tersebut maka diperlukan sekali adanya evaluasi terhadap kemampuan siswa atau kita kenal dengan adanya proses seleksi sebelum siswa masuk pada suatu lembaga pendidikan. Misalnya saudara dulu sebelum menjadi mahasiswa mengikuti test U.M.P.T.N. terlebih dahulu. Test yang saudara ikuti itu sebenarnya dapat menjadi masukan pada salah satu Universitas dan Institut negeri yang ada di Indonesia ini.
Lebih lanjut, setelah masukan pasti maka dilakukan pula penilaian terhadap segenap Instrumental Input (masukan intrumental) dan Enviromental Input (masukan lingkungan) yang akan bersama-sama memproses masukan mental (masukan intrumental) siswa (siswa) menjadi out put (keluaran).
Penilaian terhadap masukan instrumental dan masukan lingkungan ini dimaksudkan untuk menentukan / menetapkan masukan yang instrumental dan masukan lingkungan yang sesuai untuk memproses masukan mentah yang memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri. Masukan instrumental meliputi guru, kurikulum, sarana dan prasarana yang digunakan,dsb. Sedangkan masukan lingkungan antara lain keadaan antara lain keadaan sosial, budaya, ekonomi, keaman, dsb. Masukan lingkungan ini secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap berperannya masukan instrumental dalam pemprosesan masukan mental.
Guna dapat menentukan masukan mentah setelah diproses menjadi output (keluaran) juga memerlukan adanya kegiatan penilaian. Dengan kata lain untuk dapat ditentukan siswa lulus/ selesai mengikuti suatu kegiatan pendidikan pada suatu lembaga pendidikan maka biasanya ada kegiatan evaluasi belajar tahap akhir (ebta). Penentuan lulus/tidak lulusnya siswa itu memang bukan hanya ditentukan oleh EBTA saja, tetapi juga oleh setiap kegiatan penilaian yang telah dilakukan guru selama mengikuti kegiatan pendidikan dilembaga tsb. Secara rinci, biasanya guru berulang kali menilai siswanya guna mengetahui keberhasilan siswa dalam belajar atau dalam mencapai tujuan-tujuan instruksional yang sudah ditetapkan. Secara ringkas penilaian yang dilakukan oleh guru terhadap siswanya dapat dijelaskan pada DIAGRAM berikut :
Tujuan Instruksional
(a) (b)
pengalamanan belajar
(proses belajar
mengajar) (c ) Hasil belajar
Garis (a) menunjukkan hubungan antara tujuan instruksional dengan pengalaman belajar dengan hasil belajar. Dari diagram itu dapat ditarik kesimpulan bahwa kegiatan-kegiatan penilaian dinyatakan oleh garis (c) yakni suatu tindakan atau kegiatan untuk melihat sejauh mana tujuan-tujuan instruksioanal telah dicapai atau dikuasai oleh siswa dalam bentuk hasil belajar yang diperlihatkan setelah menempuh pengalaman belajar (PBM). Sedangkan garis (b) merupakan kegiatan penilaian untuk mengetahui keefektifan pengalama belajar dalam mencapai hasil belajar yang optimal.
Jadi penilaian yang dilakukan guru terhadap siswa tidak hanya bermamfaat untuk mengetahui tercapai/tidak tujuan instruksional bagi siswa,tetapi juga sebagai umpan balik bagi upaya memperbaiki PBM.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah diberikan, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan penilaian dalam proses pendidikan terlaksana pada hampir semua kegiatan pendidikan, baik dalam ruang lingkup lembaga, maupun yang dilakukan oleh guru.
Tugas :
1. Jelaskan dengan mengunakan contoh perbedaan antara pengukuran, penilaian dan evaluasi. ?
2. Kapankah kegiatan evaluasi dalam suatu proses pendidikan dilakukan ? , kemukakan pendapatmu dengan contoh .
3. Jelaskan kedudukan evaluasi dalam ruang lingkup tugas yang dilakukan oleh guru disekolah.
E. Syarat–Syarat Umum Evaluasi
Dalam melakukan kegiatan evaluasi kita perlu memperhatikan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh suatu alat ukur (tes). Syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh suatu alat ukur adalah :
1. Kesahihan (validitas)
2. Keterandalan (reliabilitas)
3. Kepraktisan (praktikabilitas)
4. Objektif (objektifitas)
1. Kesahihan (Validitas)
Pertanyaan yang selalu diajukan terhadap suatu alat ukur adalah sampai dimanakah validitasnya suatu alat ukur tersebut.
Sebuah tes dikatakan valid apabila tes itu dapat terpat mengukur apa yang hendak diukur (betul – betul mengukur semua yang seharusnya diukur).
Contoh :
Untuk mengukur besarnya partisipasi siswa dalam proses belajar mengajar bukan diukur melalui nilai yang diperoleh pada waktu ulangan, tetapi dilihat melalui :
– Kehadiran
– Terpusatnya perhatian pada pelajaran
– Menjawab pertanyaan yang diberikan guru
– Dan sebagainya
Nilai yang diperoleh pada waktu ulangan bukan mengambarkan partisipasi tetapi menggambarkan prestasi belajar.
a. Jenis – jenis Validitas
Ada dua kenyataan pokok yang memperlihatkan taraf validitas suatu tes yaitu :
1. yang dipertimbangkan secara rasional (validitas logis) terdiri :
Validitas Isi (Content Validity)
Validitas Kontruksi ( Construct Validity)
2. yang dilihat melalui prosedur empiris (Validitas Empiris) terdiri dari :
Validitas ada sekarang (Concurrent Validity)
Validitas prediksi (Predictive Validity)
Ad. a.1. Validitas isi (Content Validity)
Sebuah tes dikatakan memiliki validitas isi, apabila mengukur tujuan khusus tertentu yang sejajar dengan materi atau isi pelajaran yang diberikan
Contoh :
Apabila kita ingin mengukur penguasaan materi IPA untuk siswa kelas III SD maka tes yang disusun harus berdasarkan materi IPA untuk kelas III SD (sesuai dengan kurikulum untuk kelas III SD)
Ad.a.2. Validitas Konstruksi (Contruct Validitas)
Sebuah tes dikatakan memiliki validitas konstruksi apabila butir – butir soal yang dibangun tes tersebut mengukur setiap aspek berpikir seperti yang disebutkan dalam tujuan instruksional khusus.
Contoh :
Jika rumusan TIK “Siswa dapat membandingkan antara efek biologis dan efek psiologis“ maka butir soal pada tes merupakan perintah agar siswa membedakan antara dua efek tersebut.
a.b.1. Validitas ada sekarang (Concurrent Validitas)
Validitas ini lebih dikenal dengan validitas empiris (validitas pengukuran setara). Sebuah tes dikatakan memiliki validitas empiris jika hasilnya sesuai dengan pengalaman. Jika ada istilah “ Sesuai “ tentu ada dua hal yang dipasangkan. Dalam hal ini hasil tes dipasangkan dengan hasil pengalaman. Pengalaman selalu mengenai hal yang telah lampau, sehingga data pengalaman tersebut sekarang sudah ada (ada sekarang, concurrent).
Dalam membandingkan hasil sebuah tes diperlukan suatu kriterium atau alat banding. Maka hasil tes merupakan suatu yang dibandingkan.
Contoh :
Seorang guru ingin mengatakan apakah tes sumatif yang disusun sudah valid atau belum, untuk diperlukan sebuah kriterium masa lalu yang sekarang datanya dia miliki, misalnya nilai ulangan harian atau nilai ulangan sumatif yang lalu.
Jenis kesahihan ini diperoleh dengan mengkorelasikan hasil tes yang baru dengan hasil tes yang sudah ada (tes yang setara).
A.b.2) Validitas prediksi ( Predictive Validity )
Memprediksi artinya meramal mengenai hal yang akan datang (sekarang belum terjadi ).
Sebuah tes dikatakan memiliki validitas prediksi apabila tes mempunyai kemampuan untuk meramalkan apa yang akan ter-jadi pada masa yang akan datang.
Contoh :
Tes untuk masuk Perguruan Tinggi adalah sebuah tes yang diperkirakan mampu meramalkan keberhasilan peserta tes dalam mengikuti kuliah pada masa yang akan datang. Sebagai alat pembanding validitas prediksi adalah nilai – nilai yang di-peroleh setelah peserta tes mengikuti perkuliahan Perguruan Tinggi. Jika ternyata pengikut tes masuk Perguruan Tinggi yang mempunyai nilai tinggi, setelah mengikuti ujian semester I dia mendapat nilai yang rendah atau pengikut tes masuk Perguruan Tinggi yang mempunyai nilai rendah tetapi setelah mengikuti ujian semester I nilainya tinggi. Dalam ini tes masuk PT. Terse-but tidak memiliki validitas prediksi
2. Keterandalan (Raliabilitas).
Realiable artinya dapat dipercaya. Suatu tes yang mempunyai reabilitas berarti bahwa tes tersebut mempunyai sifat dapat dipercaya. Suatu tes dapat dikatakan mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi jika tes tersebut memberikan hasil yang tetap. Jadi pengertian reabilitas tes, berhubungan dengan masalah ketetapan hasil tes. Dengan perkataan lain, jika kepada para siswa diberikan tes yang sama pada waktu yang berlainan maka setiap siswa akan tetap berada dalam urutan ( ranking ) yang sama dalam kelompoknya.
Untuk menentukan tingkat realibilitas dari suatu tes, kita gunakan rumus korelasi Product Moment.
Metode yang digunakan adalah :
a. Metode bentuk paralel ( equivalent ).
b. Metode tes ulang ( test – retest method )
c. Metode belah dua ( split – half method )
Ad. a. Metode bentuk paralel ( equivalent )
Metode ini sering disebut realibitas pengukuran setara. Jika dua bentuk tes setara (mempunyai kesamaan tujuan, tingkat kesukaran dan susunan, tetapi butir – butir soalnya berbeda), dimiliki kedua tes ini, diberikan kepada siswa, tes pertama yang diberikan disebut tes ke I dan tes yang diberikan kedua disebut tes ke II. Kedua tes itu dapat diberikan atau dirangkai secara langsung atau boleh juga dipisahkan dengan jarak tertentu. Korelasi antara hasil kedua tes itu akan menentukan tingkat realibilitasnya.
Kelemahan dari metode ini adalah bahwa pengetes pekerjaannya berat, karena harus menyusun dua seri tes dan membutuhkan waktu lama untuk melaksanakan dua kali tes.
Ad. b. Metode tes ulang ( realibilitas pengukuran ulang )
Metode ini dilakukan orang untuk menghindari penyusunan dua seri tes. Pengetesan hanya memiliki satu seri tes tetapi dicoba-kan (di teskan ) dua kali. Kemudian hasil dari kedua kali tes terse-but dihitung korelasinya.
Ad. c. Metode belah dua ( reliabilitas belah dua )
Prosedur pengiraan/penghitungan yang paling sering digunakan untuk menetapkan reliabilitas dari suatu tes dalah metode belah dua. Pengetesan hanya menggunakan sebuah tes dan dicobakan satu kali. Caranya ialah dengan membagi dua tes itu dan hasil pada masing – masing bagian dikoreksikan satu sama lain. Cara membagi dua tes tersebut ialah meletakkan soal – soal bernomor ganjil kedalam tengahan pertama dan soal – soal bernomor genap kedalam tengahan kedua.
Pemecahan soal – soal tes seperti ini hanya dilakukan pada waktu pemeriksaan dan tidak pada waktu penyajian pada peserta tes. Jadi dengan sekali tes diperoleh dua hasil yang terpisah. Korelasi antara kedua tes ini (tangahan pertama dan tangahan kedua ) akan memperlihatkan tingkat reliabilitas dari tes tersebut.
