Archive for Februari 12th, 2010

“REMAJA TUNAGRAHITA DAN ORANG TUA YANG OTORITER”

Februari 12, 2010

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bagi semua anak tunagrahita keberadaannya bagi orang tua merupakan suatu kewajiban dan kebutuhan yang mesti dipenuhi. Kebutuhan ini disebut juga sebagai kebutuhan primer. Cerminan kebutuhan tersebut dapat dilihat dari sikap anak tunagrahita, sedangkan sikap orang tua dari anak tunagrahita sendiri sangatlah menentukan dalam perkembangannya.
Dikala anak tunagrahita sudah mulai menginjak usia remaja, semua sikap yang dimunculkan oleh orang tua akan membantu mereka dalam semua kegiatan dan masalah yang dihadapinya. Akan tetapi bila remaja mempunyai orang tua yang otoriter maka akan dapat menimbulkan remaja tunagrahita yang cenderung pembangkang, suka berbuat sesuka hati, dan menimbulkan kejengkelan bagi orang-orang di sekitarnya.
Pola sikap otoriter yang ditampilkan orang tua akan menciptakan rasa tidak senang akan menimbulkan kurang percaya diri, menarik diri dari pergaulan hingga melakukan pemberontakan terhadap rasa ketidak senangannya. Akhirnya banyak tindakan yang tidak disenangi oleh orang tua. Perilaku ini merupakan suatu dilema yang saling berkaitan satu sama lainnya, karena ia tidak dapat berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya interaksi sosial yang diharapkan berjalan dengan harmonis.
Pengetahuan dan pemahaman orang tua terhadap kelainan yang di sandang anaknya sangatlah mendorong pola layanan pendidikan demi pertumbuhan anak tunagrahita kelak. Sebab kesalahan yang dibuat orang tua yang sudah berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama akan dapat menimbulkan tidak berkembangnya kemampuan anak tunagrahita. Sehingga biasanya akan menjadi sebagai rasa frustrasi, rasa berdosa dan berbagai tudingan yang tidak mampu dijawab sendiri oleh orang tua.
Sebagai manusia yang mengalami keterbatasan dalam berfikir, maka remaja tunagrahita akan banyak mengalami hambatan dalam setiap gerakan dan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Permasalahan akan bertambah runyam jika orang tua bersikap otoriter dan tidak berusaha untuk memahami kemampuan remaja tunagrahita. Dalam kehidupan sehari-hari remaja tunagrahita juga sama seperti remaja normal umumnya, namu mereka selalu berkaitan dengan keterbatasan intelektual dalam bertindak . Bertdasarkan sebab itu maka orng tualah yang semestinya arif menghadapinya. Bagaimana dengan persoalan jika orang tua selalu menuntut kemampuan pada anaknya yang menyandang kelainan tunagrahita tersebut. Apa saja persoalan yang akan muncul ?
Beberapa paradigma yang muncul deperti di atas tadi mendorong penulis untuk mengangkatnya sebagai suatu permasalahan yang perlu dicarikan solusinya sehingga antara orang tua dan remajanya yang menyandang tunagrahita dapat saling toleransi dan memahami satu sama lainnya. Berkenaan dengan itu maka tulisan ini dapat diberi judul “Remaja Tunagrahita dan Orang Tua Otoriter”.
B. Permasalahan
Agar pembahasan dapat diuraikan sesuai dengan cerminan judul maka permasalahan akan dimunculkan dalam bentuk pertanyaan seperti di bawah ini. Apakah akibat dari sikap orang tua otoriter terhadap anak remaja tunagrahita ?

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Remaja Tunagrahita
Memberikan pengertian tentang remaja tidak mudah, sebab banyak tulisan yang memberikan pengertian tentang remaja, tergantung dari cara pandang atau sisi disiplin ilmu yang memberikan batasan pengertian tersebut. Beberapa cara pandang yang memberikan pergertian tersebut menurut Mappiare (1982) seperti; menurut pandangan hukum, berdasarkan ukuran fisik, menurut kesehatan, dan cara pandang sosial psikologi. Agar lebih rinci dapat dituliskan seperti dibawah ini.
1. Remaja menurut hukum
Berdasarkan pandangan hukum pengertian remaja tampaknya hanya pada Undang-undang perkawinan saja. Pada pasal 7 undang-undang no. 1/1974. Dipandang dari sisi perkawinan dicantumkan bahwa usia perkawinan minimal 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria.
2. Remaja ditinjau dari segi perkembangan fisik
Remaja menurut ilmu kedokteran dan ilmu lain yang terkait yaitu sebagai tahap perkembangan fisik dimana di tandai dengan adanya tanda-tanda kematangan fungsi seksual; untuk wanita setiap bulan akan mengalami menstruasi sebagai siklus yang mengeluar sel telur yang sudah siap untuk dibuahi meliwati batas masa subur sehingga akan keluar berupa darah haid. Sedangkan pada pria dapat berujud mimpi basah yang mengeluarkan sperma berupa tanda bedrfungsinya kelamin sekunder.
3. Remaja menurut WHO
Remaja adalah suatu pertumbuhan dan perkembangan, di mana; Individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa, Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.
4. Remaja ditinjau dari faktor sosial psikologi
Salah satu yang mencirikan remaja di samping tanda-tanda seksual adalah “ Perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa”. Puncak perkembangan jiwa itu ditandai dengan adanya proses perubahan dari kondisi ”entropy” ke kondisi “negentropy”.
Entropy adalah suatu keadaan di mana kesadaran manusia masih belum tersusun rapi. Selama masa remaja kondisi entropy ini akan tersusun secara bertahap, melalui pengarahan, distrukturkan kembali,sehingga lambat laun terjadi kondisi negatif entropy atau negentropy. Negentropy adalah suatu keadaan di mana kondisdi kesadaran sudah tersusun baik, pengetahuan yang syah terkait dengan pengetahuan, dan hubungannya dengan perasaan atau sikap.
Berkaitan dengan pengertian remaja pada penyandang tunagrahita yakni adalah yang melingkupi penyandang tunagrahita yang berada pada taraf sudut pandang seperti di atas. Suatu masa dimna keadaan anak tunagrahita berada pada masa remaja tersebut. Dengan demikian remaja tunagrahita tidak memiliki perbedaan dengan orang normal. Perbedaan yang perlu diperhatikan pada remaja tunagrahita yakni berupa keadaan kemampuan dasarnya yang sangat membedakan. Sebab jika pandangan terhadap remaja umumnya adalah pada pertumbuhannya yang normal. Namun lain bagi tunagrahita ia memiliki kekhasan tersendiri terutama dari segi intelektual yang rendah.
Pengertian remaja tunagrahita menurut kamus bahasa Indonesia (Balai Pustaka 1994) dapat berarti beralihnya perkembangan fisik seorang anak tunagrahita kepada keadaan mulai dewasa atau bukan kanak-kanak lagi. Dengan demikian mereka akan memiliki ciri-ciri yang berkenaan dengan keadaan fisik remaja.
B. Pengertian Orang Tua
Orang tua adalah adalah orang-orang yang melengkapi budaya mempunyai tugas untuk mendefinisikan apa yang baik dan apa yang dinggap buruk. Sehingga anak akan merasa baik bila tingkah lakunya sesuai dengan norma tingkah laku yang diterima di masyarakat.
Pemahaman orang tua yang baik menurut Soekanto (1991) dengan beberapa yang mencirikannya seperti berikut::
1. melakukan berbagai hal untuk anak
2. merupakan tempat bergantung bagi anak
3. bersikap cukup permisif dan luwes
4. bersikap adil dan disiplin
5. menghargai anak tunagrahita sebagai individu
6. mampu menciptakan kehangatan bagi anak
7. mampu memberi contoh yang baik
8. bias menjadi kawan dan menemani anak tunagrahita dalam berbagai kegiatan
9. selalu bersikap baik
10. menunjukkan rasa kasih sayang pada anak
11. memiliki rasa empati terhadap perasaan anak
12. mendorong anak tunagrahita untuk bermain dengan temannya
13. berusaha membuat suasana damai
14. membantu kemandirian anak tunarungu
Sebaliknya tentang pandangan orang tua yang buruk menurut anak masih dalam Soekanto (1991) seperti berikut:
1. menghukum secara kasar dan tidak adil
2. menghalangi minat dan kegiatan anak
3. membentuk anak menurut pola yang baik
4. memberikan contoh yang buruk
5. mudah jengkel dan marah
6. sedikit rasa kasih saying terhadap anak
7. mudah marah bila anak membuat kesalahan tidak sengaja
8. kurang perhatian terhadap kegiatan anak
9. melarang anak bergaul dengan teman
10. bersikap jahat pada teman anak
11. menghukum dengan kasar
12. harapan terhadap anak tidak realistis
13. mengecam dan menyalahkan anak bila gagal
14. membuat suasana rumah tegang atau tidak menyenangkan
Berdasarkan beberapa karakter di atas maka orang tua dapat dikatakan sebagai orang yang memegang peranan penting dalam perkembangan seseorang anak. Juga tidak terlepas terhadap pandangan orang tua pada penyandang tunagrahita. Dengan demikian orang tua anak tunagrahita juga mempunyai peran yang sama dengan orang tua pada umumnya. Namun bagi orang tua yang memiliki anak tunagrahita umumnya mereka lebih membutuhkan perhatian yang lebih ketat terhadap perkembangan anak tunagrahita. Hal ini diasumsikan karena anak tunagrahita mempunyai perkembangan dan pertumbuhan yang jauh berbeda dengan anak normal. Hal ini jelas seperti definisi anak tunagrahita tunagrahita yang ditulis oleh beberapa pakar pendidikan luar biasa seperti berikut.
Difinisi American Association on Mental Retardation (AAMR) berlatar belakang profesi, di antaranya medis, hukum, dan pendidikan, yang mengatakan seperti berikut:
…mental retardation refers to significantly subaverage general intelectual functioning existing concurrently with deficits in adaptive behavior, and manifested during the developmental period (Grossman, 1983 dalam Hardman, L. Michael 1990:90)

Makna tersebut terdiri atas tiga komponen utama yaitu; Intelligence, adaptive behavior, and the developmental period. Kemampuan inteligensi, berdasarkan rata-rata tes IQ normal adalah 100, sedangkan untuk anak terbelakang mental menunjukan angka tes IQ di bawah 100. Definisi anak tunagrahita menurut American Association on Mental Deficiency (AAMD) sebagai berikut.
…mental retardation refers to significantly subaverage general intellectual functioning resulting in or associated with concurrent impairments in adaptive behavior manifested during the develompemntal period (Grossman, 1983 dalam Linch, W.Eleanor. 1992:99)

In this definition “significantly subaverage general intellectual functioning” refers to an IQ of 70 or below on a standardized tes of intelligence such as the Stanford-Binet Intelligence Scales for Children or one of the Wecshler intelligence scales. (Terman & Merrill, 1973) or one of the Wechsler intelligence scales. This score represents performance that is two standard deviations below the mean, or average score, on these tests. The AAMD Manual states that an IQ of 70 should be viewed only as a guideline; in some school placement decicions it minght be extended upward to 70. (Linch, W. Eleanor. 1992:99)

Senada dengan definisi yang dikemukakan di atas Amin (1995:18) menyatakan seperti berikut.
Anak terbelakang mental atau anak tunagrahita adalah mereka yang kecerdasannya jelas berada di bawah rata-rata. Mereka mengalami keterbelakangan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan, kurang cakap dalam memikirkan hal-hal yang bersifat abstrak, yang sulit dan berbelit-belit. Mereka memerlukan layanan pendidikan secara khusus agar mereka dapat berkembang optimal.
Robert P. Ingals (1978:5) dalam Amin (1995:20) memberi sebutan bagi anak tunagrahita sebagai berikut: Mental retardation, mental defiency, mentally defective, mentally handicaped, feeblemindedness, mental subnormality, amentia and oligophrenia. Istilah yang sering dipakai di Indonesia adalah terbelakang mental dan tunagrahita.
1. Tipe-tipe Orang Tua
Perbedaan tipe-tipe orang tua dapat dikelompokkan dalam suatu skala. Skala yang dimaksudkan adalah beberapa cara yang dilakukan oleh orang tua tentang bagaimana mereka mendorong pengambilan keputusan secara bebas terhadap bimbingan dan mendidik anaknya .
Beberapa cara yang mungkin dilakukan tersebut menurut Soerjono (1991) dapat dilakukan hal di bawah ini.
1. Orang tua yang melindungi secara berlebihan
Perlindungan orang tua yang berlebihan mencakup pengasuhan dan pengenalan anak terlalu berlebihan. Hal seperti ini akan menimbulkan sikap ketergantungan bagi diri anak tunagrahita yang berlebihan pula, sehingga rentang ketergantungan pada orang lain akan lebih lama pula dan dapat membuat kurangnya rasa percaya diri bagi anak.
2. Permisivitas orang tua
Orang tua akan memberikan kebahagiaan penuh pada anak untuk berbuat. Sikap permisivitas pada orang tua akan terlihat pada orang tua yang membiarkan anaknya untuk berbuat sesuka hati, dengan memberikan sedikit kekangan. Sikap demikian akan mampu menciptakan situasi rumah tangga yang “berpusat pada anak”. Jika sikap permisif ini tidak berlebihan, ia akan mampu mendorong anak untuk menjadi cerdik, mandiri dalam kebutuhan pribadi, penyesuaian sosial yang baik, mampu menumbuhkan rasa percaya diri, daya kreativitas, dan kematangan sikap.
3. Memanjakan anak
Sikap memanjakan akan menimbulkan sikap egois, suka menuntut, dan memaksakan kehendak pada anak. Mereka menuntut perhatian dan pelayanan dari orang alain, perilaku yang menyebabkan penyesuaian sosial yang buruk di rumah dan luar rumah.

4. Penolakan
Penolakan dapat dinyatakan dengan mengabaikan kesejahteraan anak atau dengan menuntut terlalu banyak dan sikap permusuhan yang lebih terbuka. Disini orang tua membuat semua keputusan dan anak tunagrahita tidak boleh bertanya. Sikap demikian akan memunculkan rasa dendam, perasaan tak berdaya, frustrasi, perilaku gugup, dan sikap bermusuhan dengan orang lain, terutama bagi mereka yang lemah dan kecil. Inilah yang disebut dengan orang tua yang bersifat autokratis atau otoriter.
5. Penerimaan
Sikap penerimaan bagi orang tua ditandai dengan adanya perhatian besar dan kasih sayang pada anak. Orang tua yang menerima akan memperhatikan perkembangan kemampuan, dan memperhitungkan minat anak. Orang tua akan mendorong anak untuk membicarakan apa yang diinginkan. Anak yang diterima umumnya mampu bersosialisasi dengan baik, bersikap kooperatif, berlaku ramah, bergaul loyal, secara emosional stabil dan gembira.
6. Dominasi
Anak yang didominasi oleh salah satu orang tua, akan mampu bersikap jujur, sopan, dan berhati-hati. Tetapi anak ini cenderung pemalu, patuh, dan mudah dipengaruhi orang lain, mengalah, dan sangat sensitive. Pada anak yang didominasi sering akan berkembang rasa rendah diri dan perasaan menjadi korban keinginan orang tua yang tidak mampu dicapainya.
7. Tunduk pada anak
Orang tua yang tunduk pada anaknya akan membiarkan anak mendominasi mereka. Di sini orang tua akan membiarkan anak untuk mencari jalannya sendiri. Anak akan suka memerintah orang tua dan akan menunjukkan sedikit rasa tenggang rasa, penghargaan, atau loyalitas pada mereka. Anak akan belajar untuk menentang semua yang berwenang dan mencoba mendomninasi orang di luar lingkungan rumah.
8. Favoritisme
Meskipun mereka berkata bahwa mereka mencintai semua anak dengan sama rata, kebanyakan orang tua mempunyai favorit tersendiri. Sikap yang seperti ini akan membuat mereka lebih menuntut dan mencintai anak yang difavoritkannya dari pada anak yang lain dalam keluarga tersebut. Anak yang disenangi cenderung memperlihatkan sisi baik pada orang tua mereka tetapi agresif dan dominan dalam hubungan dengan kakak atau adik mereka.
9. Ambisi Orang Tua
Hampir semua orang tua mempunyai ambisi terhadap anak mereka. Ambisi tersebut sering kali sangat tinggi sehingga tidak realistis. Ambisi orang tua ini sering dipengaruhi oleh tidak tercapainya atau hasrat orang tua supaya anak mereka naik status sosialnya. Bila anak tidak dapat memenuhi ambisi orang tua, anak cenderung terlihat bersikap bermusuhan, tidak bertanggung jawab, dan berprestasi di bawah kemampuan. Keadaan ini akan lebih parah bila anak memiliki perasaan tidak mampu yang sering diwarnai perasaan dijadikan orang yang dikorbankan akibat kritik orang tua terhadap rendahnya prestasi mereka.
2. Orang Tua Otoriter
Cara-cara mengasuh anak dalam masyarakat merupakan awal kehidupan bermasyarakat. Pengasuhan secara otoritas ditentukan oleh sekelompok orang yang membentuk superioritas atas kelompok yang lain. Kelompok ini sekaligus menerima tanggung jawab untuk menetapkan pola-pola perilaku dalam kelompok orang yang dianggap lebih rendah tingkatnya. Pola ini dikenal sebagai pola atasan –bawahan yang dianut oleh sitem militer. Pelestarian hubungan dengan pola atasan bawahan ini ditetapkan dalam hubungan antara orang tua dan anak. Biasanya pihak orang tua yang menggariskan keputusan-keputusan tentang perilaku anaknya.
Perilaku orang tua dalam hubungan seperti di atas, ia senantiasa berada dalam posisi sebagai arsitek. Mereka dengan teliti memutuskan bagaimana seharusnya tiap anak berbuat. Mereka memberikan hadiah atau hukuman agar perintahnya ditaati. Melalui pemberian hadiah orang tua akan mengkomunikasikan suatu pesan yang jelas kepada anaknya. Sedangkan pemberian hukuman menunjukkan ketiadaan sikap menghargai anak.
Kebiasaan ini mengakibatkan, tugas dan kewajiban orang tua menjadi tidak sulit. Para orang tua tinggal menentukan apa yang mereka ingin yang harus dikerjakan atau yang tidak boleh dilakukan anak. Ancaman hukuman diterapkan untuk melarang atau janji hadiah untuk mendorong agar anak mematuhi. Pendekatan seperti ini terbukti sangat berhasil. Sebagian orang tua melaporkan bahwa anak –anak mereka bersikap kooperatif. Hal ini menjadikan acuan kenyataan yang menunjukkan bahwa anak mereka persis seperti apa yang diinginkan oleh orang tuanya. Kerjasama di sini diartikan bahwa anak tunagrahita melakukan perbuatan sesuai dengan yang diperintahkan.
Selama masyarakat otokratis masih kokoh dalam artian di sini adalah orang tua, maka pendekatan mengasuh anak semacam ini sangatlah efektif. Generasi orang tua mempelajari teknik mengasuh anak berdasarkan contoh yang terdekat. Generasi di atas merupakan patron. Anak mencontoh orang tua, dan orang tua meniru ibu bapak mereka, begitu seterusnya berlangsung kelapis-lapis yang lebih tua.
Banyak tulisan berupa buku-buku, artikel, bahkah diseminarkan dalam kuliah di kampus tentang cara mendidik anak. Namun hal itu tidak mungkin dapat segera diterapkan, karena orang tua belajar secara alamiah tentang cara mengasuh. Sehingga keadaan demikian berada dalam status quo, sampai seluruh situasi yang mengepung orang tua berangsur mulai berubah.
Sekarang ini orang tua tidak lagi dihadapkan pada masalah kesulitan dalam membesarkan anak. Anak–anak sekarang ini dilahirkan di zaman yang demokratis, yang berlawanan sekali dengan sistim yang dianut oleh para orang tua. Pada kenyataannya menunjukkan penerapan prinsip mengasuh anak bagi kedua system ini, dan sulit dibandingkan secara paralel. Pemakaian metode dalam mendidikan anak bagi orang tua dapat berupa otoriter, permisif, ataupun yang demokratis semeuanya akan bergantung pada cara mereka sendiri dibesarkan. Sebagiannya lagi akan menjalankan berdasarkan apa yang dialaminya, ataupun pengetahuan yang mempengaruhinya.
Semua sikap yang ditampilakan oleh orang tua merupakan hasil belajar. Banyak faktor yang ikut menentukan sikap apa yang akan dipelajari, orang tua menurut soerjono (1991) yang paling umum adalah sebagai berikut:
1. Konsep “anak idaman” yang terbentuk sebelum kelahiran anak sangat diwarnai dengan romantisme, didasarkan atas gambaran anak ideal bagi orang tua itu. Bila anak gagal memenuhi harapan orang tua maka ia akan merasa kecewa dan mulai bersikap menolak.
Kegagalan seperti yang dicemaskan di atas akan banyak dialami oleh anak, dengan demikan orang tua tidak akan terpenuhi keinginannya dan akan selalu merasa kecewa atas kemampuan anak.
2. Pengalaman awal dengan anak mewarnai sikap orang tua terhadap anaknya sendiri. Dapat diarti sebagai dua kemungkinan pengalaman yakni pengalaman baik dan pengalaman buruk.
3. Nilai budaya mengenai cara terbaik memperlakukan anak, secara otoriter, permisif, dan demokratis akan mempengaruhi sikap orang tua dan cara mereka memperlakukan anak mereka sendiri.
Cara-cara terbaik yang mungkin cocok bagi anak yang inteligensinya normal jika akan diterapkan bagi anak tunagrahita maka ia tidaklah segera sesuai, sebab kemungkinan bila suatu cara dianggap baik untuk anak normal namun bagi anak tunagrahita belum tentu akan berlaku baik.
4. Orang tua yang menyukai peran orang tua. Mereka akan merasa bahagia, dan mempunyai penyesuaian yang baik terhadap perkawinan, mempunyai sikap yang mencerminkan penyesuaian yang baik ini terhadap anak mereka.
Orang tua yang bersikap otoriter mengutamakan kebutuhan mereka sendiri dahulu daripada kebutuhan anaknya. Mereka seringkali menganggap bahwa diri mereka tidak pernah berbuat kekeliruan. Maka sama sekali mereka tidak dapat berbuat salah atau dihalang-halangi. Karena itu orang tua yang otoriter cenderung untuk merintangi kesempatan-kesempatan anak untuk ikut serta dalam interaksi dengan orang lain. Orang tua otoriter akan membangun suatu lingkaran setan, dari rasa permusuhan, balasan di dalam hubungan orang tua dan anak. Orang tua yang bersikap keras ini juga mempunyai lebih banyak konflik dengan anak mereka.
Jika dilihat dari segi pendidikan, maka orang tua yang bersikap otoriter ingin sekali agar anaknya dapat mencapai prestasi yang tinggi di sekolah. Mereka ingin sekali membantu perkembangan intelektual dan sosial anak mereka secara tulus dan iklas. Tetapi orang tua selalu mempunyai hambatan jika ternyata anaknya mengalami gangguan ketunagrahitaan. Keinginan yang kuat dari orang tua agar anaknya dapat menjadi berprestasi, akan tetapiorang tua tidak berbuat sesuatu yang efektif dalam mendorong anaknya belajar. Hal inilah merupakan ketimpangan yang menonjol jika orang tua terbatas pengetahuannya dan mempunyai konflik dalam memotivasi. Ternyata orang tua ini mencampuradukan antar keinginannya dengan keinginan anaknya dalam pendidikan.
Orang tua yang mencari kepuasan pribadi melalui anak sangat mengganggu pendidikan anak, dan banyak orang tua yang tidak merasa puas dan tentram dalam menerima atau memahami kemampuan anaknya sendiri. Paksaan-paklsaan agar anak menampilkan prestasi belajar yang ingin dicapai oleh orang tua mereka sangat mungkin mengaggu emosi anak. Terutama bagi anak tunagrahita dimana mereka jelas banyak mengalami hambatan karena faktor inteligensinya yang rendah. Dengan demikian sikap otoriter orang tua akan menjadi bumerang sendiri bagi orang tuanya jika ia terlalu banyak berharap terhadap kemampuan anak tunagrahita.
C. Pengaruh Orang Tua Otoriter Terhadap Remaja
Orang tua mempunyai peranan yang sangat besar sekali terhadap perkembangan diri seseorang remaja. Hal ini disebabkan karena orang tua memiliki banyak waktu untuk mengenal perilaku anaknya dan orang tua yang paling dekat dengan remaja. Hampir sebagian besar waktu remaja bersama dengan orang tua, sebab waktu di sekolah sebatas jam belajar, selain itu waktunya banyak dihabiskan di rumah bersama orang tuanya.
Sikap orang tua terhadap remaja akan sangat mempengaruhi bagaimana seorang remaja itu bersikap dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Orang tua yang bersikap otoriter menyukai hal-hal yang jelas dan tidak ambiguous. Jadi setiap hukuman atau disiplin tidak dicarikan dengan kelembutan, penerimaan, dan alasan. Tingkah laku orang tua ini dapat memciptakan suatu konsep diri yang menekankan bagi anak tunagrahita, bahwa dia sangat kurang dapat diterima, berperilaku dan bertampang buruk, dan tindakannya tidak di setujui oleh orang tua atau juga oleh orang-orang lainnya.
Respon-respon dari anak yang orang tuanya bersikap otoriter adalah lebih intens dibandingkan dengan respon-respon dari anak yang orang tuanya tidak otoriter. Karena rasa frustrasi dari konsep dirinya yang sedang berkembang, bingung, dan umumnya berorientasi negatif ditambahkan kepada tingkat dorongan yang biasa. Remaja seperti itu biasanya mengembangkan pengharapan terhadap hukuman yang digeneralisasikan secara meluas dalam situasi yang baru. Akibatnya pada diri remaja akan timbul suatu kecemasan dan kegelisahan. Jika dibiarkan berlarut tentu akan mempengaruhi hasil belajar, daya kosentrasi, dan emosi yang mungkin dapat mengarah pada penyerangan. Perilaku yang akan uncul dapat menjadikan remaja egois, mengurung diri, introvert dalam pergaulan, dan memiliki percaya diri yang rendah. Hal semacam ini jika terjadio pada remaja tunagrahita maka akan membuat ia tidak mampu berkembang , mandiri tanpa adanya campur tangan orng lain. Dengan demikian dalam memperlakukan remaja tunagrahita perlu diperhatikan karakteristik individu dan dengan pendekatan yang benar-benar dirasakan sesuai dengan keinginan kedua belah pihak.
Standar-standar tinggi yang tidak realistis dari orang tua yang tidak dapat dipenuhi ditambah dengan hukuman yang sangat menyulitkan pada pertahanan diri. Bagi orang tua yang memiliki remaja tunagrahita perlu membatasi diri dan berusaha untuk memahami keadaan remaja sehingga remaja memahami bahwa orang tuanya masih memperhatikannya, masih menyayanginya. Dengan demikian orang tua berusaha menjauhkan sikap angker, tidak bersahabat, berperasaan dingin yang pada akhirnya membuat remaja tunagrahita merasa bahwa dia masih diperhatikan oleh orang tua. Setiap hukuman yang diberikan diharapkan akan membangun pengertian bahwa “orang tua menghukum adalah demi kebaikannya” tidak menghukum dengan membabi buta tanpa memperdulikan hak-ahak anak tunagrahita untuk membela diri atau memberikan alasan yang mungkin masih dapat diterima.
Jika kebutuhan dan harapan-harapan remaja tunagrahita semuanya dibatasi dan dikekang, akibatnya akan tumbuh rasa kebencian dan kemarahan yang dapat merugikan orang lain yang berada dilingkungannya. Sikap menarik diri dari pergaulan, dengan terman sebaya, kurang percaya diri, sehingga jika dilihat sepintas seperttinya remaja tersebut sebagai remaja pemalu. Remaja tunagrahita akan selalu dihantui rasa takut memulai suatu pekerjaan karena takut gagal dan berbagai bayangan ancaman yang akan diterimanya bila ia melakukan kegagalan dalam pekerjaan, takut dikritik, dan akan menerima hukuman. Walupun sebenarnya dia mampu seperti remaja lainnya yang memiliki kepercayaan diri yang besar.
Jadi seorang remaja dari lingkungan otoriter akan mempunyai prasangka terhadap dirinya sendiri, introvert, lemah dan banyak tergantung pada orang lain. Perasaan-perasaan diri ini kemungkinan besar dipindahkan kepada orang lain sehingga tingkat-tingkat yang rendah dari perasaan harga diri bagi orang lain.
Sebuah struktur keluarga yang otoriter dapat membuat timbulnya perasaan tidak aman , infirioritas, perasaan-perasaan seperti tidak berharga, karena otoritasnya sebagai remaja dipadamkan oleh kekuasaan otoriter orang tua. Perasaan-perasaan tertekan seperti di atas akan membuat suatu efek ketidak mampuan konsep diri seorang remaja tunagrahita tidak mungkin akan terwujud.
Remaja yang berasal dari orang tua otoriter mempunyai pengalaman-pengalaman yang lebih banyak bersama orang tua. Dimana ia selalu mengalah atau berusaha menyesuaikan diri dengan menekan semua kemauannya. Ia akan tumbuh sebagai remaja yang tidak memiliki kepercayaan diri dan mudah terombang ambing dalam suatu situasi yang semestinya dia harus berbuat dan memutuskan dengan bijaksana. Atau sikap tersebut akan berbalik menjadi orang penyerang, tidak mudah mempercayai orang lain, dan tidak berani berpendapat. Semua sikap tersebut bila tumbuh dan mempribadi bagi seorang remaja tunagrahita akan berakibat merugikannya upaya kemandirian dalam kehidupan bermasyarakat seperti layakanya masyarakat normal.
Beberapa ketegangan benar-benar terjadi dari waktu ke waktu di antara kembanyakan remaja dan orang tua mereka, karena remaja tersebut mencoba untuk tumbuh menjadi dewasa. Banyak dari remaja mempergunakan pengalaman yang baru mereka tumukan dan mereka anggap baik. Pada umumnya semua orang tua menginginkan remaja mampu memperlihatkan kematangan, berpikir sehat dan kritis, mandiri dalam semua urusan. Kemampuan tersebut berada dalam batas-batas kemampuan yang bisa diatasi sendiri. Namun sebaliknya beberapa orang tua tidak bisa memahami dengan mudah terhadap apa yang sedang berkembangan dan banyak di alami oleh remaja. Sehingga mereka berbuat dan menciptakan kegiatan tersendiri sebagai suatu tantangan kehidupan yang sulit dan belum bias dilakukan remaja.
Orang tua terlalu ketat mengekang dapat menyebabkan seorang anak tunagrahita muda mencari kebebasan tersendiri sesuai dengan kemampuannya. Kemungkinan yang lebih cenderung terjerumus pada perbuatan kenakalan remaja, hasutan orang lain, dimanfaatkan orang lain untuk kejahatan dan mungkin akan menggelandang akibat orng lain tidak memahaminya.
Kesulitan hubungan antar orang tua dengan remaja akan menjadi bertambah bila remaja mendeteksi bahwa orang tualah penyebab kegagalannya. Orang tua dianggap sebagai tidak mempunyai ketulusan dan kejujuran dalam menerapkan peraturan-peraturan. Orang tua terlalu mengharapkan terhadap suatu kemampuan yang tidak mungkin dicapai remajatunagrahita. Hal demikian akan semakin mempersulit keberadaan remaja tunagrahita di tengah rumah. Terlalu banyak peraturan dan kegiatan super ketat yang harus diikuti remaja tunagrahita hingga membuat ia jenuh dan berontak.
Tidak semua apa yang diharapkan oleh orang tua juga merupakan harapan bagi remaja. Khususnya bagi remaja tunagrahita mereka masih sangast perlu bimbingan dan arahan yang sangat membutuhkan perhatian orang lain. Sebab sebagai manusia yang mulai berkembang ke arah pemikiran yang ingin menikmati hidup dengan jalannya sendiri maka ia cenderung menganggap apa yang diingini orang lain tersebut mengekang kebebasannya dalam bertindak dan berpikir.
Peraturan yang dibuat oleh orang tua ditera sebagai peraturan sepihak dan tidak bermanfaat bagi dirinya dan akan mengekang kebebasannya. Maka peraturan yang hendaknya diciptakan orang tua hendaklah ditentukan atas dasar keinginan dan kemauan yang dapat ditoleransi oleh remaja. Sehingga remaja yang mempunyai konflik dan persoalan yang tidak mampu dipecahkannya akan dapat dijadikan sebagai suatu diskusi yang sangat bernilai bagi remaja. Pada akhirnya antara orang tua dan remaja tunagrahita dapat berjalan sesuai dengan keinginkan kedua belah pihak tanpa mengorbankan anak.
Beberapa situasi yang mungkin muncul akibat terjadinya konflik antara remaja dan orang tua menurut Gunarsa (1990) seperti berikut:
1. putus komunikasi, orang tua dan remaja saling mendiamkan dengan perasaan tidak enak terhadap satu sama lain.
2. kedua pihak mengambil sikap konfrontatif, perang mulut, saling menyakiti, membongkar permasalahan lama, dan lain sebaginya.
3. remaja mengambil tindakan nekan yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain.
4. menghukum diri sendiri dan melepaskan pada diri sendiri (pelarian pada narkoba, ngebut di jalan, minuman keras, pergaulan bebas dan sebagainya).
5. Menghukum orang tua dengan berbagai cara agar orang tua menjadi kapok, misalnya kabur dari rumah.
Berdasarkan gambaran beberapa situasi yang akan dapat muncul bagi remaja bila ia merasa tidak mendapatkan ketentraman di rumah. Maka selayaknya orang tua berusaha memahaminya dan mengetahui permasalah dengan objektif tanpa menyudutkan rfemaja. Sebagai orang tua kita masih dapat mengajak remaja untuk berdiskusi dengan baik serta berusaha mencarikan solusi terbaik bagi mereka . Dengan demikian remaja tunagrahita memandang orang tua tidak sebagai polisi di rumah, yang siap menghukum dan menghakimi bila mereka bersalah atau gagal pada suatu pekerjaan. Sebaliknya remaja tunagrahita akan merasakan bahwa ia dibutuhkan dalam keluarga tanpa merasa khawatir untuk membicarakan semua persoalan yang dihadapinya. Dengan demikian ia mulai memiliki rasa percaya diri.
D. Bagaimana Seharusnya Orang Tua dan Remaja Bersikap
1. Sikap Orang Tua Terhadap Remaja
Sejak anak dilahirkan, dirawat dan tumbuh berkembang menjadi remaja, orang tua sangat berperan penting dalam pendidikan dan mengarahkan perkembangan anaknya. Sebagai orang tua harus memiliki kesadaran akan tanggung jawab dalam mendidik anak. Orang tua hendaknya memberikan kasih sayang yang cukup kepada anak. Berdasarkan penelitian dikatakan bahwa anak yang kurang merasakan kasih sayang, mereka akan kesulitan dan mengalami gangguan dalam perkembangan kepribadian. Sebaliknya orang tua harus berusaha untuk mengenalkan kepada anak sesuai dengan kenyataan apa adanya, berusaha mengajarkan apa yang benar dan apa yang salah, mengembangkan pengetahuan, sikap, moral dan etika sesuai dengan perkembangan yang dialami anak.
Berberapa kecendrungan yang terjadi pada beberapa orang tua untuk mendidik anaknya sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Namun sebaliknya ada juga gaya mendidik anaknya dengan membiarkan saja tanpa berusaha untuk memahami anak tunagrahita, pada akhirnya anak tunagrahita berkembang juga ke arah yang tidak baik serta tidak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
Berberapa usaha yang memungkinkan dapat dilakukan adalah dengan melalui proses bimbingan berupa dialog, diskusi, dan kegiatan menganalisis serta mempertimbangkan semua persoalan dengan melibatkan anak tunagrahita secara proaktif. Usaha orang tua yang tidak kalah pentingnya dilakukan orang tua adalah dengan mengenali kemampuan, karakter yang dimiliki anak tunagrahita. Untuk itu beberapa ahli pendidikan luar biasa mengemukakan karakter sepertiberikut.
Bloom, (1974) dalam Kirk dan Gallagher (1990: 88) menyebutkan:
Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam perhatian, terbatas dalam penyesuaian sosial, terbatas dalam perkembangan bahasa, mudah tertarik perhatian atau hiperaktif, sering terlibat dalam kegiatan yang tak produktif (berkelahi, meninggalkan tempat duduk untuk bersosialisasi).
Polloway, Epstein dan Cullinan (1985) dalam Kirk dan Gallagher (1990: 89) menyebutkan berdasarkan hasil penelitian.
Murid-murid cacat mental menunjukkan lebih banyak masalah kekurangan perhatian dibanding teman seusianya yang tidak cacat. Mereka cenderung menarik diri, acuh tak acuh, mudah bingung dan mempunyai waktu perhatian yang lebih pendek.

Karakteristik anak tunagrahita ringan di antaranya banyak yang lancar berbicara tetapi kurang perbendaharaan kata, sukar berfikir abstrak, tapi masih dapat mengikuti pelajaran akademik. Usia 16 tahun baru mencapai usia kecerdasan usia 12 tahun, tetapi tidak berlaku untuk semua anak atau dengan arti kata kecerdasan anak tunagrahita ringan ini paling tinggi sama dengan kecerdasan anak normal usia 12 tahun.
Dengan demikian anak tunagrahita diusahakan akan merasa dijadikan sebagai teman dan orang tua sebagai sahabat untuk bertukar fikiran. Menciptakan suasana akrab sejak semula sehingga remaja akan merasa bahwa orang tuanya menyanyangi dan selalu berusaha menabantunya untuk bebas dari berbagai persoalan yang dihadapi. Sebaliknya anak tunagrahita akan menghadapi orang tua dan mau berterus terang serta terbuka membicarakan masalah dan belajar memahami kesulitannya.
Orang tua yang baik selalu akan mengawasi anak / remaja dan merasa bertanggung jawab penuh terhadap perkembangan anak tunagrahita. Sudah seharusnya orang tua masuk ke dalam dunia pikiran anak / remaja, menghayati apa yang terjadi sesuai dengan keadaan jiwa yang bergejolak, dan mampu menyelami perasaan remaja. Bila orang tua mampu membuat semua itu tanpa unsur tekanan dan pemaksaan kehendak, maka ia menjadi kesenangan dan ketertarikan remaja maka ia akan mampu menjadi orang tua yang di senangi oleh anak / remaja di rumah.
Mempersiapkan pendidikan anak tunagrahita bagi orang tua ada beberapa hal yang perlu diingat seperti; remaja itu memerlukan perhatian, kejujuran dari orang tuanya mengenai masalah yang mereka hadapi. Mereka mengharapkan bahwa orang tua setiap waktu membutuhkannya dan senantiasa siap untuk mendengarkan keluhan mereka dengan sabar dan tenang. Sikap-sikap yang demikian itu akan memberikan ketenangan dalam pergolakan jiwa yang mereka alami.
2. Sikap Remaja Terhadap Orang Tua Otoriter
Pertanyaan yang sering diajukan remaja mengenai hubungannya dengan orang tuanya adalah ‘mengapa orang tua kami tidak dapat memahami kami, atau mengapa orang tua selalu curiga pada kami, dan mengapa orang tua menganggap dirinya selalu benar?”. Untuk memahami pertanyaan tersebut perlu diusahakan adanya komunikasi antara remaja dengan orang tua yang memang tidak selalu lancar. Macetnya komunikasi sering terjadi karena sikap kedua belah pihak yang kurang akomodatif antar satu dengan yang lainnya.
Agar dapat mencapai kesehatan mental yang tinggi, maka remaja harus bisa mengenali jati dirinya sendiri. Remaja harus bertanggung jawab terhadap diri sendiri, dan rasa bertanggung jawab ini diperoleh sejak dini ketika mereka masih kecil.
Bila mengahadapi orang tua otoriter, maka remaja harus dapat menyikapinya. Beberapa saran yang perlu disikapi tersebut menurut Elida (1999) dapat berupa:
1. Remaja perlu menciptakan hubungan yang baik dengan orang tua. Konflik dengan orang tua bukanlah suatu yang dapat sama sekali dihindari. Namun yang dapat dilakukan seperti usahakan agar konflik tadi tidak menjerumus pada putusnya komunikasi, mendendam, apalagi perbuatan nekad yang merugikan.
2. Berusaha untuk mengerti posisi dan cara berpikir orang tua. Pada suatu posisi yang mungkin bias mengakibatkan jatuhnya martabat orang tua, diharapkan remaja mau mentoleransi dan berusaha memahami unsure positif dari tindakan yang dilakukan orang tua.
3. Jangan merasa menang sendiri. Bagi remaja jangan menjadikan orang uta dalam semua urusan dengannya sebagai ajang perlombaan yang akan menemukan pemenang. Dengan demikian posisi orang tua akan diusahakan menjadi teman berbicara, berdiskusi dan sebagainya.
4. Jangan pernah merasa ditekan oleh orang tua. Berusahalah berpikir positif bahwa apa yang dilakukan oleh orang tua itu adalah suatu yang terbaik dilakukan untuk anaknya. Sebab orang tua mana yang menginginkan anaknya celaka atau terjerumus ke jalan yang tidak baik.
5. Tidak terlalu memaksakan kehendak, apalagi menuntut sehingga menyudutkan orang tua dalam posisi yang sulit. Sebagai remaja kita harus memahami keadaan, kemampuan orang tua kita sehingga dengan sikap kita tidak akan mempermalukan orang tua kita di hadapan orang lain.
Jika dihubungan sikap yang perlu diperhatikan dalam menyikapi orang tua yang berlaku otoriter tersebut bagi remaja tunagrahita tidak lah mudah. Ketidak mudahan ini kebanyakan terletak pada sisi remaja tunagrhatita itu sendiri sebab dalam kehidupanya kebanyakan mereka masih sangat membutuhkan campur tangan orang tua. Berkenaan dengan sikap tersebut maka penekanannya adalah pada pihak orng tua janganlah berlarut dengan pemaksaan kehendak sehingga remaja runagrahita merasakan kegiatan yang dilaluinya sebagai kegiatan yang tak bermanfaat. Ini berlaku karena remaja tunagrahita kurang mampu memahami apa yang dipikirkan oleh orang lain, dan kebiasaanya suka mengikuti apa yang dingini orang lain tanpa berana berbuat banyak.

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dibicarakan didapat beberapa makna bahwa orang tua sangat mempengaruhi perkembangan seorang remajadan apalagi jika remaja tersebut menyandang tunagrahita. Sikap orang tua yang otoriter akan melahirkan remaja tunagrahita yang mempunyai sikap yang jauh berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Adapun sikap-sikap remaja yang timbul merupakan akibat dari sikap orang tua otoriter terhadap anak / remaja tunagrahita antara lain:
1. Remaja cenderung mempunyai sikap selalu mengalah dan menerima setiap keputusan yang menyangkut diri mereka peribadi. Kesan seperti ini adalah penurut namun dibalik semua itu remaja tunagrahita merasakan tertekan oleh sikap otoriter yang dilakukan orang tua.
2. Adanya rasa dendam pada diri remaja tunagrahita karena mereka tidak pernah bisa menyalurkan apa yang menjadi keinginannya. Hal ini akibat keterbatasan IQ sehingga rasa dendam berobah menjadi penyerangan terhadap orang lain atau menyakiti diri sendiri.
3. Remaja tunagrahita akan memiliki rasa tidak mampu dalam mengerjakan segala sesuatu atau dikatakan sebagai remaja yang tidak percaya dengan kemampuan sendiri.
4. Remaja tunagrahita mempunyai sikap tidak bertanggung jawab karena mereka merekaa selama ini hanya memenuhi keinginan dari orang tua mereka.
5. Adanya sikap sidak mempercayai orang lain diakibatkan karena mereka merasa semua orang juga akan bersikap memaksakan kehendak seperti halnya orang tua mereka.
B. Saran-saran
Usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi keotoriteran dari orang tua adalah :
1. Jangan sampai memaksakan kehendak terhadap anak atau remaja tunagrahita. Berikanlah kebebasan kepada remaja untuk menentukan apa yang akan mereka perbuat dengan catatan kebebasan yang kita berikan dapat dipertanggung jawabkan.
2. Bagi remaja tunagrahita sebaiknya dilatih untuk belajar memahami isi pikiran orang tuanya. Hilangkan berpikir negatif bahwa orang tua hanyalah merupakan penghalang bagi semua aktivitas yang dilakukannya.
3. Hilangkan perasaan tertekan atau terpaksa karena sikap orang tua yang bertentangan dengan keinginan kita, dan berusahalah untuk membicarakan dengan baik-baik.
4. Kepada orang tua diharapkan agar dapat saling memahami antara kinginan dan harapannya sesuai dengan kemampuan remaja yang menyandang kelainan tunagrahita.
DAFTAR PUSTAKA

Andi, Mappiare, (1982) Psikologi Remaja, Usaha Nasional; Surabaya

Depdikbud, (1994), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka

Elida Prayitno, at.all, (1999), Perkembangan Peserta Didik, FIP UNP; Padang

________, (1997), Psikologi Pendidikan, Padang, FIP IKIP

Gunarsa, Singgih D. (1990) Psikologi Remaja, PT. BPK, Gunung Mulia;Jakarta.

Hardman, L. Michael dkk, (1995). Human exceptionality. Third Edition, Allyn And Bacon, Boston- London-Sydney-Toronto.

Kirk, A. Samuel & James, J Gallagher, (1986). Exceptional Children. Alir bahasa. Moh. Amin & Ina Yusuf K, (1990), DNIKS. Jakarta.

Lynch James, (1994). Provision for Children with Special Educational Needs in the Asia Region. The word Bank, Washington, D.C.

Lynch Eleanor, W and Rena, B. Lewis, (1992). Exceptional Children And Adults. Scott, Foresman and Company, Glenview, Illionis Boston London.

Moh. Amin, (1995). Orthopedagogik Anak Tunagarahita. Depdikbud Dikti, Proyek pendidikan Tenaga Guru, Jakarta

Soekanto, soerjono, (1991) Mengenal dan Memahami Masalah Remaja, Pustaka Antara; Jakarta

MAKALAH

“REMAJA TUNAGRAHITA
DAN ORANG TUA YANG OTORITER”

DISUSUN OLEH:

DRS. JON EFENDI, M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR BIASA
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2000
KATA PENGANTAR

Di awali dengan Basmallah, makalah yang sederhana ini dapat penulis selesaikan. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi kredit point yang akan digunakan untuk kenaikan pangkat bagi penulis. Adapun makalah ini diberi judul “REMAJA TUNAGRAHITA DAN ORANG TUA OTORITER”
Makalah ini disajikan dalam bentuk : Bagian I berisi tentang latar belakang, permasalahan, serta manfaat penulisan. Bagian II berbicara landasan teori tentang pengertian remaja, pengertian orang tua, dan tipe-tipe orang tua. Bagian III membahas tentang permasalahan orang tua otoriter , pengeruh orang tua otoriter terhadap remaja, sikap orang tua mengahadapi remaja. Bagian IV merupakan kajian penutup dan saran-saran.
Penulis sangat menyadari, bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan baik dari segi isi, bahasa, maupun dalam bentuk penyajian. Maka dari pada itu penulis memohon maaf dan dengan segala senang hati kiranya ada kritikan-kritikan maupun saran dari pembaca demi penyempurnaanya. Semoga tulisan yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan khususnya bagi penulis sendiri.
Terakhir, penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah berkenan yang telah banyak membantu demi terselesaikannya tulisan ini. Semoga amal baik yang tulus ikhlas itu dapat dijadikan amal saleh baginya dan mendapat ridho dari Allah, Amiiinn.
Padang, Maret 2000
DAFTAR ISI

KATA PENGATAR ……………………………………………………………. i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………. ii
ABSTRAK …………………………………………………………………….. iii
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………… 1
B. Permasalahan …………………………………………………. 3
II PEMBAHASAN
A. Pengertian Remaja Tunagrahita …………………………… 4
B. Pengertian Orang Tua ……………..……………………….. 6
1. Tipe-tipe Orang Tua ………………………………………. 9
2. Orang Tua Otoriter ………………………………………… 13
C. Pengaruh Orang tua Otoriter Terhadap Remaja ….….….. 17
D. Bagaimana Orang Tua Bersikap Pada Remaja ………….. 24
1. Sikap Orang Tua Pada Remaja Tunagrahita …….…… 24
2. Sikap Remaja Tunagrahita Pada Orang Tua Otoriter . 27
III PENUTUP
B. Kesimpulan ……………………………………………………………. 30
C. Saran …………………………………………………………………… 31
Daftar Pustaka ………………………………………………………………… 32

“REMAJA TUNAGRAHITA
DAN ORANG TUA YANG OTORITER”

ABSTRAK

Dikala anak tunagrahita sudah mulai menginjak usia remaja, semua orang tua akan membantu mereka dalam semua kegiatan dan masalah yang dihadapinya. Bila orang tua bersikap otoriter dapat menimbulkan remaja tunagrahita yang cenderung pembangkang, suka berbuat sesuka hati, dan menimbulkan kejengkelan bagi orang-orang di sekitarnya. Orang tua yang bersikap otoriter mengutamakan kebutuhan mereka sendiri daripada kebutuhan anaknya.
Pengetahuan dan pemahaman orang tua terhadap kelainan yang di sandang anaknya sangatlah mendorong pola layanan pendidikan demi pertumbuhan anak.
Beberapa konsep orang tua terhadap anak tunagrahita dapat berupa anak idaman, pengalaman awal dengan anak mewarnai sikap orang tua, nilai budaya yang dianut, orang tua yang menyukai peran orang tua.

BIMBINGAN SOSIAL PSIKOLOGIS PADA ANAK TUNARUNGU Oleh: Drs. Jon Efendi, M.Pd

Februari 12, 2010

BIMBINGAN SOSIAL PSIKOLOGIS
PADA ANAK TUNARUNGU
Oleh: Drs. Jon Efendi, M.Pd

A. Pendahuluan
Anak tunarungu merupakan individu yang unik, yang memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda-beda. Setiap individu sama-sama memiliki potensi atau kekuatan yang dapat untuk dikembangkan demi untuk mencapai suatu keseimbangan, keserasian dalam menempuh hidup untuk berinteraksi dengan lingkungan, baik lingkungan di rumah, sekolah maupun masyarakat. Potensi-potensi yang dimilki dapat dikembangkan seoptimal mungkin dalam rangka mempersiapkan hidupnya di masa mendatang dengan penuh ketenangan dan kebahagian. Semuanya ini tentu tidak terlepas dari nilai-nilai pendidikan dan bimbingan Sebagaimana yang tersirat dalam UU.No.2.Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu “ bahwa Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan bagi peranannya dimasa akan datang”.
Semua unsur yang tercermin dalam Undang-Undang tersebut tidak hanya di berlakukan untuk anak-anak normal saja melain kan mencakup bagi anak luar biasa. Dalam hal ini bahwa anak tunarungu merupakan salah satu bagian dari anak luar biasa yang mengalami kecacatan fisik terutama pada pendengaran. Dengan adanya kecacatan pendengaran otomatis berpengaruh lansung terhadap kemampuan didalam berkomunikasi. Untuk itu perlu mendapatkan bimbingan, pengajaradan dan/atau latihan seperti anak normal lainnya
PP.No. 29/1990. Ps. 27. Menegaskan “ bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka upaya menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan “.
Selanjutnya dalam PP. No. 72 Tahun 1991, Bab II. Ps. 2 menjelaskan bahwa“Pendidikan luar biasa bertujuan membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan”

Memperhatikan ketiga pandangan di atas, diharapkan bagi anak tunarungu mampu memahami dan menemukan pribadinya (jati dirinya), mengenal kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri serta dapat menerima secara positif dan dinamis sebagai modal pengembangan lebih lanjut. Sebab secara nyata anak tunarungu perlu bersosialisasi dengan lingkungan, baik itu lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat luas.
Kadang kala dalam berinteraksi sosial terhadap lingkungan anak merasa dirinya terasing dari yang lain. Hal ini barang tentu merupakan dampak dari ketunarunguannya, karena berkomunikasi terhambat sehingga psikologi dan sosialnya berpengaruh, maka dalam bertingkah laku menunjukkan keangkuhan dan kesombongannya.
Untuk mengatasinya kita selaku pendidik dituntut untuk dapat menge-tahui dan memahami karakteristik dan membaca situasinya. Sebagaimana kompleknya permasalahan yang dimilikinya semua akan berpengaruh kepada tingkah laku ATR.
Meadow dalam Harris (1997) berpendapat: “ … Inventarisasi kepribadian dengan konsisten menunjukkan bahwa anak tunarungu mempunyai lebih banyak masalah penyesuaian dari anak-anak yang berpendengaran normal. Jika anak-anak tunarungu yang tanpa masalah-masalah nyata atau serius diteliti, mereka ternyata menunjukkan kekhasan akan kekakuan, , implusif dan keras kepala.

Kekakuan, egosentris, dan keras kepala ini merupakan bagian dari aspek psikologis dan sosial, semua ini akan muncul apabila anak tunarungu telah berinteraksi dengan lingkungan. Sehingga didalam menghadapi hidup ini anak tunarungu merasa asing dari lingkungan sosialnya. Ini disebabkan karena penyandang tunarungu kurang atau tidak dapat merespon perintah-perintah secara verbal yang meliputi kepada kekurangan dalam penguasaan bahasa sehingga fokus pemikirannya juga terbatas, sehingga semua ini dapat mengakibatkan kemunduran untuk bersoialisasi.
B. Permasalahan
Berdasarkan pemikiran-pemikiran yang telah diuraikan diatas maka penulis merumuskan permasalahan diataranya adalah “ Bagaimanakah upaya guru dan/atau konselor dalam mengembangkan aspek psikologis dan sosial anak tunarungu melalui layanan bimbingan?

C. Tujuan Pembahasan
Adapun dari tujuan pembahasan dari makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami bagaimana upaya guru dan/atau konselor di dalam melaksanakan proses pendidikan agar tidak terjadi penyimpangan dari aspek psikologis dan sosial yang lebih jauh, dan guru serta konselor diharapkan betul-betul bisa untuk mengetahui segala tindakan yang tercermin pada prilaku anak tunarungu tersebut.
D. Metode Pendekatan
Pembahasan bersifat komprehensif tentang konsep siswa tunarungu, serta konsep layanan bimbingan yang dapat di lakukan guna untuk mengembangkan aspek-aspek psikologis dan sosial anak tunarungu. Pembahasan ini berupaya menggali dengan menggunakan kajian pustaka, selanjutnya dirumuskan dalam bentuk uraian, serta masukan dari sejawat serta sekelumit persepsi yang ada pada penulis.
E. Pembahasan
1. Bimbingan psikologis dan sosial anak tunarungu
Dalam kehidupan sehari-hari kita mendengar banyak peristilahan yang muncul. Untuk anak yang mengalami kelainan pendengaran, ada yang mengatakan “Tuli, bisu, tunawicara, cacat dengar, kurang dengar ataupun tunarungu” Istilah-istilah dan pandangan tersebut tidaklah semuanya benar, sebab bila memperhatikan pengertian dari masing-masing kata menimbulkan pengertian yang kabur, dan tidak dapat menggambarkan kepada keadaan yang sebenarnya. Namun istilah yang lazim dipergunakan dalam pendidikan luar biasa adalah Tunarungu.
Peserta didik yang mengalami gangguan pendengaran , sering juga disebut dengan anak tunarungu. Ada dua macam pengertian atau definisi mengenai ketunarunguan sesuai dengan bidang garapan yang memandangnya, yaitu pengertian berdasarkan medis dan pengertian berdasarkan pedagogis.
Secara medis ketunarunguan berarti kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan fungsi dari sebagian atau seluruh alat/organ-organ pendengaran.
Sedangkan secara pedagogis ketunarunguan adalah kekurangan atau kehilangan pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam perkembangan, sehingga memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus. Kemudian Dwidjosomarto dalam Somad (1996) yang mengutip pendapat dari hasil seminar pada tahun 1988 di Bandung menyebutkan” bahwa tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai ransangan terutama melalui indera pendengaran.
Bila memperhatikan dari ketiga defenisi tersebut maka dapat di-simpulkan bahwa “tunarungu adalah mereka yang kekurangan atau kehilang pendengaran walaupun telah diberikan rangsangan tetapi tetap tidak dapat memahami atau menangkap reaksi yang ada, sehingga menghambat terhadap perkembangannya, dan dampaknya kepada kehidupan yang kompleks dengan demikian perlu layanan bimbingan dan pendidikan khusus.
Dampak terhadap kehidupannya secara kompleks mengandung arti bahwa akibat dari ketunarunguan dapat menghambat perkembangan-perkembangan anak tunarungu dalam melaksanakan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat menghambat terhadap perkembangan kepribadian secara keseluruhan misalnya aspek psikologis (inteligensinya), emosi dan sosialnya.
Yang perlu diperhatikan terhadap akibat ketunarunguan ialah hambatan dalam berkomunikasi. Sebab komunikasi adalah merupakan hal yang sangat penting di dalam menempuh kehidupan. Kenyataannya anak tunarungu tidak dapat menerima informasi melalui pendengaran, sehingga anak sulit untuk memahami bahasa yang di ucapkan oleh orang lain dan anak tunarungu tidak bisa berkomunikasi apabila tidak diberikan latihan dan bimbingan dalam berbahasa.
Dengan demikian karena pendengarannya kurang berfungsi sehingga ia mengalihkan pengamatannya melalui mata, maka anak tunarungu disebut dengan “insan pemata”. Dengan mata anak tunarungu dapat melihat bahasa lisan dan oral dan dapat melihat ekspresi wajah dari lawan bicara, guna untuk menangkap makna yang disampaikan oleh lawan bicaranya melalui gerak bibir.
2. Penyebab Ketunarunguan
Ketunarunguan seseorang bisa terjadi sebelum lahir yang disebut dengan prenatal, ketika lahir disebut dengan natal , dan setelah lahir disebut dengan posnatal. Namun didalam menyampaikan tentang penyebab anak tunarungu tergantung kepada kita dari mana kita memandang.
Trybus dalam Kirk dan Gallagher yang dialih bahasakan oleh Amin (1990) mengemukakan penyebab ketunarunguan antara lain:
1. Keturunan
2. Campak jerman dari pihak ibu
3. Komplikasi selama kehamilan dan kelahiran
4. Radang selaput otak (maningitis)
5. Otitis madia (radang pada telinga bagian tengah)
6. Penyakit anak-anak , radang dan luka-luka.
Sedangkan para ilmuwan dari pihak lain ada yang mengelompokan berdasarkan faktor-faktor penyebab ketunarunguan ,yaitu:
a. Faktor dalam diri anak
Faktor dari dalam diri anak dapat disebabkan oleh faktor keturunan dari salah satu atau kedua orang tua yang mengalami ketunarunguan. Banyak kondisi genetik yang berbeda sehingga mengakibatkan ketunarunguan. Dalam hal ini juga karena tranmisi antara gen dari kedua orang tua anak ada yang dominan dan ada pula yang resesif serta berhubungan dengan jenis kelamin. Meskipun ini merupakan pendapat umum tapi belum ada kepastian berapa persen yang disebabkan oleh keturtunan namun diperkirakan oleh Moores dalam Somad (1996) Ibu yang mengandung menderita penyakit campak jerman (rubella). Penyakit rubella pada masa kandungan tiga bulan pertama akan berpengaruh buruk pada janin. Sedangkan Hardy dalam Kirk dan Gallagher (1986) melaporkan 199 anak-anak yang ibunya terkena virus rubella selagi mengandung selam masa tahun 1964 sampai 1965, 50% dari anak-anak tersebut mengalami kelainan pendengaran. Rubellah dari pihak ibu merupakan penyebab yang paling umum yang dikenal sebagai penyebab ketunarunguan.
Ibu yang sedang mengandung menderita keracunan darah atau Toxaminia, hal ini bisa mengakibatkan kerusakan pada plasenta yang mempengaruhi terhadap pertumbuhan janin. Jika hal tersebut menyerang syaraf atau alat-alat pendengaran maka anak tersebut akan lahir dalam keadaan tunarungu.
b. Faktor luar diri anak
Anak mengalami infeksi pada saat lahir atau kelahiran. Misalnya, anak terserang Herpes Implex, jika infeksi ini menyerang kelamin ibu dapat menular kepada anak saat dilahirkan. Penyakit kelamin dapat ditularkan melalui virus. Penyakit-penyakit yang ditularkan bisa menimbulkan infeksi dan dapat menyebabkan kerusakan pada alat-alat syaraf pendengaran.
Menurut Kirk dan Gallagher (1986). yang telah mengutip pendapat Vermon (1968) menyatakan “bahwa meningitis atau radang selaput otak sebanyak 8,1%, Ries (1973), melaporkan 4,9%, sedang Trybus (1985) memberikan keterangan sebanyak 7,3%
Otitis Media (radang telinga bagian tengah), telinga berair ( nanah) dan nanah mengumpul dapat mengganggu hantaran bunyi .Jika kondisi ini kronis dan tidak segera diobati, bisa menimbulkan kehilangan pendengaran. Penyakit ini sering terjadi pada masa kanak-kanak sebelum mencapi usia 6 tahun. Ketunarunguannya bertipe konduktif, selain itu bisa karena infeksi pernapasan atau pilek dan penyakit anak-anak seperti campak.
Penyakit lain bisa disebabkan oleh kecelakaan yagn dapat menimbulkan benturan pada bagian kepala sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan pada alat pendengaran bagian tengah dan dalam.
3. Karakteristik Anak Tunarungu
Bila memperhatikan anak tunarungu secara fisik dibanding dengan anak normal lainnya secara umum tidak tampak perbedaanya, justru anak tunarungu tampil seperti orang biasa. Tetapi bila kita ajak betransaksi berbicara (komunikasi ) terlihat ada tampak suatu kejanggalan-kejanggalan pada dirinya, hal ini merupakan wujud nyata dari dampak ketunarunguan-nya. Dengan demikian bahwa anak tunarungu memiliki karakteristik yang khas diantaranya adalah sebagai berikut:
b. Karakteristik dari segi inteligensi
Pada umumnya anak tunarungu memiliki inteligensi normal atau rata-rata akan tetapi, semua perkembangan inteligensi juga dipengaruhi oleh perkembangan bahasa , maka tampaknya inteligensinya rendah disebabkan karena kesulitan dalam memahami bahasa. Perkembangan inteligensi anak tunarungu tidak sama cepatnya dengan mereka mendengar, karena dengan pendengaran ini lah yang dapat membuat mereka berfikir.
Rendahnya inteligensi anak tunarungu bukan disebabkan IQ poten-sialnya yang tidak berkembang, tetapi fungsinya kurang memperoleh kesempatan untuk berkembang. Aspek inteligensi yang terhambat hanya yang bersifat verbal, misalnya dalam memberikan makna, menarik kesimpulan dan meramalkan suatu kejadian.
b. Karakteristik dalam segi bahasa dan bicara
Perkembangan bahasa bicara anak tunarungu sampai saat meraban , tidak mengalami hambatan, karena merapan merupakan kegiatan alami, dalam upaya melatih pernapasan dan pita suara
Bahasa bagi anak tunarungu adalah merupakan alat berfikir dan sarana utama seseorang untuk berkomunikasi. Maka melalui mendengar mereka dilatih dan didik secara khusus. Dengan melalui latihan maka bahasa bicaranya diharapkan dapat berkembang. Kita memahami dengan ketidak mampuannya berbahasa dan bicara dibandingkan dengan anak normal sebayanya akan tampak mereka lebih tertinggal. Hal ini dapat disadari bahwa anak tunarungu walaupun sudah didik secara khusus banyak diantara mereka yang tetap ketinggalan 2 sampai 4 tahun dalam kemampuan membaca dan menulis jika hal ini kita banding dengan anak yang mendengar. Untuk kita mengharapkan dalam pengembangan komunikasi perlu tenaga pendidik dan bimbingan yang professional.
c. Karakteristik dalam segi emosi dan sosial
Dengan ketunarunguan dapat mengakibatkan kurang kepercayaan dirinya dan merasa asing dari masyarakat tempat mereka hidup, sehingga tampak adanya kekurangan dalam interaksi ocial dengan lingkungan tersebut. Dengan demikian semua ini mengakibatkan pada diri muncul adanya suatu keterasingan antara mereka dengan anak normal yang mendengar lainnya. Selain itu pada anak tunarungu punya pandangan yang negetif atau bertindak kurang menyenangkan terhadap lingkungan. Melihat gejala yang tampak ini akan dapat mempengaruhi kepada perkembangan kepribadian anak tunarungu. Untuk itu akan tampak pula efek-efek negatifnya diantara:
d. Egosentrisme yang melebihi anak normal
Daerah pengamatan anak tunarungu lebih kecil jika dibandingkan dengan anak yang mendengar, mereka hanya mampu menangkap dan memasukan sebagian kecil dunia luar ke dalam dirinya. Jadi makin sempit perhatiannya, dunia di luar hidupnya semakin menutup dan mempersempit kesadaran.
Bagi anak yang masih mempunyai sisa pendengaran, dan jika alat bantu pendengarannya dipakai sejak kecil maka akan dapat membantu memfungsikan sisa pendengaran yang ada. Sehingga didalam menepuh hidupnya dapat terjalin komunikasi dan interaksi sosial dengan masyrakat dilingkungannya.
Selain itu kita sangat menyadari bahwa penglihatan dan pengamatan anak tunarungu sangat besar peranannya, sehingga dalam perjalanan hidupnya mereka memiliki sifat “sangat ingin tahu” seolah-olah mereka selalu haus untuk melihat. Hal tersebut bisa juga terjadi pada orang yang mendengar, tetapi bagi anak tunarungu sifat tersebut lebih menonjol.
a. Mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas
Bagi orang normal yang mendengar dapat saja suatu saat dihinggapi perasaan takut akan kehidupan ini, tetapi bagi anak tunarungu lebih sering muncul perasaan tersebut. Semua ini dapat terjadi karena anak tunarungu sering merasa kurang menguasai keadaan yang ada hal ini di akibatkan karena pendengaran yang mengalami ganguan, sehing sering muncul pada dirinya kekuatiran yang lebih akhirnya dapat menimbulkan suatu ketakutan.
b. Ketergantungan tehadap orang lain.
Siakap ketergantungan terhadap orang lain atau terhadap apa yang sudah dikenalnya dengan baik, merupakan sikap bahwa mereka memiliki rasa keputusasaan dan selalu mencari bantuan dan perlindungan terhadap orang lain, maka di sini berarti anak tunarungu kurang percaya diri dan kurang yakin dengan apa yang telah dimiliki.
c. Perhatian yang sukar dialihkan
Suatu hal yang sering terjadi pada anak tunarungu baik disekolah maupun di lingkungan tempat mereka tinggal, apabila ia menyukai suatu benda, atau menyukai suatu jenis kegiatan yang berupa keterampilan maupun permainan bisa mereka melakukannya maka perhatiannya sulit untuk dialihkan. Anak tunarungu sukar diajak berfikir tentang hal-hal yang belum terjadi artinya anak tunarungu lebih miskin akan fantasi (abstrak).
e. Memiliki sifat polos, sederhana tanpa banyak masalah
Didalam hidupnya sehari-hari mereka seakan-akan tidak mempunyai beban biasanya dengan mudah menyampaikan perasaannya kepada orang lain tanpa berfikir dan mempertimbangkan atau memandang bermacam-macam segi yang mungkin menjadi penghalang. Hal ini bisa dipahami karena anak tunarungu tidak memilih alternatif lain karena anak tunarungu tidak menguasai suatu ungkapan dengan baik, bila itu tidak berkenan dalam hatinya maka anak tunarungu lansung menyampaikan walaupun perkataannya akan menyingung perasaan seseorang.
f..Mereka lebih mudah marah dan cepat tersinggung
Karena sering mengalami kekecewaan disebabkan karena kesukaran dalam menyampaikan fikiran perasaan kepada orang lain, hal ini diekspre-sikan dengan kemarahan. Mereka kadang kala berfikir bahwa setiap orang yang berbicara dihadapan mereka seakan-akan yang dibicarakan oleh orang lain tersebut adalah membicarakan dia, atau mengeledeknya.
Anak tidak akan tersinggung apabila mampu memahami, mengerti dan menguasai dirinya melalui bahasa yang dimilikinya luas. Artinya apa yang dibicarakan orang lain akan lebih mudah dia kuasai dan akan semakin mudah pula mereka berbicara. Akhirnya semua ini akan dapat menumbuhkan keyakinan di dalam menerima dirinya, dengan kata lain kepercayaan diri semakin tinggi, akhirnya akan menunjukkan kematangan dalam berprilaku (kepribadiannya).