3. Kepraktisan ( Praktikabilitas)
Sebuah tes dikatakan mempunyai praktikabilitas yang tinggi apabila tes tersebut bersifat praktis. Mudah pengadministrasiannya. Tes yang praktis adalah tes yang :
a. Mudah dilaksanakan
Tidak menuntut peralatan yang banyak dan memberi kebebasan kepada siswa untuk mengerjakan terlebih dahulu bagian yang dianggap mudah oleh siswa.
b. Mudah pemeriksanaanya
Artinya tes itu dilengkapi dengan kunci jawaban maupun pedoman skoringnya. Untuk soal bentuk objektif pemeriksaan akan lebih mudah dilakukan jika dikerjakan oleh siswa dalam lembaran jawaban.
c. Dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk yang jelas sehingga dapat diberikan/diawasi oleh orang lain.
d. Suatu tes akan mudah dilaksanakan jika waktunya tidak terburu-buru.
4. Objektif (Objektivitas)
a. Bentuk tes.
Tes yang berbentuk uraian akan memberikan banyak kemungkinan ke-pada sipenilai untuk memberikan penilaian menurut caranya sendiri. Dengan demikian maka hasil dari seorang siswa yang mengerjakan soal – soal dari sebuah tes, akan dapat berbeda apabila dinilai oleh dua orang penilai.
Untuk menghindari hal ini orang cenderung menggunakan tes abjektif.
b. Penilai
Subjektifitas dari penilai akan dapat masuk secara agak leluasa terutama dalam tes bentuk uraian. Faktor yang mempengaruhi subjektifitas itu antara lain : kesan penilai terhadap siswa. Tulisan , Bahasa,Waktu mengadakan penilaian, Kelelahan, dan sebagainya
Untuk menghindari atau mengurangi masuknya unsur subjektifitas dalam pekerjaan penilaian, maka penilaian harus dilaksanakan dengan mengingat pedoman. Pedoman yang dimaksud terutama menyangkut masalah pengadministrsian yaitu :
Evaluasi harus dilakukan secara kontiniu (terus menerus)
Dengan melakukan evaluasi yang berkali – kali, maka guru akan memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang keadaan siswa.
Evaluasi harus dilakukan evaluasi komprehensif (menyeluruh).
Yang dimaksud dengan komprehensif adalah atas berbagai peninjauan yaitu :
– Mencakup keseluruhan materi
– Mancakup berbagai aspek berfikir (ingatan, pemahaman, aplikasi, dan sebagainya)
– Melalui berbagai cara yaitu tes tertulis, tes lisan, tes perbuatan, pengamatan insidental, dan seterusnya.
Pertanyaan
1. Jelaskanlah kesulitan apa yang dihadapi (sehubungan dengan validitas isi) oleh seorang yang ditugaskan menyusun tes bentuk uraian.
2. Jelaskanlah bagaimana hubungan antara content validity dan construct validity suatu alat ukur hasil belajar.
BAB XII
MASALAH – MASALAH
BELAJAR
A. Pendahuluan
Suatu kenyataan yang perlu disadari oleh guru-guru ialah bahwa murid-murid yang dihadapi di kelas tidak sama satu dengan yang lainnya. Murid menpunyai perbedaan dalam banyak hal seperti : berbeda kemampuan, bakat, minat yang mereka miliki, berbeda dalam ketajaman melihat dan mendengar serta berbeda latar belakang kehidupannya. Oleh sebab itu guru tidak boleh menyamaratakan atau beranggapan bahwa semua anak mempunyai kemampuan dan kecepatan belajar yang sama, sehingga dalam waktu yang sama semua murid diangap akan dapat menyelesaikan isi pelajaran yang sama. Kenyataannya di dalam kelas selalu ada murid yang cepat dalam belajar, ada yang sedang atau normal dan ada murid yang lamban dalam mengikuti pelajaran.
Murid yang lambat dalam belajar sering mangalami kesulitan, sebab setiap akhir kegiataan belajar murid belum mampu untuk menguasai seluruh materi yang seharusnya sudah dikuasai, guru telah melanjutkan pada materi berikutnya. Akibat lain yang timbul pada diri murid mungkin ia tidak ada perhatian terhadap pelajaran itu atau tidak punya minat untuk belajar atau tidak bersemangat untuk belajar. Oleh sebab itu guru hendaknya dapat memberikan perhatian khusus terhadap murid yang lambat dalam belajar atau mengalami masalah atau kesulitan dalam mencapai tujuan pelajaran yang ditetapkan. Pada hakekatnya guru mempunyai tanggung jawab yang lebih luas dari peranannya sebagai pengajar atau pembelajar. Guru sebagai pembelajar bertanggung jawab untuk membantu murid dalam mencapai perkembangan yang optimal. Oleh sebab itu guru diharapkan dapat menciptakan situasi kegiatan dalam belajar dan pembelajaran di sekolah yang efektif dan efisien, sehingga murid diharapkan mencapai hasil belajar yang optimal. Untuk mencapai hasil belajar yang optimal bagi murid, maka setiap kesulitan atau masalah yang timbul dalam belajar seyogyanya dapat segera diidentifikasi dan segera pula diberikan bantuan atau perbaikan. Ini berarti bahwa setiap guru dituntut kemampuannya untuk mampu memberikan bantuan pada murid yang mengalami kesulitan atau masalah dalam belajar, materi yang di bahas dalam masalah-masalah belajar dan pembelajaran ini meliputi :
1. Jenis-jenis masalah belajar dan pembelajaran.
2. Faktor-faktor penyebabmasalah belajar dan pembelajaran
3. Cara mengungkapkan masalah belajar
4. Upaya pengentasan masalah belajar dan pembelajaran
5. Bentuk layanan yang diberikan
B. Masalah-masalah Belajar dan Pembelajaran
1. Jenis-jenis masalah belajar
Di sekolah, disamping banyaknya murid yang berprestasi belajar, sering pula dijumpai adanya murid yang gagal, seperti : nilai atau angka rapor banyak rendah, tidak naik kelas, tidak lulus ujian akhir dan sebagainya. Secara umum, murid-murid yang mengalami hal seperti itu dapat dipandang sebagai murid yang mengalami masalah belajar. Masalah belajar memiliki bentuk yang banyak ra-gamnya, menurut Prayitno (1994 : 90), mengemukakan masalah – masalah se-bagai berikut :
a. keterampilan akademik, yaitu keadaan siswa yang diperkirakan memiliki intelegensi yang cukup tinggi, tetapi tidak dapat memamfaatkannya secara optimal.
b. Ketercepatan dalam belajar, yaitu keadaan siswa yang memiliki IQ 130 atau lebih tetapi masih memerlukan tugas-tugas khusus untuk memenuhi kebutuhan dan kemampuan belajar yang amat tinggi itu.
c. Sangat lambat dalam belajar, yaitu keadaan siswa yang memiliki akademik yang kurang memadai dan perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan pendidikan atau pengajaran khusus
d. Kurang motivasi dalam belajar, yaitu keadaan siswa yang kurang bersemangat dalam belajar mereka seolah-olah tampak jera dan malas.
e. Bersikap dan berkebiasan buruk dalam belajar, yaitu kondisi siswa yang kegiatan atau perbuatan belajarnya sehari-hari antagonistik dengan yang seharusnya, seperti suka menunda-nunda tugas, mengulur waktu, membenci guru, tidak mau bertanya untuk hal-hal yang tidak diketahuinya dan sebagainya.
Menurut Modul Diagnostik Kesulitan Belajar Dan Pengajaran Remedial, beberapa ciri-ciri tingkah laku yang merupakan pernyataan manifestasi gejala kesulitan belajar antara lain :
a. Menunjukan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau dibawah potensi yang dimilikinya.
b. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan. Mungkin ada murid yang selalu berusaha untuk belajar dengan giat tetapi nilai yang dicapainya selalu rendah
c. Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajar. Ia selalu tertinggal dari teman-temannya dalam menyelesaikan tugas-tugas sesuai dengan waktu yang tersedia.
d. Menunjukkan sikap yang kurang wajar, seperti acuh tak acuh, menentang,berpura-pura, dusta dan sebagainya.
e. Menunjukkan tingkah laku yang berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, menganggu dalam atau di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak terature dalam kegiatan belajar, mengasingkan diri, tersisihkan, tidak mau bekerja sama dan sebagainya.
f. Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti : pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu misalnya dalam menghadapi nilai rendah tidak menunjukkan adanya perasaan sedih atau menyesal, dsb
Burton (1952 : 622-624) mengidentifikasi bahwa seorang siswa itu dapat dipandang atau dapat diduga sebagai mengalami kesulitan belajar kalau yang bersangkutan menunjukkan kegagalan ( failure) tertentu dalam mencapai tujuan-tujuan belajarnya. Kegagalan belajar didefenisikan oleh Burton sebagai berikut :
1. Siswa dikatakan gagal, apabila dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan (mastery level) minimal dalam pelajaran tertentu seperti yang telah ditetapkan oleh orang dewasa atau guru (criterion referenced). Dalam kontek sistem pendidikan di Indonesia angka nilai batas lulus (passing grade, grade-standard-basis) itu ialah angka 6 atau 60% atau C (60% dari tingkat ukuran yang diharapkan atau ideal), siswa ini dapat digolongkan kepada lower group.
2. Siswa dikatakan gagal, apabila yang bersangkutan tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi yang semestinya ( berdasarkan tingkat ukuran kemampuan : intelegensi : bakat ) ia diramalkan (predicted) akan dapat menyerjakan atau mencapai prestasi tersebut, siswa ini digolongkan kedalam under achievers.
3. Siswa dikatakan gagal, kalau yang bersangkutan tidak dapat mewujudkan tugas-tugas perkembangan termasuk penyesuaian sosisal, dengan pola organismik (his/organismic pattern) pada fase perkembangan tertentu seperti yang berlaku bagi kelompok sosial dan usia yang bersangkutan (norm referenced) siswa yang bersangkutan, dapat dikatagorikan ke dalam slow learners.
4. Siswa dikatakan gagal, kalau yang bersangkutan tidak berhasil mencapai tingkat penguasaan (mastery level) yang diperlukan sebagai persyaratan (prerequisisi) bagi kelanjutan (continuity) pada tingkat pelajaran berikutnya, siswa ini dapat digolongkan kedalam slow learners atau belum matang (immature) sehingga harus menjadi pengulang.
Dari keempat pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang siswa dapat diduga mengalami kesulitan belajar, kalau yang bersangkutan tidak berhasil mencapai taraf kualifikasi hasil belajar tertentu. Seperti ukuran kriteria yang dinyatakan dalam TIK atau ukran tingkat kapasitas atau kemampuannya.
C. Faktor-faktor Penyebab Masalah Belajar
Dalam kegiatan belajar mengajar yang dilalui atau dijalani murid-murid disekolah maupun diluar sekolah terdapat berbagai kesulitan yang dapat ber-sumber dari dirinya sendiri, pelajaran yang diterima, guru-guru, teman-teman, kelurga dan sebagainya. Oemar Hamalik (1983 : 112) merumuskan :
“Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan belajar itu dapat digolongkan menjadi : 1) Faktor yang bersumber dari diri pribadi, 2) Faktor yang bersumber dari lingkungan sekolah, 3) Faktor yang bersumber dari lingkungan keluarga, 4) Faktor yang bersumber dari lingkungan masyarakat.
Faktor yang bersumber dari diri pribadi sendiri yaitu faktor psikologis seperti intelegensi, bakat,minat, motivasi, kematangan. Intelegensi besar pengaruhnya terhadap keberhasilan belajar. Murid yang menpunyai intelegensi tinggi akan lebih mudah dalam atau lebih berhasil dibandingkan dengan murid-murid yang intelegensinya rendah. Sebabmurid yang berintelegensi rendah akan mengalami kesulitan dalam memahami pelajaran yang diberikan guru.
Bakat akan dapat mempengaruhi seseorang dalam belajar atau dapat mendatangkan kesulitan misalnya bila bahan yang dipelajari oleh murid tidak sesuai dengan bakatnya. Misalnya murid yang tidak berbakat menari akan memngalami kesulitan dalam belajar menari walaupun tari itu mudah gerakkannya.
Motivasi murid dalam proses belajar hendaknya diperhatikan guru, sebab motivasi erat sekali hubungannya dengan tujuan yang akan dicapai dalam belajar. Bila murid tidak mempunyai motivasi dalam belajar tentu prestasi belajar bisa menurun.
Kesulitan belajar yang disebabkan faktor fisiologis seperti kesehatan fisik berpengaruh pada fikiran dan demikian juga pikiran dapat mempengaruhi fisik. Winarno Surahmad mengatakan bahwa : “ Ganguan visual (penglihatan) diseko-lah-sekolah diperkirakan sekitar 25% dari murid biasa, yang biasanya tidak mu-dah diketahui kareta tidak nyata seperti pada keadaan buta. Ganguan-gangguan visual yang tidak tampak sering kali disertai dengan gejala pusing, mual, sakit kepala, malas dan kehilangan konsetrasi pada pelajaran.”
Jadi ganguan-ganguan fisik ini dapat berupa ganguan pada alat-alat penglihatan dan pendengaran yang dapat menimbulkan kesulitan dalam belajar.
Faktor yang bersumber dari lingkungan sekolah yang dapat menimbulkan kesulitan belajar yaitu : kurikulum, metode mengajar, hubungan guru dengan guru, hubungan guru dengan murid, hubungan murid dengan murid, sarana dan prasarana. Kurikulum yang dapat menimbulkan kesulitan belajar-mengajar bila kurikulum terlalu padat, tidak sesuai dengan kemampuan murid, kurikulum yang sering berubah.
Meode mengajar misalnya guru mengunakan metode yang sama untuk semua bidang studi, hal ini dapat membosankan murid dalam belajar. Hubungan guru dengan guru yang tidak baik dapat menimbulkan kesulitan dalam belajar misalnya guru menyebutkan kelemahanya atau kekurangan guru pada murid-muridnya. Hubungan guru dengan murid yang dapat menimbulkan kesulitan dalam belajar hubungan itu tidak baik, misalnya guru yang tidak menghargai murid dengan memarahi murid atau menyebutkan kelemahan murid dihadapan teman-temannya, guru menuntut sama semua murid dengan teman-teman yang berprestasi. Hubungan murid dengan murid yang dapat menimbulkan kesulitan belajar, bila dalam satu kelas terdapat persaingan yang kurang sehat. Sarana dan prasarana yang dapat menimbulkan kesulitan dalam belajar seperti alat-alat belajar yang kurang atau tidak lengkap, buku-buku sumber yang diperlukan sulit didapatkan, ruang kelas tidak mencukupi syarat seperti terlalu panas, pengap, ruang kecil tida sesuai dengan jumlah siswa.
Faktor yang bersumber dari lingkungan keluarga yang dapat menimbulkan kesulitan belajar yaitu : ekonomi keluarga, hubungan antar sesama keluarga, tuntutan orang tua, pendidikan orang tua.
Keadaan ekonomi keluarga, akan mepengaruhi belajar anak. Bila anak hidup dalam keluarga yang miskin, tentu kebutuhan pokok tidak terpenuhi dan akan mengangu kesehatan sekaligus tentu mengganggu belajar anak. Anak harus bekerja membantu mencari tambahan ekonomi keluarga, seperti berjualan sebelum berangkat kesekolah atau pulang sekolah. Hal ini dapat menimbulkan kesulitan bagi anak, mungkin anak terlambat datang, tidak dapat membeli peralatan sekolah yang dibutuhkan, tidak dapat memusatkan perhatian, karena sudah lelah dan sebagainya.
Hubungan antara sesama anggota keluarga dapat mendatangkan kesulitan belajar bagi anak bila hubungan antar keluarga tidak harmonis, misal orang tua sering bertengkar didepan anak, orang tua sering marah pada anak, orang tua otoriter, peraturan dalam keluarga kaku, orang tua keras dan sebagainya. Hal ini semua dapat mengangu anak belajar, sebagai akibatnya mungkin anak mungkin anak tidak bisa berkonsentrasi belajar, anak sering melamun waktu belajar atau anak mencari perhatian guru dengan menganggu teman dan sebagainya.
Tuntutan orang tua yang dapat menimbulkan kesulitan belajar bagi anak, yaitu bila tuntutan orang tua itu tidak sesuai dengan kemampuan anak. Misalnya orang tua menuntut anaknya supaya juara dikelasnya, sedangkan anak sendiri tidak mampu atau ada orang tua menuntut agar nilai matematika, IPA harus tinggi, sedangkan anak tidak mampu atau anak tidak punya minat atau bakat untuk bidang studi itu.
Faktor lingkungan masyarakat yang dapat menimbulkan kesulitan belajar seperti masmedia cetak, seperti komik, buku-buku pornografi, media elektronik TV, VCD, video, Play Station dan sebagainya.
D. Cara Pengungkapan Masalah Belajar.
Menurut Prayitno (1995; 90-94) : murid atau siswa yang mengalami ma-salah belajar dapat dikenali melalui prosedur pengungkapan melalui tes hasil bela-jar, tes kemampuan dasar, skala pengungkapan siakap dan kebiasaan belajar dan pengamatan.
Tes hasil belajar adalah suatu alat yang disusun untuk mengungkapkan sejauh mana siswa telah mencapai tujuan-tujuan pengajaranyang telah ditetapkan sebelumya.
1. Tes kemampuan dasar
Setiap siswa memiliki kemampuan dasar atau intelegensi tertentu. Tingkat ke-mampuan dasar ini biasanya diukur atau diungkapkan dengan mengadministra-sikan tes intelegensi yang sudah baku.
2. Melalui Pengisian AUM PTSDL
Siswa mengisi alat ungkap masalah yang berkenan dengan masalah belajar. Alat ini dapat mengungkapkan prasyarat penguasaan materi, keterampilan belajar,
sarana belajar, diri pribadi dan lingkungan belajar, (dibahas pada minggu keV).
3. Tes Diagnostik
Tes diagnostik merupakan instrumen untuk mengungkapkan adanya kesalahan-kesalahan yang dialami oleh siswa dalam bidang pelajaran tertentu, misalnya untuk bidang studi matematika, apakah dijumpai kesalahan-kesalahan dalam operasi matematika atau dalam pemakaian rumus.
Dengan tes diagnostik sebenarnya sekaligus dapat diketahui kekuatan dan ke-lemahan siswa dalam bidang studi tertentu.
4. Analisis Hasil Belajar
Tujuan analisis hasil belajar sama dengan tujuan tes diagnostik, yaitu untuk men-gungkapkan kesalahan-kesalahan yang dialami oleh siswa dalam mata pelajaran atau bidang studi tertentu. Analisis hasil belajar prosedur dan pelaksanaannya di-lakukan dengan jalan memeriksa secara langsung materi hasil belajar yang di-tampilkan siswa, baik melalui tulisan, bentuk grafik atau gambar, bentuk tiga di-mensi berupa model, maket, dan bentuk tiga dimensi hasil kerajinan dan kete-rampilan tangan, gerak gerik suara, bentuk hasil belajar lainnya dapat berupa foto, film, ataupun rekaman video.
Di samping pengungkapan masalah belajar tersebut di atas, dapat juga dilakukan melalui pengamatan langsung dan mengunakan tes bakat dan minat terhadap siswa
5. langkah-langkah atau prosedur dan teknik pengunaan masalah (diagnosa kesulitan belajar)
a. Identifikasi siswa yang mengalami kesulitan belajar. Cara yang dapat ditem-puh dalam mengidentifikasi siswa yang diperkirakan mengalami kesulitan be-lajar ialah dengan menandai siswa dalam satu kelas yang diperkirakan menga-lami kesulitan belajar dalam satu bidang studi
b. Melokalisasi letaknya kesulitan ( permasalahan), setelah menemukan kelas atau individu siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar, maka selanjutnya yang ditelaah adalah : 1) Dalam bidang studi manakah kesulitan itu terjadi ? , 2) Pada kawasan tujuan ( aspek prilaku ) yang manakah kesulitan itu terjadi ?, 3) Pada bagian (ruang lingkup bahan) yang manakah kesulitan itu terjadi ?, 4) Dalam segi proses belajar manakah kesulitan itu terjadi?.
c. Lokalisasi jenis faktor sifat yang menyebabkan mereka mengalami berbagai kesulitan. Pada garis besarnya sebab kesulitan timbul oleh dua hal yaitu :
1) Faktor internal yaitu faktor yang berada dan terletak pada diri murid itu sen-diri, antara lain disebabkan :
– Kelemahan mental, faktor kecerdasan, intelegensi, atau kecakapan/bakat khusus tertentu dapat diketahui melalui tes tertentu.
– Kelemahan fisik, pancaindera, syaraf, kecacatan, karena sakit daseba-gainya.
– Gangguan yang bersifak emosional.
– Sikap dan kebiasaan yang salah dalam mempelajari bahan pelajaran –pelajaran tertentu.
– Belum memiliki pengetahuan dan kecakapan dasar yang dibutuhkan untuk memenuhi bahan lebih lanjut.
Faktor eksternal yaitu faktor yang datang dari luar yang menyebabkan timbulnya kesulitan belajar, faktor ini meliputi :
– Situasi atau proses belajar mengajar yang tidak merangsang murid untuk aktif antisitatif.
– Sifat kurikulum yang kurang fleksibel
– Ketidak seragaman pola dan dan standard administrasi
– Beban studi terlalu berat
– Metoda mengajar yang kurang memadai
– Sering pindah sekolah
– Kurangnya alat dan sumber belajar
– Situasi rumah kurang mendukung untuk aktifitas belajar
d. Perkiraan kemungkinan bantuan
Kalau sudah ditelaah letak kesulitan, jenis dan sifat kesulitan dengan latar bela-kang, faktor-faktor yang menyebabkan, maka akan dapat memperkirakan :
1) Apakah siswa tersebut mungkin dapat dibantu untuk mengatasi kesulitan atau tidak
2) Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membantu mengatasi kesuli-tan siswa tersebut
3) Kapan dan dimana pertolongan itu diberikan
4) Siapa yang dapat memberikan pertolongan
5) Bagaimana cara memberikan pertolongan secara efektif
6) Siapa sajakah yang harus dilibatkan dalam memberikan pertolongan itu
e. Penetapan kemungkinan cara mengatasinya.
Langkah kelima ini adalah langkah menyusun satu rencana atau beberapa alterna-tif rencana untuk mengatasi kesulitan yang dialami siswa tertentu, rencana hen-daknya berisi cara-cara yang harus ditempuh untuk mengatasi kesulitan yang di-alami siswa tersebut menjaga agar kesulitan yang serupa jangan sampai terulang.
f. Tindak lanjut
Kegiatan tindak lanjut dapat berupa :
1) melaksanakan bantuan berupa pemberian pengajaran perbaikan pada bi-dang studi yang mengalami kesulitan
2) Membagi tugas dan peranan pada orang-orang tertentu : guru bidang stu-di, guru pembimbing.
3) Senantiasa mencek kemajuan siswa yang diberi bantuan
4) Mereveral siswa yang menurut perkiraan tidak bisa dibantu oleh guru studi atau guru pembimbing.
E. Upaya Pengentasan Masalah Belajar
Murid yang mengalami masalah belajar perlu mendapat bantuan agar ma-salahnya tidak berlarut-larut nantinya dan siswa yang mengalami masalah belajar ini dapat berkembang secara optimal. Beberapa upaya yang dapat dilakukan me-nurut Prayitno ( 1994 ; 94-99) sebagai berikut : a) Pengajaran perbaikan, b) Ke-giatan pengayaan, c) Peningkatan motivasi belajar, dan d) Pengembangan sikap dan kebiasaan belajar yang efektif.
1. Pengajaran perbaikan
Pengajaran perbaikan merupakan suatu bentuk layanan yang diberikan kepada seseorang atau sekelompok siswa yang menghadapi masalah-masalah belajar dengan maksud untuk memperbaiki kesalah-kelasalahan dalam proses dan ha-sil belajar siswa. Bentuk kesalahan yang paling pokok berupa salah pengertian, salah pemahaman, salah menafsirkan dan tidak menguasai konsep-konsep dasar. Dengan memperbaiki kesalahan-kesalahan itu maka siswa mempunyai kesempatan untuk mencapai hasil belajar yang optimal.