BAB III.
PEMBAHASAN TENTANG UPAYA PENGEMBANGAN ASPEK PSIKOLOGIS DAN SOSIAL ANAK TUNARUNGU
MELALUI LAYANAN BIMBINGAN

A. Hakekat Dan Pengertian Bimbingan
Dalam rangka menjawab permasalahan yang telah dikemukakan pada bab pendahuluan tentang upaya guru dan/atau konselor untuk mengem-bangkan aspek psikologis dan sosial anak tunarungu melalui layanan bimbingan, maka dapat kita simak dan kita pahami apa itu sebenarnya konsep dari bimbingan.
Bimbing merupakan terjemahan dari “guidance”. Sesuai dengan istilah bimbingan dapat diartikan sebagai bantuan. Dalam bantuan ini adalah sesuatu yang membutuhkan syarat tertentu, prosedur tentu, pelaksanaannya tertentu sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat difinisi-difinisi tentang bimbingan yang telah disamapaikan oleh para pakar pendidikan.
Didifinisi yang mengarah kepada bimbingan di sekolah sebagaimana Mortensen dan Schmuller dalam Suheiri (1996) menyampaikan bahwa bimbingan adalah merupakan bagian dari program pendidikan yang membantu menyediakan kesempatan dan layanan dari staf khusus agar semua siswa dapat mengembangkan kecakapan dan kemampuan mereka sepenuhnya sesuai dengan arti konsep demokratis.
Shertzer & Stone dalam suheiri (1996) menyebutkan bahwa bimbingan itu suatu konsep, bimbingan merupakan, sebagai suatu upaya membantu individu suatu konstruk pendidikan, bimbingan mengacu kepada suatu bentuk pengalaman yang dapat membantu siswa untuk memahami diri sendiri, dan sebagai suatu program, bimbingan mengacu pada prosedur dan proses yang terorganisasi untuk mencapai tujuan pendidikan dan pribadi tertentu.
Natawidjaja ( 1988) menyebutkan pula bahwa bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara bersinambungan, supaya individu tersebut dapat memenuhi dirinya, sehingga ia sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarkat serta kehidupan pada umumnya. Dengan demikian , ia dapat mengecap kebahagian hidupnya dan dapat memberi sumbangan yang berarti kepada kehidupan masyarakat umumnya. Bimbingan membantu indivindu mencapai perkembangan diri secara optimal sebagai makhluk sosial.

Melihat kepada pengertian bimbingan yang telah disampaikan diatas dapat disimpulkan, bahwa “bimbingan untuk anak tunarungu adalah proses bantuan secara rutinitas dalam upaya mengoptimalisasikan sikap dan pribadinya sebagai makhluk sosial dalam rangka mahami diri sendiri, mengatasi bermacam kesulitan, mengambil keputusan,dan bisa bertindak sesuai dengan tuntutan lingkungan agar individu merasa bahagia di dalam melansungkan kehidupan di masa mendatang”. Dengan demikian secara lansung tersirat misi dari bimbingan adalah memahami, menerima mencegah dan mengembangkan pontensinya yang ada.
E. PENGEMBANGAN PSIKOLOGIS DAN SOSIAL ANAK TUNARUNGU
Dalam menuju dan mempersiapkan pribadi yang baik untuk dapat berinteraksi sosial dengan lingkungannya, maka pendidikan anak tunarungu perlu dilengkapi dengan program bimbingan yang dapat disesuaikan dengan kondisi masa depan. Guru atau konselor harus memiliki pengetahuan khusus guna untuk memahami permasalahan yang dihadapi anak tunarungu.
Dalam proses bimbingan terdapat tiga unsur pokok yang terlibat yaitu : guru bimbingan, siswa ( anak tunarungu), dan situasi bantuan. Ketiga unsur pokok ini sangat menentukan keberhasilan bantuan. Meskipun demikian diantara ketiganya kemampuan guru bimbingan adalah paling menentukan. Karena guru bimbingan perlu dibekali keterampilan-keterampilan dan sifat-sifat kepribadian yang menunjang kemampuannya dalam mencapai tujuan bimbingan. Supriadi (1997) mengemukakan bahwa kompetensi yang perlu dimiliki guru pembimbing antara lain: (1) mengetahui dan menerapkan teknik-teknik bimbingan, (2) keterampilan-keterampilan sosial yaitu mampu membina hubungan baik dengan siswa (empati, lemah lembut, hangat, penuh pngertian, dan penghargaan pada siswa). (3) kelincahan dalam mengum-pulkan data dan informasi yang diperlukan, untuk kemudian menafsirkan, (4) kemampuan menafsirkan isyarat yang ditujukan oleh siswa dalam proses bimbingan, (5) rendah hati, tetapi mempunyai kepercayaan pada diri sendiri, (6) jujur dan murni, tidak berpura-pura terhadap dirinya maupun siswanya dan mempunyai integritas diri. Sifat-sifat dan keterampilan tersebut dapat diperoleh melalui belajar (pendidikan atau pelatihan) dan pengalaman.
Untuk selanjutnya seorang petugas bimbingan atau pun guru, harus memiliki latar belakang pengetahuan mengenai dinamika tingkah laku anak tunarungu. Pengetahuan ini diperlukan untuk dapat memahami kepribadian setiap anak. Seorang guru harus menyadari bahwa efek dari masalah yang sekunder ketunarunguan lebih berat atau sukar ditangani dari pada ketunarunguannya.
Dalam pelaksanaan bimbingan untuk anak tunarungu seorang konselor harus mampu membangkitkan kepercayaan dirinya, berfikir baik dan berinteraksi sosial dengan lingkungan tempat di mana anak tinggal atau hidup, dengan demikian secara bertahap tentu kepribadiannya dapat dikembangkan, dan diharapkan dia mampu mengambil suatu keputusan, sehingga tidak dihinggapi oleh kecemasan yang berlebihan, kecurigaan yang tingi, serta anak tunarungu betul-betul dapat menerima dan mengerti batas-batas kemampuannya tanpa penyesalan atau rasa rendah diri.
Dengan adanya dampak ketunarunguan yang telah tercermin dalam karakteristik diungkapkan diatas, semuanya berpengaruh terhadap kelancaran berjalannya proses pendidikan. Untuk mengatasi tantangan tersebut ada empat prinsip sebagai pertimbangan untuk mensukseskan pendidikan anak tunarungu, Harris dkk (1997) dan kawanya dari Universitas Gallauded (1997) menyampaikan antara lain : (1) anak tunarungu diharapkan mampu mengakses bereneka ragam lingkungan pendidikan secara luas, (2) para siswa tunarungu diharapkan mampu mengakses semua layanan khusus yang diperlukan untuk pertumbuhan pendidikan normal, (3) siswa dan para orang tua diharapkan mampu mengakses secara bebas pilihan program pendidikan, dan (4) tingginya biaya pendidian anak tunarungu tidak semata-mata disebabkan oleh satu atau beberapa faktor melainkan kompleks.
Cohen et.al. dalam Harris dkk (1997) berpendapat bahwa tingkat kemampuan yang rendah anak tunarungu tidak disebabkan karena ketidak mampuan belajar mereka tapi lebih disebabkan adanya problem-problem dalam komunikasi antara guru dan siswa tunarungu. dan juga disebabkan ketakmampuan mereka mengakses/memahami bahasa dalam setting di kelas. Hal yang paling penting lagi bahwa anak-anak didik secara meinstreming (terintegrasi) harus mampu memahami bahasa yang ada di lingkungan.
Para pendidik diharapkan mampu memberikan bantuan pada anak tunarungu dengan mengarahkan mereka pada lembaga bimbingan sebagai bimbingan tambahan. Seorang konselor/ pendidik apabila menemui masalah-masalah atau kesulitan dalam hal kebahasaan atau komunikasi dengan anak tunarungu, maka ia dapat menggunakan jasa penterjemah bahasa anak tuanarungu.
Upaya pengembangan psikologis dan sosial anak tunarungu dapat pula dilakukan dalam bentuk bimbingan dan pelayanan yakni :
1. Full Inclusion (integrasi penuh) melalui Program mentoring.
Giongreco dalam Gloria D. dkk (1997), mengemukakan definisi Full Inclusion adalah sebagai suatu keberadaan di mana hanya terdapat satu kesatuan sistem pendidikan formal yang meliputi semua anggota (peserta didik) secara wajar tanpa memandang perbedaan status mereka. Dan selanjut ia menyebutkan dalam hal Individual with Disabilities Education Act tahun 1990 (IDEA) mengungkapkan bahwa sekolah harus mencoba mengajar anak-anak yang mengalami gan gguan (Anak Luar Biasa) di kelas-kelas pendidikan umum dengan dukungan dan pelayanan yang sesuai sebelum mereka dipertimbangkan untuk ditempatkan di lingkungan yang lebih terbatas. Di mana sebelum anak luar biasa (ALB) yang mengalami penyimpangan yang berarti dari teman-teman seusianya sering ditempatkan secara langsung pada kelas-kelas pendidikan khusus dan tidak dimasukkan ke dalam seting pendidikan umum.
Full Inclusion tidak diartikan bahwa semua siswa akan dididik dengan menggunakan metode pengajaran yang sama atau mengerjakan tugas-tugas untuk mencapai tujuan pendidikan yang sama (Stainback & Stainback, dalam Berhring dkk (1997). Full Inclusion berarti bahwa semua siswa akan diberikan program pendidikan yang layak yang direfleksikan pada kemampuan dan kebutuhan siswa dengan dukungan yang diperlukan untuk meningkatkan keberhasilan. Dukungan-dukungan yang penting ini bisa dalam bentuk pengajaran yang khusus, perlengkapan yang disesuaikan dan/atau personal-personal yang khusus. Agar Full inclusion berhasil, perlu adanya kerja sama (kolaborasi) antara guru pendidik umum, staf pendidikan khusus, dan konselor sekolah agar dapat memberikan program yang layak dan berarti bagi semua siswa (Horner dalam Berhring dkk ,1998).
Full inclusion harus dipandang sebagai suatu proses, dan proses ini menumbuhkan adanya individualisasi bagi setiap sekolah, siswa dan keluarga. IDEA secara jelas mengidentifikasikan pendidikan khusus sebagai suatu pelayanan bukan sebagai tempat.
Berarti pelayan yang diberikan oleh seorang konselor atau guru diharapkan dapat membangkitkan semangat hidup dalam mengambil sikap serta keputusan dengan penuh kesabaran dengan tidak mudah terpengaruh atau marah di dalam menghadapi lingkungan yang ada. Lingkungan hendaknya dapat memberikan respon-respon yang positif demi untuk pencegahan dari aspek psikologis maupun sosial. Melalui full incklusion merupakan alternatif pemecahan permasalahan dalam diri individu (Anak tunarungu). Dengan full inclusion kita memandang anak tunarungu sama dengan anak norma lainnya, tidak ada suatu jarak atau pemisahan antara anak normal dengan anak tunarungu.
Tujuan utama dari full inclusion adalah meningkatkan kompetensi anak tunarungu dalam hubungan dengan teman sebayanya. Yang menjadi tuntutan utama adalah keberhasilan penyesuaian sosial. Sedangkan manfaatnya dari integrasi penuh untuk masa depan antara lain:
• Anak Luar Biasa (anak tunarungu ) memperoleh peranan yang lebih normal
• Akan memudahkan mengarahkan ALB (anak tunarungu) untuk menunjukkan perilaku-perilaku yang lebih baik
• Bagi anak norma lainnya akan dapat memahami, sabar, dan meng-hargai perbedaan-perbedaan individual ALB (anak tunarungu) belajar menerima modifikasi aturan-aturan dalam PBM
Dengan memperoleh peranan yang lebih besar maka anak tunarungu akan merasa mampu memahami dirinya, menerima dirinya, mencegah dirinya dari permasalahan serta akan bisa mengembangkan potensi yang dimilikinya. Bila anak tunarungu sanggup mencegah dan mengembangkan potensi yang dimilikinya tersebut maka secara psikologis aspek sosialnya akan terbentuk dan terbina dengan baik. Untuk itu seorang konselor dalam memberikan pelayanan diharapkan dapat mengarah kepada apa yang diinginkan dan keputusan yang diambil tidak memaksakan kehendak dari konselor sendiri melainkan mengacu kepada keinginan yang sangat diharapkan individu sendiri.
Merujuk kepada pendapat di atas untuk anak tunarungu dalam upaya pengembangan aspek psikologis dan sosial maka bisa kita terapkan dengan sistem integrasi penuh. Kita menyadari bahwa pelayanan pendidikan bagi anak luar biasa ( anak tunarungu khususnya) di Indonesia selama ini masih mempergunakan sistem segregasi, hal ini sangat berpengaruh kepada prilaku individu sehingga dalam berinteraksi dengan lingkungan di luar dari lingkungannya ia merasa minder dan curiga. Kondisi demikian langkah yang perlu ditempuh melalui layanan sistem integrasi. Sebagaiman yang di-kemukakan oleh Pemerintah melalui keputusan Mendikbud. No. 002/0/1986, tanggal 4 Januari 1986 tentang pendidikan terpadu, bahwa semua anak Indonesia usia sekolah, baik yang tergolong normal maupun luar biasa memperoleh kesempatan pendidikan yang sama di sekolah. Dengan demikian layanan pendidikan perlu didiseminasikan di seluruh wilayah Indonesia.
Maka kecenderungan pelayanan pendidikan anak luar biasa (anak tunarungu) maka dapat di arah-kan kepada jenis layanan melalui sistem pendidikan Full inclusion, ini merupakan langka positif untuk pengem-bangan psikologis dan sosial dari dampak ketunarunguan.
Pelaksanaan layanan dalam pengembangan aspek psikologis dan sosial maka guru/ konselor dapat melakukan pertama, pelayanan bimbingan dilakukan melalui teman sebaya atau dengan sistem mentoring, semua ini akan membantu kita di dalam menangani dan memberikan layanan bagi anak tunarungu yang ada di sekolah terpadu. Dan kegiatan, ini akan efektif dan efisien dalam pelaksanaannya dan mentor tinggal memantau bagaimana pelaksanaan bimbingan tersebut.
Orang-orang yang dijadikan sebagai konselor adalah teman sebayanya baik anak normal maupun dengan teman yang memiliki latar belakang dan karakteristik yang sama, misalkan anak tunarungu yang memiliki gangguan pendengaran yang ringan.
Mentoring adalah suatu kegiatan hubungan manusia yang melibat-kan pemberian dorongan dan bimbingan terhadap pertumbuhan dan perkembangan pribadi. Seorang mentor bukanlah konselor profesional, orang tua, pekerja sosial, atau teman bermain, tetapi mentor adalah seorang teman dan orang kepercayaan. Sedangkan Langkah-langkah untuk memulai sebuah program mentoring, Preyer dalam Gloria D. dkk (1997), berpendapat bahwa aspek-aspek untuk memulai suatu program mentoring dapat dilakukan yaitu: (1) Libatkan sekolah secara keseluruhan; program mentoring harus melengkapi kegiatan akademik siswa yang reguler. Guru, konselor dan administrator merupakan sumber untuk menentukan siswa yang akan dilibatkan dalam program mentoring. Guru dapat memberikan masukan terhadap jenis program yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Konselor oreantasinya membantu memecahan masalah, dan dapat membantu mentor untuk berkomunikasi baik, sedangkan administrator terlibat dalam dan pemilihan mentor, dan dapat juga dilibatkan dalam kegiatan perencanaan sekolah, (2) Identitas dan pilihan staf program; dari setiap sekolah dapat menunjuk satu orang untuk mengkoordinasikan program ini dan menjadi nara sumber bagi siswa dan mentor, (3) Perbaiki tujuan program, tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan pencapaian akademik dan tingkah lakunya serta meningkatkan komunikasi, kehadiran, partisipasi dan keterampilan sosial (4) Menentukan target populasi, populasi yang menjadi target harus diidentifikasi dengan jelas sesuai dengan kriteria yang mau dilibatkan. Jumlah siswa tidak terlalu besar sehingga dapat ditangani dengan baik. (5) Mengembangkan kegiatan dan prosedur, membuat petunjuk tentang pertemuan kontak antara mentor dengan siswa. Pertemuan tersebut hendaknya sering, mungkin antara 1 s.d 3 perminggu, dan hubungan antara siswa dengan mentor perlu dievaluasi setelah 6 bulan dan kemudian bila ternyata berhasil hendaknya dilanjutkan. (6) Orentasi mentor dengan siswa, sebelum mentor bekerja dengan siswa, maka harus ada pelatihan bagi mereka. Dan sebelum dimulai siswa harus sadar akan proses mentoring dan paham terhadap peranannya. (7) Monitorlah keberhasilan mentoring, monitoring selama pelaksanaan program supaya jangan terjadi penyimpangan. Diadakan pertemuan secara teratur dengan mentor untuk mengemukakan permasalahan dan keberhasilan yang dicapai. Kemudian diadakan pertemuan dengan siswa guna untuk mengkonfirmasikan manfaat dari kegiatan ini, (8) Pengelolaan proses yang sesuai, mentor harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan empaty terhadap siswa saat mengidentifikasi dan memberikan bantuan.(9) Evaluasi keefektifan program, evaluasinya didasarkan pada informasi yang diperoleh sebelumnya, selama dan sesudahnya, serta akan dapat mengukur keefektivan program mentoring dan mungkin dapat memberikan saran untuk perubahan dan perbaikan di masa mendatang. Peranan mentor, sebelum memberikan gambaran tetang peranan-nya terutama kita harus memahami makna atau pengertian dari mentoring itu sendiri. Peranan dari mentor adalah untuk memberikan bimbingan, dukungan, dan dorongan kepada siswa dengan cara memberikan model terhadapa sejumlah keterampilan termasuk di dalamnya komunikasi yang efektif, empathy, perhatian terhadap orang lain dan kemaun untuk bersikap terbuka dan jujur. Seorang mentor adalah orang yang matang, nara sumber, menjadi tempt bergantung dan dapat menunjukkan nilai-nilai dan rasa hormat terhadap orang lain.
Ada beberapa kegiatan yang dapat dilakukan siswa dan mentor dalam kunjungan. Saran untuk komunikasi ( berbicara dan mebaca), kegiatan santai, dan pemberian dukungan akademik (misal tutorial) dengan program pengajaran dapat dideskripsikan sebagai berikut.
Berbicara: siswa dan mentor dapat bercakap-cakap sebagaimana halnya teman dan mengkomunikasikan tentang permasalahan tertentu, hobi, kegiatan sekolah dan lain-lain; Membaca: kunjungan ke perpustakaan atau pusat media merupakan kegiatan yang baik untuk dimaksudkan dalam kegiatan mentoring. Mentor dan siswa dapat saling bercerita tentang cerita yang mereka baca; Kegiatan santai: permaianan semacam catur, main kartu, dan sebagainya dapat menjadi pengalaman yang memperakrab siswa dan mentor; Tutoring: mentor dapat membantu siswa untuk mengerjakan tugas tertentu, atau hal-hal lain bersifat akademik; Kunjungan lapangan, mentor, siswa, orang tua, dan guru dapat melakukan kegiatan lapangan bersama ke tempat-tempat bersejarah atau kegiatan olah raga.
Beberapa keberatan dan pertimbangan akhir dalam penggunaan mentoring ini menyangkut dengan keterkaitan hukum dan kebijakan sekolah dalam menjelaskan kepada peserta program. Kerja sama dengan guru dan dukungan dari suatu kebijakan merupakan prioritas utama. Kebijakan tersebut antara lain: (1) Orang tua hendaknya diberi tahu tentang program mentoring yang akan melibatkan anaknya, (2) mentor hendaknya tidak memindahkan siswa tanpa izin sekolah dan orang tua.(3) kegiatan di luar sekolah dan di luar jam harus dibawah pengawasan petugas sekolah, (4) di sekolah harus mempunyai informasi yang lengkap tentang mentor,(5) Sekolah harus tetap menjaga kerahasian informasi tentang siswa.
Kedua ;Konsultasi dengan keluarga dan konselor harus bekerja sama dan berkomunikasi dengan para orang tua. Konselor dapat membagi imformasi tentang perkembangan anaknya pada saat pelaksanaan pendidikan yang telah dilakukan dengan sistem inclusion. Guru-guru umumnya telah dipersiapkan dengan strategi pengajaran, program perilaku sosial yang sesuai dalam penempatan untuk memudahkan penyesuian siswa, dan secara terus-menerus memonitor kemajuan siswa melalui team yang ada yakni konselor sekolah dan guru khusus.
Konsultasi antara guru bimbingan dengan tenaga pengajar dapat meningkatkan komunikasi antara mereka, asal dalam berkonsultasi hendaknya menghindari sikap serba tahu dan berusaha menciptakan hubungan-hubungan yang bersifat kerja sama, dengan mengakui sepenuhnya keahlian guru dalam bidang yang dikelolanya.
Dalam berkonsultasi dengan orang tua anak tunarungu, guru pem-bimbing harus ingat bahwa mereka sangat terlibat secara pribadi dalam topik pembicaraan, lebih-lebih bila anak menimbulkan suatu masalah bagi keluarga atau sekolah. Guru bimbingan harus berusaha menciptakan suasana komunikasi yang menyenangkan antara pribadi yang serasi. Orang tua harus merasa bebas untuk mengungkapkan fikiran dan perasaan mereka secara luas, tanpa merasa terancam atau kecemasan dari dirinya.

BAB III.
KESIMPULAN

1. Anak tunarungu adalah mereka yang kekurangan atau kehilangan pendengarannya walaupun telah diberikan ransangan tetapi tetap tidak dapat memahami atau menagkap reaksi yang ada, sehingga menghambat terhadap perkembangan dan dampaknya kepada kehidupan yang kompleks dengan demikian perlu layanan bimbingan dan pendidikan khusus.
2. Bimbingan untuk anak tunarungu adalah proses bantuan secara rutinitas dalam upaya mengoptimalisasikan sikap dan pribadinya sebagai makhluk sosial dalam rangka pemahami diri sendiri, mengatasi bermacam kesulitan, dapat mengambil keputusan,dan bisa bertindak sesuai dengan tuntutan lingkungan sehingga individu merasa bahagia di dalam melansungkan hidupnya dimasa mendatang.
2. Mentoring adalah suatu kegiatan hubungan manusia yang melibatkan pemberian dorongan dan bimbingan terhadap pertumbuhan dan perkembangan pribadi. Seorang mentor bukanlah konselor profesional, orang tua, pekerja sosial, atau teman bermain, tetapi mentor adalah seorang teman dan orang kepercayaan.
3. Dalam upaya pengembangan psikologis dan sosial anak tunarungu dapat di lakukan dengan pendekatan pelayanan pendidikan full inclusion melalui konselor teman sebaya, dengan sistem mentoring dan kita dapat mem-bantu anak tunarungu dalam mengoptimalisasikan dirinya demi tercapai keberhasilan baik akademik, pengembangan emosi maupun sosialisasi-nya serta dapat berinteraksi dengan lingkungan.
4. Full inclusion (interagsi penuh) adalah sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak tunarungu untuk dapat bersama-sama belajar di sekolah umum. Dalam pelaksanaan nati hanya ada satu lembaga yang berada dalam lembaga pendidikan anak normal dan antara yang tunarungu dengan anak normal tidak memiliki suatu pemisahan.
5. Peranan guru bimbingan di sekolah luar biasa bagi anak tunarungu disamping sebagai pemberi layanan bimbingan secara lansung kepada siswa juga berperan sebagai konsultan keluarga, serta harus mampu berkolaborasi dengan pihak yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Berhring, Shari Tarver, dkk. 1998. School Counselors and Full Inclusion For Children With Special Needs, Jurnal Professional School Counseling Volume 1 N0.3.p Pepruari . ASCA

Depdikbud. 1987. Pedoman Pelaksanaan Kurikulum SLB-B (Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan. Jakarta: Dikdasmen Depdikbud.

—————.1993. Himpunan Peraturan-Peraturan Bidang Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Depdikbud.

Gloria D. dkk. 1997. Using Mentoring to Improve Academic Programming for Afrika Amerika Male Youth Whith Mild Disabilities, Jurnal The School Counselor. Vol. 44

Harris, Leslie K. dkk. 1997. Counselling Needs Students Who Are Deaf and Hard Of Hearing, Jurnal The Scool Counselor, Maret. Vol.44

Kirk, Samuel A dan Gallagher, James J. (1990), Pendidikan Anak Luar Biasa III (Alih Bahasa: Moh. Amin dan Ina Yusuf Kusumah). Jakarta: DNIKS.

Natawidjaja, Rochman. 1988. Peranan Guru Dalam Bimbingan di Sekolah Bandung: Cv. Abardin.

Somad, Permanarian. 1996. Ortopedagogik Anak Tunarungu, Jakarta: Depdikbud.

Suhaeri HN.1996. Bimbingan Konseling Anak Luar Biasa. Jakarta: Depdikbud.

Supriadi, Dedi. 1997. Profesi Konseling dan Keguruan. Bandung: Bidang Studi Bimbingan dan Konseling Program Pascasarjana dan Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan FIP IKIP Bandung.

William L, Eeward dan Orlanski, Michel D. 1988. Exceptional Children, The Ohio State University. Colombus.

“PENGARUH OTORITERISASI BIMBINGAN ORANG TUA TERHADAP REMAJA TUNAGRAHITA”

Februari 12, 2010

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bagi semua remaja tunagrahita keberadaannya bagi orang tua merupakan suatu kewajiban dan kebutuhan yang mesti dipenuhi. Kebutuhan ini disebut juga sebagai kebutuhan primer. Cerminan kebutuhan tersebut dapat dilihat dari sikap remaja tunagrahita, sedangkan sikap orang tua dari remaja itu sendiri sangatlah menentukan dalam perkembangannya.
Dikala seorang anak tunagrahita sudah mulai menginjak usia remaja, semua sikap yang dimunculkan oleh orang tua yang memiliki penyandang tunagrahita takan membantu mereka dalam semua kegiatan dan masalah yang dihadapinya. Akan tetapi bila remaja mempunyai orang tua yang bersikap otoriter maka akan dapat menimbulkan remaja tunagrahita yang cenderung pembangkang, suka berbuat sesuka hati, dan menimbulkan kejengkelan bagi orang-orang di sekitarnya.
Pola sikap otoriter yang ditampilkan orang tua akan menciptakan rasa tidak senang akan menimbulkan masalah seperti; a) kurang percaya diri, b) menarik diri dari pergaulan, c) melakukan pemberontakan terhadap rasa ketidak senangan. Akhirnya banyak tindakan yang tidak disenangi oleh orang tua. Perilaku ini merupakan suatu dilema yang saling berkaitan satu sama lainnya, karena ia tidak dapat berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya interaksi sosial yang diharapkan berjalan dengan harmonis.
Pengetahuan dan pemahaman orang tua terhadap kelainan yang di sandang anaknya yang memiliki kelainan tunagrahita sangatlah mendorong pola layanan pendidikan demi pertumbuhan anak tunagrahita kelak. Sebab kesalahan yang dibuat orang tua yang sudah berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama akan dapat menghambat perkembangan kemampuan, serta pertumbuhan anak tunagrahita. Sehingga bisa menimbulkan berbagai rasa frustrasi, rasa berdosa dan berbagai tudingan yang tidak mampu dijawab sendiri oleh orang tua.
Sebagai manusia yang mengalami keterbatasan dalam berfikir, maka remaja tunagrahita akan banyak mengalami hambatan dalam setiap gerakan dan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Permasalahan akan bertambah runyam jika orang tua bersikap otoriter dan tidak berusaha untuk memahami kemampuan remaja tunagrahita. Dalam kehidupan sehari-hari remaja tunagrahita juga sama seperti remaja normal umumnya, namu mereka selalu berkaitan dengan keterbatasan intelektual dalam bertindak . Berdasarkan sebab itu maka orang tua semestinya arif menghadapi kenyataan tersebut. Bagaimana persoalannya jika orang tua selalu menuntut kemampuan pada anaknya yang menyandang kelainan tunagrahita tersebut. Apa saja persoalan yang akan muncul ?
Beberapa paradigma yang muncul deperti di atas tadi mendorong penulis untuk mengangkatnya sebagai suatu permasalahan yang perlu dicarikan solusinya sehingga antara orang tua dan remajanya yang menyandang tunagrahita dapat saling toleransi dan memahami satu sama lainnya. Berkenaan dengan itu maka tulisan ini berusaha mengetengahkan beberapa pengaruh sikap Otoriter Orang Tua terhadap Remaja Tunagrahita dan.
B. Permasalahan
Agar pembahasan dapat diuraikan sesuai dengan cerminan judul maka permasalahan akan dimunculkan dalam bentuk pertanyaan seperti di bawah ini. Apakah akibat dari sikap orang tua otoriter terhadap remaja tunagrahita ?

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Remaja Tunagrahita
Memberikan pengertian tentang remaja tidak mudah, sebab banyak tulisan yang memberikan pengertian tentang remaja, tergantung dari cara pandang atau sisi disiplin ilmu yang memberikan batasan pengertian tersebut. Beberapa cara pandang yang memberikan pergertian tersebut menurut Mappiare (1982) seperti; menurut pandangan hukum, berdasarkan ukuran fisik, menurut kesehatan, dan cara pandang sosial psikologi. Agar lebih rinci dapat dituliskan seperti dibawah ini.
1. Remaja menurut hukum
Berdasarkan pandangan hukum pengertian remaja tampaknya hanya pada Undang-undang perkawinan saja. Pada pasal 7 undang-undang no. 1/1974. Dipandang dari sisi perkawinan dicantumkan bahwa usia perkawinan minimal 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria.
2. Remaja ditinjau dari segi perkembangan fisik
Remaja menurut ilmu kedokteran dan ilmu lain yang terkait yaitu sebagai tahap perkembangan fisik dimana di tandai dengan adanya tanda-tanda kematangan fungsi seksual; untuk wanita setiap bulan akan mengalami menstruasi sebagai siklus yang mengeluar sel telur yang sudah siap untuk dibuahi meliwati batas masa subur sehingga akan keluar berupa darah haid. Sedangkan pada pria dapat berujud mimpi basah yang mengeluarkan sperma berupa tanda bedrfungsinya kelamin sekunder.
3. Remaja menurut WHO
Remaja adalah suatu pertumbuhan dan perkembangan, di mana; Individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa, Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.
4. Remaja ditinjau dari faktor sosial psikologi
Salah satu yang mencirikan remaja di samping tanda-tanda seksual adalah “ Perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa”. Puncak perkembangan jiwa itu ditandai dengan adanya proses perubahan dari kondisi ”entropy” ke kondisi “negentropy”.
Entropy adalah suatu keadaan di mana kesadaran manusia masih belum tersusun rapi. Selama masa remaja kondisi entropy ini akan tersusun secara bertahap, melalui pengarahan, distrukturkan kembali, sehingga lambat laun terjadi kondisi negatif entropy atau negentropy. Negentropy adalah suatu keadaan di mana kondisi kesadaran sudah tersusun baik, pengetahuan yang syah terkait dengan pengetahuan, dan hubungannya dengan perasaan atau sikap.
Berkaitan dengan pengertian remaja pada penyandang tunagrahita yakni adalah yang melingkupi penyandang tunagrahita yang berada pada taraf sudut pandang seperti di atas. Suatu masa keadaan anak tunagrahita berada pada masa remaja tersebut. Dengan demikian remaja tunagrahita tidak memiliki perbedaan dengan orang normal. Perbedaan yang perlu diperhatikan pada remaja tunagrahita yakni berupa keadaan kemampuan dasarnya yang sangat membedakan. Sebab jika pandangan terhadap remaja umumnya adalah pada pertumbuhannya yang normal. Namun lain bagi tunagrahita ia memiliki kekhasan tersendiri terutama dari segi intelektual yang rendah.
Pengertian remaja tunagrahita menurut kamus bahasa Indonesia (Balai Pustaka 1994) dapat berarti beralihnya perkembangan fisik seorang anak tunagrahita kepada keadaan mulai dewasa atau bukan kanak-kanak lagi. Dengan demikian mereka akan memiliki ciri-ciri yang berkenaan dengan keadaan fisik remaja.
B. Pengertian Orang Tua
Orang tua adalah orang-orang yang melengkapi budaya mempunyai tugas untuk mendefinisikan apa yang baik dan apa yang dinggap buruk. Sehingga anak akan merasa baik bila tingkah lakunya sesuai dengan norma tingkah laku yang diterima di masyarakat.
Pemahaman orang tua yang baik menurut Soekanto (1991) dengan beberapa yang mencirikannya seperti berikut::
1. melakukan berbagai hal untuk anak
2. merupakan tempat bergantung bagi anak
3. bersikap cukup permisif dan luwes
4. bersikap adil dan disiplin
5. menghargai anak tunagrahita sebagai individu
6. mampu menciptakan kehangatan bagi anak
7. mampu memberi contoh yang baik
8. bias menjadi kawan dan menemani anak tunagrahita dalam berbagai kegiatan
9. selalu bersikap baik
10. menunjukkan rasa kasih sayang pada anak
11. memiliki rasa empati terhadap perasaan anak
12. mendorong anak tunagrahita untuk bermain dengan temannya
13. berusaha membuat suasana damai
14. membantu kemandirian anak tunarungu
Sebaliknya tentang pandangan orang tua yang buruk menurut anak masih dalam Soekanto (1991) seperti berikut:
1. menghukum secara kasar dan tidak adil
2. menghalangi minat dan kegiatan anak
3. membentuk anak menurut pola yang baik
4. memberikan contoh yang buruk
5. mudah jengkel dan marah
6. sedikit rasa kasih saying terhadap anak
7. mudah marah bila anak membuat kesalahan tidak sengaja
8. kurang perhatian terhadap kegiatan anak
9. melarang anak bergaul dengan teman
10. bersikap jahat pada teman anak
11. menghukum dengan kasar
12. harapan terhadap anak tidak realistis
13. mengecam dan menyalahkan anak bila gagal
14. membuat suasana rumah tegang atau tidak menyenangkan
Berdasarkan beberapa karakter di atas maka orang tua dapat dikatakan sebagai orang yang memegang peranan penting dalam perkembangan seseorang anak. Juga tidak terlepas terhadap pandangan orang tua pada penyandang tunagrahita. Dengan demikian orang tua anak tunagrahita juga mempunyai peran yang sama dengan orang tua pada umumnya. Namun bagi orang tua yang memiliki anak tunagrahita umumnya mereka lebih membutuhkan perhatian yang lebih ketat terhadap perkembangan anak tunagrahita. Hal ini diasumsikan karena anak tunagrahita mempunyai perkembangan dan pertumbuhan yang jauh berbeda dengan anak normal. Hal ini jelas seperti definisi anak tunagrahita yang ditulis oleh beberapa pakar pendidikan luar biasa seperti berikut.
Difinisi American Association on Mental Retardation (AAMR) berlatar belakang profesi, di antaranya medis, hukum, dan pendidikan, yang mengatakan seperti berikut:
…mental retardation refers to significantly subaverage general intelectual functioning existing concurrently with deficits in adaptive behavior, and manifested during the developmental period (Grossman, 1983 dalam Hardman, L. Michael 1990:90)

Makna tersebut terdiri atas tiga komponen utama yaitu; Intelligence, adaptive behavior, and the developmental period. Kemampuan inteligensi, berdasarkan rata-rata tes IQ normal adalah 100, sedangkan untuk anak terbelakang mental menunjukan angka tes IQ di bawah 100. Definisi anak tunagrahita menurut American Association on Mental Deficiency (AAMD) sebagai berikut.
…mental retardation refers to significantly subaverage general intellectual functioning resulting in or associated with concurrent impairments in adaptive behavior manifested during the develompemntal period (Grossman, 1983 dalam Linch, W.Eleanor. 1992:99)

In this definition “significantly subaverage general intellectual functioning” refers to an IQ of 70 or below on a standardized tes of intelligence such as the Stanford-Binet Intelligence Scales for Children or one of the Wecshler intelligence scales. (Terman & Merrill, 1973) or one of the Wechsler intelligence scales. This score represents performance that is two standard deviations below the mean, or average score, on these tests. The AAMD Manual states that an IQ of 70 should be viewed only as a guideline; in some school placement decicions it minght be extended upward to 70. (Linch, W. Eleanor. 1992:99)