2. Kegiatan pengayaan
Kegiatan pengayaan merupakan suatu bentuk layanan yang diberikan kepada seseorang atau beberapa orang siswa yang sangat cepat dalam belajar. Siswa yang cepat dalam belajar mempunyai sisa waktu yang berlebih dalam belajar, untuk itu mereka memerlukan tugas-tugas tambahan yang terencana untuk menambah atau memperluas pengetahuan dan keterampilan yang telah dimili-kinya dalam kegiatan belajar sebelumnya.
3. Peningkatan motivasi belajar
Di sekolah sebagian siswa mungkin, telah memiliki motif yang kuat, untuk belajar, tetapi sebagian lain mungkin belum. Disisi lain, mungkin juga ada siswa yang semula motifnya amat kuat, tetapi menjadi pudar. Tingkah laku seperti kurang bersemangat, jera, malas, bosan dan sebagainya dapat dijadikan indikator kurang kuatnya motif ( motivasi) dalam belajar.
Guru bidang studi, guru pembimbing dan staf sekolah lainnya berkewajiban membantu siswa meningkatkan motivasi siswa dalam belajar.
Prosedur-prosedur yang dapat dilakukan menurut Prayitno (1994) adalah :
a. Memperjelas tujuan-tujuan belajar, siswa akan didorong untuk lebih giat belajar apabila ia mengetahui tujuan-tujuan atau sasaran yang hendak dicapai
b. Menyesuaikan pengajaran dengan bakat, kemampuan dan minat siswa
c. Menciptakan suasana pembelajaran yang menantang, merangsang dan menyenangkan
d. Memberikan hadiah ( penguatan dan hukuman bila perlu)
e. Menciptakan suasana hubungan yang hangat dan dinamis antara guru dan murid, serta antara murid dengan murid.
f. Menghindari tekanan-tekanan dan suasana yang tidak menentu ( seperti suasana yang menakutkan, mengecewakan, membingungkan, menjeng-kelkan)
g. Melengkapi sumber dan peralatan mengajar.
4. Pengembangan sikap dan kebiasaan belajar yang baik
Setiap siswa diharapkan menerapkan sikap dan kebiasaan yang belajar yang efektif. Tetapi masih ada siswa yang yang mengamalkan sikap dan ke-biasaan belajar yang tidak diharapkan dan tidak efektif. Bila siswa tidak me-miliki sikap dan kebiasaan belajar yang baik maka dikhwatirkan siswa tersebut tidak akan mencapai hasil belajar yang baik. Prestasi belajar yang baik itu diperoleh melalui usaha atau bahkan kerja keras.
5. Layanan konseling individual
Konseling dimaksud sebagai pelayanan khusus dalam hubungan langsung ta-tap muka antara konselor dan klien. Dalam hubungan tata muka ini klien dapat menyampaikan masalah-masalah yang dirasakan pada konselor dan masalah itu bisa dicermati dan diupayakan pengentasannya melalui pembahasan dengan konselor.
Rangkuman
Kenyataan didalam kelas selalu ada murid yang cepat didalam belajar, ada yang sedang atau normal dan ada murid yang lambat dalam belajar. Murid yang lam-bat dalam belajar sering mengalami masalah atau kesulitan dalam memahami atau menguasai materi pelajaran yang diberikan guru. Kesulitan belajar dapat diartikan sebagai suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar. Hambatan-hambatan itu bisa ada yang disadari dan mungkin juga tidak disadari oleh yang mengalami, dan hambatan itu dapat bersipat psikologis, sosiologis dan fisiologis dalam keseluruhan proses bela-jar. Orang yang mengalami kesulitan belajar akan mengalami hambatan dalam men-capai hasil belajarnya.
Jenis-jenis Masalah Belajar
Masalah-masalah belajar yang dihadapi siswa banyak ragamnya dan pada umumnya dapat digolongkan :
a. Keterlambatan Akademik, yaitu siswa memiliki intelegensi tinggi tetapi tidak da-pat memanfaatkan secara oftimal.
b. Ketercepatan dalam belajar, yaitu keadaan siswa yang memiliki bakat Akademik yang cukup tinggi seperti memiliki IQ 130 atau lebih tetapi masih memerlukan tugas –tugas untuk memenuhi kebutuhan dan kemampuan belajarnya yang amat tinggi.
c. Sangat lambat dalam belajar, yaitu siswa yang mempunyai kemampuan kurang memadai.
d. Kurang motivasi dalam belajar, mereka seakan-akan tampak malas, kurang ber-semangat dalam belajar.
e. Bersikap dan berkebiasaan buruk dalam belajar, seperti suka menunda-nunda tu-gas, mengulur-ulur waktu, membenci guru dan sebaginya.
Faktor penyebab Masalah Belajar dan Pembelajaran
Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dapat digolongkan menjadi dua go-longan yaitu : faktor intern adalah faktor yang ada dalam diri individu yang belajar, dan ektern adalah faktor yang ada diluar diri individu. Faktor yang bersumber dari diri sendiri yaitu faktor psikologis, seperti intelegensi, bakat, minat, motivasi dan ke-matangan.
Kesulitan yang disebabkan faktor fisiologis seperti kesehatan, ganguan fisik berupa ganguan penglihatan, pendengaran. Kesulitan yang disebabkan atau bersumber dari lingkugan sekolah seperti kurikulum, metode mengajar, hubungan guru dengan guru, hubungan murid dengan murid serta hubungan guru dengan murid, sarana dan prasarana.
Faktor yang bersumber dari lingkungan keluarga, seperti ekonomi keluarga, hubungan keluarga yang kurang harmonis, tuntutan orang tua, pendidikan orang tua. Faktor yang bersumber dari lingkungan masyarakat seperti media cetak dan media elektronik.
Cara pengungkapan masalah belajar dan pembelajaran dapat dilakukan melalui tes kemampuan dasar, tes hasil belajar, pengisian alat ungkap masalah PTSDL, tes diagnostik dan analisis hasil belajar serta melalui observasi.
Langkah atau teknik penanganan masalah belajar.
Identifikasi kasus (menandai siswa yang diduga mengalami masalah/kesulitan belajar) 2) Melokalisasi letaknya kesulitan/ permasalahan 3) Melokalisasi jenis sipat yang menyebabkan 4) perkiraan kemungkinan bantuan 5) Penetapan kemungkinan cara mengatasinya, 6)Tindak lanjut
Bentuk layanan yang diberikan
Siswa yang mengalami kesulitan atau masalah belajar setelah ditentukan ben-tuk langkah-langkah penangganannya selanjutnya ditentukan bentuk pemberian ban-tuan atau layanan agar belajar siswa optimal.
1. Pengajaran perbaikan, yaitu suatu bentuk pengajaran khusus yang dirancang guru untuk siswa yang mengalami kesulitan dalam memaham materi pelajaran yang sudah diberikan.
2. Kegiatan pengayaan, suatu bentuk pengajaran yang khusus dirancang guru untuk siswa yang cepat dalam belajar.
3. Peningkatan motivasi belajar terutama bagi siswa yang tidak bersemangat dalam belajar, malas belajar dan sebagainya
4. Pengembangan sikap dan kebiasaan belajar yang baik. Hendaknya setiap siswa dapat mengamalkan sikap dan kebiasan belajar yang baik.
5. Layana konseling individual.
Layanan konseling individual khusus diberikan guru pada siswa yang memiliki masalah dalam belajar atau kesulitan belajar disebabkan hal-hal yang sangat pri-badi.
Daftar Pustaka
Depdikbud ( 1982/1983) Buku II : Modul Diagnostik Kesulitan Belajar DanPengaja-ran Remedial, Depdikbud Dikti Proyek Pengembangan Institusi Pendidikan Tinggi.
Koestoer Partowisastro, (1982), Diagnosa dan Pemecahan Kesulitan Belajar, Jilid I, Tarsito Bandung.
Oemar Hamalik, (1983), Metode Belajar Dan Kesulitan Belajar, Penerbit Tarsito Bandung
Slameto, (1988), Belajar Dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Penerbit Bina Aksara, Jakarta.
Prayitno, (1994), Dasar-dasar Bimbingan Dan Konseling, Buku I, Jurusan PPB FIP IKIP Padang.
BAB XIII
EVALUASI HASIL BELAJAR
A. Pendahuluan
Evaluasi pembelajaran merupakan suatu proses untuk menentukan jasa, nilai atau manfaat legiatan pembelajaran melalui kegiatan penilaian dan/atau pengukuran. Evaluasi pembelajaran mencakup perbuatan pertimbangan tentang jasa, nilai atau manfaat program, hasil dan proses pembelajaran. Pembahasan evaluasi pembelajaran dalam uraian berikut ini akan dibatasi pada : fungsi dan tujuan evaluasi pembelajaran, sasaran evaluasi pembelajaran, dan prosedur evaluasi pembelajaran.
B. Fungsi dan Tujuan Evaluasi Pembelajaran
Dari pengertian evaluasi pembelajaran kita dapat mengetahui bahwa tujuan utama dari evaluasi pembelajaran adalah sejumlah informasi atau data tentang jasa, nilai atau manfaat kegiatan pembelajaran. Sejumlah informasi atau data yang diperoleh melalui evaluasi pembelajaran inilah yang kemudian difungsikan dan ditujukan untuk : pengembangan pembelajaran dan akreditasi.
1. Fungsi dan tujuan evaluasi pembelajaran untuk pengembangan
Dalam hal evaluasi pembelajaran berfungsi dan bertujuan untuk pengembangan pembelajaran, maka evaluasi pembelajaran sedang menjalankan fungsi formatif. Hal ini bertitik tolak dari pandangan bahwa fungsi formatif evaluasi dilaksanakan apabila hasil yang diperoleh dari kegiatan evaluasi diarahkan untuk memperbaiki bagian tertentu atau sebagian besar bagian kurikulum (pembelajaran) yang sedang dikembangkan (Hasan, 1988:39). Memperbaiki bagian tertentu atau sebagian besar aspek pembelajaran dapat diartikan sebagai kegiatan pengembangan pembelajaran. Dengan kata lain, fungsi dan tujuan evaluasi pembelajaran untuk pengembangan pembelajaran dilaksanakan apabila hasil kegiatan evaluasi pembelajaran digunakan sebagai dasar pengembangan pembelajaran.
2. Fungsi dan tujuan evaluasi pembelajaran untuk akreditasi
Orang-orang yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan pada umumnya mengenal pengertian akreditasi sebagai suatu penilaian yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sekolah swasta untuk menentukan peringkat pengakuan pemerintah terhadap sekolah tersebut (Arikunto, 1990:186). Akreditasi juga dapat diartikan sebagai suatu proses dengan mana suatu program atau institusi (lembaga) diakui sebagai badan yang sesuai dengan beberapa standar yang telah disetujui (Scravia B. Anderson dalam Arikunto, 1990:86). Berdasarkan pengertian akreditasi tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa akreditasi ditetapkan atau diputuskan setelah dilaksanakan evaluasi terlebih dahulu terhadap lembaga pendidikan, baik TK, SD, SLTP dan SLTA swasta maupun Perguruan Tinggi Swasta. Ada berbagai aspek yang dinilai dalam menentukan akreditasi suatu lembaga pendidikan, salah satu aspek/komponen yang dinilai adalah pembelajaran. Dengan demikian fungsi dan tujuan evaluasi hasil belajar untuk akreditasi dilaksanakan apabila hasil kegiatan evaluasi pembelajaran digunakan sebagai dasar akreditasi lembaga pendidikan.
C. Sasaran Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi pembelajaran sebagaimana diungkapkan sebelumnya berusaha menetapkan jasa, nilai atau manfaat aspek-aspek pembelajaran. Dengan kata lain, sasaran evaluasi pembelajaran adalah aspek-aspek yang terkandung dalam kegiatan pembelajaran. Dengan demikian sasaran evaluasi pembelajaran meliputi : tujuan pengajaran, unsur dinamis pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran dan kurikulum.
1. Tujuan pembelajaran merupakan sasaran evaluasi pembelajaran yang perlu diperhatikan, karena semua unsur/aspek pembelajaran yang lain selalu bermula dan bermuara pada tujuan pengajaran. Hal-hal yang perlu dievaluasi pada tujuan pengajaran adalah penjabaran tujuan pengajaran, rumusan tujuan pengajaran dan unsur-unsur tujuan pengajaran.
Penjabaran tujuan pengajaran yang dimaksudkan adalah penjabaran dimulai dari tujuan pengajaran tertinggi sampai tujuan pengajaran terendah, seringkali disebut hierarki tujuan. Tujuan pengajaran yang tertinggi adalah tujuan pendidikan nasional, tujuan kelembagaan, tujuan kurikuler, tujuan umum pengajaran dan terakhir tujuan khusus pengajaran, semakin kebawah semakin rinci unsur-unsur yang ada pada rumusan tujuan umum pengajaran. Unsur-unsur yang seharusnya terlihat pada rumusan tujuan khusus pengajaran meliputi perilaku yang diharapkan dapat dicapai, kriteria keberhasilan yang ditentukan dan situasi kondisi untuk membentuk perilaku dengan kriteria yang diinginkan tersebut.
2. Unsur dinamis pembelajaran merupakan sasaran evaluasi pembelajaran yang kedua. Yang dimaksud dengan unsur dinamis pembelajaran adalah sumber belajar atau komponen sistem instruksional yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran. Sumber besar meliputi: pesan, orang, bahan, alat, teknik dan latar (AECT, 1986:2). Sumber belajar dibedakan menjadi dua jenis: (1) sumber belajar yang dirancang (by design) yakni sumber belajar yang secara khusus telah dikembangkan sebagai komponen pembelajaran untuk memberikan kemudahan/fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal, dan (2) sumber belajar karena dimanfaatkan (by utilization) yakni sumber belajar yang tidak secara khusus dirancang untuk keperluan pembelajaran namun dapat ditentukan, diterapkan dan digunakan untuk keperluan belajar (AFCT, 1986:9).
Sumber belajar disebut unsur dinamis pembelajaran karena setiap perubahan yang terjadi pada salah satu sumber belajar akan mengakibatkan terjadinya perubahan pada kegiatan pembelajaran. Selain itu, perubahan pada satu sumber belajar akan mengakibatkan sumber belajar lain menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi.
Pesan dapat diartikan sebagai informasi yang disampaikan oleh sumber belajar atau komponen sistem instruksional yang lain dan berbentuk gagasan, fakta, makna dan data (AECT, 1986:195). Pesan dapat juga diartikan sebagai isis pembelajaran bidang studi/mata pelajaran. Dengan demikian pesan haruslah bersesuaian dengan tujuan pengajaran. Orang sebagai sumber belajar adalah orang yang bertindak sebagai penyimpan dan/atau penyalur pesan (AECT, 1986:10). Yang termasuk sumber belajar orang dalam kegiatan pembelajaran adalah guru, siswa dan/atau orang lain yang diminta bertindak sebagai nara sumber.
Bahan adalah barang-barang (lazim disebut perangkat lunak) yang biasanya berisikan pesan untuk disampaikan dengan menggunakan peralatan, kadang-kadang bahan itu sendiri sudah merupakan bentuk penyajian (AECT, 1986:10). Bahan sebagai sumber belajar dapat berupa pita audio, program pembelajaran komputer, peta, buku teks, dan yang sejenis lainnya.
Alat merupakan barang-barang (lazim disebut perangkat keras) yang digunakan untuk menyampaikan pesan yang terdapat dalam bahan (AECT, 1986:10). Termasuk alat sebagai sumber belajar ini diantaranya adalah video tape recorder (VTR), proyektor slide, pesawat radio, pesawat televisi dan komputer.
Teknik adalah prosedur atau langkah-langkah tertentu dalam menggunakan bahan, alat, tata tempat dan orang untuk menyampaikan pesan (AECT, 1986:10). Teknik dapat berupa pembelajaran berbantuan komputer, pendekatan CBSA, diskusi, pembalajaran individual dan yang lain. Latar merupakan sumber belajar berupa lingkungan tempat pesan diterima oleh siswa. Latar dapat berupa lingkungan fisik dan lingkungan non fisik. Perpustakaan, laboratorium, ruang kelas, tempat duduk dan meja merupakan contoh lingkungan fisik. Sedangkan lingkungan non fisik dapat berupa sirkulasi udara, penerangan ruang, akustik ruangan dan yang lain. Adanya interaksi antara sumber belajar sebagai unsur dinamis pembelajaran dengan siswa akan mewujudkan pelaksanaan pembelajaran.
3. Sasaran evaluasi pembelajaran lainnya adalah pelaksanaan pembelajaran. Dalam hal ini pelakanaan pembelajaran diartikan sebagia interaksi antara sumber belajar dengan siswa. Dengan demikian dalam mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran, kita sebenarnya menentukan seberapa derajat interaksi sumber belajar dengan tujuan pengajaran. Sasaran evaluasi pembelajaran dalam pelaksanaan lebih terperinci diantaranya adalah :
• Kesesuaian pesan dengan tujuan pengajaran
• Kesesuaian sekuensi penyajian pesan kepada siswa
• Kesesuaian bahan dan alat dengan pesan dan tujuan pengajaran
• Kemampuan guru menggunakan bahan dan alat dalam pembelajaran
• Kemampuan guru menggunakan teknik pembelajaran
• Kesesuaian teknik pembelajaran dengan pesan dan tujuan pengajaran
• Interaksi siswa dengan siswa lain
• Interaksi guru dengan siswa.
4. Sasaran evaluasi pembelajaran yang berikutnya adalah kurikulum. Dalam hal ini, kurikulum dipandang sebagai rencana tertulis yakni seperangkat komponen pembalajaran yang diuraikan secara tertulis pada bahan tercetak atau bahan baku. Kurikulum sebagai sasaran evaluasi pembelajaran akan meliputi :
• Tersedianya dan sekaligus kelengkapan komponen kurikulum
• Pemahaman terhadap prinsip-prinsip pengembangan dan pelaksanaan kurikulum
• Pemahaman terhadap tujuan kelembagaan atau tujuan institusional sekolah
• Pemahaman terhadap struktur program kurikulum
• Pemahaman terhadap GBPP
• Pemahaman terhadap teknik pembelajaran
• Pemahaman terhadap sistem evaluasi
• Pemahaman terhadap pembinaan guru
• Pemahaman terhadap bimbingan siswa.
Demikianlah sasaran evaluasi pembelajaran yang meliputi tujuan pengajaran, unsur dinamis pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan kurikulum. Sasaran evaluasi tersebut harus dijabarkan ke dalam deskriptor dan indikator pada instrumen evaluasi pembelajaran yang akan digunakan dalam prosedur evaluasi pembelajaran.
D. Prosedur Evaluasi Pembelajaran
Sebelum membahas tentang prosedur evaluasi pembelajaran, perlu kiranya kita tahu terlebih dahulu tentang siapa yang berhak menjadi evaluator pembelajaran ? Ditinjau dari sasaran evaluasi pembelajaran dapat kiranya kita bayangkan banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan oleh evaluator. Oleh karena itulah dapat diungkapkan bahwa evaluator dalam evaluasi pembelajaran adalah suatu tim yang mempunyai peran penting dalam memberikan informasi mengenai keberhasilan pembelajaran (dimodifikasi dari Arikunto, 1988:7). Yang berhak menjadi tim evaluator adalah orang-orang yang telah memenuhi berbagai persyaratan yang ditentukan.
Prosedur evaluasi pembelajaran terdiri dari lima tahapan, yakni penyusunan rancangan (desain), penyusunan instrumen, pengumpulan data, analisis data dan penyusunan laporan evaluasi pembelajaran. Kita dapat mempelajari prosedur evaluasi pengembangan melalui pembahasan berikut ini.
1. Penyusunan rancangan
Secara garis besar desain evaluasi pembelajaran berisi hal-hal yang sama dengan yang tertera dalam desain penelitian yakni meliputi latar belakang, problematika, tujuan evaluasi, populasi dan sampel, instrumen dan sumber data, teknis analisis data (Arikunto, 1988:44). Untuk memperjelas tentang penyusunan rancangan evaluasi pembelajaran akan diuraikan secara singkat tiap-tiap langkah kegiatannya.
a. Menyusun latar belakang yang berisikan dasar pemikiran dan/atau rasional penyelenggaraan evaluasi.
b. Problematika berisikan rumusan permasalahan/problematika yang akan dicari jawabannya baik secara umum maupun terinci.
c. Tujuan evaluasi merupakan rumusan yang sesuai dengan problematika evaluasi pembelajaran, yakni dirumuskan tujuan umum dan tujuan khusus.
d. Populasi sampel, yakni sejumlah komponen pembelajaran yang dikenai evaluasi pembelajaran dan/atau yang dimintai informasi dalam kegiatan evaluasi pembelajaran.
e. Instrumen adalah semua jenis alat pengumpulan informasi yang diperlukan sesuai dengan teknik pengumpulan data yang diterapkan dalam evaluasi pembelajaran. Sumber data adalah dokumen, kegiatan atau orang yang dapat memberikan informasi atau data yang diperlukan.
f. Teknis analisis data, yakni cara/teknik yang digunakan untuk menganalisis data yang disesuaikan dengan bentuk problematik dan jenis data. (Arikunto, 1988:44-47).
2. Penyusunan instrumen
Setelah seorang evaluator menyusun rancangan evaluasi pembelajarannya yakni peta kegiatan yang akan dilakukan selama kegiatan evaluasi pembelajaran, maka tahapan berikutnya adalah penyusunan instrumen evaluasi pembelajaran. Menurut Arikunto (1988:48-49) langkah-langkah penyusunan instrumen adalah :
a. Merumuskan tujuan yang akan dicapai dengan instrumen yang akan disusun.
b. Membuat kisi-kisi yang mencanangkan tentang perincian variabel dan jenis instrumen yang akan digunakan untuk mengukur bagian variabel yang bersangkutan.
c. Membuat butir-butir instrumen evaluasi pembelajaran yang dibuat berdasarkan kisi-kisi, dan
d. Menyunting instrumen evaluasi pembelajaran yang meliputi : mengurutkan butir menurut sistematika yang dikehendai evaluator untuk mempermudah pengolahan data, menuliskan petunjuk pengisisan dan identitas serta yang lain dan membuat pengantar pengisisan instrumen. Semua langkah yang dilaksanakan dalam penyusunan instrumen di atas berisikan kegiatan seperti yang telah direncanakan dalam rancangan evaluasi pembelajaran.
3. Pengumpulan data
Setelah instrumen evaluasi pembelajaran siap pakai, maka langkah berikutnya adalah datang kepada sumber data untuk mengumpulkan data/informasi yang diperlukan. Dalam pengumpulan data dapat diterapkan berbagai teknik pengumpulan data diantaranya adalah kuesioner, wawancara, pengamatan, dan studi kasus. Setiap teknik pengumpulan data mempunyai prosedur yang berbeda-beda seperti dibahas berikut ini :
Kuesioner yakni seperangkat pertanyaan tertulis yang diberikan kepada seseorang untuk mengungkapkan pendapat, keadaan, kesan yang ada pada diri orang tersebut maupun di luar dirinya (Arikunto, 1988:53). Orang di sini adalah semua orang yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam kegiatan pembelajaran yang diminta mengisi kuesioner, misalnya: guru, siswa, orang tua, pengawas sekolah, atau kepala sekolah dan orang-orang lainnya. Kegiatan yang sebaiknya dilakukan oleh evaluator dalam menerapkan teknik kuesioner ini adalah :
– mengujicobakan kuesioner kepada sejumlah orang yang memiliki karakteristik yang sama dengan yang akan mengisi angket,
– melancarkan penyebaran kuesioner kepada orang yang dituju,
– mengumpulkan dan mengadministrasikan kuesioner, dan
– mengolah data yang berhasil dikumpulkan.
Wawancara yakni suatu teknik pengumpulan data yang menurut adanya pertemuan langsung atau komunikasi langsung antara evaluator dengan sumber data. Langkah kegiatan yang hendaknya dilakukan oleh evaluator dalam menerapkan teknik wawancara ini adalah :
– Menyusun pedoman wawancara atau daftar cocok (chek-list) sesuai dengan data yang akan dikumpulkan,
– Evaluator yang bertindak hanya sebagai pengumpul data perlu memahami tujuan dan petunjuk penggunaan wawancara,
– Melaksanakan wawancara,
– Menyusun sesegera mungkin jawaban hasil wawancara, dan
– Mengolah data/informasi hasil wawancara.