Senada dengan definisi yang dikemukakan di atas, Amin (1995:18) menyatakan seperti berikut.
Anak terbelakang mental atau anak tunagrahita adalah mereka yang kecerdasannya jelas berada di bawah rata-rata. Mereka mengalami keterbelakangan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan, kurang cakap dalam memikirkan hal-hal yang bersifat abstrak, yang sulit dan berbelit-belit. Mereka memerlukan layanan pendidikan secara khusus agar mereka dapat berkembang optimal.
Robert P. Ingals (1978:5) dalam Amin (1995:20) memberi sebutan bagi anak tunagrahita sebagai berikut: Mental retardation, mental defiency, mentally defective, mentally handicaped, feeblemindedness, mental subnormality, amentia and oligophrenia. Istilah yang sering dipakai di Indonesia adalah terbelakang mental dan tunagrahita. Berkaitan dengan kondisi remaja, maka remaja bagi penyandang tunagrahita menunjukan cirri-ciri pertumbuhan secara fisik hamper sama dengan kondisi remaja pada umumnya. Tetapi dari segi perkembangan mereka memiliki gambaran kemampuan segi intelektual yang jauh tertinggal jika dibandingkan dengan perkembangan remaja pada umumnya. Perkembangan mereka umumnya masih seteraf dengan perkembangan masa kanak-kanak.
1. Orang Tua Otoriter
Cara-cara mengasuh anak dalam masyarakat merupakan awal kehidupan bermasyarakat. Pengasuhan secara otoritas ditentukan oleh sekelompok orang yang membentuk superioritas atas kelompok yang lain. Kelompok ini sekaligus menerima tanggung jawab untuk menetapkan pola-pola perilaku dalam kelompok orang yang dianggap lebih rendah tingkatnya. Pola ini dikenal sebagai pola atasan – bawahan yang dianut oleh sitem militer. Pelestarian hubungan dengan pola atasan – bawahan ini ditetapkan dalam hubungan antara orang tua dan anak. Biasanya pihak orang tua yang menggariskan keputusan-keputusan tentang perilaku yang harus dituruti oleh anaknya.
Perilaku orang tua dalam hubungan seperti di atas, ia senantiasa berada dalam posisi sebagai arsitek. Mereka dengan teliti memutuskan bagaimana seharusnya tiap anak berbuat. Mereka memberikan hadiah atau hukuman agar perintahnya ditaati. Melalui pemberian hadiah orang tua akan mengkomunikasikan suatu pesan yang jelas kepada anaknya. Sedangkan pemberian hukuman menunjukkan ketiadaan sikap menghargai anak.
Kebiasaan ini mengakibatkan, tugas dan kewajiban orang tua menjadi tidak sulit. Para orang tua tinggal menentukan apa yang mereka ingin yang harus dikerjakan atau yang tidak boleh dilakukan anak. Ancaman hukuman diterapkan untuk melarang atau janji hadiah untuk mendorong agar anak mematuhi. Pendekatan seperti ini terbukti sangat berhasil. Sebagian orang tua melaporkan bahwa anak –anak mereka bersikap kooperatif. Hal ini menjadikan acuan kenyataan yang menunjukkan bahwa anak mereka persis seperti apa yang diinginkan oleh orang tuanya. Kerjasama di sini diartikan bahwa anak tunagrahita melakukan perbuatan sesuai dengan yang diperintahkan.
Selama masyarakat otokratis masih kokoh dalam artian di sini adalah orang tua, maka pendekatan mengasuh anak semacam ini sangatlah efektif. Generasi orang tua mempelajari teknik mengasuh anak berdasarkan contoh yang terdekat. Generasi di atas merupakan patron. Anak mencontoh orang tua, dan orang tua meniru ibu bapak mereka, begitu seterusnya berlangsung kelapis-lapis yang lebih tua.
Banyak tulisan berupa buku-buku, artikel, bahkah diseminarkan dalam kuliah di kampus tentang cara mendidik anak. Namun hal itu tidak mungkin dapat segera diterapkan, karena orang tua belajar secara alamiah tentang cara mengasuh. Sehingga keadaan demikian berada dalam status quo, sampai seluruh situasi yang mengepung orang tua berangsur mulai berubah.
Sekarang ini orang tua tidak lagi dihadapkan pada masalah kesulitan dalam membesarkan anak. Anak–anak sekarang ini dilahirkan di zaman yang demokratis, yang berlawanan sekali dengan sistim yang dianut oleh para orang tua. Pada kenyataannya menunjukkan penerapan prinsip mengasuh anak bagi kedua system ini, dan sulit dibandingkan secara paralel. Pemakaian metode dalam mendidikan anak bagi orang tua dapat berupa otoriter, permisif, ataupun yang demokratis semuanya akan bergantung pada cara mereka sendiri dibesarkan. Sebagiannya lagi akan menjalankan berdasarkan apa yang dialaminya, ataupun pengetahuan yang mempengaruhinya.
Semua sikap yang ditampilkan oleh orang tua merupakan hasil belajar. Banyak faktor yang ikut menentukan sikap apa yang akan dipelajari orang tua? menurut Soerjono (1991) yang paling umum adalah sebagai berikut:
1. Konsep “anak idaman” yang terbentuk sebelum kelahiran anak sangat diwarnai dengan romantisme, didasarkan atas gambaran anak ideal bagi orang tua itu. Bila anak gagal memenuhi harapan orang tua maka ia akan merasa kecewa dan mulai bersikap menolak.
Kegagalan seperti yang dicemaskan di atas akan banyak dialami oleh anak, dengan demikan orang tua tidak akan terpenuhi keinginannya dan akan selalu merasa kecewa atas kemampuan anak.
2. Pengalaman awal dengan anak mewarnai sikap orang tua terhadap anaknya sendiri. Dapat diarti sebagai dua kemungkinan pengalaman yakni pengalaman baik dan pengalaman buruk.
3. Nilai budaya mengenai cara terbaik memperlakukan anak, secara otoriter, permisif, dan demokratis akan mempengaruhi sikap orang tua dan cara mereka memperlakukan anak mereka sendiri.
Cara-cara terbaik yang mungkin cocok bagi anak yang inteligensinya normal jika akan diterapkan bagi anak tunagrahita maka ia tidaklah segera sesuai, sebab kemungkinan bila suatu cara dianggap baik untuk anak normal namun bagi anak tunagrahita belum tentu akan berlaku baik.
4. Orang tua yang menyukai peran orang tua. Mereka akan merasa bahagia, dan mempunyai penyesuaian yang baik terhadap perkawinan, mempunyai sikap yang mencerminkan penyesuaian yang baik ini terhadap anak mereka.
Orang tua yang bersikap otoriter mengutamakan kebutuhan mereka sendiri dahulu daripada kebutuhan anaknya. Mereka seringkali menganggap bahwa diri mereka tidak pernah berbuat kekeliruan. Maka sama sekali mereka tidak dapat berbuat salah atau dihalang-halangi. Karena itu orang tua yang otoriter cenderung untuk merintangi kesempatan-kesempatan anak untuk ikut serta dalam interaksi dengan orang lain. Orang tua otoriter akan membangun suatu lingkaran setan, dari rasa permusuhan, balasan di dalam hubungan orang tua dan anak. Orang tua yang bersikap keras ini juga mempunyai lebih banyak konflik dengan anak mereka.
Jika dilihat dari segi pendidikan, maka orang tua yang bersikap otoriter ingin sekali agar anaknya dapat mencapai prestasi yang tinggi di sekolah. Mereka ingin sekali membantu perkembangan intelektual dan sosial anak mereka secara tulus dan iklas. Tetapi orang tua selalu mempunyai hambatan jika ternyata anaknya mengalami gangguan ketunagrahitaan. Keinginan yang kuat dari orang tua agar anaknya dapat menjadi berprestasi, akan tetapi orang tua tidak berbuat sesuatu yang efektif dalam mendorong anaknya belajar. Hal inilah merupakan ketimpangan yang menonjol jika orang tua terbatas pengetahuannya dan mempunyai konflik dalam memotivasi. Ternyata orang tua ini mencampuradukan antar keinginannya dengan keinginan anak remajanya dalam pendidikan.
Orang tua yang mencari kepuasan pribadi melalui anak sangat mengganggu pendidikan anak, dan banyak orang tua yang tidak merasa puas dan tentram dalam menerima atau memahami kemampuan anaknya sendiri. Paksaan-paklsaan agar anak menampilkan prestasi belajar yang ingin dicapai oleh orang tua mereka sangat mungkin mengaggu emosi anak. Terutama bagi anak tunagrahita dimana mereka jelas banyak mengalami hambatan karena faktor inteligensinya yang rendah. Dengan demikian sikap otoriter orang tua akan menjadi bumerang sendiri bagi orang tuanya jika ia terlalu banyak berharap terhadap kemampuan anak tunagrahita.
2. Tipe-tipe Orang Tua
Perbedaan tipe-tipe orang tua dapat dikelompokkan dalam suatu skala. Skala yang dimaksudkan adalah beberapa cara yang dilakukan oleh orang tua tentang bagaimana mereka mendorong pengambilan keputusan secara bebas terhadap bimbingan dan mendidik anaknya .
Beberapa cara yang mungkin dilakukan tersebut menurut Soerjono (1991) dapat dilakukan hal di bawah ini.
1. Orang tua yang melindungi secara berlebihan
Perlindungan orang tua yang berlebihan mencakup pengasuhan dan pengenalan anak terlalu berlebihan. Hal seperti ini akan menimbulkan sikap ketergantungan bagi diri remaja tunagrahita yang berlebihan pula, sehingga rentang ketergantungan pada orang lain akan lebih lama pula dan dapat membuat kurangnya rasa percaya diri bagi remaja.
2. Permisivitas orang tua
Orang tua akan memberikan kebahagiaan penuh pada anaknya untuk berbuat. Sikap permisivitas pada orang tua akan terlihat pada orang tua yang membiarkan anaknya untuk berbuat sesuka hati, dengan memberikan sedikit kekangan. Sikap demikian akan mampu menciptakan situasi rumah tangga yang “berpusat pada anak”. Jika sikap permisif ini tidak berlebihan, ia akan mampu mendorong anak untuk menjadi cerdik, mandiri dalam kebutuhan pribadi, penyesuaian sosial yang baik, mampu menumbuhkan rasa percaya diri, daya kreativitas, dan kematangan sikap.
3. Memanjakan anak
Sikap memanjakan akan menimbulkan sikap egois, suka menuntut, dan memaksakan kehendak pada anak. Mereka menuntut perhatian dan pelayanan dari orang alain, perilaku yang menyebabkan penyesuaian sosial yang buruk di rumah dan luar rumah.
4. Penolakan
Penolakan dapat dinyatakan dengan mengabaikan kesejahteraan anak atau dengan menuntut terlalu banyak dan sikap permusuhan yang lebih terbuka. Disini orang tua membuat semua keputusan dan anak tunagrahita tidak boleh bertanya. Sikap demikian akan memunculkan rasa dendam, perasaan tak berdaya, frustrasi, perilaku gugup, dan sikap bermusuhan dengan orang lain, terutama bagi mereka yang lemah dan kecil. Inilah yang disebut dengan orang tua yang bersifat autokratis atau otoriter.
5. Penerimaan
Sikap penerimaan bagi orang tua ditandai dengan adanya perhatian besar dan kasih sayang pada anak. Orang tua yang menerima akan memperhatikan perkembangan kemampuan, dan memperhitungkan minat anak. Orang tua akan mendorong anak untuk membicarakan apa yang diinginkan. Anak yang diterima umumnya mampu bersosialisasi dengan baik, bersikap kooperatif, berlaku ramah, bergaul loyal, secara emosional stabil dan gembira.
6. Dominasi
Anak yang didominasi oleh salah satu orang tua, akan mampu bersikap jujur, sopan, dan berhati-hati. Tetapi anak ini cenderung pemalu, patuh, dan mudah dipengaruhi orang lain, mengalah, dan sangat sensitive. Pada anak yang didominasi sering akan berkembang rasa rendah diri dan perasaan menjadi korban keinginan orang tua yang tidak mampu dicapainya.
7. Tunduk pada anak
Orang tua yang tunduk pada anaknya akan membiarkan anak mendominasi mereka. Di sini orang tua akan membiarkan anak untuk mencari jalannya sendiri. Anak akan suka memerintah orang tua dan akan menunjukkan sedikit rasa tenggang rasa, penghargaan, atau loyalitas pada mereka. Anak akan belajar untuk menentang semua yang berwenang dan mencoba mendomninasi orang di luar lingkungan rumah.
8. Favoritisme
Meskipun mereka berkata bahwa mereka mencintai semua anak dengan sama rata, kebanyakan orang tua mempunyai favorit tersendiri. Sikap yang seperti ini akan membuat mereka lebih menuntut dan mencintai anak yang difavoritkannya dari pada anak yang lain dalam keluarga tersebut. Anak yang disenangi cenderung memperlihatkan sisi baik pada orang tua mereka tetapi agresif dan dominan dalam hubungan dengan kakak atau adik mereka.
9. Ambisi Orang Tua
Hampir semua orang tua mempunyai ambisi terhadap anak mereka. Ambisi tersebut sering kali sangat tinggi sehingga tidak realistis. Ambisi orang tua ini sering dipengaruhi oleh tidak tercapainya atau hasrat orang tua supaya anak mereka naik status sosialnya. Bila anak tidak dapat memenuhi ambisi orang tua, anak cenderung terlihat bersikap bermusuhan, tidak bertanggung jawab, dan berprestasi di bawah kemampuan. Keadaan ini akan lebih parah bila anak memiliki perasaan tidak mampu yang sering diwarnai perasaan dijadikan orang yang dikorbankan akibat kritik orang tua terhadap rendahnya prestasi mereka.
C. Pengaruh Orang Tua Otoriter Terhadap Remaja
Ketika seseorang anak mulai tumbuh dan berkembang menjadi remaja maka, orang tua mempunyai peranan yang sangat besar sekali terhadap perkembangan diri seseorang remaja. Hal ini disebabkan karena orang tua memiliki banyak waktu untuk mengenal perilaku anaknya dan orang tua yang paling dekat dengan remaja. Hampir sebagian besar waktu remaja bersama dengan orang tua, sebab waktu di sekolah sebatas jam belajar, selain itu waktunya banyak dihabiskan di rumah bersama orang tuanya.
Perkembangan dan pertumbuhan anak menuju remaja tentu Sangat berbeda jika seorang remaja tersebut menyandang kelainan tunagrahita. Semuanya akan berubah dengan perkembangan remaja pada umumnya, walaupun secara fisik pertumbuhannya hampir bersamaan. Kebanyakan akan muncul berbagai reaksi dan sikap dari orang tua yang mungkin kurang menerima kekurangan yang dimiliki anaknya.
Sikap orang tua terhadap remaja akan sangat mempengaruhi bagaimana seorang remaja itu bersikap dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Orang tua yang bersikap otoriter menyukai hal-hal yang jelas dan tidak ambiguous. Jadi setiap hukuman atau disiplin tidak dicarikan dengan kelembutan, penerimaan, dan alasan. Tingkah laku orang tua ini dapat menciptakan kondisi berikut; a) suatu konsep diri yang menekankan bagi anak tunagrahita, b) bahwa dia sangat kurang dapat diterima, berperilaku dan bertampang buruk, c) dan tindakannya tidak di setujui oleh orang tua atau juga oleh orang-orang lainnya.
Respon-respon dari remaja yang orang tuanya bersikap otoriter adalah lebih intens dibandingkan dengan respon-respon dari remaja yang orang tuanya tidak otoriter. Karena rasa frustrasi dari konsep dirinya yang sedang berkembang, bingung, dan umumnya berorientasi negatif ditambahkan kepada tingkat dorongan yang biasa. Remaja seperti itu biasanya mengembangkan pengharapan terhadap hukuman yang digeneralisasikan secara meluas dalam situasi yang baru. Akibatnya pada diri remaja akan timbul suatu kecemasan dan kegelisahan. Jika dibiarkan berlarut tentu akan mempengaruhi hasil belajar, daya kosentrasi, dan emosi yang mungkin dapat mengarah pada penyerangan. Perilaku yang akan uncul dapat menjadikan remaja egois, mengurung diri, introvert dalam pergaulan, dan memiliki percaya diri yang rendah. Hal semacam ini jika terjadio pada remaja tunagrahita maka akan membuat ia tidak mampu berkembang , mandiri tanpa adanya campur tangan orng lain. Dengan demikian dalam memperlakukan remaja tunagrahita perlu diperhatikan karakteristik individu dan dengan pendekatan yang benar-benar dirasakan sesuai dengan keinginan kedua belah pihak. Madang sebagai orang tua kita sering lupa bahwa antara perkembangan dan pertumbuhan bagi remaja tunagrahita tidaklah berjalan seirama. Biasanya ciri-ciri pertumbuhan secara fisik ebih menonjol dari pada perkembangan secara kualitas atau kematangan berfikir.
Standar-standar tinggi yang tidak realistis dari orang tua yang tidak dapat dipenuhi ditambah dengan hukuman yang sangat menyulitkan pada pertahanan diri. Bagi orang tua yang memiliki remaja tunagrahita perlu membatasi diri dan berusaha untuk memahami keadaan remaja sehingga remaja memahami bahwa orang tuanya masih memperhatikannya, masih menyayanginya. Dengan demikian orang tua berusaha menjauhkan sikap angker, tidak bersahabat, berperasaan dingin yang pada akhirnya membuat remaja tunagrahita merasa bahwa dia masih diperhatikan oleh orang tua. Setiap hukuman yang diberikan diharapkan akan membangun pengertian bahwa “orang tua menghukum adalah demi kebaikannya” tidak menghukum dengan membabi buta tanpa memperdulikan hak-ahak anak tunagrahita untuk membela diri atau memberikan alasan yang mungkin masih dapat diterima.
Jika kebutuhan dan harapan-harapan remaja tunagrahita semuanya dibatasi dan dikekang, akibatnya akan tumbuh rasa kebencian dan kemarahan yang dapat merugikan orang lain yang berada dilingkungannya. Sikap menarik diri dari pergaulan, dengan terman sebaya, kurang percaya diri, sehingga jika dilihat sepintas seperttinya remaja tersebut sebagai remaja pemalu. Remaja tunagrahita akan selalu dihantui rasa takut memulai suatu pekerjaan karena takut gagal dan berbagai bayangan ancaman yang akan diterimanya bila ia melakukan kegagalan dalam pekerjaan, takut dikritik, dan akan menerima hukuman. Walupun sebenarnya dia mampu seperti remaja lainnya yang memiliki kepercayaan diri yang besar.
Jadi seorang remaja tunagrahita dari lingkungan otoriter akan mempunyai kapasitas yang berlebihan seperti; a) prasangka terhadap dirinya sendiri, b) introvert yang berlebihan, c) lemah dan banyak tergantung pada orang lain bahkan cenderung penakut.
Sebuah struktur keluarga yang otoriter dapat membuat timbulnya perasaan tidak aman , infirioritas, perasaan-perasaan seperti tidak berharga, karena otoritasnya sebagai remaja dipadamkan oleh kekuasaan otoriter orang tua. Perasaan-perasaan tertekan seperti di atas akan membuat suatu efek ketidak mampuan konsep diri seorang remaja tunagrahita tidak mungkin akan terwujud.
Remaja yang berasal dari orang tua otoriter mempunyai pengalaman-pengalaman yang lebih banyak bersama orang tua. Dimana ia selalu mengalah atau berusaha menyesuaikan diri dengan menekan semua kemauannya. Ia akan tumbuh sebagai remaja yang tidak memiliki kepercayaan diri dan mudah terombang ambing dalam suatu situasi yang semestinya dia harus berbuat dan memutuskan dengan bijaksana. Atau sikap tersebut akan berbalik menjadi orang penyerang, tidak mudah mempercayai orang lain, dan tidak berani berpendapat. Semua sikap tersebut bila tumbuh dan mempribadi bagi seorang remaja tunagrahita akan berakibat merugikannya upaya kemandirian dalam kehidupan bermasyarakat seperti layakanya masyarakat normal.
Beberapa ketegangan benar-benar terjadi dari waktu ke waktu di antara kembanyakan remaja dan orang tua mereka, karena remaja tersebut mencoba untuk tumbuh menjadi dewasa. Banyak dari remaja mempergunakan pengalaman yang baru mereka tumukan dan mereka anggap baik. Pada umumnya semua orang tua menginginkan remaja mampu memperlihatkan kematangan, berpikir sehat dan kritis, mandiri dalam semua urusan. Kemampuan tersebut berada dalam batas-batas kemampuan yang bisa diatasi sendiri. Namun sebaliknya beberapa orang tua tidak bisa memahami dengan mudah terhadap apa yang sedang berkembangan dan banyak di alami oleh remaja. Sehingga mereka berbuat dan menciptakan kegiatan tersendiri sebagai suatu tantangan kehidupan yang sulit dan belum bias dilakukan remaja.
Orang tua terlalu ketat mengekang dapat menyebabkan seorang anak tunagrahita muda mencari kebebasan tersendiri sesuai dengan kemampuannya. Kemungkinan yang lebih cenderung terjerumus pada perbuatan kenakalan remaja, hasutan orang lain, dimanfaatkan orang lain untuk kejahatan dan mungkin akan menggelandang akibat orng lain tidak memahaminya.
Bagi seorang remaja yang pertumbuhannya normal maka akan timbal kesulitan hubungan antar orang tua dengan remaja. Hal ini akan menjadi bertambah bila remaja mendeteksi bahwa orang tualah penyebab kegagalannya. Orang tua dianggap sebagai tidak mempunyai ketulusan dan kejujuran dalam menerapkan peraturan-peraturan. Orang tua terlalu mengharapkan terhadap suatu kemampuan yang tidak mungkin dicapai remajatunagrahita. Hal demikian akan semakin mempersulit keberadaan remaja tunagrahita di tengah rumah. Terlalu banyak peraturan dan kegiatan super ketat yang harus diikuti remaja hingga membuat ia jenuh dan berontak. Bagi remaja tunagrahita wujud pemberontakan akan lebih banyak ditampilkan sebagai akibat dari ketidak mampuan berfikir. Akhirnya mereka lebih banyak menuntut pemahaman dari orang tua atas ketidak mampuan tersebut.
Tidak semua apa yang diharapkan oleh orang tua juga merupakan harapan bagi remaja. Khususnya bagi remaja tunagrahita mereka masih sangat perlu bimbingan dan arahan yang sangat membutuhkan perhatian orang lain. Sebab sebagai manusia yang mulai berkembang ke arah pemikiran yang ingin menikmati hidup dengan jalannya sendiri maka ia cenderung menganggap apa yang diingini orang lain tersebut mengekang kebebasannya dalam bertindak dan berpikir.
Peraturan yang dibuat oleh orang tua ditera sebagai peraturan sepihak dan tidak bermanfaat bagi dirinya dan akan mengekang kebebasannya. Maka peraturan yang hendaknya diciptakan orang tua hendaklah ditentukan atas dasar keinginan dan kemauan yang dapat ditoleransi oleh remaja. Sehingga remaja yang mempunyai konflik dan persoalan yang tidak mampu dipecahkannya akan dapat dijadikan sebagai suatu diskusi yang sangat bernilai bagi remaja. Pada akhirnya antara orang tua dan remaja tunagrahita dapat berjalan sesuai dengan keinginkan kedua belah pihak tanpa mengorbankan anak.
Beberapa situasi yang mungkin muncul akibat terjadinya konflik antara remaja dan orang tua menurut Gunarsa (1990) seperti berikut:
1. putus komunikasi, orang tua dan remaja saling mendiamkan dengan perasaan tidak enak terhadap satu sama lain.
2. kedua pihak mengambil sikap konfrontatif, perang mulut, saling menyakiti, membongkar permasalahan lama, dan lain sebaginya.
3. remaja mengambil tindakan nekan yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain.
4. menghukum diri sendiri dan melepaskan pada diri sendiri (pelarian pada narkoba, ngebut di jalan, minuman keras, pergaulan bebas dan sebagainya).
5. Menghukum orang tua dengan berbagai cara agar orang tua menjadi kapok, misalnya kabur dari rumah.
Berdasarkan gambaran beberapa situasi yang akan dapat muncul bagi remaja bila ia merasa tidak mendapatkan ketentraman di rumah. Maka selayaknya orang tua berusaha memahaminya dan mengetahui permasalah dengan objektif tanpa menyudutkan rfemaja. Sebagai orang tua kita masih dapat mengajak remaja untuk berdiskusi dengan baik serta berusaha mencarikan solusi terbaik bagi mereka . Dengan demikian remaja tunagrahita memandang orang tua tidak sebagai polisi di rumah, yang siap menghukum dan menghakimi bila mereka bersalah atau gagal pada suatu pekerjaan. Sebaliknya remaja tunagrahita akan merasakan bahwa ia dibutuhkan dalam keluarga tanpa merasa khawatir untuk membicarakan semua persoalan yang dihadapinya. Dengan demikian ia mulai memiliki rasa percaya diri.
D. Bagaimana Seharusnya Orang Tua dan Remaja Bersikap
1. Sikap Orang Tua Terhadap Remaja Penyandang Tunagrahita
Sejak anak dilahirkan, dirawat dan tumbuh berkembang menjadi remaja, orang tua sangat berperan penting dalam pendidikan dan mengarahkan perkembangan anaknya. Sebagai orang tua harus memiliki kesadaran akan tanggung jawab dalam mendidik anak. Orang tua hendaknya memberikan kasih sayang yang cukup kepada anak. Berdasarkan penelitian dikatakan bahwa anak yang kurang merasakan kasih sayang, mereka akan kesulitan dan mengalami gangguan dalam perkembangan kepribadian. Sebaliknya orang tua harus berusaha untuk mengenalkan kepada anak sesuai dengan kenyataan apa adanya, berusaha mengajarkan apa yang benar dan apa yang salah, mengembangkan pengetahuan, sikap, moral dan etika sesuai dengan perkembangan yang dialami anak.
Berberapa kecendrungan yang terjadi pada beberapa orang tua untuk mendidik anaknya sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Namun sebaliknya ada juga gaya mendidik anaknya dengan membiarkan saja tanpa berusaha untuk memahami anak tunagrahita, pada akhirnya anak tunagrahita berkembang juga ke arah yang tidak baik serta tidak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
Berberapa usaha yang memungkinkan dapat dilakukan adalah dengan melalui proses bimbingan berupa dialog, diskusi, dan kegiatan menganalisis serta mempertimbangkan semua persoalan dengan melibatkan anak tunagrahita secara proaktif. Usaha orang tua yang tidak kalah pentingnya dilakukan orang tua adalah dengan mengenali kemampuan, karakter yang dimiliki anak tunagrahita. Untuk itu beberapa ahli pendidikan luar biasa mengemukakan karakter sepertiberikut.
Bloom, (1974) dalam Kirk dan Gallagher (1990: 88) menyebutkan:
Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam perhatian, terbatas dalam penyesuaian sosial, terbatas dalam perkembangan bahasa, mudah tertarik perhatian atau hiperaktif, sering terlibat dalam kegiatan yang tak produktif (berkelahi, meninggalkan tempat duduk untuk bersosialisasi).
Polloway, Epstein dan Cullinan (1985) dalam Kirk dan Gallagher (1990: 89) menyebutkan berdasarkan hasil penelitian.
Murid-murid cacat mental menunjukkan lebih banyak masalah kekurangan perhatian dibanding teman seusianya yang tidak cacat. Mereka cenderung menarik diri, acuh tak acuh, mudah bingung dan mempunyai waktu perhatian yang lebih pendek.

Karakteristik anak tunagrahita ringan di antaranya banyak yang lancar berbicara tetapi kurang perbendaharaan kata, sukar berfikir abstrak, tapi masih dapat mengikuti pelajaran akademik. Usia 16 tahun baru mencapai usia kecerdasan usia 12 tahun, tetapi tidak berlaku untuk semua anak atau dengan arti kata kecerdasan anak tunagrahita ringan ini paling tinggi sama dengan kecerdasan anak normal usia 12 tahun.
Dengan demikian anak tunagrahita diusahakan akan merasa dijadikan sebagai teman dan orang tua sebagai sahabat untuk bertukar fikiran. Menciptakan suasana akrab sejak semula sehingga remaja akan merasa bahwa orang tuanya menyanyangi dan selalu berusaha menabantunya untuk bebas dari berbagai persoalan yang dihadapi. Sebaliknya anak tunagrahita akan menghadapi orang tua dan mau berterus terang serta terbuka membicarakan masalah dan belajar memahami kesulitannya.
Orang tua yang baik selalu akan mengawasi anak / remaja dan merasa bertanggung jawab penuh terhadap perkembangan anak tunagrahita. Sudah seharusnya orang tua masuk ke dalam dunia pikiran anak / remaja, menghayati apa yang terjadi sesuai dengan keadaan jiwa yang bergejolak, dan mampu menyelami perasaan remaja. Bila orang tua mampu membuat semua itu tanpa unsur tekanan dan pemaksaan kehendak, maka ia menjadi kesenangan dan ketertarikan remaja maka ia akan mampu menjadi orang tua yang di senangi oleh anak / remaja di rumah.
Mempersiapkan pendidikan anak tunagrahita bagi orang tua ada beberapa hal yang perlu diingat seperti; 1) Remaja itu memerlukan perhatian, kejujuran dari orang tuanya mengenai masalah yang mereka hadapi, 2) Mereka mengharapkan bahwa orang tua setiap waktu membutuhkannya dan senantiasa siap untuk mendengarkan keluhan mereka dengan sabar dan tenang, 3) Sikap-sikap yang demikian itu akan memberikan ketenangan dalam pergolakan jiwa yang mereka alami.
2. Sikap Remaja Terhadap Orang Tua Otoriter
Pertanyaan yang sering diajukan remaja mengenai hubungannya dengan orang tuanya adalah “mengapa orang tua kami tidak dapat memahami kami, atau mengapa orang tua selalu curiga pada kami, dan mengapa orang tua menganggap dirinya selalu benar?” Untuk memahami pertanyaan tersebut perlu diusahakan adanya komunikasi antara remaja dengan orang tua yang memang tidak selalu lancar. Macetnya komunikasi sering terjadi karena sikap kedua belah pihak yang kurang akomodatif antar satu dengan yang lainnya.
Bila mengahadapi orang tua otoriter, maka remaja harus dapat menyikapinya. Beberapa saran yang perlu disikapi tersebut menurut Elida (1999) dapat berupa:
1. Remaja perlu menciptakan hubungan yang baik dengan orang tua. Konflik dengan orang tua bukanlah suatu yang dapat sama sekali dihindari. Namun yang dapat dilakukan seperti usahakan agar konflik tadi tidak menjerumus pada putusnya komunikasi, mendendam, apalagi perbuatan nekad yang merugikan.
2. Berusaha untuk mengerti posisi dan cara berpikir orang tua. Pada suatu posisi yang mungkin bias mengakibatkan jatuhnya martabat orang tua, diharapkan remaja mau mentoleransi dan berusaha memahami unsure positif dari tindakan yang dilakukan orang tua.
3. Jangan merasa menang sendiri. Bagi remaja jangan menjadikan orang uta dalam semua urusan dengannya sebagai ajang perlombaan yang akan menemukan pemenang. Dengan demikian posisi orang tua akan diusahakan menjadi teman berbicara, berdiskusi dan sebagainya.
4. Jangan pernah merasa ditekan oleh orang tua. Berusahalah berpikir positif bahwa apa yang dilakukan oleh orang tua itu adalah suatu yang terbaik dilakukan untuk anaknya. Sebab orang tua mana yang menginginkan anaknya celaka atau terjerumus ke jalan yang tidak baik.
5. Tidak terlalu memaksakan kehendak, apalagi menuntut sehingga menyudutkan orang tua dalam posisi yang sulit. Sebagai remaja kita harus memahami keadaan, kemampuan orang tua kita sehingga dengan sikap kita tidak akan mempermalukan orang tua kita di hadapan orang lain.

Jika dihubungan sikap yang perlu diperhatikan dalam menyikapi orang tua yang berlaku otoriter tersebut bagi remaja tunagrahita tidak lah mudah. Ketidak mudahan ini kebanyakan terletak pada sisi remaja tunagrhatita itu sendiri sebab dalam kehidupanya kebanyakan mereka masih sangat membutuhkan campur tangan orang tua. Berkenaan dengan sikap tersebut maka penekanannya adalah pada pihak orng tua janganlah berlarut dengan pemaksaan kehendak sehingga remaja runagrahita merasakan kegiatan yang dilaluinya sebagai kegiatan yang tak bermanfaat. Ini berlaku karena remaja tunagrahita kurang mampu memahami apa yang dipikirkan oleh orang lain, dan kebiasaanya suka mengikuti apa yang dingini orang lain tanpa berana berbuat banyak.

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dibicarakan didapat beberapa makna bahwa orang tua sangat mempengaruhi perkembangan seorang remajadan apalagi jika remaja tersebut menyandang tunagrahita. Sikap orang tua yang otoriter akan melahirkan remaja tunagrahita yang mempunyai sikap yang jauh berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Adapun sikap-sikap remaja yang timbul merupakan akibat dari sikap orang tua otoriter terhadap anak / remaja tunagrahita antara lain:
1. Remaja cenderung mempunyai sikap selalu mengalah dan menerima setiap keputusan yang menyangkut diri mereka peribadi. Kesan seperti ini adalah penurut namun dibalik semua itu remaja tunagrahita merasakan tertekan oleh sikap otoriter yang dilakukan orang tua.
2. Adanya rasa dendam pada diri remaja tunagrahita karena mereka tidak pernah bisa menyalurkan apa yang menjadi keinginannya. Hal ini akibat keterbatasan IQ sehingga rasa dendam berobah menjadi penyerangan terhadap orang lain atau menyakiti diri sendiri.
3. Remaja tunagrahita akan memiliki rasa tidak mampu dalam mengerjakan segala sesuatu atau dikatakan sebagai remaja yang tidak percaya dengan kemampuan sendiri.
4. Remaja tunagrahita mempunyai sikap tidak bertanggung jawab karena mereka mereka selama ini hanya memenuhi keinginan dari orang tua mereka.
5. Adanya sikap sidak mempercayai orang lain diakibatkan karena mereka merasa semua orang juga akan bersikap memaksakan kehendak seperti halnya orang tua mereka.
B. Saran-saran
Usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi keotoriteran dari orang tua adalah :
1. Jangan sampai memaksakan kehendak terhadap anak atau remaja tunagrahita. Berikanlah kebebasan kepada remaja untuk menentukan apa yang akan mereka perbuat dengan catatan kebebasan yang kita berikan dapat dipertanggung jawabkan.
2. Bagi remaja tunagrahita sebaiknya dilatih untuk belajar memahami isi pikiran orang tuanya. Hilangkan berpikir negatif bahwa orang tua hanyalah merupakan penghalang bagi semua aktivitas yang dilakukannya.
3. Hilangkan perasaan tertekan atau terpaksa karena sikap orang tua yang bertentangan dengan keinginan kita, dan berusahalah untuk membicarakan dengan baik-baik.
4. Kepada orang tua diharapkan agar dapat saling memahami antara kinginan dan harapannya sesuai dengan kemampuan remaja yang menyandang kelainan tunagrahita.