. Pengamatan merupakan teknik pengumpulan data melalui kegiatan mengamati yang dilakukan oleh evaluator terhadap kegiatan pembelajaran. Evaluator yang bertindak langsung sebagai pengamat, harus mencatat segala kejadian dalam kegiatan pembelajaran sesuai dengan instrumen pengamatan yang tersedia. Data yang terkumpul melalui teknik pengumpulan data ini, berupa informasi/data yang objektif dan realistik dari kegiatan pembelajaran. Langkah-langkah yang ditempuh oleh evaluator dalam menerapkan teknik ini adalah :
– Menyusun instrumen pengamatan sesuai dengan informasi/data yang ingin dikumpulkan.
– Melaksanakan pengamatan terhadap kegiatan pembelajaran untuk mengumpulkan informasi/data dengan menggunakan instrumen yang ada.
– Mengolah data yang berhasil dikumpulkan.
Studi kasus adalah teknik pengumpulan data berdasarkan kasus-kasus yang ada dan didokumentasikan. Teknik pengumpulan data ini dimaksudkan untuk memperoleh data tentang keadaan yang menyimpang dalam suatu kegiatan pembelajaran. Langkah-langkah ynag ditempuh oleh evaluator dalam menerapkan teknik ini adalah :
– menyusun instrumen studi kasus,
– melaksanakan kegiatan lapangan, dan
– mengolah data yang diperoleh.
4. Analisis data
Data atau informasi yang berhasil dikumpulkan selanjutnya dioleh dan dianalisis. Sebagaimana halnya dalam evaluasi hasil belajar, data dapat dioleh secara individual ataupun secara kelompok. Apabila data diolah dan dianalisis secara individual, maka hasilnya menunjuk suatu bagian data atau keseluruhan. Dalam kegiatan evaluasi pembelajaran, analisis data yang paling banyak dilaksanakan adalah analisis deskriptif kualitatif yang ditunjang oleh data-data kuantitatif.
5. Penyusunan laporan
Setelah melakukan analisis data seseorang evaluator masih harus menyusun laporan tentang evaluasi pembelajaran yang telah mereka laksanakan. Dalam laporan evaluasi pembelajaran harus berisikan pokok-pokok berikut :
Tujuan evaluasi, yakni tujuan seperti yang disebutkan di dalam rancangan evaluasi pembelajaran yang didahului dengan latar belakang dan alasan dilaksanakannya evaluasi.
Problematika, berupa pertanyaan-pertanyaan yang telah dicari jawabnya melalui kegiatan evaluasi pembelajaran.
Lingkup dan metodologi evaluasi pembelajaran, yang dicantumkan di sini adalah unsur-unsur yang dinilai dan hubungan antar variabel, metode pengumpulan data, instrumen pengumpulan data, teknik analisis data. Selain itu, dalam metodologi hendaknya diungkapkan pula populasinya dan sampel evaluasi pembelajaran.
Pelaksanaan evaluasi pembelajaran, meliputi :
– siapa tim evaluator selengkapnya dan jika perlu dengan pembagian tanggung jawab,
– penjadwalan pelaksanaan evaluasi, dan
– kegiatan penyusunan laporan.
Hasil evaluasi pembelajaran, yakni berisi tujuan pengajaran, tolak ukur, data yang diperoleh, dan dilengkapi dengan sejumlah informasi yang mendukung penemuan evaluasi pembelajaran sehingga dengan mudah pembuat keputusan dapat memahami tingkat keberhasilan pembelajaran (dimodifikasi dari Arikunto, 1988: 117-118).
Demikianlah pembahasan tentang evaluasi pembelajaran, dimana kita dapat menandai bahwa evaluasi pembelajaran tidak mungkin dilakukan oleh seorang guru sendirian. Pelaksana/evaluator evaluasi pembelajaran adalah tim yang terdiri dari beberapa orang ahli. Untuk memperluas wawasan Anda tentang evaluasi pembelajaran, tugas-tugas berikut dapat Anda kerjakan.
E. Evaluasi hasil belajar
Tujuan dan fungsi evaluasi hasil belajar
Pada penjelasan terdahulu telah dapat kita pahami bahwa evaluasi hasil belajar merupakan proses pemberian nilai terhadap hasil-hasil belajar yang dicapai siswa dengan kriteria tertentu. Hal ini mengisyaratkan bahwa yang dinilai adalah hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa dalam pengertian yang luas mencakup bidang kognitif, afektif dan psikomotor.
Berdasarkan penjelasan di atas jelaslah bahwa suatu kegiatan evaluasi hasil belajar hendaklah memiliki tujuan yang dilakukan itu. Apakah tujuannya untuk mengetahui hasil belajar siswa dalam bidang kognitif, afektif maupun psikomotor. Secara lebih rinci tujuan evaluasi hasil belajar menurut Sudjana (1992:4) adalah sebagai berikut :
1. Mengdeskripsikan kecakapan belajar para siswa sehingga dapat diketahui kelebihan dan kekurangannya dalam berbagai bidang studi atau mata pelajaran yang ditempuhnya.
2. Mengetahui keberhasilan proses pendidikan dan pengajaran di sekolah, yaitu untuk mengetahui seberapa jauh keefektifannya dalam mengubah tingkah laku para siswa ke arah tujuan pendidikan yang diharapkan.
3. Menemukan tindak lanjut hasil penilaian, yakni melakukan perbaikan dan penyempurnaan dalam hal program pendidikan dan pengajaran serta strategi pelaksanaannya.
4. Memberikan pertanggungjawaban dari pihak sekolah kepada pihak-pihak yang berkepentingan, seperti masyarakat, pemerintah dan orang tua siswa, tentang hasil-hasil pendidikan dan pengajaran yang telah dicapai.
Fungsi evaluasi menurut Sudjana (1992: 3) adalah :
1. Alat untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan instruksional.
2. Umpan balik bagi perbaikan proses belajar mengajar dalam hal ini bisa perbaikan untuk tujuan instruksional, kegiatan belajar siswa, strategi belajar guru dan lain-lain.
3. Dasar dalam menyusun laporan memajukan belajar siswa kepada para orang tuanya.
Pendapat Sudjana tentang tujuan dan fungsi evaluasi di atas terlihat sejalan, maksudnya dari tujuan evaluasi yang dirumuskan secara tidak langsung terlihat fungsi/guna dari evaluasi yang akan didapatkan setelah pencapaian tujuan tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Arikunto (1986:7-8) dalam bukunya dasar-dasar evaluasi pendidikan dikemukakan tujuan atau fungsi penilaian sebagai berikut :
1. Penilaian berfungsi selektif, yaitu dapat ditujukan guna memilih siswa yang akan diterima di sekolah tertentu, naik atau tinggal kelas, menentukan siswa yang akan mendapat bea siswa dan lulus dari sekolah.
2. Penilaian berfungsi diagnostik, yaitu penilaian yang ditujukan guna mengetahui kelemahan-kelemahan siswa dalam menguasai suatu kegiatan pengajaran sehingga dapat ditentukan cara untuk mengatasinya.
3. Penilaian berfungsi untuk penempatan, yaitu untuk menentukan kedudukan siswa dalam kelompok belajar yang tepat, sehingga dapat mempermudah siswa belajar dalam pencapaian tujuan yang ditetapkan.
4. Penilaian berfungsi sebagai pengukur keberhasilan yaitu untuk mengetahui sejauhmana keberhasilan penerapan suatu program pembelajaran.
Pendapat lain tentang fungsi dan tujuan evaluasi juga dikutip dari pendapat Purwanto (1984 : 5-7), yang menyatakan bahwa fungsi dan tujuan evaluasi tidak dapat dipisahkan. Ada 4 macam tujuan dan fungsi evaluasi yaitu :
1. Untuk mengetahui mekajuan dan perkembangan serta keberhasilan ssiswa setelah melakukan kegiatan belajar selama jangka waktu tertentu. Hail yang telah diperoleh digunakan untuk memperbaiki cara belajar siswa dan untuk menentukan lulus/tidak lulus siswa dari suatu lembaga pendidikan.
2. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program pengejaran, yang selanjutnya berguna bagi guru atau supervisor untuk mengadakan perbaikan program.
3. Untuk keperluan Bimbingan dan Konseling (BK). Hasil evaluasi yang diperoleh dari siswa digunakan untuk sumber informasi bagi pelayanan BK.
4. Untuk keperluan pengembangan dan perbaikan kurikulum informasi tentang evaluasi hasil belajar yang diperoleh merupakan masukan untuk pengembangan dan perbaikan kurikulum.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tentang tujuan dan fungsi evaluasi di atas dapat disimpulkan bahwa kedua hal ini tidak memiliki kaitan yang erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Dari tujuan evaluasi yang dirumuskan akan dapat dipahami secara tersirat fungsi evaluasi yang akan diperoleh.
F. Sasaran/ranah Evaluasi Hasil Belajar
Sasaran/ranah evaluasi hasil belajar merupakan kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah menerima pengalaman belajarnya. Howard Kingsley seperti dikutip oleh Sudjana (199:22) menyatakan ada tiga macam hasil belajar, yakni keterampilan dan kebiasaan pengetahuan dan pengertian dan sikap dan cita-cita. Pendapat lain tentang hasil belajar juga dikutip dari pendapat Gagne, yang membagi lima kategori hasil belajar yaitu : a) informasi verbal, (b) keterampilan intelektual, c) strategi kognitif, d) sikap, e) keterampilan motoris. Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan baik tujuan kurikuler maupun instruksional menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin S. Bloom, yang membagi klasifikasi hasil belajar atas tiga ranah (taxonamy) yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
Ranah kognitif merupakan hasil belajar yang bersifat intelektual hasil belajar yang bersifat intelektual atau penguasaan pengetahuan yang terdiri atas enam aspek yang memiliki tingkat kesulitan yang berjenjang dari yang paling rendah sampai paling tinggi, meliputi pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sistesis dan evaluasi, dua aspek pertama dikatakan tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk ranah kognitif tingkat tinggi.
Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri atas lima aspek yakni penerimaan, jawaban atau reaksi penilaian, organisasi dan internalisasi.
Ranah psikomotor berkenaan dngan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotr, yaitu gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan atau ketetapan, gerakan keterampilan kompleks, gerakan ekspersif dan interpretatif.
Ketiga ranah tersebut dapat menjadi sasaran evaluasi hasil bealajar. Diantara ketiga ranah tersebut ranah kognitif paling banyak dinilai oleh para guru di sekolah karena berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menguasai materi pengajaran. Ketiga ranah ini biasanya didalam perencanaan pengajaran yang dibuat oleh guru akan terlihat dalam rumusan tunjuan instruksional khusus (TIK). Oleh sebab itu TIK dapat dijadikan sasaran penilaian hasil belajar siswa.
G. Prinsip-prinsip Penilaian Hasil Belajar
Ada beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam melaksanakan penilaian hasil belajar. Sudjana (1992:8-9) mengemukakan prinsip-prinsip penilaian sebagai berikut :
1. Dalam menilai hasil belajar hendaknya dirancang sedemikian rupa sehingga jelas abilitas (kemampuan) yang akan dinilai, materi penilaian, alat penilaian dan interprestasi penilaian.
2. Penilaian hasil belajar hendaknya menjadi bagian integral dari proses belajar mengajar. Artinya penilaian dilakukan pada setiap saat proses belajar mengajar sehingga pelaksanaannya berkesinambungan.
3. Penilaian hendaklah menggunakan berbagai alat penilaian dan sifatnya komprehensif. Begitu juga dengan ranah/sasaran hasil belajar yang dinilai meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Dan setiap aspek hendaknya mencakup tindakan aspek yang ada di setiap ranah.
4. Penilaian hasil belajar hendaklah diikuti dengan tindak lanjutnya. Hasil penilaian hasil belajar yang telah diperoleh perlu didokumentasikan dengan jelas dan teratur dan dimanfaatkan untuk kepentingan peningkatan kegiatan pengajaran.
H. Bentuk dan Alat Evaluasi
Evaluasi hasil belajar akan dapat dilakukan bila telah dilakukan kegiatan pengukuran. Pelaksanaan pengukuran tentu saja memerlukan alat ukur atau disebut juga alat evaluasi.
Menurut Arikunto (1986:201) dalam bukunya dasar-dasar evaluasi pendidikan, menyatakan ada 2 macam alat evaluasi yang dapat digunakan yaitu tes dan nontes. Secara jelas ruang lingkup dari kedua alat evaluasi tersebut akan dijelaskan lebih lanjut seperti berikut ini :
1. Tes
Tes adalah suatu alat atau prosedur yang sistematis dan objektif untuk memperoleh data-data atau keterangan-keterangan yang digunakan tentang seseorang dengan cara boleh dikatakan tepat dan cepat. (Arikunto 1986:26).
Tes dapat digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa dan dapat juga untuk mengukur keberhasilan program pengajaran secara keseluruhan.
Ditinjau dari segi kegunaan untuk mengukur hasil belajar siswa, tes dibedakan atas tiga macam yaitu tes diagnostik, formatif, dan sumatif.
Tes diagnostik adalah tes yang digunakan untuk mengetahui kelemahan siswa sehingga berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut dapat dilakukan pemberian perlakuan yang tepat.
Tes formatif adalah tes yang dilakukan untuk mengetahui sejauhmana siswa telah terbentuk setelah mengikuti suatu program terntetu.
Tes sumatif dilaksanakan setelah berakhirnya pembenam kelompok program atau sebuah program yang lebih besar.
Tes sebagai alat penilaian hasil belajar dapat dibedakan atas dua kelompok besar, yaitu tes essay dan tes objektif.
Tes essay atau disebut juga tes bentuk uraian merupakan alat penilaian hasil belajar yang paling tua. Secara umum pengertian tes uraian adalah pertanyaan dengan menggunakan kata-kat dan bahasa sendiri. Dengan demikian tes ini menuntut kemampuan siswa mengekspresikan gagasannya melalui bahasa tulisan.
Dintinjau dari jenisnya, tes uraian dapat dibedakan menjadi uraian bebas (free essay) dan uraian terbatas (restrected essay). Dalam tes uraian bebas, jawaban yang diberikan siswa tidak dibatasi, tergantung kepada pendapat siswa.
Pertanyaan uraian bebas ini tepat digunakan untuk :
a. Mengungkapkan pandangan para siswa terhadap suatu masalah, sehingga dapat diketahui luas dan intensitasnya.
b. Mengupas suatu persoalan yang kemungkinan jawabannya beraneka ragam, sehingga tidak ada satupun jawaban yang pasti.
c. Mengembangkan daya analisis siswa dalam melihat suatu persoalan dari berbagai segi atau dimensinya.
Bentuk kedua dari tes uraian adalah uraian terbatas. Perntayaan uraian terbatas diarahkan hal-hal tertentu atau ada pembatasan. Pembatasan bisa dari segi (a) ruang lingkup; (b) sudut pandang menjawabnya dan (c) indikator-indikatornya.
Dengan demikian jawaban yang diberikan siswa jika menjawab tes ur jawaban yang diberikan siswa jika tes uraian terbatas lebih terarah sesuai dengan pertanyaan yang sudah terarah pula.
Kedua jenis tes bentuk uraian ini sangat cocok digunakan untuk meningkatkan kemampuan menalar para siswa/mahasiswa, karena tes uraian ini dapat mengungkapkan penguasaan siswa/mahasiswa terhadap ranah kognitif tingkat tinggi, yaitu analisis, sintesis juga diajak untuk memecahkan masalah (problem solving) merumuskan hipotesis, menyususn an mengekspresikan gagasan dan menarik kesimpulan dari pemecahan masalah.
Tes objektif banyak digunakan dalam menilai hasil belajar. Hal ini disebabkan antara lain karena banyaknya materi pengajaran yang dpaat dicakup dalam tes ini, dan meudah untuk menilai jawaban yang diberikan.
Soal-soal dalam bentuk tes objektif ada dalam beberapa bentuk, yaitu jawaban singkat, benar-salah, menjodohkan dan pilihan ganda.
Bentuk soal jawaban singkat merupakan soal yang menghendaki jawaban dalam bentuk kata, bilangan, kalimat atau simbol dan jawabnya dpaat dinilai benar atau salah.
Tes bentuk soal jawaban singkat cocok untuk mengukur pengetahuan yang berhubungan dengan istilah terminologi, fakta, prinsip, metodem prosedur, dan penafsiran data yang sederhana.
Soal bentuk benar-salah adalah bentuk tes yang soal-soalnya berupa pernyataan. Sebagian pernyataan merupakan pernyataan yang benar dan sebagian lagi merupakan pernyataan yang salah. Pada umumnya soal benar-salah dipakai untuk mengukur pengetahuan siswa tentang fakta, defenisi dan prinsip.
Bentuk soal menjodohkan terdiri atas dua kelompok pernyataan yang paralel. Kedua kelompok pertanyaan berada dalam satu kesatuan, kelompok sebelah kiri berisikan soal-soal yang harus dicari jawabannya, dimana jawaban itu terdapat di kolom sebelah kanan. Dalam bentuk yang sederhana jumlah soal sama dengan jumah jawabannya, tetapi sebaiknya jumlah jawaban yang disediakan dibuat lebih banyak dari pada soalnya karena hal akan mengurangi kemungkinan siswa menjawab betul hanya dengan menebak.
Bentuk soal pilihan ganda adalah bentuk tes yang mempunyai satu jawaban yang benar atau paling tepat, soal pilihan ganda terdiri atas pilihan ganda biasa, bentuk hubungan antar hal. Soal hubungan antar hal menuntut siswa untuk mengidentifikasi hubungan sebab akibat antara pernyataan pertama (yang merupakan akibat) dan pernyataan kedua yang merupakan sebab). Kedua pernyataan (pertama dan kedua) dihubungkan dengan kata sebab. Kedua pernyataan itu dapat benar, salah, atau satu salah dan satu lagi benar dan sebaliknya.
2. Non tes
Teknik non tes merupakan alat ukur untuk mengathuo hasil belajar siswa yang tidak dpaat diukur dengan alat ukur tes. Ada beberapa jenis alat ukur non tes ini, yaitu skala bertingkat, kuesioner, wawancara, pengamatan (observasi), dan sosiometri, dll.
Skala bertingkat menggambarkan suatu nilai yang berbentuk angka terhadap suatu hasil pertambangan.
Kuesioner dan wawancara pada umumnya digunakan untuk menilai aspek kognitif, seperti pandangan atau penapat seseorang serta harapan dan aspirasinya disamping aspek afektif dan perilaku individu.
Observasi pada umumnya digunakan untuk memperoleh data mengenai perilaku individu atau proses kegiatan tertentu dan sosiometri digunakan untuk mengetahui aspek perilaku individu terutama hubungan sosialnya.
Penggunaan non tes untuk menilai hasil belajar masih sangat terbatas dibandingkan dengan penggunaan tes. Dalam menilai hasil dan proses belajar, para guru di sekolah pada umumnya lebih banyak menggunakan tes dari pada non tes karena alat ukur tes lebih meudah dibuat, penggunaannya lebih praktis dan terbatas mengukur aspek kognitif berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh siswa setelah menyelesaikan pengalaman belajarnya.
Pada bagian berikut akan dijelaskan secara umum masing-masing alat ukur non tes yang telah dikemukakan sebagai berikut :
a. Skala bertingkat
Skala adalah alat penilaian untuk mengukur sikap, nilai, minat, perhatian dan sebagainya yang disusun dalam bentuk pernyataan untuk dinilai responsen dan hasilnya dalam bentuk rentangan nilai sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Rentangan nilai biasanya dalam bentuk huruf (A, B, C. D, E), angka (4, 3, 2, 1) atau dalam bentuk kategori tinggi, sedang, rendah atau baik, sedang, kurang.
Hal yang harus diperhatikan dalam skala penilaian adalah adanya penjelasan operasional untuk setiap alternatif jawaban, sehingga mudah dalam memberikan nilai dan terhindar dari subjekvitas penilai. Tugas penilai memberi tanda cek (v) dalam kolom rentangan nilai.
b. Kuesioner
Kuesioner atau dikenal juga dengan angket pada dasarnya adalah sebuah daftar pertanyaan yang harus diisi oleh orang yang akan diukur. Dengan kuesioner ini dapat diketahui tentang keadaan/data diri pengalaman, pengetahuan, sikap atau pendapatnya.
Penyampaian kuesioner ada yang langsung dibagikan kepada siswa yang setelah diisi dikumpulkan lagi. Ada juga yang dikirim melalui pos. Ada ahli yang membedakan kuesioner ditinjau dari segi menjawabnya, yaitu kuesioner langsung, yaitu kuesioner yang diisi oleh orang lain yang bukan diminati keterangannya.
Ditinjau dari segi cara menjawabnya kuesioner dapat dibedakan atas kuesioner tertutup dan terbuka. Kuesioner tertutup adalah kuesioner yang disusun dengan menyediakan pilihan jawaban lengkap sehingga pengisis tanggal memberi tanda pada jawaban yang dipilih. Kuesioner terbuka adalah kuesioner yang disusun sedemikian rupa sehingga pengisis bebas mengemukakan pendapatnya. Kuesioner terbuka disusun apabila jawaban pengisi belum terperinci dengan jelas sehingga jawabannya akan beraneka ragam.
Alternatif jawaban yang ada dalam kuesioner yang memiliki rentangan huruf dan kategori dapat ditransformasikan dalam bentuk simbol kuantitatif agar menghasilkan data interval. Caranya adalah dengan memberikan skor terhadap setiap jawaban berdasarkan kriteria tertentu.
c. Wawancara
Wawancara atau interview adalah suatu metode/cara yang digunakan untuk mendapatkan jawaban dari responsen dengan jalan tanya jawab sepihak. Dikatakan sepihak karena dalam wawancara ini responden tidak diberi kesempatan sama sekali untuk mengajukan pertanyaan.
Ada dua jenis wawancara, yakni wawancara berstruktur dan wawancara bebas (tak berstruktur). Dalam wawancara berstruktur kemungkinan jawaban yang telah disiapkan, sehingga orang yang diwawancarai tinggal memilih jawaban yang telah disediakan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Sedangkan wawancara bebas, responden mempunyai kebebasan untuk mengutarakan pendapat, tanpa dibatasi oleh patokan-patokan yang telah dibuat terlebih dahulu, sehingga dapat diperoleh informasi yang lengkap dari suatu pertanyaan yang diajukan.
Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan wawancara yaitu tahap awal, yaitu tahap yang bertujuan untuk mengkondisikan situasi wawancara, supaya penuh keakraban, sehingga orang yang diwawancarai tidak merasa takut dan terdorong mengemukakan pendapat secara bebas, benar atau jujur. Setelah kondisi awal tercipta dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan sesuai dengan tujuan wawancara. Pertanyaan diajukan secara bertahap dan sistematis berdasarkan rambu-rambu/kisi-kisi yang telah dibuat seblumnya. Tahap terakhir adalah mencatat hasil wawancara. Haisl wawancara dicatat supaya tidak ada yang lupa.
d. Pengamatan (observasi)
Pengamatan (observasi) sebagai alat penilaian biasanya digunakan untuk mengukur tingkah laku individu ataupun proses terjadinya suatu kegiatan yang dapat diamati baik dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam situasi buatan.
Ada tiga jenis observasi yang dapat dilakukan yaitu observasi langsung, yaitu observasi yang dilakukan terhadpa gejala atau proses yang terjadi dalam situasi yang sebenarnya dari langsung diamati oleh pengamat. Sedangkan observasi tidak langsung dilakukan dengan menggunakan alat seperti mikroskop dan observasi partisipasi, yaitu pengamat harus melibatkan diri atau ikut dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh individu atau kelompok yang diamati.