DAFTAR PUSTAKA

Andi, Mappiare, (1982) Psikologi Remaja, Usaha Nasional; Surabaya

Depdikbud, (1994), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka

Elida Prayitno, at.all, (1999), Perkembangan Peserta Didik, FIP UNP; Padang

________, (1997), Psikologi Pendidikan, Padang, FIP IKIP

Gunarsa, Singgih D. (1990) Psikologi Remaja, PT. BPK, Gunung Mulia;Jakarta.

Hardman, L. Michael dkk, (1995). Human exceptionality. Third Edition, Allyn And Bacon, Boston- London-Sydney-Toronto.

Kirk, A. Samuel & James, J Gallagher, (1986). Exceptional Children. Alir bahasa. Moh. Amin & Ina Yusuf K, (1990), DNIKS. Jakarta.

Lynch James, (1994). Provision for Children with Special Educational Needs in the Asia Region. The word Bank, Washington, D.C.

Lynch Eleanor, W and Rena, B. Lewis, (1992). Exceptional Children And Adults. Scott, Foresman and Company, Glenview, Illionis Boston London.

Moh. Amin, (1995). Orthopedagogik Anak Tunagarahita. Depdikbud Dikti, Proyek pendidikan Tenaga Guru, Jakarta

Soekanto, soerjono, (1991) Mengenal dan Memahami Masalah Remaja, Pustaka Antara; Jakarta

“PENGARUH OTORITERISASI BIMBINGAN
ORANG TUA TERHADAP REMAJA TUNAGRAHITA”

MAKALAH
Disajikan Pada Seminar Internasional Pendidikan
dalam Pendekatan Budaya Indonesia – Malaysia

DISUSUN OLEH:

DRS. JON EFENDI, M.Pd
Dosen PLB FIP Universitas Negeri Padang

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI PADANG
DENGAN
FAKULTI PENGAJIAN PENDIDIKAN UNIVERSITI PUTRA MALAYSIA
Di UNP Padang Sumatera Barat, 12 s/d 13 Februari 2009

KATA PENGANTAR

Di awali dengan Basmallah, makalah yang sederhana ini dapat penulis selesaikan. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi kredit point yang akan digunakan untuk kenaikan pangkat bagi penulis. Adapun makalah ini diberi judul “Pengaruh Otoriterisasi Bimbingan Orang Tua Terhadap Remaja Tunagrahita”
Makalah ini disajikan dalam bentuk : Bagian I berisi tentang latar belakang, permasalahan, serta manfaat penulisan. Bagian II berbicara landasan teori tentang pengertian remaja, pengertian orang tua, dan tipe-tipe orang tua. Bagian III membahas tentang permasalahan orang tua otoriter , pengeruh orang tua otoriter terhadap remaja, sikap orang tua mengahadapi remaja. Bagian IV merupakan kajian penutup dan saran.
Penulis sangat menyadari, bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan baik dari segi isi, bahasa, maupun dalam bentuk penyajian. Maka dari pada itu penulis memohon maaf dan dengan segala senang hati kiranya ada kritikan-kritikan maupun saran dari pembaca demi penyempurnaanya. Semoga tulisan yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan khususnya bagi penulis sendiri.
Terakhir, penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah berkenan yang telah banyak membantu demi terselesaikannya tulisan ini. Semoga amal baik yang tulus ikhlas itu dapat dijadikan amal saleh baginya dan mendapat ridho dari Allah, Amiiinn.
Padang, Maret 2009

DAFTAR ISI

ABSTRAK …………………………………………………………….. i
KATA PENGATAR ……………………………………………………. ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………… iii
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………….. 1
B. Permasalahan ………………………………………… 3
II PEMBAHASAN
A. Pengertian Remaja Tunagrahita …………………… 4
B. Pengertian Orang Tua ……………………………… 5
1. Orang Tua Otoriter ………………………………… 9
2. Tipe-tipe Orang Tua ………………………………. 14
C. Pengaruh Orang tua Otoriter Terhadap Remaja ….. 17
D. Bagaimana Orang Tua Bersikap Pada Remaja …… 24
1. Sikap Orang Tua Pada Remaja Tunagrahita …… 24
2. Sikap Remaja Tunagrahita Pada Orang Tua Otoriter 27
III PENUTUP
B. Kesimpulan …………………………………………………….. 29
C. Saran ……………………………………………………………. 30
Daftar Pustaka …………………………………………………………. 32

“PENGARUH OTORITERISASI BIMBINGAN ORANG TUA
TERHADAP REMAJA TUNAGRAHITA”

ABSTRAK

Dikala seorang anak tunagrahita sudah mulai menginjak usia remaja, semua orang tua akan membantu mereka dalam semua kegiatan dan masalah yang dihadapinya. Bila orang tua bersikap otoriter dapat menimbulkan remaja tunagrahita yang cenderung pembangkang, suka berbuat sesuka hati, dan menimbulkan kejengkelan bagi orang-orang di sekitarnya. Orang tua yang bersikap otoriter mengutamakan kebutuhan mereka sendiri daripada kebutuhan anaknya. Padahal peritan laku yang muncul pada remaja tunagrahita sangat ditentukan oleh berat atau ringannya tingakat kecerdasan yang dimiliki remaja tersebut.
Pengetahuan dan pemahaman orang tua terhadap kelainan yang di sandang anaknya sangatlah mendorong pola layanan pendidikan demii pertumbuhan anak.
Beberapa konsep orang tua terhadap remaja tunagrahita dapat berupa anak idaman, pengalaman awal dengan anak mewarnai sikap orang tua, nilai budaya yang dianut, orang tua yang menyukai peran anaknya.

BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

Februari 12, 2010

BAB I
PENGERTIAN BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
MENURUT BEBERAPA TEORI

A. Pendahuluan

Bagian ini membahas tentang pengertiaan belajar dan pembelajaran menurut beberapa aliran dan teori. Bila anda mempelajari isi bab ini dengan baik anda diha-rapkan memiliki kemampuan sebagai berikut.
1. Mampu menjelaskan arti teori belajar, perbedaan dan persamaan teori-teori belajar behavioristik, kognitif, humanistik, sibernisik gestalt dan sosial berkenaan dengan
a. Makna belajar
b. Proses belajar
c. Kekuatan dan kelemahan
2. Dapat memberikan contoh konkrit penerapan setiap teori belajar di dalam melak-sanakan pembelajaran

B. Teori Belajar
Teori belajar adalah teori yang pragmatik dan eklektif, teori dengan sifat de-mikian ini hampir dipastikan tidak pernah mempunyai sifat ekstrim, tidak ada teori belajar yang secara ekstrim khusus menekankan kepada aspek siswa, guru, kurikulum saja.
Titik fokus yang menjadi pusat perhatian suatu teori selalu ada. Ada yang le-bih mementingkan proses belajar, ada pula yang lebih mementingkan sistem informasi yang diolah dalam proses belajar. Namun faktor–faktor lain di luar titik fokus itu selalu diperhatikan dan diperlukan untuk menjelaskan seluruh persoalan belajar yang dibahas.
Konsekwensi lain, taksonomi (penggolongan) teori–teori tentang belajar sering kali bervariasi antara penulis satu dengan lainnya, ada yang mengelompokkan teori belajar menurut berbagai aliran psikologi yang mempengaruhi teori–teori tersebut, ada pula yang mengelompokkannya menurut titik fokus dari teori–teori tersebut, bahkan ada juga yang menggolong–golongkan teori belajar menurut nama–nama ahli yang mengembangkan teori–teori itu. Pada prinsipnya tidaklah penting taksonomi mana yang akan kita ikuti, yang penting kita menyadari bahwa sebuah taksonomi adalah tak lebih dari suatu usaha untuk menyederhanakan permasalahan serta mempermudah pembahasannya. Untuk mempermudah pemahaman kita, dibagian akhir dari bab ini akan disajikan ringkasan isi/rangkuman dari pembahasan teori belajar yang akan dijelaskan berikut ini. Dalam ringkasan tersebut diberikan deskripsi tentang aplikasi setiap teori di dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas.
Secara umum semua teori belajar dapat kita kelompokan menjadi enam go-longan atau aliran, yaitu aliran tingkah laku, (Behavioristik), kognitif, humanistik, gestalt, dan sosial, Sibernetik. Aliran behavioristik (tingkah laku) menekankan kepada proses belajar aliran humanistik menekankan kepada isi “atau apa yang dipelajari aliran psikologi gestal menekankan kepada pemahaman menyeluruh yang berstruktur bukan terpisah–pisah sedangkan Aliran sibernetik menekankan kepada “sistem in-formasi” yang dipelajari, semuanya aliran di atas menekankan kepada proses belajar iru sendiri.
Aliran sibernetik menekankan kepada “sistem informasi” yang dipelajari, un-tuk memahami lebih jauh marilah kita kaji teori ini satu persatu.

C. Pengertian Belajar Menurut Teori
1 Aliran Behavioristik/Tingkah Laku
Beberapa teori belajar dari psikologi behavioristik dikemukakan oleh beberapa pakar psikologi behavioristik. Mereka ini sering Contemporasi behavioristik yang dikenal dengan S—R Psikologis. Mereka berpendapat tingkah laku manusia itu dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan (Reinforcement) dari lingkungan. Perkembangan teori ini dipelopori oleh Thorndike, Ivand Povlov, Watson, dan Guthris.
Jadi belajar menurut teori ini adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara Stimulus dan Respon atau lebih tepat perubahan yang diala-mi siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara baru se-bagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Meskipun semua penganut ini setuju dalam premis dasar namum mereka berbeda pendapat dalam beberapa hal penting. Berikut ini kita kaji hasil karya dari beberapa penganut aliran ini yang paling penting yaitu THORNDIKE, WATSON, HUL, GUTHRIE dan SKINNER
a. THORNDIKE
Menurut Thorndike, salah satu pendiri aliran tingkah laku, belajar adalah proses interaksi antara Stimulus dan Respon (mungkin berupa pikiran, pera-saan atau gerakan) dan respon (bisa berbentuk pikiran, perasaan atau gerakan, jelasnya menurut Thorndike, perubahan tingkah laku itu berupa wujud sesuatu yang kongkrit (dapat diamati) atau yang non konkret (tidak bisa diamati).
Meskipun Thorndike tidak menjelaskan bagaimana cara mengukur berbagai tingkah laku yang non konkrit itu ( pengukuran adalah suatu hal yang menjadi obsesi semua penganut aliran tingkah laku) tetapi teori Thorndike ini telah banyak memberikan insprirasi kepada pakar lain yang datang sesudahnya, teori Thorndike ini disebut sebagai aliran koneksionis (Connectionisme)
b. WATSON
Menurut Watson, pelopor lain yang datang sesudah Thorndike, stimulus dan respon, tersebut harus berbentuk tingkah laku yang bisa diamati (observable) dengan kata lain, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan menggabungnya sebagai faktor yang tak perlu diketahui. Bukan berarti semua perubahan mental yang mungkin terjadi dalam benak siswa tidak penting, semua itu penting tapi, faktor – faktor terse-but tidak bisa menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi atau belum.
Hanya dengan asumsi demikian, kata watson kita bisa meramalkan perubahan yang bakal terjadi pada siswa, dan hanya dengan demikianlah psikologi dan ilmu tentang belajar dapat disejajarkan dengan ilmu – ilmu lainnya seperti fi-sika, atau biologi yang sangat berorientasi kepada alam empirik.
Penganut aliran tingkah laku lebih suka memilih untuk tidak memikirkan hal-hal yang bisa diukur, meskipun mereka tetap mengakui bahwa semua itu pent-ing, teori watson ini juga disebut sebagai aliran tingkah laku (behaviorism) Tiga pakar lainnya adalah CLARK HULL, EDWIN GUTHRIE dan B.F. SKINNER. Ketiga pakar terakhir ini menggunakan variabel S-R. Untuk men-jelaskan teori – teori mereka, meskipun tiga pakar ini disebut tokoh Behavi-oristik namun pendapat mereka satu sama lainnya secara prinsip tetap berbeda
c. CLARK HULL
Clark Hull sangat terpengaruh oleh teori evolusinya, Charles Darwin. Bagi Hull, seperti dalam teori evolusi semua fungsi tingkah laku bermanfaat teru-tama untuk menjaga kelangsungan hidup, karena itu dalam teori Hull kebutu-han biologis dan pemuasan kebutuhan biologis menempati posisi sentral sti-mulus hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis ini, meskipun respon mungkin bermacam – macam bentuknya.
Teori ini, terutama setelah SKINNER memperkenalkan teori ternyata tidak banyak dipakai dalam dunia praktis, meskipun sering digunakan dalam berba-gai bidang eksperimen dalam laboratorium.
d. EDWIN GUTHRIE
Menurut Edwin Guthrie, stimulus tidak berbentuk kebutuhan biologis, yang terpenting dalam teori Guthrie adalah, bahwa hubungan antara stimulus dan respon cenderung bersifat sementara. Karena itu diperlukan pemberian stimu-lus yang sering agar hubungan ini menjadi labih langsung. Selain itu, suatu respon berhubungan dengan bermacam stimulus.
Contohnya kenapa kebiasaan merokok, sulit ditinggalkan. Seringkali terjadi, perbuatan merokok tidak hanya berhubungan dengan satu macam, stimulus (kenikmatan menorok), tetapi juga dengan stimulus lainnya (seperti minum kopi, teh, dan lain – lain, berkumpul dengan teman-teman, ingin nampak ga-gah dan lain–lain). Maka setiap kali salah satu atau lebih stumulus itu muncul maka segera pula keinginan merokok itu muncul.
Guthrie percaya bahwa “hukuman” memegang peranan penting dalam proses balajar. Menurut Guthrie suatu hukuman yang diberikan pada saat yang te-pat,untuk tujuan yang tepat, akan mampu merobah kebiasaan seseorang dima-sa yang akan datang. Faktor hukuman ini tidak lagi dominan dalam teori – teori tingkah laku, terutama setelah SKINNER yakni mempopulerkan ide ten-tang “penguatan” (Reinforcement)
e. B.F. SKINNER
B.F. Skinner adalah tokoh yang datang kemudian, mempunyai pendapat lain, yang ternyata mempumyai pamor teori – teori, Hull dan Guthrie. Hal ini mungkin karena kemampuan Skinner dalam “menyederhanakan kerumitan teorinya serta menjelaskan konsep – konsep yang ada dalam teorinya itu.
Menurut Skinner, deskripsi hubungan antara Stimulus dan Respon untuk me-nyelesaikan perubahan tingkah laku (dalam hubungannya dengan lingkungan) menurut versi Watson deskripsi belum lengkap, kalau respon yang diberikan oleh siswa sederhana sekali. Sebab pada dasarnya setiap stimulus yang diberi-kan berintegrasi satu sama lainnya, dan interaksi itu akhirnya mempengaruhi respon yang dihasilkan dengan berbagai konsekwen, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkah laku siswa.
Karena itu, untuk memahami tingkah laku siswa secara tuntas kita harus me-mahami hubungan antar satu stimulus dengan stimulus lainnya, memahami respon itu sendiri, dan berbagai konsekwen yang diakibatkan oleh respon ter-sebut.
Skinner juga menjelaskan bahwa menggunakan perubahan–perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan membuat segala se-suatunya menjadi bertambah rumit, sebab alat itu akhirnya juga harus dije-laskan lagi. Misalnya, bila kita mengatakan bahwa” seseorang siswa yang berprestasi rendah/buruk mungkin ia sedang mengalami frustasi “akan menun-tut kita akan menjelaskan” apa itu frustasi “ dan penjelasan frustasi itu besar kemungkinan akan memerlukan penjelasan lain, begitu seterusnya.
Dari semua pendukung teori tingkah laku, mungkin teori Skinnerlah yang pal-ing besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar. Beberapa program pembelajaran seperti TEACHING Mach INE” Mathetic” atau program– rogram lain yang memakai konsep stimulus–respon, dan faktor penguat (REINFORCEMENT) adalah sebagian contoh program yang memanfaatkan teori. SKINNER ini. Ada enam solusi yang melandasai teori kondisioning operand B.H. SKINNER adalah
1. Belajar itu adalah TL
2. Perubahan TL (belajar) secara fungsional berkaitan dengan adanya peru-bahan dalam kejadian dilingkungan.
3. Hubungan antara TL dengan hukum lingkungan
4. TL merupakan sumber informasi
5. TL. Organisme secara individu merupakan sumber data yang cocok
6. Dinamika interaksi organisme dengan lingkungan itu sama.

2. Aliran Kognitif
Teori kognitif, sebaliknya lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil bela-jar itu sendiri. Bagi penganut aliran ini belajar itu tidak sekedar melibatkan hu-bungan antara stimulus dan respon, lebih dari itu, belajar melibatkan proses ber-pikir yang sangat komplek, teori ini sangat erat hubungannya dengan teori siber-nitik.
Pada masa–masa awal mulai diperkenalkannya teori ini, para ahli mencoba men-jelaskan bagaimana siswa mengolah stimulus dan bagaimana siswa tersebut bisa sampai ke respon tertentu (pengaruh aliran tingkah laku masih terlihat disini). Namun lambat laun, perhatian ini mulai bergeser, saat ini perhatian mereka terpu-sat pada proses bagaimana suatu ilmu yang baru berasimilasi dengan ilmu yang sebelumnya telah dikuasai oleh siswa.
Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seseorang individu me-lalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan, proses ini tidak berjalan terpatah–patah, tetapi melalui proses yang mengalir, bersambung-sambung, menyeluruh ibarat seseorang yang memainkan musik, orang ini tidak memakai not–not balok yang terpampang di partitur sebagai informasi yang saling lepas berdiri sendiri, tetapi merupakan satu kesatuan yang secara utuh masuk kepikiran dan perasaannya. Seperti ketika anda membaca tulisan ini, bukan alfa-bet–alfabet yang terpisah–pisah yang anda serap dan kunyah dalam pikiran, tetapi adalah kata, kalimat, paragraf, semuanya itu seolah-olah menjadi satu, mengalir, menyerbu secara total bersamaan. Dalam praktek, teori ini antara lain terwujud dalam tahap–tahap perkembangan yang diusulkan oleh Jean Peaget “belajar ber-maknanya” Ausubel dan belajar penemuan yang bebas” (Free discovery learning) oleh Jerome Bruner.
Jadi menurut aliran Kognitif ini tingkah laku individu senantiasa didasarkan ke-pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi, di dalam situasi belajar individu harus terlibat langsung yang pada akhirnya ini akan memperoleh insight untuk memecahkan masalah.
Para penganut aliran kognitif ini adalah PIAGET , AUSUBEL dan BRUNER.
a. JEAN PIAGET
Menurut Jean Piaget proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahap yakni asimilasi, akomudasi, equilibrasi (penyambungan). Proses asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru, kestruktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kog-nitif kedalam situasi yang baru. Equalibrasi adalah penyesuaian berkesenam-bungan antara asimilasi dengan akomodasi.
Suatu contoh, seorang siswa yang sdah mengetahui prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip perkalian, maka proses Pengintegrasian an-tara prinsip penjumlahan (yang sudah ada dibenak siswa) dengan prinsip perkalian (sebagai informasi baru) disebut proses asimilasi, jika siswa diberi sebuah soal perkalian, maka situasi ini disebut akomodasi, ini berarti pema-kaian (aplikasi) prinsip perkalian tersebut terjadi dalam situasi yang baru dan spesifik.
Agar siswa tersebut dapat berkembang dan menambah ilmunya, harus tetap menjaga stabilitas mental dalam dirinya diperlukan proses penyeimbangan, proses inilah yang disebut equalibrasi. Proses penyeimbangan antara “dunia luar” dengan “dunia dalam” tanpa proses ini perkembangan kognitif seseo-rang akan tersendat–sendat dan berjalan tak teratur (Dis Organizet).
Dua orang yang mempunyai jumlah informasi yang sama di otaknya mungkin mempunyai kemampuan equilibrasi yang baik yang berbeda. Seseorang dengan kemampuan equilibrasi dan baik akan mampu menata informasi da-lam urutan yang baik, jernih, dan logis. Sedangkan rekannya yang tidak me-miliki kemampuan equilibrasi sebaik itu cenderung menyimpan semua in-formasi yang ada secara kurang teratur, karena itu orang ini cendrung mem-punyai alur berfikir ruwet, tidak logis, dan berbelit–belit. Menurut Piaget proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang dialami siswa. Dalam hal ini Piaget membagi empat tahap yaitu tahap sensoris motor ketika anak berumur 1,5–2 tahun, tahap pra operasional 2/3–7/8 tahun, tahap operasi konkrit 7/8–12/14 tahun dan tahap operasi formal 14 tahun keatas.
Proses belajar yang dialamai seorang anak pada tahap sensoris motor tentu lain yang dialami seorang anak yang sudah tahap kedua, begitu juga pada ta-hap–tahap berikutnya.
Oleh karena itu semakin tinggi tingkat kognitif semakin teratur cara berfikir-nya, maka guru seyogyanya memahami tahap–tahap perkembangan anak di-diknya serta memberikan meteri pelajaran dalam jumlah dan jenis yang sesuai dengan tahap–tahap tersebut. Guru yang mengajar tetapi tidak menghiraukan tahapan – tahapan perkembangan anak didiknya ini akan cenderung menyulitkan para siswa.
b. AUSUBEL
Menurut Ausubel siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut “pen-gatur kemajuan balajar (Advance Organizeis), didefenisikan dan dipresentasi-kan dengan baik dan tepat kepada siswa, pengatur kemajuan balajar adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi (mencakup) semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa.
Ausubel percaya bahwa “advance Organizers” dapat memberikan tiga macam manfaat yakni :
1. dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari oleh siswa.
2. dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang dipelajari olah siswa “saat itu” dengan apa yang “akan” dipelajari siswa sedemikian rupa sehingga
3. mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mu-dah.
Untuk itu pengetahuan guru terhadap isi pelajaran harus sangat baik, hanya dengan demikian sorang guru akan mampu menemukan informasi, yang me-nurut Ausubel sangat abstrak, umum dan inklusif “yang mewadahi apa yang akan diajarkan itu. Selain itu logika berpikir guru juga dituntut sebaik mung-kin, tenpat memiliki logika berfikir yang baik, maka guru akan kesulitan me-milah–milah materi pelajaran, merumuskannya dalam rumusan yang singkat dan padat, serta mengurutkan materi demi meteri itu kedalam struktur urutan logis serta mudah dipahami.
c. BRUNER
Bruner mengusulkan teorinya disebut Free Discovery Learning. Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori, definisi, dan sebagainya) melalui contoh – contoh yang menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya.
Dengan kata lain, siswa dibimbing secara induktif untuk memahami suatu ke-banaran umum, untuk memahami konsep “kejujuran” misalnya siswa tidak pertama – tama menghafal definisi kata itu, tetapi mempelajari contoh – con-toh konkrit tentang kejujuran, dan dari contoh – contoh itulah siswa dibimbing untuk mendefinisikan kata kejujuran.
Lawan pendekatan ini disebut “balajar ekspositori” (belajar dengan cara men-jelaskan), dalam hal ini, siswa di sodori sebuah informasi umum dan diminta untuk menjelaskan informasi ini melalui contoh–contoh konkrit. Dalam con-toh–contoh di atas maka siswa pertama–tama diberi definisi tentang kejujuran dan dari definisi itulah siswa diminta untuk mencari contoh–contoh konkrit yang dapat mengambarkan makna kata tersebut, proses belajar ini berjalan se-cara deduktif.

3. Aliran Humanistik
Bagi penganut teori ini, proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Dari beberapa teori belajar, teori humanistik inilah yang paling abstrak yang paling mendekati dunia filsafat dari pada dunia pendidikan.
Teori ini menekankan kepada pentingnya “isi” dari proses belajar dalam kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar, dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini bersifat eklektik, teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuannya untuk memuliakan kemanusiaan ma-nusia (mencapai aktualisasi dan sebagainya) itu dapat tercapai.
Dalam praktek, teori ini antara lain terwujud dalam pendekatan yang diusulkan oleh Ausubel yang disebut “belajar bermakna” atau meaningfull learning (sebagai catatan, teori Ausubel ini juga dimasukkan kedalam aliran kognitif). Teori ini juga terwujud dalam teori Bloom dan Krathwohl dalam bentuk taksonomi Bloom yang terkenal itu, selain itu empat tokoh lain yang termasuk kedalam kubu teori ini adalah Kolb, Honey dan Mumford serta Habermas.
a. BLOOM DAN KRATHWOHL
Bloom dan krathwohl, menunjukan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh siswa yang tercakup dalam tiga kawasan yaitu: kawasan kognitif, affek-tif, psikomotor.
1. Kognitif ada enam tingkatan
a. pengetahuan (mengingat, menghafal)
b. pemahaman (menginterpretasikan)
c. aplikasi (penggunaan konsep untuk memecahkan suatu masalah)
d. analisis (menjabarkan suatu konsep)
e. sintesis (menggabungkan bagian–bagian konsep menjadi suatu konsep yang untuh)
f. evaluasi (membandingkan nilai–nilai, ide, metode, dan sebagainya)
2. Affektif terdiri dari lima tingkatan
a. pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu)
b. merespon (aktif berpartisipasi)
c. penghargaan (menerima nilai–nilai, setia kepada nilai–nilai tertentu).
d. Pengorganisasian (menghubung–hubungkan nilai-nilai yang dipercayai)
e. Pengamalan (menjadikan nilai–nilai sebagai bagian dari pola hidup)
3. Psikomotor terdiri dari lima tingkatan
a. peniruan (menirukan gerak)
b. penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak)
c. ketetapan (melakukan gerak dengan benar)
d. perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar)
e. naturalisasi (melakukan gerak secara wajar)
Taksonomi Bloom ini telah berhasil memberikan inspirasi kepada banyak pakar lain untuk menyumbangkan teori–teori belajar dan pembelajaran pada tingkat praktis, bahkan telah banyak membantu praktisi pendidikan untuk memformulasikan tujuan – tujuan belajar dalam bahasa yang mudah dipahami, operasional, serta dapat diukur dari beberapa taksonomi belajar. Mungkin bloom ini yang paling populer khususnya di Indonesia. Selain itu teori bloom ini bayak dipakai untuk membuat kisi – kisi soal ujian.
b. KOLB
Kolb membagi tahapan belajar menjadi empat tahap yaitu :
1) pengalaman konkrit
2) pengamatan aktif dan replektif
3) konseptualisasi
4) ekspermentasi aktif
Pada tahap yang paling dini dalam proses belajar, seorang siswa hanya mam-pu sekedar ikut mengalami suatu kejadian, dia belum memahami hakikat ke-jadian tersebut. Dia belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu kejadian harus terjadi seperti itu, inilah yang terjadi pada tahap pertama proses balajar. Pada tahap kedua siswa tersebut lambat laun mampu mengadakan observasi aktif terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahami, inilah yang sering terjadi pada tahap pengamatan aktif dan replektif.
Pada tahap ketiga, siswa mulai belajar untuk membuat abstrak atau teori ten-tang suatu hal yang pernah diamati. Pada tahap ini siswa diharapkan mampu untuk membuat aturan – aturan umum (generalisasi) dari berbagai contoh ke-jadian yang meskipun tampak berbeda – beda, tetapi mempunyai landasan aturan yang sama.
Pada tahap terakhir (ekspermentasi aktif) siswa sudah mampu mengaplikasi-kan suatu akurat umum kesituasi yang baru. Dalam dunia matematika misal-nya, “siswa tidak banyak memami kami asal usul” sebuah rumus, tetapi ia juga nampu memakai rumus tersebut untuk memecahkan suatu masalah yang belum pernah ia temui sebelumnya. Menurut Kolb, siklus belajar semacam ini terjadi secara berkenambungan dan berlangsung diluar kesadarn sipelajar, meskipun dalam teorinya kita mampu membuat garis tegas antar tahap satu dengan tahap lainnya, namun dalam praktek peralihan dari satu tahap ke ta-hap lainnya itu sering terjadi begitu saja, sulit kita tentukan kapan berakhir-nya.
c. HONEY DAN MUMFORD
Berdasarkan teori Kolb, Honey dan Mumford mebuat penggolongan siswa. Menurut mereka, ada empat macam atau tipe siswa, yakni aktivis, reflektor, teoris, pragmatis.
Siswa tipe aktivis adalah mereka yang suka melibatkan diri pada pengalaman–pengalaman baru, mereka cenderung berfikiran terbuka dan mudah diajak berdialog, namun siswa semacam ini biasanya kurang skeptis menghadap se-suatu. Kadang kala indentik dengan sifat mudah percaya, dalam proses balajar mereka menyukai metode yang mampu mendorong seseorang menemukan hal – hal baru, seperti Brain Stroming, problem Solving, tetapi mereka cepat me-rasa bosan dengan hal-hal yang memerlukan waktu lama dalam Inflementasi.
Siswa tipe refleksi, sebaliknya, cenderung sangat hati-hati mengambil langkah, dalam proses pengambilan keputusan, siswa seperti ini cenderung konservatif, dalam arti mereka lebih suka menimbang-nimbang secara cermat baik buruk suatu keputusan.
Siswa tipe teoris, biasanya sangat kritis, senang menganalisis dan menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif bagi mereka, berfikir secara rasional adalah sesuatu yang sangat penting mereka biasanya juga sangat se-lektif dan tidak menyukai hal- hal yang bersifat spekulatif.
Siswa tepe pragmatis menaruh perhatian besar pada aspek aspek dari segala hal, teori memang penting, kata mereka, namun bila teori tak bisa dipraktek-kan, untuk apa ? mereka tidak bisa betele-tele, sesuatu dikatakan ada gunanya dan baik hanya jika bisa dipraktekan.
d. HABERMAS
Habermas percaya bahwa belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi baik den-gan lingkungan maupun dengan sesama manusia. dengan asumsi ini, dia membagi tipe belajar menjadi tiga macam yaitu :
1). Belajar teknis (technical Learning)
2). Belajar praktis (practical learning)
3). Belajar emansifatoris (emancifatory learning)
Dalam belajar teknis, siswa belajar bagaimana berinteraksi dengan alam se-kelilingnya, mereka berusaha menguasai dan mengelola alam dengan cara mempelajari keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk itu.
Dalam belajar praktis, siswa juga belajar berinteraksi, tetapi pada tahap ini lebih dipentingkan adalah interaksi dia dengan orang – orang sekelilingnya, pada tahap ini, pemahaman siswa terhadap alam tidak berhenti sebagai suatu pemahaman yang kurang dan terlepas kaitannya dengan manusia, tetapi pe-mahaman terhadap alam itu justru relevan jika berkaitan dengan kepentingan manusia.
Sedangkan dalam belajar emansipatoris, siswa berusaha mencapai pemaha-man dan kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan (transformasi) kultural dari suatu lingkungan. Bagi Habermas, pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kultural ini dianggap tahap belajar yang paling tinggi

4. Aliran Psikologi GESTALT
Tokoh Psikologi Gestalt adalah Wertheimer, Kohler, Kooffka. Wertheimer den-gan gejala “phi-phenomenom-nya” merupakan penemuan yang penting, oleh ka-rena melahirkan gejala penghayatan yang berbeda dengan unsur – unsur yang membentuknya. Gejala tersebut tidak dapat dijelaskan melalui analisis atas unsun-unsur, meskipun hasil gejala tersebut adalah dari unsur-unsur bagian tersebut. Jadi penghayatan psikologis adalah hasil bentukan dari unsur – unsur pengindraan, ia berbeda antar pengalaman phenomenologis dengan pengalaman pengindraan yang membentuknya. Gestalt mengatakan bahwa organisme menambahkan sesuatu pa-da penghayatan yang tidak terdapat didalam pengindraannya, maka sesuatu ada-lah organisme.
Dari sumber lain dengan gaya bahasa yang berbeda dapat dibaca pendapat gestalt sebagai berikut, bahwa pengalaman itu berstruktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan yang terorganisir, bukan dalam bagian – bagian yang terpisah.
Menurut gestalt, semua kegiatan belajar menggunakan insight atau pemahaman terhadap hubungan – hubungan, antara bagian atau keseluruhan, tingkat kejelasan atau keberartian dari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih mening-katkan belajar seseorang dari pada dengan hukuman dan jajaran.

5. Aliran / Teori Sosial Albert Bandura
Teori belajar sosial diawali dengan kepercayaan bahwa proses dan isu psikologi yang penting telah diabaikan atau hanya dipelajari sebagian–sebagian saja oleh teori–teori lain. Soal–soal yang diabaikan itu termasuk kapasitas orang sebagai sibelajar untuk berfikir simbolik, kecenderungan orang untuk belajar dengan arah sendiri dan luasnya faktor–faktor sosial yang dapat mempengaruhi perbuatan in-isiatif (peniruan).
Menurut terori belajar siswa, hal yang amat penting ialah kemampuan individu untuk mengambil sari informasi dari tangkah laku orang lain, memutuskan tingkah laku mana yang akan diambil. Teori belajar sosial Bandura oleh Albert. Bandura berusaha menjelaskan hal belajar dalam latar yang wajar. Asumsi yang menjadi dasar teori ini bahwa belajar sosial memberikan makna (a) hakekat belajar dalam latar alami (b) hubungan belajar dengan lingkungan (c) definisi dari apa yang dipelajari.
Hakekat proses belajar menurut teori sosial bandura ini bermula dari kupasan atas balajar munatif (peniruan) sebagaimana diperiksa oleh teori – teori terdahulu.
Tingkah laku dari lingkungan itu keduanya dapat diobah dan tak satupun meru-pakan penentuan utama dari terjadinya perubahan tingkah laku, Buku tidak akan mempengaruhi orang kecuali seseorang menulisnya, dan orang lain memilih serta membacanya, ganjaran dan hukuman tetap tidak berpengaruh sampai dibang-kitkan oleh performance yang cocok. (Bandura, 1974). Bandura berpendapat “pa-ham belajar sosial orang tidak didorong oleh tenaga dari dalam demikianpun tidak digencet stimulus–stimulus yang berasal dari lingkungan, alih – alih fungsi psi-kologi orang tidak dijelaskan sebagai interaksi timbal balik yang terus menerus terjadi antara faktor–faktor penentu pribadi dan lingkungannya (1977).
Oleh karena itu Bandura mengajukan hubungan segi tiga yang saling berkaitan antara tingkah laku (T) hubunhan (L) dan kejadian Internal yang memepengaruhi pessepsi (P) seperti Bagan ini :

Bagan hubungan segi tiga antara
Lingkungan, faktor pribadi, tingkah laku
(P)

Ekspektasi dan mulai Ciri – ciri fisik tampak menarik
mempengaruhi TL suku bangsa, perawakan, jenis
kelamin dan atribut sosial
mengaktifkan reakasi lingkungan yang berlainan
Tingkah laku sering
dimulai tanpa memper
hatikan balikan dari
lingkungan, dengan
mengubah kesan pribadi

Tingkah Laku (T) (L)
mengaktifkan kontengensi kontingensi yang diaktifkan
lingkungan dapat mengubah intensif
atau arah kegiatan

6. Aliran Sibernetik
Teori belajar jenis ke 6 mungkin paling baru dari semua teori belajar yang kita kenal, adalah teori Sibenertik. Teori ini berkembang sejalan dengan perkemban-gan ilmu informasi. Menurut teori ini belajar adalah pengolahan informasi.
Sekilas teori ini mempunyai kesamaan dengan teori kognitif yang mementingkan proses. Proses memang penting dalam teori sibernetik. Namun yang lebih penting adalah “sistem informasi” yang diproses itu.
Asumsi lain dari teori sibenertik ini adalah bahwa tidak ada satu proses belajarpun yang ideal untuk segala situasi, yang cocok untuk semua siswa, Maka sebuah informasi mungkin akan dipelajari seorang siswa dengan satu macam proses be-lajar dan informasi yang sama itu mungkin akan di pelajari Siswa lain melalui proses belajar yang berbeda.
Dalam bentuk yang lebih praktis, teori ini telah dikembangkan oleh Lauda (dalam pendekatan yang disebut “algoritmik” dan “heuristik”) Pas dan Scott (dengan pembagian siswa tipe “menyeluruh” atau Wholist” dan tipe “serial” atau “se-rialis”) atau pendekatan – pendekatan lain yang berorientasi pada pengolahan in-formasi.
a) Landa
Menurut Landa ada dua macam proses berfikir yang pertama disebut proses berfikir algoritmik, yaitu proses berfikir linear, konvergan, lurus menuju kesatu terget tertentu, Jenis kedua adalah cara berfikir heuristik, yakni cara berfikir divergan menuju beberapa target sekaligus.
Proses belajar akan berjalan dengan baik jika apa yang hendak dipelajari itu/masalah yang hendak dipecahkan diketahui ciri – cirinya. Satu hal lebih tepat disajikan dalam urutan teratur, linear sekuensial, satu hal lain lebih tepat bila disajikan dalam bentuk terbuka dan memberi keleluasaan pada siswa – siswa untuk berimajinasi dan berfikir.
Misalnya agar siswa mampu memahami sebuah rumus matematika, mungkin akan lebih efektif jika presentasi informasi tentang rumus ini disajikan secara algorirmik. Alasanya adalah sebuah rumus matematikan biasanya mengikuti urutan tahap demi tahap yang sudah teratur dan mengarah kesatu target tertentu.
b) Pask dan Scott
Pendekatan serialis yang diurutkan oleh Pask dan Scott itu sama dengan pen-dekatan algoritmik. Namun cara berfikir menyeluruh (wholist) tidak sama dengan heusristik. Cara berfikirnya menyeluruh adalah cara berfikir yang cenderung melompat kedepan, langsung ke gambaran lengkap sebuah sistem informasi.
Pendekatan yang berorientasi pada pengelolaan informasi menekankan bebe-rapa hal seperti ingatan jangka pendek (short termmemory) ingatan jangka panjang (long termmemory) dan sebagainya.
Teori pengelolaan informasi sesuatu deskripsi (Wittrock 1978) otak itu bukan konsumen yang pasif dari informasi, ia secara aktif memilih, menunjukan perhatian, mengorganisaikan mempersepsi, mengubah menjadi sandi, dan mendapatkan kembali simpanan informasi, kadang–kadang otak menghasilkan gambaran yang lengkap dari stimulus setengah angan–angan pada kali yang lain, otak mengupas pula runag yang komplek menjadi pola yang lebih sederhana operasi–operasi, interpretasi dan inferensi yang banyak jumlah dan ragamnya menyifatkan kenyataan rumit yang dibentuk oleh otak.

Rangkuman
A. Teori Belajar Behaviorisme (Tingkah Laku)
Menurut teori ini belajar adalah perubahan tingkah laku. Seseorang-dianggap telah belajar sesuatu bila ia mampu menunjukan perubahan tingkah laku.
Misalnya : seorang siswa belum bisa membaca maka iapun keras belajar, betapa-pun gurunya berusaha sebaik mungkin mengajar atau bahkan ia sudah hafal huruf A sampai Z diluar kepala, namun bila siswa itu gagal mendemonstrasikan ke-mampuannya dalam membaca, maka siswa itu belum bisa dianggap telah belajar. Ia dianggap telah belajar bila ia telah menunjukan sesuatu perubahan dalam ting-kah laku.
Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan / input yang berupa stimulus dan keluaran /output yang berupa respon. Sedangkan apa yang terjadi diantara stimulus dan respon itu dianggap tak penting di perhatikan sebab tidak bisa di-amati. Yang bisa diamati hanyalah stimulus respon.
Faktor lain yang juga penting adalah faktor penguatan. Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan maka respon akan menjadi kuat. Begitupun bila penguatan dikurangi, responpun akan tetap dikuatkan.
Pelopor terpenting teori ini antara lain adalah Parlov, Watson, Skinner, Hull dan Gethrie.

Pengaplikasian teori belajar behaviorisme didalam instruksional
Secara umum aplikasi teori behavoirisme biasanya meliputi bebrapa langkah berikut ini :1. Mementukan tujuan – tujuan instruksional
2. Menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini termasuk mengidentifikasi pengetahuan awal mahasiswa.
3. Menentukan materi pelajaran
4. Memecah materi pelajaran menjadi bagian kecil–kecil (pokok bahasan, SPB, Sub topik dan sebagainya)
5. Menyajikan materi pelajaran
6. Memberikan stimulus yang mungkin berupa pertanyaan (lisan, tertulis, tes, la-tihan, tugas–tugas)
7. Mengamati dan melengkapi respon yang diberikan
8. Memberikan penguatan/reimforcement (mungkin penguatan positif atau nega-tif)
9. Memberikan stimulus baru
10. Mengamati dan mengkaji respon yang diberikan
11. Memberikan penguatan dan seterusnya.

B. Teori Belajar kognitivisme
Menurut teori ini, balajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman, Peruba-han persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perilaku tingkah laku yang bisa diamati (bandingkan dengan teori Bahaviorisme)
Asumsi dasar teori ini adalah setiap orang telah mempunyai pengalaman dan penge-tahuan di/dalam dirinya, pengalaman dan pengetahuan ini tertera dalam bentuk struk-tur kognitif. Menurut teori ini proses belajar akan berjalan baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi (bersinambung) secara klop dengan struktur kognitif yang su-dah dimiliki oleh mahasiswa.
Dalam perkembangannya setidak – tidaknya ada tiga teori belajar yag bertitik tolak dari teori kognitisme ini, teori perkembangan Piaget, teori kognitif Bruner dan teori bermakna Ausabel.
Aplikasi teori ini dalam kegiatan instruksional
Piaget : seperti teori Bruner dan ausubel, teori piaget ini dalam aplikasi praktisinya sangat mementingkan keterlibatan mahasiswa secara aktif dalam proses belajar, hanya dengan mengaktifkan mahasiswa proses asimilasi / akomudasi, pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
Aplikasi teori ini sebagai berikut :
1. Menentukan tujuan –tujuan instruksional
2. Memilih materi palajaran
3. Menentukan topik – topik yang mungkin dipelajari secara aktif oleh mahasiswa.
4. Menentukan dan merancang KBM yang cocok
5. Mempersiapkan berbagai pertanyaan yang dapat memacu kratifitas mahasiswa untuk berdiskusi dan bertanya
6. Mengevaluasi proses dan hasil belajar.
Bruner : secara umum teori ini diaplikasikan dalam PBM sebagai berikut :
1. Menentukan tujuan instruksional
2. Memilih materi palajaran
3. Menentukan topik – topik yang bisa dipelajari secara indifidu atau ke-lompok
4. Mencari contoh-contoh, tugas, ilustrasi, yang dapat digunakan
5. Mengatur topik-topik pembalajaran sedemikian rupa sehingga urutan topik itu bergerak dari yang paling konkrit ke abstrak dari sederhana ke komplek dari tahap enaktif, ekonik, sampai ke tahap sembolik dan seterusnya.
6. Mengevaluasi PBM
Ausubel : secara umum teori ini diaplikasikan dalam PBM sebagai berikut :
1. Menentukan tujuan – tujuan instruksional
2. Mengukur kesiapan baik melalui tes awal interview dan lain – lain
3. Memilih materi pelajaran dalam bentuk konsep – konsep kunci.
4. Mengidentifikasikan prinsip yang harus dikuasai siswa
5. Menyajikan suatu pandangan secara menyeluruh tentang apa yanag dipelajari
6. Membuat dan menggunakan ADNANCE ORGANIZER
7. Mengajar mahasiswa memahami konsep – konsep dan prinsip – prinsip yang sudah ditentukan
8. Mengevaluasi proses dan hasil belajar
C. Teori Belajar Humanistik
Menurut teori Humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manu-sia. PBM dianggap berhasil jika pelajar telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan kata lain sibelajar dalam proses pembelajaran harus berusaha agar lambat laun mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik – baiknya.
Menurut Krathwole dan B. Bloom ada 3 kawasan tujuan belajar yang bisa dicapai mahasiswa yang dikenal dengan kognitif, affektif, psikomotor
Menurut Kolb ada 4 tahap proses balajar yaitu :
1. Pengalaman konkrit mahasiswa
2. Pengalaman aktif dab reflektif
3. Konsep tualisis berteori
4. Eksperimentasi aktif mahasiswa

Honey dan Mumford membagi mahasiswa menjadi 4 macam
1. Aktifis (melibatkan diri pada pengalaman baru)
2. Reflektor (hati – hati sebelum bertindak)
3. Teoris (kecendrungan berfikir rasional)
4. Pragmatis (menaruh perhatian kepada aspek praktis)

H.abernas : ada tiga tipe belajar menurut Habernas ini
1. Belajar teknis menekankan interaksi manusia dengan lingkungan
2. Belajar praktis
3. Belajar emansipatoris menekankan kepada transpormasi dan perubahan
Aplikasi teori Humanistik dalam kegiatan instruksional sebagai berikut
1. Menentukan tujuan instruksional
2. Menentukan materi pelajaran
3. Mengidentifikasi entry behavionis mahasiswa
4. Mengidentifikasi topik–topik yang memungkinkan mahasiswa mempelajari se-cara aktif.
5. Mendesain wahana
6. Membimbing mahasiswa belajar aktif
7. Membimbing mahasiswa memahami hakekat makna dan pengalaman belajar mereka
8. Membimbing mahasiswa membuat konseptualisme pengalaman tersebut
9. Membimbing mahasiswa mengaplikasikan konsep baru kesituasi yang baru
10. Mengevalusi proses dan hasil belajar mahasiswa.

D. Teori Belajar Sibernitik
Teori Sibernitik adalah teori yang relatif baru bila dibandingkan dengan ketiga teori belajar sebelumnya, teori ini berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu informasi, Menurut teori ini adalah pengelolaan informasi.
Teori ini menekankan pentingnya sistem informasi dari apa yang akan dipela-jari mahasiswa, sedangkan bagaimana PBM berlangsung sangat dipengaruhi oleh sis-tem informasi tersebut. Oleh karena itu teori ini berasumsi, bahwa tidak ada satupun jenis cara belajar yang ideal untuk segala situasi, sebab cara belajar sangat ditentukan oleh sistem informasi.
Dalam bentuknya yang lebih praktis, teori ini dikembangkan oleh Landa den-gan pendekatan ALGORITMIK dab HEURISTIK serta PAST dan SCOTT dengan pembangian tipe siswa dikenal dengan tipe Wholist dan tipe Scrialist Pendekatan be-lajar “Algoritmik” menuntut mahasiswa berpikir linear, lurus menuju target tertentu seperti matematika, fisika dan lain – lain.
Pendekatan Heuristik menuntut mahasiswa berfikir secara divergen, menyebar beberapa target sekaligus memahami suatu konsep yang penuh arti ganda dan penaf-siran biasanya menuntut cara berfikir Heuristik.

Aplikasi teori sebernitik ini kedalam kegiatan instruksional
Beberapa langkah umum yang biasa kita temui dalam implemantasi teori Sibernitik adalah sebagai berikut :
1. Menentukan tujuan – tujuan Instruksional
2. Menentukan materi pelajaran
3. Mengkaji sistem informasi yang terkandung dalam materi tersebut.
4. Menentukan pendekatan belajar yang sesuai dengan sistem informasi
5. Menyajikan materi dan membimbing mahasiswa belajar dengan pola yang sesuai dengan urutan materi pelajaran

E. Ciri – Ciri Belajar Dan Pembelajaran
1. Pengaruh “Kematangan” individu terhadap proses dan hasil belajar
a. Kematangan (maturity) ialah keadaan atau kondisi baik yang berkaitan dengan aspek bentuk, struktur maupun fungsi yang lengkap pada suatu organisme
b. Kematangan membentuk sifat dan kekuatan dalam diri individu yang ber-sangkutan untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disebut kesiapan (readines) kesiapan artinya seseorang individu telah siap betingkah laku, baik/tingkah laku yang bersifat instingtif maupun tingkah laku yang dipelajari.
c. Kematangan dapat mendukung terjadinya proses belajar yang effektif dan efesien akan tetapi kematangan dicapai tidak mesti melalui proses balajar.

2. Kondisi fisik dan mental dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar
a. Diantara kondisi fisik dan mental yang mempengaruhi kegiatan belajar adalah
1. perubahan alat dria
2. kelelahan fisik (alat organisme)
3. kesehatan badan terganggu
4. fostur tubuh tidak memenuhi tuntutan tugas – tugas akademik
b. Perubahan kondisi mental berkaitan dengan
1. motivasi
2. minat
3. sikap
4. kematangan meliputi intelektual, emosional, sosial
5. keseimbangan pribadi (balance personality)
6. perhatian (konsentrasi)
7. kepribadian
8. percaya diri (self confidence)
9. disiplin diri (self diciplin)
10. dorongan ingin tahu (natural curriosity)

Daftar Pustaka
Bel – Gredler, ME, Learning and Instruction : Theory Into Practice, Macmilan Pub-lishing Company, New York, 1986, dikutip oleh Dr. Prasetya Irawan (1995) dalam : Teori Belajar, Motivasi dan Keterampilan Mengajar
Romiszowski A.J. Developing Auto Instructional Materials : From Programmed Texts, Cal and Interaktive Vedio Kogan Page, London, 1986
Suppos. P. The Place of Theory in Educational Research, dalam jurnal Educational Recearher No.3 (6) Hal 3-10-1974
E. Bell, Gredler M, Belajar dan Membelajarkan seri Pustaka Teknologi Pendidikan No.11 Universitas terbuka Rajawali Pers (1991) Jakarta
Uzim. S. Winata Putra : Belajar dan pembelajaran,Modul 1-6 PGSM (Dirjen pendidi-kan dasar dan menengah proyek peningkatan Mutu Guru SLTP Setara D III 1994/95 Jakarta
Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Teknologi Instruksional,Buku III-C Dep-dikbud Proyek Pengembangan Institusi Pendidikan Tinggi 1981 Jakar-ta.

BAB II
HAKEKAT BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

A. Pendahuluan
Tugas pokok seorang guru membelajarkan siswa. Masalah utama yang dihadapi dan perlu dipecahkan ialah apakah yang dapat dan harus dilaksanakan, selanjutnya bagaimana ia harus melakukannya. Sehubungan dengan itu, seorang guru perlu memahami dan menghayati kinerja belajar dan pembelajaran. Bagian ini mencoba menjelaskan kedua kinerja itu secara umum.
Dengan adanya pemahaman tentang kedua kinerja tersebut, akan memban-tu mahasiswa dalam mampelajari materi berikutnya. Pada gilirannya nanti akan akan terdapat pemahaman yang lebih terorganisasi dan komprensif tentang meteri mata kuliah ini.
Secara lebih khusus tujuannya ialah bahwa setelah mempelajari bagian ini mahasiswa dapat memahami :
1. Apa yang dimaksud dengan belajar pada umumnya, terutama menyangkut bata-san, ciri-ciri, unsur-unsur dan kapan dimulai.
2. Apa yang dimaksud dengan pembelajaran secara umum. Terutama menyangkut latar belakang dan pengertiannya.

B. Hakekat Belajar
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih mendorong, maka berikut ini akan di-bahas beberapa batasan, ciri-ciri, unsur-unsur, dan kapan seorang mulai belajar.
Batasan tentang belajar.
Rumusan tentang apa yang dimaksud dengan belajar cukup bervariasi. Perbe-daan tersebut tentu saja diwarnai atas perbedaan pandangan dan tekanan mas-ing-masing.
1) W. H. Buston memandang belajar sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu dan individu dengan lingkungannya.
Buston berpendapat bahwa unsur utama dalam belajar adalah terjadinya perubahan pada seseorang. Perubahan tersebut menyangkut aspek kepri-badian yang tercermin dari perubahan yang bersangkutan, yang tentu juga bersamaan dengan interaksinya dengan lingkungan dimana dia berada.
2) J. Neweg melihat dari dimensi yang dapat berbeda. Dia menganggap bahwa belajar adalah suatu proses dimana prilaku seseorang menga-lami perubahan sebagai akibat pengalaman unsur.
Paling tidak ada tiga unsur yang terkadang pemberian Neweg. Pertama dia melihat belajar itu sebagai suatu proses yang terajadi dalam diri seseo-rang.sebagai suatu proses berarti ada tahap-tahap yang dilalui seseorang. Unsur kedua ialah pengalaman. Belajar itu baru akan terjadi kalau proses seperti yang disebutkan terdahulu dialami sendiri oleh yang bersangkutan. Belajar itu pada dasarnya mengalami, learning by experiensi. Unsur ketiga ialah perubahan prilaku. Muara dari proses yang dialami seseorang itu ialah terjadinya perubahan prilaku pada yang bersangkutan.
Skiner berpendapat agak lain, dia berpandangan bahwa belajar adalah suatu prilaku. Pada seseorang yang belajar maka responnya akan menjadi lebih baik. Sebaliknya bila tidak belajar, responya menjadi menurun. Dalam hal ini dia menemukan :
1) Adanya kesempatan peristiwa yang menimbulkan respon si pembelajar.
2) Respon si pembelajar.
3) Konsekwensi yang bersifat menguatkan respon tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa Skiner menekankan belajar pada penguasaan ke-terampilan oleh seseorang melalui latihan.
b. Lain lagi pendapat Sogne, dia berpendapat bahwa belajar adalah proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi lingkungan, melewati pengolahan informasi men-jadi kopabilitas baru, berupa keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai.
Dia melihat, bahwa timbulnya kopibilitas baru itu sebagai hasil dari :
a. Stimulasi yang berasal dari lingkungan.
b. Proses kognitif yang dilakukan oleh individu.
Ada beberapa proses pikiran yang patut di kemukakan sehubungan den-gan pandangan Sagne ini, yaitu:
Pertama: Belajar itu menyangkut aktifitas individu berupa pengolahan in-formasi yaitu stimulasi dari lingkungan.
Kedua : Pengolahan stimulasi tersebut menghasilkan kopabilitas yang baru berupa keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai.
Sebenarnya masih banyak para ahli yang mecoba mejelaskan apa yang dimaksud dengan belajar menurut pandangannya. Namun untuk kepentin-gan pembahasan kita, rasanya cukup 4 pandangan itu yang dikemukakan.
Dari batasan-batasan yang dikemukakan di atas, dapat dikemukakan bah-wa paling tidak ada 2 unsur penting yang terkandung dalam konsep belajar yaitu : mengalami dan perubahan.
1. Mengalami.
Belajar adalah suatu atau serangkaian aktifitas yang dialami seseorang melalaui interaksinya dengan lingkungan.
Interaksi tersebut mungkin berawal dari faktor yang berasal dalam atau dari luar diri sendiri. Dengan terjadinya interaksi dengan lingkungan, akan menyebabkan munculnya proses penghayatan dalam diri individu tersebut, akan memungkinkan terjadinya perubahan pada yang ber-sangkutan.unsur mengalami ini perlu mendapatkan perhatian yang be-sar, karena dia merupakan salah satu prinsip utama dalam proses belajar dan pembelajaran, paling tidak menurut pandangan para ahli modern.
2. Perubahan dalam diri seseorang.
Proses yang dialami seseorang baru dikatakan mempunyai makna be-lajar, akan menghasilkan perubahan dalam diri yang bersangkutan, esensi dari perubahan ialah adanya yang baru. Dia mungkin bahagia dapat menyelesaikan diri dengan lebih baik, dapat menjaga kesehatan dengan lebih baik, atau dapat menulis dan berbicara dengan efectif. Perlu dicatat perubahan yang dimaksud harus bersifat normatif. Peru-bahan dalam belajar harus mengarah kepada dan sesuai dengan norma-norma atau nilai-nilai yang berhubungan dianut oleh masyarakat.
Dari unsur diatas dapat disimpulkan bahwa belajar secara umum diru-muskan sebagai :
Perubahan dalam diri seseorang yang dapat dinyatakan dengan adanya penguasaan pola sambutan yang baru, berupa pemahaman, keterampilan dan sikap sebagai hasil proses hasil pengalaman yang dialami.

c. Ciri-ciri dari belajar.
Berdasarkan rumusan diatas dapat dikatakan bahwa belajar itu diartikan dalam arti yang luas, meliputi keseluruhan proses perubahan pada individu. Perubahan itu meliputi keseluruhan topik kepribadian, intelek maupun sikap, baik yang tampak maupun yang tidak. Oleh karena itu tidaklah tepat kalau belajar itu diartikan sebagai “ungkapan atau membaca pelajaran” maupun menyimpulkan pengetahuan atau informasi. Selain dari itu, belajar juga tidak dapat diartikan sebagai terjadinya perubahan dalam diri in-dividu sebagai akibat dari kematangan, pertumbuhan atau insting. Untuk mendapatkan pengalaman yang lebih lengkap tentang pengertian belajar tersebut, maka berikut ini dikemukakan beberapa ciri-ciri penting dari konsep tersebut :
1. Perubahan yang bersifat fungsional.
Perubahan yang terjadi pada ospek kepribadian seseorang mempu-nyai dampak terhadap perubahan selanjutnya. Karena belajar anak dapat membaca, karena membaca pengetahuannya bertambah, ka-rena pengetahuannya bertambah akan mempengaruhi sikap dan prilakunya.
2. Belajar adalah perbuatan yang sudah mungkin sewaktu terjadinya prioritas.
Yang bersangkutan tidak begitu menyadarinya namun demikian paling tidak dia menyadari setelah peristiwa itu berlangsung. Dia menjadi sadar apa yang dialaminya dan apa dampaknya. Kalau orang tua sudah dua kali kehilangan tongkat, maka itu berarti dia tidak belajar dari pengalaman yang terdahulu.
3. Belajar terjadi melalui pengalaman yang bersifat individual.
Belajar hanya terjadi apabila dialami sendiri oleh yang bersangku-tan, dan tidak dapat digantikan oleh orang lain. Cara memahami dan menerapkan bersifat individualistik, yang pada gilirannya juga akan menimbulkan hasil yang bsersifat pribadi.
4. Perubahan yang terjadi bersifat menyeluruh dan terintegrasi.
Yang berubah bukan bagian-bagian dari diri seseorang, namun yang berubah adalah kepribadiannya.kepandaian menulis bukan di-lokalisir tempat saja. Tetapi di menyangkut ospek kepribadian lainnya, dan pengaruhnya akan terdapat pada perubahan prilaku yang bersangkutan.
5. Belajar adalah proses interaksi.
Belajar bukanlah proses penyerapan yang berlangsung yang ber-langsung tanpa usaha yang aktif dari yang bersangkutan. Apa yang diajarkan guru belum tentu menyebabkan terjadinya perubahan, apabila yang belajar tidak melibatkan diri dalam situasi tersebut. Perubahan akan terjadi kalau yang bersangkutan memberikan reaksi terhadap situasi yang dihadapi.
6. Perubahan berlangsung dari yang sederhana ke arah yang lebih kompleks.
Seorang anak baru akan dapat melakukan operasi bilangan kalau yang bersangkutan sedang menguasai simbol-simbol yang berkaitan dengan operasi tersebut.
d. Unsur-unsur dalam belajar.
Prilaku belajar merupakan prilaku yang konplek, karena banyak unsur yang terlibat didalamnya, diantaranya :
1. Tujuan.
Dasar dari aktifitas belajar ialah untuk memenuhi kebutuhan yang dira-sakan oleh yang bersangkutan. oleh karena itu prilaku belajar mempu-nyai tujuan untuk memecahkan persoalan yang dihadapi dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Seorang anak yang merasa lapar akan belajar bagai mana caranya untuk mendapatkan makanan.
2. Pola respon dan kemampuan yang dimiliki.
Setiap individu memiliki pola respon yang dapat digunakan saat meng-hadapi situasi belajar, dia mempunyai cara merespon tersendiri dan hal itu berkaitan erat dengan kesiapannya.
Kurangnya kesiapan yang bersangkutan menghadapi situasi yang diha-dapi dapat menyebabkannya gagal dalam mencapai tujuan.
3. Situasi belajar.
Situasi yang dihadapi mengandung berbagai alternatif yang dapat dipi-lih. Alternatif yang dipilih dapat memberikan kepuasan atau tidak. ka-dang-kadang situasi mengandung ancaman atau tantangan bagi indivi-du dalam rangka mencapai tujuan.
4. Penafsiran terhadap situasi.
Dalam menghadapi situasi, individu harus menentukan tindakan , mana yang akan diambil, mana yang harus dihindari dan mana yang paling aman. Mana yang akan diambil tentu saja didasarkan pada penafsiran yagn bersangkutan terhadap situasi yang dihadapi. Andaikan dia salah dalam penafsiran situasi yang dihadapi, dia akan gagal mencapai tujuan yang ingin dicapainya.
5. Reaksi atau respon.
Setelah pilihan dinyatakan, maka yang dapat dilakukan seseorang da-lam memenuhi kebutuhannya yaitu :

a. Situasi dihadapi secara instinktif.
Yang dimaksud dengan instinktif cara-cara bertindak atau kepan-daian yang dimiliki seseorang yang diperoleh dari kredity (wau-san). Prilaku yang demikian tidak diperoleh melalui usaha belajar atau pengalaman dan oleh karena itu tidak mengalami perubahan seperti halnya makhluk lain, mausia juga telah dilengkapi dengan berbagai instink yang untuk hal-hal tertentu sudah dapat memban-tu yang bersangkutan dalam memenuhi kebutuhannya. Andaikan suatu ketika benda kecil masuk kedalam mata anda, maka secara instinktif akan keluar air mata, atau kalau suatu benda masuk ke-dalam hidung, maka anda akan bersin. Keluarnya air mata dan bersin merupakan mekanisme pertahanan diri yang diperoleh seca-ra instink untuk memecahkan masalah adanya benda kecil dalam mata dan hidung.
b. Situasi dihadapi secara kapitual.
Adakalanya tindakan instinktif tidak mangkus, sehingga persoalan tidak terpecahkan. Dalam keadaan yang demikian maka muncul mekanisme yang kedua, yaitu situasi dihadapi dengan prilaku ke-biasaan. Sifat kebiasaan ialah seragam dan berlangsung secara otomatis. karena sifatnya yang seragam dan berlangsung secara otomatis, jadi tidak terjadi perubahan, maka pada tahap ini prilaku yang bersangkutan tidak merupakan aktifitas belajar, namun de-mikian tidak disangkal proses terbentuknya kebiasaan pada awal-nya memang melalui proses belajar.
Kembali kepada contoh masuknya benda kecil kedalam mata. Se-benarnya air mata yang keluar secara instinktif tidak berhasil mengeluarkan benda tersebut, maka mungkin anda akan menggo-sok-gosoknya. Tindakan menggosok-gosok tersebut anda lakukan karena cara yang demikian pernah dicoba dan ternyata mangkus. Karenanya sekarang anda ingin mengulang kembali cara tersebut.
c. Situasi dihadapi secara rasional.
Andaikata dengan cara menggosok-gosok tersebut benda kecil itu dapat keluar, maka anda merasa puas, persoalan terpecahkan. Na-mun sering terjadi bahwa cara yang sudah terbiasa tersebut tidak dapat memecahkan persoalan. Kalau demikian yang terjadi maka muncul mekanisme yang ketiga. Situasi akan dihadapi secara ra-sional dalam keadaan yang seperti itu perlu dicari cara pemecahan yang baru. Untuk itu yang bersangkutan perlu lebih memahami si-tuasi yang dihadapi. Kemudian alternatif lain akan perlu diinven-tarisis. Sebagai alternatif perlu dikaji kelebihan dan kekurangan-nya. Kemudian dari alternatif yang ada dipilih mana yang lebih efektif dan efisien, yagn untuk selanjutnya diimplementasikan. Pada tahap inilah prilaku belajar mulai terjadi.
d. Situasi dihadapi secara emosional.
Dapat terjadi bahwa cara-cara yang telah dikemukakan diatas ti-dak mangkus dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Dalam keadaan yang demikian maka situasi akan dihadapi secara emo-sional.
Apakah prilaku emosional diperoleh melalui usaha belajar? Ya. Sesungguhnya kita perlu belajar untuk mencintai seseorang dan menumbuh kembangkannya. Kita perlu belajar bagaimana caranya untuk menyenangi seseorang dan untuk mendapatkan belas kasi-han dari orang lain.
Dari penjelasan diatas, maka dapat diambil suatu kesimpulan yang umum apabila, cara-cara bertindak yang sudah dimiliki tidak lagi memuaskan yang bersangkutan dalam memenuhi kebutuhan, maka yang bersangkutan mulai belajar.

C. Hakekat Pembelajaran
Salah satu perubahan yang cukup mendasar dalam dunia pendidikan pada dasa warsa terakir ini ialah dalam fungsi guru. Perubahan yang dimaksud ialah guru sebagai pengajar menjadi sebagai pembelajar. Perubahan tersebut telah menimbulkan inplikasi dan implementasi yang cukup besar dalam dunia pen-didikan. Oleh karena itu semua calon guru – tentu juga guru – sangat diha-rapkan untuk dapat memahami dan mengikuti perubahan tersebut. Untuk da-pat memahami konsep pembelajaran itu dengan baik, maka pada bagian ini akan dibahas, latar belakang pengertian dan ciri-cirinya.
a. Latar belakang.
Terjadinya perubahan fungsi guru seperti telah dikemukakan diatas, ber-kaitan erat dengan munculnya perubahan pandangan para ahli. Perubahan pandangan yang dimaksud terutama dalam hal :
1. Pandangan terhadap manusia.
Pandangan orang terhadap manusia berkaitan erat dengan aliran psi-kologi yang berkembang. Dalam sejarah perkembangannya psikologi banyak dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan alam, yang menghasilkan aliran behaviorisme.
Seperti halnya ilmu pengetahuan, mereka memandang manusia se-perti makhluk alam lainnya. Prilaku manusia dikendalikan oleh pe-rubahan-perubahan yang terjadi diluar dirinya. Prilaku manusia dije-laskan dengan teori Stimulus (S) – Respon (R) kalau ada rangsangan (S) yang mempengaruhinya. Tanpa ada rangsangan mustahil ada respon. Oleh karena itu antara stimutus dan respon terdapat hubungan yang kuat (stimulus – respon boud).
Implikasi pandangan tersebut terdapat hubungan guru dengan murid diperbinakan. Dalam hubungan tersebut guru-lah yang lebih domi-nan, lebih aktif. Dipihak lain murid lebih bersifat pasif dan meneri-ma. Munculah istilah yang dikenal dengan “guru mencerek murid mencawan”. Tugas murid disekolah dapat digambarkan dengan D3 yaitu duduk, dengar, dan diam.
Kelemahan pandangan tersebut mudah dilihat, memang diakui bah-wa manusia terdiri dari unsur pisik. Oleh karena itu tidak dapat dis-angkal bahwa, adakalanya prilakunya ditentukan oleh faktor-faktor diluar dirinya. Namun demikian unsur pisik bukan satu-satunya unsur dari makluk yang dinamakan manusia. Dia juga terdiri dari unsur lain, yaitu kemauan, perasaan, dan pikiran. Bahkan unsur-unsur itulah yang lebih lebih berperan dalam kehidupannya. Prilaku manusia lebih banyak ditentukan oleh pikiran, perasaan, kemauan, dan kesa-darannya, hal ini yang dimungkin oleh aliran behavionisme. Cara pandang yang demikian di dalam psikologi dikenal dengan aliran humanisme. Amplikasi cara pandang yang demikian terhadap hubn-gan guru murid mudah diperkirakan. Faktor murid merupakan hal yang paling dominan. Mereka harus dipandang sebagai objek yang harus dihargai, baik dari segi perasaan, pikiran dan kemauan. Hasil bekerja akan lebih banyak ditentukan oleh bagai mana perlakuan guru terhadap unsur-unsur tersebut. Tugas guru bukan lagi sebagai pengajar, namun sebagai pembelajar.