Berhasil/tidaknya observasi atau kelompok yang diamati bergantung pada pengamat, bukan pada pedoman observasinya. Oleh sebab itu pengamat hendaklah cakap, mampu dan menguasai segi-segi yang diamati.
e. Sosiometri
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menyesuaikan dirinya terutama hubungan sosial siswa dengan teman sekelasnya adalah dengan teknik sosiometri. Dengan teknik sosiometri dapat diketahui posisi seorang siswa dalam hubungan sosialnya dengan siswa lainnya.
Dengan menggunakan sosiometri dapat diketahui siswa yang terisolasi dari teman-temannya. Siswa yang akrab dengan siswa lainnya (tertentu) sehingga hubungannya merupakan mata rantai (saling memilih), dan dapat pula diketahui siswa yang paling disenangi tema-temannya.
Sosiometri dapat dilakukan dengan cara menugaskan kepada siswa yang ada di kelas untuk memilih satu atau dua temannya yang paling dekat atau disenanginya. Usahakan dalam kesempatan memilih tidak terjadi kompromi antara sesama siswa supaya pilihannya bersifat netral dan tidak diatur sebelumnya. Tuliskan nama itu pada selembar kertas kecil, dan dikumpulkan oleh guru setelah seluruh kertas terkumpul, guru dapat mengolahnya dengan cara yaitu melukiskan alur-alur pilihan dari setiap siswa dalam bentuk digram sehingga terlihat hubungan antar siswa berdasarkan pilihannya. Digram hasil pilihan tersebut disebut seismogram.
Ada beberapa kategori yang diperoleh dari seismogram yaitu siswa yang terpopuler, terisolasi, siswa yang berbentuk klik, bila klik terdiri atas tiga orang tersebut “triangle” dan bisa hanya dua orang disebut “pair” atau pasangan. Serta pilihan siswa yang berbentuk mata rantai atau “chain”.
I. Prosedur Evaluasi Hasil Belajar
Prosedur dalam melakukan evaluasi dapat dibagi atas beberapa langkah. Yuken Stanley seperti dikutip oleh Kerkancana (1983 : 6-7) mengemukakan langkah-langkah evaluasi terdiri dari penetapan tujuan program, memilih alat yang layak, pelaksanaan pengukuran, memberikan skor, menganalisa dan menginterprestasi skor, membuat catatan yang baik dan menggunakan hasil-hasil pengukuran.
Pendapat lain tentang hal ini juga dikemukakan oleh Mochtar Buchari yaitu langkah-langkh pokok dalam evaluasi terdiri dari perencanaan, pengumpulan data, implikasi data, analisa data dan penafsiran data (1972:24). Lebih lenajut akan dibahas prosedur penilaian yang dikemuakakn oleh Mochtar Buchari sebagai berikut :
1. Perencanaan evaluasi
Dalam perencanaan evaluasi kegiatan yang harus dilakukan meliputi :
a. Menetapkan tujuan evaluasi, yang tujuan evaluasi ditetapkan berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dalam suatu program. Tujuan evaluasi panitia seleksi akan berbeda dengan tujuan evaluasi seorang guru mata pelajaran.
b. Menetapkan aspek-aspek yang harus dinilai. Penentuan asep evaluasi ditentukan berdasarkanpada tujuan evaluasi. Misalnya panitia seleksi akan menetapkan aspek evaluasi terhadap potensi-potensi dasar yang diperlukan untuk jenis pendidikan atau jabatan tertentu.
c. Menentukan metode evaluasi atau alat evaluasi yang sesuai untuk mengukur aspek yang akan dinilai bisa saja digunakan alat ukurnya tes dan non tes sesuai keperluan.
d. Memilih dan menyusun alat-alat evaluasi yang akan dipergunakan. Memilih alat relakukan bila telah tersedia sejumlah alat ukur yang dapat dipergunakan. Jika belum ada tentu perlu disusun terlebih dahulu alat ukur yang diperlukan.
e. Menentukan kriteria yang akan digunakan untuk menilai. Dalam hal ini digunakan kriteria acuan norma atau kriteria acuan patakan.
f. Menetapkan frekuensi evaluasi, artinya perlu direncanakan jumlah pelaksanaan evaluasi yang akan dilakukan untuk satu periode tertentu.
2. Pengumpulan data
Pada tahap pengumpulan data ada beberapa kegiatan yang dilakukan yaitu :
a. Pelaksanaan evaluasi
b. Memeriksa hasil evaluasi dan memberi kode dan skor
c. Menganalisis skor dengan teknik analisa statistik dan bukan statistik
d. Memberikan interprestasi terhadap skor yang telah diperoleh dengan menggunakan kriteria tertentu yang disebut norma.
3. Pengunaan hasil-hasil evaluasi
Hasil evaluasi yang sudah diperoleh dapat digunakan untuk membuat laporan pada orang tua siswa tentang kemajuan anaknya dalam belajar.
J. Pelaporan dan Penggunaan Hasil Evaluasi
Data hasil penilaian baik formatif maupun sumatif hendaklah dilaporkan agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan. Mellaui laporan hasil penilaian semua pihak yang berkepentingan dapat mengetahui kemampuan dan perkembangan siswa, sekaligus dapat mengetahui keberhasilan pendidikan di sekolah, dan atas dasar itu pula pihak yang berwenang dapat menentukan langkah dan upaya yang harus dilakukan dalam meningkatkan proses dan hasil pendidikan.
Laporan data hasil penilaian bukan hanya mengenai prestasi atau hasil belajar saja melainkan juga mengenai kemajuan dan perembangan belajar siswa di sekolah, seperti motivasi belajar, disiplin, kesulitan belajar atau sikap siswa terhadap mata pelajaran. Oleh sebab itu guru perlu mencatat perkembangan dan kemajuan belajar siswa secara teratur dan berkelanjutan.
Hasil belajar yang dicapai siswa hendaklah dilaporkan secara menyeluruh baik dalam bentuk skor maupun dalam bentuk nilai. Lebih jauh perlu juga dilakukan interprestasi terhadap nilai yang diperoleh siswa, misalnya untuk menentukan kedudukan siswa dalam kelompoknya, atau dibandingkan kriteria yang telah ditentukan. Dengan demikian dapat diketahui tingkat keberhasilan siswa baik dilihat dari kelompoknya maupun dari tujuanyang harus dicapai. Data tentang perkembangan belajar siswa dapat dilaporkan dalam bentuk catatan khusus sebagai pelengkap data belajarnya. Catatan khusus itu berkenaan dengan aspek perilaku siswa seperti kehadiran, disiplin belajar, motivasi belajar dan kesulitan belajar.
Data hasil penilaian dilaporkan pada semua staf sekolah, yaitu kepala sekolah, wali kelas, guru-guru. Kepada kepala sekolah dilaporkan tentang prestasi atau hasil belajar siswa selama mengikuti pendidikan di sekolah, khususnya dalam PBM. Hasil belajar siswa disampaikan dalam bentuk yang ringkas, tapi jelas sehingga dpaat dengan mudah dipahami oleh kepala sekolah.
Laporan hasil penilaian itu untuk wali kelas berupa nilai yang digunakan untuk mengisi raport. Oleh sebab itu hasil yang dilaporkan hendaklah mempertimbangkan hasil tes formatif dan sumatif termasuk catatan khusus yang dibuat oleh guru mengenai kemajuan belajar siswa.
Laporan tentang hasil belajar siswa juga perlu diberikan pada orang tua siswa. Hal ini dilakukan karena secara alamiah orang tua merupakan penanggung jawab utama terhadap pendidikan anaknya. Oleh sebab itu orang tua juga perlu mengetahui kemajuan belajar anaknya dari hari ke hari melalui laporan yang dibuat oleh guru.
Data yang penilaian hasil belajar juga perlu dilaporkan kepada soswa sendiri yang dikenal dalam bentuk raport. Dari raport yang diterima siswa maka ia akan dapat mengetahui hasil belajar yang telah dicapainya serta keunggilan dan kelemahan yang masih dimilikinya dalam penguasaan terhadap suatu mata pelajaran.
Berdasarkan penjelasan terdahulu dapat disimpulkan bahwa data hasil penilaian proses belajar mengajar sangat bernafaat bagi guru, siswa dan kepala sekolah untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan yang masih dimiliki dalam menjalankan tugasnya masing-masing.
Guru akan mengetahui kemampuan dirinya sebagai pengajar, sehingga ia dapat memperbaiki dan menyempurnakan kekurangannya dan mempertahankan atau meningkatkan kelebihannya.
Sedangkan bagi siswa data penilaian itu dapat dijadikan bahan untuk meningkatkan upaya dan motivasi belajar menjadi lebih baik lagi dan bai kepala sekolah dapat memikirkan upaya pembinaan bagi para guru dan siswa untuk menyempurnakan penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang dipimpinnya.
Rangkuman
Kegiatan pembelajaran yang memuat tindak interaksi, antara pembelajar dengan pebelajar berorientasi sasaran belajar, berakhir dengan evaluasi. Kegiatan evaluasi terdiri dari kegiatan evaluasi hasil belajar dan kegiatan evaluasi proses pembelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan evaluasi merupakan bagian integral dari kegiatan pembelajaran/pendidikan.
Evaluasi berarti sebagai proses sistematis merupakan nilai tentang sesuatu hal seperti objek, proses, unjuk kerja, kegiatan, hasil, tujuan dan hal lain, berdasarkan kriteria tertentu melalui penilaian. Evaluasi hasil belajar adalah proses penentuan pemerolehan hasil belajar berdasarkan kriteria tertentu. Dalam penentuan nilai tersebut orang dapat melakukan pengukuran, pembandingan, penilaian dan kemudian keputusan penialian. Evaluasi bersifat bersinambungan dari tahap satu ke tahap lain selama jenajang pendidikan atau sepanjang hayat.
Evaluasi dalam proses pendidikan dituntut memneuhi syarat-syarat berupa (i) kesahihan, (ii) keterampilan, dan (iii) kepraktisan. Untuk memperoleh kesahihan, keterandalan, dan kepraktisan evaluasi tersebut seorang evaluator dituntut mempertimbangkan faktor-faktor yang terkait dalam kegiatan penilaian. Hasil kegiatan evaluasi hasil belajar berfungsi untuk (i) diagnostik dan pengembangan, (ii) seleksi, (iii) kenaikan peringkat belajar, dan (iv) penempatan siswa. Adapaun sasaran evaluasi hasil belajar berorientasi pada perbaikan atau peningkatan kemampuan pada ranah-ranah kognitif, afektif, psikomotorik siswa.
Dalam kegiatan evaluasi hasil belajar seorang evaluator umumnya menempuh tahap-tahap persiapan, penyususnan alat ukur, pelaksanaan pengukuran, pengolahan hasil pengukuran, penafsiran hasil pengukuran, pelaporan hasil pengukuran, dan penggunaan hasil evaluasi.
Evaluasi pembelajaran merupakan suatu proses penentuan nilai, jasa, atau manfaat kegiatan pembelajaran berdasarkan kriteria tertentu melalui kegiatan pengukuran dan penilaian. Evaluasi hasil pembelajaran memiliki fungsi dan tujuan, sasaran dan prosedur tertentu. Pada umumnya fungsi dan tujuan evaluasi pembelajaran berorientasi pada pengembangan pembelajaran dan akreditasi. Adapun sasaran evaluasi pembelajaran tertuju pada tujuan pembelajaran, dinamika pembelajaran, pengelolaan pembelajaran, dan kurikulum. Prosedur evaluasi pembelajaran umumnya terdiri dari lima tahap berupa tahap-tahap penyusunan rancangan, penyusunan instrumen, pengumpulan data, analisis data, dan penyususnan laporan evaluasi pembelajaran. Pada tempatnya seorang guru profesional dapat melakukan kegiatan sebagai evaluator pembelajaran.
Tugas dan Latihan
Kerjakanlah tugas-tugas berikut secara perorangan dan kumpulkan pada dosen pem-bina !
1. Buatlah rangkuman tentang evaluasi pembelajaran berdasarkan bacaan sebelum-nya!
2. Apakah perbedaan antara evaluasi hasil belajar dengan evaluasi pembelajaran !
3. Mengapa guru tidak dapat seorang diri berindak sebagai evaluator evaluasi pem-belajaran !
4. Apa yang harus dicantumkan dalam laporan evaluasi pembelajaran !