2. Pandangan terhadap tujuan pendidikan.
Salah dampak dari perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat pada dasa warsa terakhir ini ialah ter-jadinya akselerasi perubahan dalam masyarakat.
Dalam masyarakat agroris dan tradisional perubahan-perubahan ber-langsung secara perlahan-lahan, dan dalam rintang waktu puluhan ta-hun. Apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang dapat dianti-sipasi obsernasi yang sangat tinggi. Karena itu kemampuan dan kete-rampilan apa yang akan diperlukan dan karenanya perlu dimiliki oleh anak sudah dapat ditentukan. Oleh karena itu tujuan pendidikan pada masyarakat tersebut ialah membentuk manusia yang siap pakai.
Dalam masyarakat industri yang terjadi malah sebaliknya. Perubahan berlangsung dengan sangat cepat. Dia berlangsung tidak dalam ren-tangan puluhan tahun malah dalam hitungan bulan, bahkan harian. Apa yang akan terjadi dan bagaimana wujud masyarakat yang akan datang sangat sukar untuk diprediksi, kecuali terjadinya perubahan makin cepat. Akibatnya ialah bahwa adalah sangat sukar bagi kita un-tuk menentukan kemampuan dan keterampilan yang bagai mana yang kan diperlukan dan dimiliki oleh anak.
Menghadapi situasi yang demikian, kebijaksanaan mendidik anak menjadi siap pakai merupakan kebijaksanaan yang tidak dapat diper-tanggung jawabkan. Oleh karena itu perlu diambil kebijaksanaan lain yaitu mendidik anak menjadi manusia yang mandiri yaitu yang mam-pu menganalisis situasi yang dihadapi, mencari dan memiliki alternatif pemecahan secara mandiri.
3. Peranan guru.
Dampak lain dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat ialah munculnya eraglobalisasi dan informasi. Dunia dimana kita hidup sekarang ini, menjadi bertambah kecil. Jarak yang begitu jauh yang dulunya ditempuh dalam hitungan bulan sekarang malah dapat dijangkau dalam hitungan hari, bahkan jam. Dewasa ini orang dapat makan pagi di jakarta, makan siang di kairo, makan malam di london. Hal yang tidak dapat dibayangkan pada masa-masa yang la-lu. Salah satu akibatnya ialah bahwa batas-batas antara suatu bangsa dengan bangsa lainnya menjadi lebih kabur.
Era informasi ditandai dengan terjadinya ledakan informasi yang dahsyat dan dikomunikasikan secara cepat dan lancar keseluruh pen-juru angin. Hal yang dimungkinkan dengan adanya perkembangan teknologi media komunikasi, baik cetak maupun elektronik yang canggih. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di belahan dunia lain dapat kita ketahui hanya dalam jarak waktu bilangan jam. Apa yag seka-rang ini kita anggap benar dan baru besoknya dapat berubah menjadi salah dan outdate.
Salah satu implikasi dari era globalisasi dan informasi seperti dike-mukakan diatas ialah bahwa, adalah mustahil bagi seseorang untuk dapat mengikuti dan menguasai semua perkembangan informasi yang terjadi, namun demikian perkembangan informasi tersebut dapat dikemas dan disimpan dalam berbagai bentuk media yang nantinya dapat dipandang sebagai sumbu informasi. Ini berarti kalau dulunya gur dianggap sebagai satu-satunya sumbu informasi bagi murid, maka sekarang anggapan demikian tidak dapat dipertahankan lagi, sekarang ini guru hanya merupakan salah satu sumbu informasi, disamping sumbu lain yang sangat banyak jenis dan jumlahnya. De-wasa ini guru tidak dapat dipandang sebagai orang yang serba tahu, harus dianggap sebagai orang yang serba terbatas. Cara diatas telah menyebabkan terjadinya perubahan dalam peranan gur dari sebagai pengajar sebagai fasilitator.

b. Pengertian
Perubahan pandangan seperti yang telah dijelaskan diatas juga telah mempengaruhi kebijakan dan pelaksanaan hubungan antara guru dan mu-rid. Pada awalnya guru dipandang sebagai pengajar, yang berupaya untuk menyampaikan pengetahuan kepada murid. Istilah mengajar pada waktu itu sangat populer. Munculnya pandangan yang lebih menghargai anak se-bagai manusia (objektif) yang mempunyai perasaan, pikiran dan kemauan, maka prialku guru dipandang sebagai mempunyai nuansa mencekoki anak ddengan berbagai pengetahuan, suatu tindakan dari untuk guru. Padahal para ahli mulai menyadari bahwa sesungguhnya dalam pendidikan dan pengajaran semua usaha dilakukan untuk kepentingan anak bukan untuk guru.
Bersamaan dengan pemikiran diatas, maka istilah mengajar diubah menjadi proses belajar-mengajar, yang lebih menekankan adanya suatu proses intrabsi antara siswa dan guru dimana guru mengajar dan siswa be-lajar. Esensi dari konsep tersebut ialah bahwa siswa telah dihargai kebera-daannya.
Namun demikian lama kelamaan para ahli melihat dan merasakan bahwa istilah diatas mempunyai konotasi yang negatif. Guru cenderung untuk terperosok kepada penataan kegiatan balajar-mengajar secara terpi-sah. Satu pihak ada kegiatan guru dan dipihak lain ada kegiatan siswa. Hal ini menimbulkan kekhawatiran pada sebagain ahli jangan-jangan istilah tersebut pada gilirannya akan menghasilkan cara mengajar gaya lama.
Misi utama seorang guru ialah mendorong atau menyebabkan siswa belajar. Jadi mengajar sekarang diartikan sebagai upaya guru untuk mem-bangkitkan hasrat siswa untuk belajar. Membangkitkan berarti menyebab-kan seseorang bangkit. Istilah ini dianalogikan “membelajarkan”.
Berdasarkan uraian diatas, maka pembelajaran dapat diartikan sebagai:
Upaya pembimbingan terhadap siswa agar yang bersangkutan secara sadar dan terarah berkeinginan untuk belajar dan memproleh hasil be-lajar seoptimal mungkin sesuai dengan keadaan dan kemampuannya.

Dari rumusan diatas ada beberapa pokok pikiran yang perlu dikemukakan:
1. Tugas guru sekarang ini bukanlah mengajar dalam arti mencurahkan atau menyampaikan ilmu pengetahuan namun lebih ditekankan pada memberikan bimbingan, dorongan dan arah pada siswa. Masalah utama yang dihadapi guru ialah apa harus dilakukan agar siswa mau dan berkeinginan untuk bela-jar. Adanya kemauan dan keinginan saja bukanlah cukup, namun perlu dibina dan diarahkan agar kegiatan mereka tetap pada jalan yang benar, sehingga tujuan yang sudah ditetapkan dapat tercapai.
2. Dalam kontek mau dan berkeinginan untuk belajar, diartikan bahwa siswa harus terlibat secara aktif dalam proses perubahan tersebut. Dalam hal ini mereka mungkin mencari, mengamati, membaca, memcatat, merumukan dan mengambil kesimpulan sendiri, pengalaman yang sudah dirancang dengan baik oleh guru. Agar aktivitas mereka berlangsung secara efektif dan efisien, maka pengendalian dari guru sangat penting. Mereka selalu diarahkan, apa yang harus mereka lakukan, mengapa harus dilakukan dan bagai mana mela-kukannya.
3. Sekiranya dengan bimbingan guru kemauan dan keinginan siswa untuk bela-jar sudah tumbuh dan berkembang, maka peluang untuk berhasil dengan baik sudah terbuka lebar. Mereka akan belajar secara serius dan dengan me-manfaatkan fasilitas yang ada sebaik-baik mungkin, dan yang lebih penting lagi ialah bahwa mereka akan menggunakan setiap kesempatan untuk belajar seoptimal mungkin. Kalau situasi yang demikian sudah tumbuh dalam diri siswa, maka hasil belajar yang optimal akan mudah dicapainya. Hasil optimal yang dimaksud disini tentu saja dalam batas-batas keadaan dan kemampuan yang dimilikinya.

Tugas dan latihan.
Mahasiswa diminta untuk mencari dan membuat laporan tertulis tentang bata-san dan pengertian belajar dan penbelajaran menurut beberapa ahli selain yang sudah dikemukakan diatas.

Rangkuman.
Tugas utama seorang guru sekarang ini tidak lagi ditekankan untuk mengajar, tetapi untuk membelajarkan. Yang dimaksud dengan membelajarkan ialah memberi-kan dorongan, bimbingan pada siswa agar mereka secara sadar dan terarah berkeingi-nan untuk belajar, untuk mendapatkan hasil seoptimal mungkin sesuai dengan kea-daan dan kemampuannya masing-masing.
Belajar tidak lagi ditekankan pada penguasaan ilmu pengetahuan, namun diar-tikan sebagai perubahan dalam diri seseorang, berupa adanya pola sambutan yang baru yang dapat dilihat pada perubahan kognitif, afektif, psikomotor.

Daftar Pustaka.
Diningrat dan Mudjiono (1994) Belajar Dan Pembelajaran , Jakarta : P2LPTK.
Witherington, H. Caul (1952) Educational Psychology New York Srina and Compe-ny
BAB III

TUJUAN BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

A. Pendahuluan
Belajar dan Pembelajaran adalah peristiwa yang bertujuan, artinya belajar dan pembelajaran adalah peristiwa yang terikat oleh tujuan, terarah pada tujuan dan dilak-sanakan khusus mencapai tujuan itu. Apabila yang dituju atau yang akan dicapai ialah titik C, maka dengan sendirinya proses belajar dan pembelajaran belum dapat diang-gap selesai apabila yang dicapai didalam kenyataan barulah titik A atau B. Dengan kata lain, taraf pencapaian tujuan belajar dan pembelajaran merupakan petunjuk prak-tis tentang sejauh manakahh interaksi educatif itu harus di bawa untuk mencapai tu-juan yang terakhir. Hal ini berlaku umum baik dalam situasi pendidikan keluarga maupun dalam situasi pendidikan kelompokk-kelompok social lainnya dalam organi-sasi dan sekolah.
Dalam masyarakat yang modern, setiap cabang pendidikan mempunyai pe-doman umum tentang tujuan akhir yang akan dicapai. Bahkan sifat pedoman itu bu-kan saja bersifat filosofis (bersifat hidup) tetapi juga bersifat politik (politik pemban-gunan). Menurut lazimnya, tujuan itu ditetapkan sebagai peraturan atau perundang-undangan. Bagi kita di Indonesia, telah ditetapkan pula dasar, tujuan dari sistim pen-didikan Nasional secara umum yakni Pendidikan Nasional Pancasila. Dari undang-undang serupa itu diperlukan ketentuan-ketentuan bagi tujuan lembaga-lembaga ter-tentu, misalnya tujuan Lembaga Perguruan Tinggi, Tujuan Pendidikan disekolah Da-sar, Maksudnya tidak lain ialah memberikan gambaran umum tentang kualitas manu-sia yang di cita-citakan terbentuk sebagai pengalaman educatif dalam lembaga-lembaga tersebut.
Tentu saja diperlukan satu cara bekerja yang lebih efesien agar tujuan yang sangat luas dan umum itu dapat mencapai bentuk yang nyata. Yang tidak kurang pen-tingnya ialah agar cara bekerja itu memberikan pula jaminan akan kewajaran penca-paian tujuan itu dari satu tingkat yang terendah ketingkat yang lebih tinggi.
Perkiraan mengenai cara tersebut menghasilkan suatu bentuk organisasi beserta pern-gaturannya yang secara umum di secara fundamental.
Tujuan yang sangat luas dan umum agar dapat diwujudkan menjadi tujuan yang nyata, maka menghendaki perumusan tujuan yang menurut hirarkhi tujuan itu adalah untuk mencapai tujuan pendidikan nasional perlu dijabarkan tujuan institusional (tujuan lembaga) dan tujuan kurikulum. Selanjutnya tujuan kurikulum akan dijabarkan kedalam tujuan instraksional (tujuan mata pelajaran) yang pada akhirnya dioperasionalkan kedalam tujuan instruksional umum (TIU) dan tujuan instruksional khusus (TIK).
Namun demikian dalam berbagai tingkat diartikan bahwa ada tujuan yang perlu dicapai lebih dahulu sebelum tujuan lain akan dicapai, dan begitu seterusnya sampai dianggap bahwa tujuan akhir tercapai. Tujuan itu perlu dirumuskan dalam sejumlah tujuan intermedier yang sifatnya khusus, serta dipusatkan pada perubahan pendewasaan anak secara realistic.
Pada perubahan berikutnya akan dijelaskan (a) Pengertian tujuan belajar dan pembelajaran (b) Perlunya tujuan belajar dan pembelajaran (e) Jenis-jenis tujuan belajar dan pembelajaran dan unsure dinamis dalam pembelajaran. Dengan memahami topik-topik ini diharapkan mahasiswa memahami konsep-konsep tentang tujuan belajar dan pembelajaran sehingga dapat merumuskan berbagai tujuan pembelajaran dari yang bersifat umum sampai pada keadaan nyata atau yang bersifat khusus pada mata pelajaran (Bidang Studi) yang ditemukan sehingga dapat dijadikan pengalaman dalam bentuk keterampilan pembelajaran, yang akan mereka pergunakan kalau mereka sudah menjadi pendidik di sekolah ataupun di luar sekolah.

B. Materi
Tujuan Belajar dan Pembelajaran
1. Pengertian tujuan Belajar dan Pembelajaran
Belajar merupakan peristiwa yang sepantasnya dialami oleh anak dalam situasi-situasi tertentu baik di sekolah maupun di luar sekolah (masyarakat). Belajar merupakan hal yang kompleks.
Kompleks belajar itu dipandang dari dua subjek yaitu dari siswa dan guru. Dari segi siswa, belajar dialami sebagai suatu proses siswa mengalami proses mental dalam menghadapi bahan belajar, Bahan belajar tersebut berupa keadaan alam, hewan, tumbuhan, manusia dan bahan yang telah terhimpun dalam buku-buku pelajaran. Dari segi guru, proses belajar tampak sebagai prilaku belajar tentang suatu hal.
Belajar merupakan proses internal yang kompleks. Yang terlibat dalam proses internal tersebut adalah seluruh mental, yang meliputi ranah-ranah kognitif, afiktif dan psikomotorif. Proses belajar yang mengaktualisasi ranah-ranah tersebut tertuju pada bahan belajar tertentu. Sebagai ilustrasi, siswa kelas tiga SMP menggunakan ranah kognitif, tingkat aplikasi dalam memecahkan soal matematika. Hal itu terujud pada penggunaan rumus kuadrat. Pada saat lain, siswa tersebut menggunakan ranah afektif tingkat penilaian dalam apresiasi kesusastraan. Hal itu terujud pada membaca buku belenggu.
Dari segi guru, proses belajar tersebut dapat diawali secara tidak langsung. Artinya proses belajar yang merupakan proses internal siswa tidak dapat diamati, tetapi dapat dapat dipahami oleh guru. Proses belajar tersebut ”tampak” lewat perilaku siswa mempelajari bahan belajar. Perilaku belajar tersebut tampak pada tindakan-tindakan belajar tentang matematika, kesusastraan, olah raga, kesenian, agama dan lain-lain. Prilaku belajar tersebut merupakan respon siswa terhadap tindak mengajar atau tindak pembelajaran dari guru. Prilaku belajar tersebut ada hubungannya dengan desain instruksional guru. Dalam desain instruksional guru membuat sejumlah tujuan instruksional khusus, atau sasaran belajar. Timbul pertanyaan sebagai berikut :
(i) Apakah tujuan instruksional khusus, atau tujuan pembelajaran serupa dengan tujuan pembelajaran ?
(ii) Siapakah yang memiliki tujuan belajar ?
(iii) Kapankah seorang belajar boleh memiliki tujuan belajar sendiri ?

Pola hubungan tujuan pembelajaran, prose belajar, prilaku belajar, dalam rangka eman sipasi diri siswa dilukiskan dalam bagan berikut ini :

Bagan 1 : Pola hubungan pembelajaran dalam rangka emansipasi dari siswa menuju kemandirian (Adaptasi : Flaishman & Quantance, 1984 : 173 ; Billgreidler, 1991 ; Winkel, 1991. Manks, Knocrs, Siti Rahayu; 1989 )
Bagan 1. Melukiskan pola hubungan tujuan pembelajaran, proses belajar dan hal ikhwal yang terjadi pada siswa dalam rangka kemandirian. Secara umum hal-hal tersebut terjadi sebagai berikut :
(1) Guru yang membuat disain instruksional memandang siswa sebagai partneryang memiliki azas emamsipasi diri menuju kemandirian guru menyusun acara pembelajaran.
(2) Siswa memiliki latar pengalaman dan kemampuan awal dalam proses pembelajara.
(3) Tujuan pembelajaran dalam disain instruksional dirumuskan oleh guru berdasarkan pertimbangan-pertibangan tertentu. Tujuan pembelajaran tersebut merupakan sasaran belajar bagi siswa menurut pandangan dan rumusan guru.
(4) Kegiatan belajar-mengajar merupakan tidak pembelajaran guru dikelas. Tindak pembeklajaran tersebut menggunakan bahan belajar. Wujud bahan belajar tersebut berbagai bidang studi disekolah .
(5) Proses belajar merupakan hal yang dialami siswa, suatu respon terhadap segala acara pembelajaran yang diprogramkan oleh guru. Dalam proses belajar tersebut, guru meningkatkan kemampuan-kemampuan kognitif, afektif dan psikomotoriknya.
(6) Prilaku siswa merupakan hasil proses belajar. Prilaku tersebut dapat berupa prilaku yang dikehendaki atau yang tidak dikehendaki. Hanya prilaku-prilaku yang dikehendaki yang diperkuat. Penguatan prilaku yang dikehendaki tersebut dilakukan dengan pengulangan, latihan drill atau aplikasi.
(7) Hasil belajar merupakan suatu puncak proses belajar. Evaluasi itu terjadi terutama berkat evaluasi yang dilakukan oleh guru. Hasil belajar dapat berupa dampak pengajaran dan dampak pengiring. Kedua dampak tersebut bermanfaat bagi siswa dan guru.
(8) Setelah siswa lulus, berkat hasil belajar, siswa menyusun program belajar sendiri. Dalam menyusun program belajar sendiri tersebut sedikit banyak siswa berlaku secara mandiri.
2. Perlunya Tujuan Belajar dan Pembelajaran
Tujuan merupakan satu diantara hal pokok yang harus diketahui dan disadari betul-betul oleh seorang guru sebelum mulai mengajar. Guru tersebut harus dapat memberikan penafsiran yang tepat mengenai jenis dan fungsi tujuan yang akan dicapainya secara kongkrit. Pada proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru untuk suatu bidang studi maka si guru hendaknya merumuskan tujuan instruksionalnya yang mana tujuan ini masih bersifat umum. Secara kongkrit tujuan ini dapat dicapai dengan merumuskan tujuan instruksional umum yang kemudian dijabarkan dalam tujuan instruksional khusus. Dengan kata lain tujuan khusus itu bersumber dari tujuan umum dan juga berarti tujuan khusus itu adalah bagian dari tujuan umum.
Jadi untuk keperluan yang praktis, tujuan umum itu perlu diurai didalam satu susunan atau sistematika tujuan, sehingga mudah bagi mendekati realisasi tujuan umum secara bertingkat atau bertahap ataupun kadang-kadang secara serempak. Dilihat dari sudut ini maka tujuan itu dapat dicapai dalam tahap-tahap kekhususan. Kalau tujuan umum itu hakikatnya adalah tujuan akhir suatu usaha belajar, tujuan-tujuan lainnya yang mengarah pada perujudan tujuan akhir itu dapat disebut tujuan khusus/ intermedier, ini terletak didalam kenyataan bahwa apabila tujuan khusus itu telah tercapai, maka tujuan itu menjadi alat untuk mencapai tujuan khusus lainnya, dan begitu seterusnya. Tujuan khusus itu tidak pernah menjadi tujuan yang terakhir. Dengan demikian kalau tujuan umum dipandang sebagai titik kulminasi maka tujuan khusus adalah titik terminal.
Yang dibutuhkan oleh guru secara praktis ialah perperincian tujuan umum sampai pada suatu taraf yang sedemnikian rupa sehingga yang diperlukan itu haruslah sedemikian rupa sehingga mencapai taraf yang dapat diukur dan dinilai. Jadi taraf kekhususan itu harus memungkinkan seseorang guru mengukur taraf pencapaian tujuan serta menilai setiap fase perubahan, (kematangan) tingkah laku yang diharapkan terjadi. Dengan demikian guru dapat lebih mudah menetapkan bentuk tingkah laku yang khusus akan diukurnya sesuai dengan tujuan yang khusus itui pula. Karena itu menjadi kewajiban guru untuk dengan sungguh-sungguh mengadakan analisa dan pengelompokan berdasarkan kategori mengenai susunan atau taraf tujuan-tujuan khusus. Pengelompokan berdasarkan analisa serupa ini taxsomi. Hasil-hasil pemikirannya kerap kali dirumuskan dalam disain instruksional (persiapan pengajaran).

3. Jenis-Jenis Tujuan Belajar dan Pembelajaran
Kegiatan belajar dan pembelajaran adalah suatu proses yang bertujuan dimana antara siswa dan guru sama-sama mengupayakan agar kegiatan pembelajaran memperoleh hasil belajar yang maksimal. Dengan demikian tujuan pembelajaran itu terdiri dari tujuan instruksional (tujuan mata-mata pelajaran), tujuan instruksional umum (tujuan umum) dan tujuan instruksional khusus (sasaran belajar). Ketiga jenis tujuan itu mempunyai hirarkhi yang jelas dimana tujuan instruksi awal dijabarkan melalui tujuan instruksional umum kemudian masing-masingnya dijabarkan pula menjadi sejumlah tujuan instruksi awal khusus.
Dari segi siswa sasaran belajar (TIK) merupakan panduan belajar. Sasaran belajar tersebut diketahui oleh siswa sebagai akibat adanya informasi guru. Panduan belajar tersebut harus diikuti, sebab mengisyaratkan criteria keberhasilan belajar. Keberhasilan belajar siswa merupakan prasyarat bagi program belajar selanjutnya. Keberhasilan belajar siswa berarti “tercapainya” tujuan belajar siswa, dengan demikian tercapainya tujuan instruksional, dan sekaligus tujuan belajar “perantara” bagi siswa. Dengan keberhasilan belajar, maka siswa akan menyusun program belajar dantujuan belajar. Bagi siswa hal itu berani melakukan emansipasi dalam rangka mewujudkan kemandirian.
Siswa adalah subjek yang terlibat dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Dalam kegiatan tersebut siswa mengalami tindak mengajar, dan merespons dengan tindak belajar. Semula siswa belum memahami pentingnya belajar, namun berkat informasi tentang sasaran belajar maka mereka mengatakan apa dan arti bahan belajar baginya : Siswa mengalami suatu proses belajar. Dalam proses belajar tersebut siswa menggunakan kemampuan mentalnya untuk mempelajari bahan belajar. Kemampuan–kemampuan kognitif, afektif dan pikomotorik yang dibelajarkan dengan bahan belajar menjadi semakin rinci dan mengerti. Adanya informasi tentang sasaran belajar, adanya penguatan-penguatan, adanya evaluasi dan keberhasilan belajar menyebabkan siswa semakin sadar akan kemampuan dirinya. Hal ini memperkuat keinginan untuk semakin mandiri.
Dari segi guru, guru memberikan informasi tentangsasaran belajar. Bagi siswa sasaran belajar tersebut merupakan tujuan belajarnya “sementara”. Dengan belajar maka kemampuan meningkat. Meningkatnya kemampuan mendorong siswa untuk mencapai tujuan belajar yang baru. Bila semula siswa menerima tujuan belajar dari guru maka makin lama siswa membuat tujuan belajar sendiri. Dengan demikian makin lama siswa akan membuat program belajarnya sendiri.
Dengan kegiatan interaksi belajar mengajar, guru membelajarkan siswa dengan harapan siswa belajar. Dengan belajar maka kemampuan siswa meningkat. Ranah kognitif, afektif dan psikomotorik siswa semakin berfungsi. Karenanya sebagai guru hendaknya mampu merumuskan sasaran belajar yang dapat menjaring ketiga ranah tersebut sehingga kompetensi yang diharapkan pada siswa cukup luas. Untuk merumuskan tujuan belajar, si guru hendaknya memperhatikan beberapa hal yang harus dijadikan pedoman untuk perumusan operasional yang baik yaitu:
1) Berpusat pada perubahan tingkah laku siswa
2) Mengkhususkan dalam bentuk-bentuk yang terbatas
3) Realistis bagi kebutuhan perkembangan siswa.
Seringkali ditemukan tujuan khusus yang memang belum atau tidak cukup khusus perumusannya. Dalam hal ini maka guru akan menjalani kesulitan didalam menentukan patoak-patokan yang dapat dipakai sebagai “ pegangan atau acuan” bila sampai masanya dia harus mengadakan evaluasi. Kesulitan yang dihadapi oleh guru bila perumusan itu tidak dipusatkan pada perubahan tingkah laku siswa ialah bahwa perumusan itu terpusat pada dua kemungkinan yang lain : terpusat pada materi yang diajarkan atau terpusat pada guru yang mengajar. Tidak satupun dari kedua kemungkinan yang terakhir ini menolong guru untuk menarik kesimpulan tentang siswanya, pada hal siswa ah yang menjadi factor utama dalam hal ini. Walaupun dua syarat telah terpenuhi secara teknis (khusus dan berpusat opada siswa) tepapi bila yang ketiga diabaikan, maka segala aktivitas pengajaran akan sia-sia karena pencapaian tujuan tersebut tidak menjamin satu fase yang secara fungsional mempersiapkan guru dan siswa untuk mencapai fase lain yang lebih tinggi kedudukannya didalam sistim pentarafan tujuan umum.
Yang lazim diperbuat oleh guru-guru yang belum menyadari pentingnya perumusan tujuan dalam pembelajaran ialah :
1) Merumuskan tujuan terlalu umum
2) 2) Merumuskan tujuan dari sudut guru
3) Merumuskan tujuan dari sudut bahan pelajaran
4) Tidak merumuskan tujuan sama sekali
Bila tujuan dirumuskan dalam istilah-istilah yang umum dan luas, sulit bagi guru untuk mengadakan evaluasi mengenai hasil pelajaran. Begitu pula apabila tujuan ditinjau hanya dari sudut guru atau dari mata (bahan) pelajaran. Apabila yang akan dinilai perubahan tingkah laku siswa, jelas bahwa patokan-patokan pemnilaian akan menjadi sangat kabur.
Jadi dapat dikatakan bahwa tujuan yang secara umum yang dihadapi oleh seorang guru harus diperincididalam praktek untuk memberi isi dan makna yang nyata. Agar guru itu dapat memerincinya dengan baik, cara yang sepatutnya ditempuh oleh guru ialah :
1) Memerinci tujuan umum secara khusus
2) Memusatkan kekhususan itu pada diri anak didik, dan
3) Menetapkan kewajaran tujuan khusus itu ditinjau dari kebutuhan riil dari anak didik.
Didalam praktek kelak akan nyata bagaimana besar manfaatnya untuk mempergunakan pedoman tersebut.
Tujuan belajar itu penting bagi guru dan siswa sendiri. Tujuan tersebut berfaedah bagi guru untuk membelajarkan Siswa. Dalam hal ini ada kesejajaran pada tujuan belajar (seseorang belajar) dengan tujuan belajar siswa. Kesejajaran tersebut dapatdilukiskan dalam bagan 1.2 berikut:

Acara Pembelajaran
Sasaran belajar – Pokok bahasan – Evaluasi
Sesuai denganprogram pendidikan

Sasaran Sasaran Sasaran Sasaran
Belajar Belajar Belajar Belajar
01 02 03 04

Kemampuan Kemampuan Kemampuan Kemampuan
Meningkat meningkat meningkat meningkat
01 02 03 04
Pencapaian Tujuan-Tujuan Belajar
Untuk Mencapai Kemandirian

Kegiatan Belajar
Bagan 1.2 Kesejajaran sasaran belajar dan tujuan belajar siswa dalam kegiatan belajar menuju kemandirian (adaptasi: Briggs & J elfer, 1987 Monks Knours & Siti Rahayu 1989, Winkel 1991)
Bagan ini melukiskan kesejajaran tindakan guru mencapai sasaran belajar dan tindakan siswa yang belajar untuk mencapai tujuan belajar sampai lulus dan mencapai tingkat kemandirian.
1) Guru menyusun acara pembelajaran dan berusaha mencapai sasaran belajar, suatu perilaku yang dapat dilakukan oleh siswa.
2) Siswa melakukan tindakan belajar yang meningkatkan kemampuan-kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Akibat belajar itu siswa mencapai tujuan berlajar tertentu. Dengan makin meningkatnya kemampuan maka secara keseluruhan siswa dapat mencapai tingkat kemandirian.
6. Unsur-unsur Dinamis dalam Pembelajaran
Dari bagan 1.2 dan 1.3 dapat diketahui bahwa belajar merupakan proses internal siswa dan pembelajaran merupakan kondisi eksternal belajar. Dari segi siswa belajar merupakan peningkatan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik menjadi lebih baik. Timbul pertanyaan “Bagaimana cara siswa meningkatkan kemampuan dirinya tersebut ?”. Dari segi guru belajar merupakan akibat tindakan pembelajaran. Timbul pertanyaan “Bagaimana cara guru meningkatkan acara pembelajaran sehingga siswa belajar secara berhasil ?”.
1) Dinamika siswa dalam belajar
Bloom dan kawan-kawan tergolong pelopor yang mengkategorikan je-nis perilaku hasil belajar. Kebaikannya terletak pada rincinya jenis perilaku yang terkait dengan kemampuan internal dan kata-kata kerja operasional. Jenis perilaku tersebut dipandang bersifat hirarkhis. Walaupun ada ktirik-kritik ten-tang taxsonami Bloom, kerja taxsonami Bloom masih dapat dipakai untuk mempelopori prilaku dan kemampuan internal akibat belajar.
Ada 6 jenis perilku dari rarah kognitif adalah sebagai berikut :
(i) Pengetahuan, mencakup kemampuan irgatas tentang hal yang telah dipelajari dan tersimpan dalam irgatas. Pengetahuan itu berkenaan dengan fakta, peristiwa, pengertian, kaedah, teori, prinsip atau metode.
(ii) Pemahaman, mencakup kemampuan menangkap arti dan makna hal yang dipelajari.
(iii) Penerapan, mencakup kemampuan menerapkan metode dari kaedah untuk menghadapi masalah yang nyata dan baru. Misalnya menggunakan prinsip.
(iv) Analisis, mencakup kemampuan merinci suatu kesatuan dalam bagian-bagian sehingga struktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik. Misalnya menguraikan masalah menjadi bagian yang telah kecil.
(v) Sintesis, mencakup kemampuan membentuk suatu pola baru. Misalnya ke-mampuan menyusun suatu program kerja.
(vi) Evaluasi, mencakup kemampuan membentuk pendapat tentang beberapa hal berdasarkan kriteria tertentu. Misalnya kemampuan menilai hasil karangan.
Keenam jenis perilaku ini bersifat hierarkhis, artinya perilaku pengeta-huan tergolong terendah dan perilaku evaluasi tergolong tertinggi. Perilaku yang terendah merupakan perilaku yang haru dimiliki terlebih dahulu sebelum mem-pelajari perilaku yang lebih tinggi. Untuk dapat menganalisis misalnya, siswa harus memiliki pengetahuan, pemahaman penerapan tertentu. Rarah kognitif yang hierarkhis tersebut dapat dilukiskan dalam bagan 1.3 berikut :

Tinggi 6. Evaluasi
Kemampuan menilai berdasarkan norma seperti menilai mutu karangan.
5. Sintesis
Kemampuan menyusun seperti karangan, rencana, program kerja dsb.

4. Analisis
Kemampuan memisahkan membedakan seperti merinci bagian-bagian,hubunganantara dsb.
Rendah 3. Penerapan
Kemampuan memecahkan masalah, membuat bagan, menggunakan konsep, faedah, prinsip, metode, dsb.
2. Pemahaman
Kemampuan menterjemahkan, menafsirkan, memperkirakan, memahami isi pokok, meng artikan tabel dsb
1.Pengetahuan
Kemampuan mengetahui atau mengingat istilah fakta, aturan, metode ds

Bagan 1.3 hierarkhis jenis perlaku dan kemampuan internal menurut Taxsonami Bloom dan kawan-kawan {Adaptasi dari internal, (1991 : 149-176), Martin dan Briggs, (1986, 66-72). Fleisman dan Quan Tance (1984: 406-411)}.
Dari bagan 1.3 dapat diketahui bahwa siswa yang belajar akan memperbaiki kemampuan internalnya. Dari kemampuan-kemampuan awal pada pra-belajar, meningkat memperoleh kemampuan-kemampuan yang tergolong pada keenam jenis perilaku yang dididikan di sekolah.
Ranah afektif (Karthwohl dan Bloom, dan kawan-kawan) terdiri dari li-ma jenis perilaku sebagai berikut :
(i) Penerimaan, yang mencakup kepekaan tentang hal tertentu dna kesediaan memperhatikan hal tersebut. Misalnya kemampuan mengakui adanya perbe-daa-perbedaan tersebut.
(ii) Partisipasi, yang mencakup kerelaan, kesediaan memperhatikan dan berparti-sipasi dalam suatu kegiatan. Misalnya mematuhi aturan dan berpartisipasi da-lam suatu kegiatan.
(iii) Pemikiran dan penentuan sikap yang mencakup menerima sesuatu nilai, menghargai, mengakui dan menentukan sikap. Misalnya menerima sesuatu pendapat orang lain.
(iv) Organisasi, yang mencakup kemampuan membentuk suatu sistem nilai sebagai pedoman dan pegangan hidup. Misalnya menempatkan nilai dalam suatu skala nilai dan dijadikan pedoman bertindak secara bertanggung jawab.
(v) Pembentukan pola hidup, yang mencakup kemampuan menghayati nilai dan membentuknya menjadi pola nilai kehidupan pribadi. Misalnya kemampuan mempertimbangkan dan menunjukkan tindakan yang berdisiplin.
Kelima jenis perilaku tersebut tampak mengandung tumpang tindih, dan juga berisi kemampuan kognitif. Kelima jenis perilaku tersebut bersifat hirarkhis. Prilaku penerimaan merupakan jenis perilaku terendah dan perilaku pem-bentukan pola hidup merupakan perilaku tertinggi. Rarah afektif yang hirarkhis tersebut dapat dilukiskan dalam bagan 1.4 berikut :

5. Pembentukan
Kemampuan menghayati nilai sehingga menjadi pegangan hidup

Rendah

Tinggi
4. Organisasi
Kemampuan membentuk sistem nilai sebagai pe-doman hidup

3. Penilaian dan penentuan sikap
Kemampuan memberikan nilai dan menentukan sikap

2. Partisipasi
Kerelaan memperhatikan dan berpartisipasi dalam suatu kegiatan

1. Penerimaan
Kemampuan menjadi peka tentang suatu hal yang me- nerima sebagai mana adanya

0 pra belajar

Tabel 1.4. Hierarkhis jenis prilaku dan kemampuan internal menurut Taxsonami Krathwohl dan Bloom dkk, (Adaptasi dari Winkel, 1991 : 152-170, Martin dan Briggs, 1986 : 76-83).
Dari bagan 1.4 diketahui bahwa siswa yang belajar akan memperbaiki kemampuan-kemampuan internalnya yang afektif. Siswa mempelajari kepekaan tentang sesuatu hal sampai pada penghayatan nilai sehingga menjadi suatu pe-gangan hidup.
Rarah psikomotorik (Simpson) terdiri dari tujuh jenis perilaku :
(i) Persepsi, yang mencakup kemampuan memilah-milahkan (mendes-kriminasikan) hal-hal secara khas, dan menyadari adanya perbedaan yang khas tersebut, misalnya pemilahan warna, angka 6 (enam) dan 9 (sembilan), huruf b dan d.
(ii) Kesiapan, yang mencakup kemampuan penempatan dari dalam keadaan di-mana akan terjadi suatu gerakan atau rangkaian gerakan. Kemampuan ini mencakup jasmani dan rohani. Misalnya posisi start lomba lari.
(iii) Gerakan terbimbing, mencakup kemampuan melakukan gerakan sesuai contoh, atau gerak peniruan. Misalnya meniru gerak lari, membuat lingkaran di atas pola.
(iv) Gerakan yang terbiasa, mencakup kemampuan melakukan gerakan-gerakan tanpa contoh. Misalnya melakukan lompat-lompat tinggi dengan tepat
(v) Gerakan kompleks, yang mencakup kemampuan melakukan gerakan atau ke-terampilan yang terdiri dari banyak tahap, secara lancar, efisien dan tepat. Mi-salnya bongkar pasang peralatan secara tepat.
(vi) Penyesuaian pola gerakan, yang mencakup kemampuan mengadakan peruba-han dan penyesuaian pola gerak-gerik dengan persyaratan khusus yang berla-ku. Misalnya keterampilan bertanding lawan tanding.
(vii) Kreativitas, mencakup kemampuan melahirkan pola-pola gerak-gerik yang baru atas prakarsa sendiri. Misalnya kemampuan membuat kreari tari baru.
Ketujuh perilaku tersebut mengandung urutan taraf keterampilan yang berurutan dan berangkai. Kemampuan-kemampuan tersebut merupakan urutan fase-fase dalam proses belajar motorik. Urutan fase-fase motorik tersebut bersifat hirarkhis. Ranah psikomotorik dapat dilukiskan dalam bagan 1.5.

7. Kreativitas

Kemampuan
menciptakan
Tinggi pola baru

6. Penyesuaian

Kemampuan engubah
dan mengatur sendiri
5. Gerakan
kompleks

Berketerampilan lewes,
Lancar Gesit dan licah
Rendah 4. Gerakan
terbiasa

Keterampilan yang
Berpegang pada pola-pola
3. Gerakkan
terbimbing

Kemampuan meniru contoh
2. Kesiapan

Kemampuan bersiap diri secara pisik
1.Persepsi

Kemampuan memilah-milah dan kepekaan terhadap hal
0. Pra Belajar

Bagan 1.5. Hierarkhis perilaku dan kemampuan psikomotorik Taxonomi Simpson (Adaptasi dari Winkel, 1991 : 153-170, Fleisman dan Quan Tance, 1984 : 171 – 173, 412).
Dari bagai 1.5 dapat diketahui bahwa belajar kemampuan-kemampuan psikomotorik, belajar berbagai kemampuan gerak dapat dimulai dengan kepekaan dan memilah-milah sampai dengan kreativitas pola gerak baru. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan psikomotorik mencakup kemampuan fisik dan mental.
Siswa yang belajar berarti memperbaiki kemampuan-kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Dengan meningkatnya kemampuan-kemampuan tersebut maka keinginan, kemauan dan perhatian pada lingkungan sekitarnya makin bertambah.
2) Dinamika guru dalam kegiatan pembelajaran
Peranan guru dalam proses pembelajaran sangat hirarkhis dalam dina-misasi siswa dalam belajar. Peranana tersebut dapat dikondisikan agar terja-dinya peranan belajar siswa. Kondisi pembelajaran tersebut melalui acara-acara pembelajaran yang berpengaruh pad aproses belajar yang dapat ditentukan oleh guru. Kondisi eksternal yang berpengaruh pada belajar yang penting adalah bahan belajar, saran belajar, media dan sumber belajar dan subjek pembelajaran itu sendiri.
a. Bahan belajar
Bahan belajar merupakan sajian yang harus diberikan pada siswa be-rupa pengetahuan, perilaku, nilai, sikap dan metode perolehan. Bahan bela-jar dapat diperoleh dari berbagai buku-buku atau pun sumber-sumber lain-nya yang menyajikan pokok bahasan yang akan dijabarkan dalam perte-muan-pertemuan belajar.
Pertimbangan-pertimbangan yang perlu diperhatikan guru untuk me-milih bahan belajar adalah :
(i) Apakah isi bahan belajar sesuai dengan sasaran belajar
(ii) Bagaimanakah tingkat kesetaraan bahan belajar bagi siswa
(iii) Apakah isis bahan belajar tersebut menuntut digunakannya strategi be-lajar mengajar tertentu
(iv) Apakah evaluasi hasil belajar sesuai dengan baha belajar tersebut.

b. Susunan belajar
Kondisi gedung sekolah, tata ruang kelas, alat-alat belajar dan penga-ruhnya terhadap kegiatan belajar. Disamping kondisi fisik tersebut, suasana pergaulan di sekolah juga berpengaruh pada kegiatan belajar. Guru mem-punyai peranan penting dalam menciptakan suasana belajar yang menarik. Beberapa pertimbangan yang penting dilakukan oleh guru adalah
(i) Apakah gedung sekolah membuat kenyamanan belajar
(ii) Apakah pergaulan antar orang-orang yang terlibat proses pembelajaran menyenangkan
(iii) Apakah siswa memiliki ruang belajar di rumah
(iv) Apakah siswa memiliki kelompok-kelompok yang dapat merusak tertib pergaulan, maka perlu melakukan pencegahan.
c. Media dan sumber belajar
Guru berperan penting dalam menempatkan media dan sumber belajar. Beberapa pertimbangan yang harus dilakukan oleh guru :
(i) Apakah media dan sumber belajar tersebut bermanfaat untuk mencapai sasaran belajar
(ii) Apakah isi pengetahuan pada media massa dapat digunakan sebagai sumber belajar pada pokok bahasan tertentu
(iii) Apakah isi pengetahuan pada alam dan lingkungan ada bermanfaat un-tuk pokok bahasan tertentu.
d. Guru sebagai sumber belajar
Guru adalah sumbjek pembelajaran siswa. Disadari bahwa setiap sis-wa memiliki perbedaan individu yang harus dipahami oleh guru dalam membimbing mereka di sekolah.
Untuk itu peranan penting guru dalam acara pembelajaran adalah :
(i) Membuat desain pembelajaran secara tertulis, lengkao dan menyeluruh
(ii) Meningkatkan diri menjadi seorang guru yang berkepribadian utuh
(iii) Bertindak sebagai guru yang mendidik
(iv) Meningkatkan profesionalitas keguruan
(v) Melakukan pembelajaran sesuai dengan berbagai model pembelajaran yang sesuai dengan kondisi siswa, bahan belajar dan kondisi sekolah setempat
(vi) Dalam berhadapan dengan siswa, guru berperan sebagai fasilitator bela-jar, pembimbing belajar dan memberi perbaikan belajar.
Dengan adanya peran-peran tersebut, maka sebagai pengajar guru adalah pembelajar sepanjang hayat (Winkel, 1991: Monks, Knoers. Siti Rahayu 1989 : Biggs dan Telfer 1987).
Tugas dan Latihan
1. Jelaskan dengan kata-kata sendiri apa yang dimaksud dengan tujuan belajar dan tujuan pembelajaran.
2. Jelaskan apa manfaat merumuskan tujuan belajar bagi guru.
3. Sebutkan syarat-syarat dalam merumuskan tujuan belajar (sasaran belajar).
4. Bandingkan apa faedah tujuan pembelajaran bagi guru dan siswa.
5. Dapatkah dikatakan bahwa pengajaran yang berhasil adalah juga belajar yang berhasil. Mengapa demikian?
6. Sebutkan hierarki rarah kognitif, afektif dan psikhomotorik yang diperoleh da-lam proses pembelajaran.
7. Jelaskan kondisi-kondisi eksternal yang berpengaruh pada kegiatan pembelaja-ran.
8. Sebutkan langkah-langkah guru untuk mendidik pentingnya pembuatan pro-gram belajar bagi siswa SLTP dan SMU.
9. Sebutkan upaya yang dapat dilakukan guru untuk membuat suasana belajar yang berhasil di sekolah.
10. Carilah informasi dari siswa SLTP atau SMU, apakah mereka sudah memiliki program belajar dan tujuan belajar sendiri. Laporkan temuan anda dan bagai-mana komentar anda tentang temuan tersebut.

Rangkuman
Belajar yang dihayati oleh seorang pelajar (siswa) ada hubungannya dengan usaha pembelajaran. Usaha pembelajaran merupakan kegiatan yang disengaja dan di sadari, karenanya seorang guru yang menata acara pembelajaran haruslah meru-muskan tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran dirumuskan mulai dari yang ber-sifat umum seperti tujuan lembaga, tujuan kurikulum, tujuan instruksional sampai pada yang bersifat khusus yaitu sasaran belajar yang dirumuskan secara operasional agar kegiatannya nyata dan dapat diukur.
Dalam hal mengoperasionalkan sasaran belajar yang berorientasi pada prilaku yang belajar maka hendaknya menjaring rarah kognitif, afektif dan psikomotorik dengan berbagai tingkat.
Belajar yang terjadi pada individu merupakan prilaku kompleks, tindak inte-raksi antara si belajar dan pembelajar yang bertujuan, oleh karena itu belajar dapat didinamiskan melauli perlakuan yang bersifat internal yang berkaitan dengan rarah kognitif, afektif dan psikomotorik yang kesemuanya itu terkait dengan tujuan pembe-lajaran.
Usaha guru untuk menciptakan kedinamisan belajar berkaitan dengan faktor eksternal yaitu kesiapan guru dalam menata bahan belajar, penciptaan suasan belajar yang menyenangkan, mengoptimalkan media dan sumber, memaksimalkan peranan sebagai pembelajar.

Daftar Pustaka
Bell Gredler, Margareth E. 1991. Belajar dan Pembelajaran (terjemahan Munandir), Jakarta: Rajawali Pers
Biggs, Jonh B dan Tefler, Roos. 1987. The Process of Learning, Sydney: Prentice-Hall of Australia Pty Ltd
Fleismen, Edwin A dan Quaintance, Marilyn K. 1984. Taxonomies of Human Per-formance, New York : Academie Press, Inc
Dimyanti. 1994. Belajar dan Pembelajaran, Proyek P3 PT KSM, Jakarta
Martin, Barbara L, Briggs, Leslie J. 1986. The Affective and Cognitive Domains, New Jersey : Educational Technologi Publications
Monks, Fj Kamvers, AMP, Siti Rahayu Haditomo. 1989. Psikologi Perkembunan, Yogyakarta : Gajah Mada University Press
Rooijakkers, Ad. 1990. Mengajar dengan Sukses, Jakarta : Gramedia
Winkel, WS. 1991. Psikologi Pengajaran. Jakarta : Gramedia
Winirno Surakhmad. 1982. Pengantar Interaksi Belajar Mengajar. Tarsito : Ban-dung
Woolkfolh, Anita E. Nicolich, Lorraine, Mc Cene. 1980. Educational Psychologi for Teacher, Sydney : Prentice-Hall of Australia Pty Ltd.
BAB IV
PRINSIP BELAJAR DAN IMPLIKASINYA
DALAM PEMBELAJARAN

A. Pendahuluan
Pada bagian ini menyajikan informasi dan pembahasan mengenai prinsip bela-jar dan implikasinya dalam pembelajaran. Anda telah mempelajari konsep belajar dan pembelajaran yang secara konseptual menjadi dasar dari uraian berikut ini.
Setelah mempelajari bagian ini anda diharapkan dapat menjelaskan prinsip be-lajar, prinsip belajar merujuk pada kepercayaan mengenai hubungan dua hal atau lebih yang selanjutnya dijadikan patokan dalam melihat, mengkaji dan memperlakukan sesuatu.
Dalam bagian ini akan disajikan pembahasan mengenai :
1. Prinsip belajar ditinjau dari segi proses dan hasil belajar
2. Implikasi prinsip belajar

B. Prinsip Siswa Aktif
Mengajar adalah membimbing kegiatan belajar siswa sehingga ia mau belajar. “Teaching is the guidance of learning activitas, teaching is for purpose of aiding the pupil learn”. (Burton).
Dengan demikian aktivitas murid sangat diperlukan dalam kegiatan, belajar mengajar sehingga siswalah yang seharusnya banyak aktif, sebab siswa sebagai subjek didik adalah merencanakan, dan ia sendiri yang melaksanakan belajar.
Pada kenyataannya di sekolah-sekolah sering kali guru yang aktif sehingga siswa tidak diberi kesempatan untuk aktif. Betapa pentingnya aktivitas belajar siswa dalam proses belajar mengajar sehingga John Dewey sebagai tokoh pendidikan, men-gemukakan pentingya prinsip ini melalui metode proyeknya dengan semboyan “learning by doing”. Bahkan tokoh lainnya seperti Rousseau, Pestalozi, Probel dan Montessory telah mendukung prinsip aktivitas dalam pengajaran.
Aktivitas belajar siswa yang dimaksud disini adalah aktivitas jasmaniah mau-pun aktivitas mental. Aktivitas belajar siswa dapat digolongkan ke dalam beberapa hal.
1. Aktivitas visual seperti membaca, menulis, melakukan eksperimen dan Demonstrasi
2. Aktivitas lisan seperti bercerita, membaca sajak, tanya jawab, diskusi, me-nyanyi.
3. Aktivitas mendengarkan seperti mendengarkan penjelasan guru, ceramah, pengarahan.
4. Aktivitas gerak seperti senam, atletik, menari, melukis.
5. Aktivitas menulis seperti mengarang, membuat makalah, membuat surat
Setiap jenis aktivitas tersebut memiliki kadar atau bobot yang berbeda bergantung pada segi tujuan mna yang akan dicapai.

C. Prinsip Motivasi
Tujuan untuk belajar diperlukan untuk suatu proses belajar yang terarah. Mo-tivasi adalah suatu kondisi dari siswa untuk memprakarsai kegiatan, mengatur arah kegiatan itu, dan memelihara kesungguhan. Secara alami siswa selalu ingin tahun dan melakukan kegiatan penjajakan dalam lingkungannya. Rasa ingin tahun ini seyo-gyanya didorong dan bukan dihambat dengan memberikan aturan yang sama untuk semua siswa.
Berkenaan dengan motivasi ini ada prinsip yang seyogyanya kita perhatikan.
1. Individu bukan hanya didorong oleh kebutuhan untuk memenuhi kebutu-han biologis, social dan emosional tetapi di samping itu ia dapat diberi do-rongan untuk mencapai sesuatu yang lebih dari yang ia miliki saat ini.
2. Pengetahuan tentang kemajuan yang dicapai dalam memenuhi tujuan mendorong terjadinya peningkatan usaha. Pengalaman tentang kegagalan yang tidak merusak citra diri siswa dapat memperkuat kemampuan meme-liharan kesungguhannya dalam belajar.
3. Dorongan yang mengatur perilaku tidak selalu jelas bagi siswa. Contohnya seorang siswa yang mengharapkan bantuan dari gurunya bisa berubah lebih dari itu, karena kebutuhan emosi daripada karena keinginan untuk mencapai sesuatu.
4. Motivasi dipengaruhi oleh unsur-unsur kepribadian seperti rasa rendah diri, atau keyakinan diri. Seorang siswa yang termasuk pandai atau kurang juga bisa menghadapi masalah.
5. Rasa aman dan keberhasilan dalam mencapai tujuan cenderung mening-katkan motivasi belajar. Kegagalan dapat meningkatkan atau menurunkan motivasi tergantung berbagai faktor. Tidak bisa setiap siswa diberi doron-gan yang sama untuk melakukan sesuatu.
6. Motivasi bertambah bila para siswa memiliki alasan untuk percaya bahwa sebagian besar dari kebutuhannya dapat dipenuhi.
7. Kajian dan penguatan guru, orang tua, dan teman sebaya berpengaruh ter-hadap motivasi dan perilaku.
8. Insentif dan hadiah material kadang-kadang berguna dalam situasi kelas, memang ada bahayanya bila siswa belajarja karena ingin mendapat hadiah dan bukan karena memang ingin belajar.
9. Kompetisi dan insentif bisa efektif dalam memberi motivasi, tapi bila ke-sempatan untuk menang begitu kecil kompetisi dapat mengurangi motivasi dalam mencapai tujuan.
10. .Sikap yang baik untuk belajar dapat dicapai oleh kebanyakkan individu dalam suasana belajar yang memuaskan.
11. Proses belajar dan kegiatan yang dikaitkan kepada minat siswa saat itu da-pat mempertinggi motivasi.

D. Prinsip Perbedaan Individu
“Proses belajar bercorak ragam bagi setiap orang”. Proses pengajaran seyo-gyanya memperhatikan perbedaan individual dalam kelas sehingga dapat memberi kemudahan pencapaian tujuan belajar yang setinggi-tingginya. Pengajaran yang hanya memperhatikan satu tingkat sasaran akan gagal memenuhi kebutuhan siswa. Karena itu seorang guru perlu memahami latar belakang, emosi, dorongan dan kemampuan individu dan penyesuaian materi pelajaran dan tugas-tugas belajar kepada aspek-aspek tersebut.
Berkenaan dengan perbedaan idividual ada beberapa hal yang perlu diingat :
1. Siswa harus dapat dibantu untuk memahami kekuatan dan kelemahan di-rinya dan selanjutnya mendapat perlakuan dan pelayanan kegiatan, tugas belajar dan pemenuhan kebutuhan yang berbeda-beda.
2. Siswa perlu mengenal potensinya dan seyogyanya dibantu untuk meren-canakan dan melaksanakan kegiatannya sendiri.
3. Siswa membutuhkan variasi tugas, bahan, dan metode yang sesuai dengan tujuan, minat dan latar belakangnya.
4. Siswa cenderung memilih pengalaman belajar yang sesuai dengan penga-lamannya masa lampau yang bermakna untuknya. Setiap siswa biasanya memberi respon yang berbeda-beda karena memang setiap orang memiliki persepsi yang berbeda mengenai pengalamannya.
5. Kesempatan-kesempatan yang tersedia untuk belajar dapat diperkuat bila individu tidak merasa terancam lingkungannya, sehingga ia merasa mer-deka untuk turut ambil bagian secara aktif dalam kegiatan belajar. Mana-kala siswa memiliki kemerdekaan untuk berfikir dan berbuat sebagai indi-vidu, upaya untuk memecahkan masalah motivasi dan kreativitasnya akan lebih meningkat.
6. Siswa yang didorong untuk mengembangkan kekuatannya akan mau bela-jar lebih giat dan sungguh-sungguh. Tapi sebaliknya bila kelemahannya yang lebih ditekankan maka ia akan menunjukkan ketidakpuasannya bela-jar.

E. Prinsip Kesiapan
Proses belajar dipengaruhi kesiapan siswa. Yang dimaksud dengan kesiapan atau readiness ialah kondisi individu yang memungkinkan ia dapat belajar. Berkenaan dengan hal itu terdapat berbagai macam taraf kesiapan belajar untuk suatu tugas khu-sus. Seseorang siswa yang belum siap untuk melaksanakan suatu tugas dalam belajar akan mengalami kesulitan atau malah putus asa. Yang termasuk kesiapan ini ialah kematangan dan pertumbuhan fisik, intelegensi, latar belakang pengalaman, hasil be-lajar yang baku, motivasi, persepdi dan faktor-faktor lain yang memungkinkan seseo-rang dapat belajar.
Berdasarkan dengan prinsip kesiapan ini dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut :
1. Seseorang individu akan dapat belajar dengan sebaik-baiknya bila tugas-tugas yang diberikan kepadanya erat hubungannya dengan kemampuan, minat dan latar belakangnya.
2. Kesiapan untuk belajar harus dikaji bahkan diduga. Hal ini mengandung arti bila seseorang guru ingin mendapat gambarab kesiapan siswanya untuk mempelajari sesuatu, ia harus melakukan pengetesan kesiapan.
3. Jika seseorang individu kurang memiliki kesiapan untuk suatu tugas, ke-mudian tugas itu seyogyanya ditunda sampai dapat dikembangkan kesia-pan itu atau guru sengaja menata tugas itu sesuai dengan kesiapan siswa.
4. Kesiapan untuk belajar mencerminkan jenis dan taraf kesiapan, misalnya dua siswa yang memiliki kecerdasan yang sama mungkin amat berbeda dalam pola kemampuan mentalnya.
5. Bahan-bahan, kegiatan dan tugas seyogyanya divariasikan sesuai dengan faktor kesiapan kognitif, afektif dan psikomotor dari berbagai individu.

F. Prinsip Persepsi
“Seseorang cenderung untuk percaya sesuai dengan bagaimana ia memahami situasi”. Persepsi adalah interpretasi tentang situasi yang hidup. Setiap individu melihat dunia dengan caranya sendiri yang berbeda dari yang lain. Persepsi ini mempengaruhi peri-laku individu. Seorang guru akan memahami siswanya lebih baik bila ia peka terhadap bagaimana cara seseorang melihat suatu situasi tertentu.
Berkenaan dengan ini ada beberapa hal yang penting harus kita perhatikan :
1. Setiap siswa melihat dunia berbeda satu dari yang lainnya karena setiap siswa memiliki lingkungan yang berbeda. Semua siswa tidak dapat melihat lingkungan yang sama dengan cara yang sama.
2. Seseorang menafsirkan lingkungan sesuai dengan tujuan, sikap, alasan, pengalaman, kesehatan, perasaan dan kemampuannya.
3. Cara bagaimana seseorang melihat dirinya berpengaruh terhadap perila-kunya. Dalam suatu situasi seorang siswa cenderung bertindak sesuai den-gan cara ia melihat dirinya sendiri.
4. Siswa dapat dibantu dengan cara memberi kesempatan menilai dirinya sendiri. Guru dapat menjadi contoh hidup. Perilaku yang baik tergantung pada persepsi yang cermat dan nyata mengenai suatu situasi. Guru dan pi-hak lain dapat membantu siswa menilai persepsinya.
5. Persepsi dapat berlanjut dengan memberi siswa pandangan bagaimana hal itu dapat dilihat.
6. Kecermatan persepsi harus dicek. Diskusi kelompok dapat dijadikan sara-na untuk mengklasifikasi persepsi mereka.
7. Tingkat pertumbuhan dan perkembangan siswa akan mempengaruhi pan-dangannya terhadap dirinya.

G. Prinsip Tujuan
“Tujuan harus tergambar dalam pikiran dan diterima oleh siswa pada saat proses be-lajar terjadi”.
Tujuan ialah sasaran khusus yang hendak dicapai oleh seseorang dan mengenai tujuan ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :
1. Tujuan seyogyanya mewadahi kemampuan yang harus dicapai.
2. Dalam menetapkan tujuan seyogyanya mempertimbangkan kebutuhan in-dividu dan masyarakat.
3. Siswa akan dapat menerima tujuan yang dirasa akan dapat memenuhi ke-butuhannya.
4. Tujuan guru dan siswa seyogyanya sesuai
5. Aturan-aturan atau ukuran-ukuran yang ditetapkan oleh masyarakat dan pemerintah biasanya akan mempengaruhi perilaku.
6. Tingkat keterlibatan siswa secara aktif mempengaruhi tujuan yang dica-nangkannya dan yang dapat ia capai.
7. Perasaan siswa mengenai manfaat dan kemampuannya dapat mempenga-ruhi perilaku. Jika ia gagal mencapai tujuan ia akan merasa rendah diri atau prestasinya menurun.
8. Tujuan harus ditetapkan dalam rangka memenuhi tujuan yang nampak un-tuk siswa. Karena guru harus dapat merumuskan tujuan dengan jelas dan dapat diterima.

H. Prinsip Transfer dan Retensi
“Belajar dianggap bermanfaat bila seseorang dapat menyimpan dan menerapkan hasil belajar dalam situasi baru”.
Apapun yang dipelajari dalam suatu situasi pada akhirnya akan digunakan da-lam situasi yang lain. Proses tersebut dikenal sebagai proses transfer, kemampuan se-seorang untuk menggunakan lagi hasil belajar disebut retensi. Bahan-bahan yang di-pelajari dan diserap dapat digunakan siswa dalam situasi baru.
Berkenaan dengan proses transfer dan retensi ada beberapa hal yang harus kita ingat :
1. Tujuan belajar dan daya ingat dapat memperkuat retensi. Usaha yang aktif untuk mengingat atau menugaskan sesuatu latihan untuk dipelajari dapat meningkatkan retensi.
2. Bahan yang bermakna bagi siswa dapat diserap dengan baik.
3. Retensi seseorang dipengaruhi oleh kondisi psikis dimana proses belajar itu terjadi. Karena itu latihan seyogyanya dilakukan dalam suasana yang nyata.
4. Latihan yang terbagi-bagi memungkinkan retensi yang baik. Suasana bela-jar yang dibagi ke dalam unit-unit kecil waktu dapat menghasilkan proses belajar dengan retensi yang baik daripada proses belajar yang berkepan-jangan. Waktu belajar dapat ditentukan oleh struktur-struktur logis dari materi dan kebutuhan siswa.
5. Penelaahan bahan-bahan yang factual, keterampilan dan konsep dapat me-ningkatkan retensi dan nilai transfer.
6. Prose belajar cenderung terjadi bila kegiatan-kegiatan yang dilakukan da-pat memberikan hasil yang memuaskan.
7. Sikap pribadi, perasaan, atau suasana emosi para pelajar dapat menghasil-kan proses pelupaan hal-hal tertentu. Karena itu bahan-bahan yang tidak disepakati tidak akan dapat diserap sebaik bahan-bahan yang menyenang-kan.
8. Proses saling mempengaruhi dalam belajar akan terjadi bila bahan baru yang sama dipelajari mengikuti bahan yang lalu. Kemungkinan lupa ter-hadap bahan yang lama dapat terjadi bila bahan baru yang sama yang di-tuntut.
9. Pengetahuan tentang konsep, prinsip, dan generalisasi dapat diserap den-gan baik dan dapat diterapkan lebih berhasil dengan cara menghubung-hubungkan penerapan prinsip yang dipelajari dan dengan memberikan ilu-strasi unsur-unsur yang sempurna.
10. Transfer hasil belajar dalam situasi baru dapat lebih mendapat kemudahan bila hubungan-hubungan yang bermanfaat dalam situasi yang khas dan da-lam situasi yang agak sama dibuat.
11. Tahap proses belajar seyogyanya memasukkan usaha untuk menarik gene-ralisasi, yang pada gilirannya nanti dapat lebih memperkuat retensi dan transfer.

I. Prinsip Belajar Kognitif.
“Belajar kognitif melibatkan proses pengenalan dan atau penemuan”.
Belajar kognitif mencakup asosiasi antar unsur, pembentukan konsep, pene-muan masalah, dan keterampilan memecahkan masalah yang selanjutnya membentuk perilaku baru. Berfikir, menalar, menilai, dan berimajinasi merupakan aktivitas mental yang berkaitan dengan proses belajar kognitif. Proses belajar itu dapat terjadi pada berbagai tingkat kesukaran dan menuntut berbagai aktifitas mental.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam belajar kognitif.
1. Perhatian harus dipusatkan kepada aspek-aspek lingkungan yang relevan sebelum proses-proses belajar kognitif terjadi. Dalam hubungan ini pelajar perlu mengarahkan perhatian yang penuh agar proses belajar kognitif be-nar-benar terjadi.
2. Hasil belajar kognitif akan bervariasi sesuai dengan taraf dan jenis perbe-daan individual yang ada.
3. Bentuk-bentuk kesiapan perbendaharaan kata, kemampuan membaca, ke-cakapan, dan pengalaman berpengaruh langsung terhadap proses belajar kognitif.
4. Pengalaman belajar harus diorganisasikan ke dalam satuan-satuan atau unit-unit yang sesuai.
5. Bila menyajikan konsep, kebermaknaan dari konsep amatlah penting. Pe-rilaku mencari, penerapan, pendefinisian resmi, dan penilaian sangat di-perlukan untuk menguji bahwa suatu konsep benar-benar bermakna.
6. Dalam pemecahan masalah para pelajar harus dibantu untuk mendefinisi-kan dan membatasi lingkup masalah, menemukan informasi yang sesuai, menafsirkan dan menganalisis masalah dan memungkinkan berfikir me-nyebar (divergent thinking).
7. Perhatian terhadap proses mental yang lebih daripada terhadap hasil kog-nitif dan afektif akan lebih memungkinkan terjadinya proses pemecahan masalah, analisis, sintesis, dan penalaran.

J. Prinsip Belajar Afektif
“Proses belajar afektif seseorang menentukan bagaimana ia menghubungkan dirinya dengan pengalaman baru.
Belajar afektif mencakup nilai emosi, dorongan, minat dan sikap. Dalam ba-nyak hal pelajar mungkin tidak menyadari belajar afektif. Sesungguhnya, proses bela-jar afektif meliputi dasar yang asli untuk dan merupakan bentuk dari sikap, emosi, dorongan, minat dan sikap individu.
Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses belajar afektif.
1. Hampir semua situasi kehidupan mengandung aspek afektif.
2. Hal bagaimana para pelajar menyesuaikan diri dan memberi reaksi terha-dap situasi akan memberi dampak dan pengaruh terhadap proses belajar afektif.
3. Suatu waktu, nilai-nilai yang penting yang diperoleh pada masa kanak-kanak akan tetap melekat sepanjang hayat. Nilai, sikap dan perasaan yang tidak berubah akan tetap melekat pada keseluruhan proses perkembangan.
4. Sikap dan nilai sering diperoleh melalui proses identifikasi dari orang lain dan bukan sebagai hasil belajar langsung.
5. Sikap lebih mudah dibentuk karena pengalaman yang menyenangkan
6. Nilai-nilai yang ada pada diri individu dipengaruhi oleh standar perilaku kelompok.
7. Prose belajar di sekolah dan kesehatan mental memiliki hubungan yang erat. Pelajar yang memiliki kesehatan mental yang baik akan belajar lebih mudah dari pada yang memiliki masalah.
8. Belajar afektif dapat dikembangkan atau diubah melalui interaksi guru dengan kelas.
9. Pelajar dapat dibantu agar lebih matang dengan cara membantu mereka mengenal dan memahami sikap, peranan dan emosi. Penghargaan terhadap sikap, perasaan dan frustasi sangat perlu untuk membantu pelajar memperoleh pengertian diri dan kematangannya.

K. Prinsip Belajar Psikomotor
“Proses belajar psikomotor individu menentukan bagaimana ia mampu mengendalikan aktivitas ragawinya”.
Belajar psikomotor mengandung aspek mental dan fisik. Berkenaan dengan hal ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
1. Di dalam tugas suatu kelompok akan menunjukkan variasi dalam kemam-puan dasar psikomotor.
2. Perkembangan psikomotor anak tertentu terjadi tidak beraturan.
3. Sktruktur ragawi dan sistem syaraf individu membantu menentukan taraf penampilan psikomotor.
4. Melalui bermain dan aktivitas informasi para pelajar akan memperoleh kemampuan mengontrol gerakkannya lebih baik.
5. Dengan kematangan fisik dan mental kemampuan pelajar untuk memadu-kan dan memperhalus gerakannya akan lebih dapat diperkuat.
6. Faktor-faktor lingkungan memberikan pengaruh terhadap bentuk dan ca-kupan penanpilan psikomotor individu.
7. Penjelasan yang baik, demontrasi, dan partisipasi aktif pelajar dapat me-nambah efisiensi belajar psikomotor.
8. Latihan yang cukup yang diberikan dalam rentang waktu tertentu mem-perkuat proses belajar psikomotor. Latihan yang bermakna seyogyanya mencakup semua urutan lengkap aktivitas psikomotor dan tempo tidak bi-sa hanya didasarkan pada faktor waktu semata-mata.
9. Tugas-tugas psikomotor yang terlalu sukar bagi pelajar dapat menimbulkan frustasi (keputusasaan) dan kelelahan yang lebih cepat.
L. Prinsip Evaluasi
“Jenis cakupan dan validitas evaluasi dapat mempengaruhi proses belajar saat ini dan selanjutnya”.
Pelaksanaan latihan evaluasi memungkinkan bagi individu untuk menguji kemajuan dalam pencapaian tujuan. Penilaian individu terhadap proses belajarnya dipengaruhi oleh kebebasan untuk menilai. Evaluasi mencakup kesadaran individu mengenai penampilan, motivasi belajar, dan kesiapan untuk belajar. Individu yang berinteraksi dengan yang lain pada dasarnya ia mengkaji pengalaman belajarnya, dan hal ini pada gilirannya akan dapat meningkatkan kemampuannya untuk menilai pen-galamannya.
Berkenaan dengan evaluasi ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :
1. Evaluasi memberi arti pada proses belajar dan memberi arah baru pada pe-lajar.
2. Bila tujuan dikaitkan dengan evaluasi maka peran evaluasi menjadi begitu penting bagi pelajar.
3. Latihan penilaian guru dapat menpengaruhi bagaimana pelajar terlibat da-lam evaluasi dan belajar.
4. Evaluasi terhadap kemajuan pencapaian tujuan akan lebih mantap bila guru dan murid saling bertukar dan menerima pikiran, perasaan dan pen-gamatan.
5. Kekurangan atau ketidaklengkapan evaluasi dapat mengurangi kemam-puan guru dalam melayani muridnya. Sebaiknya evaluasi yang menyeluruh dapat memperkuat kemampuan pelajar untuk menilai dirinya.
6. Jika tekanan evaluasi guru diberikan terus-menerus terhadap penampilan siswa, pola ketergantungan penghindaran dan kekerasan akan berkembang.
7. Kelompok teman sebaya berguna dalam evaluasi

Setelah Anda membaca dan memahami prinsip-prinsip yang berkenaan dengan proses belajar dan pengajaran, cobalah Anda kerjakan latihan di bawah ini. Dengan demikian Anda akan dapat memahami dan menerapkan prinsip-prinsip itu lebih jauh. Bagaimana Anda menerapkan prinsip-prinsip :
1. Kesiapan
2. Motivasi
3. Persepsi
4. Tujuan
5. Perbedaan Individual
6. Transfer dan Retensi
7. Belajar Kognitif
8. Belajar Afektif
9. Belajar Psikomotor, dan
10. Evaluasi

Rangkuman
1. Proses belajar dipengaruhi oleh kesiapan murid
2. Tujuan belajar diperlakukan untuk suatu proses belajar yang terarah
3. Seseorang cenderung untuk percaya sesuai dengan bagaimana ia memahami situasi
4. Tujuan harus tergambar jelas dalam pikiran dan diterima oleh para pelajar pada saat proses belajar terjadi
5. Proses belajar bercorak ragam bagi setiap orang
6. Belajar dianggap bermanfaat bila seseorang dapat menyimpan dan menerapkan hasil belajar dalam situasi baru
7. Belajar kognitif melibatkan proses pengenalan dan atau penemuan
8. Proses belajar afektif seseorang menentukan bagaimana menghubungkan dirinya dengan pengalaman baru
9. Proses belajar psikomotor individu menentukan bagaimana ia mampu mengenda-likan aktivitas ragawi/jasmaninya.
10. Jenis, cakupan, dan validitas evaluasi dapat mempengaruhi proses belajar saat ini yang selanjutnya.

Daftar Pustaka
Fontana, D., Psyhologi for Teacher, London : A. Whwaton, 1981.
Gagne, R.M Ana Briggs, L.J., Prinsiples of Instrumentational Design, New York : hol, Renehart and Winston, 1974.
Rothwell, A.B., Learning Principles, dalam Clark L.H. Strategies and Tacties in Sec-ondary School Teaching : A. Book of Readings, Toronto : The Mac Millan, Co., 1968.
Tjokrodikaryo, M., Perencanaan dan Pelaksanaan Pengajaran IPA, ( Buku Materi Po-kok). Jakarta : Penerbit Karunika Jakarta Universitas Terbuka, 1986.
Walkel, El., Conditioning and Instrumental Learning, balmont : Books/Cole Publish-ing Company, 1967.
BAB V
KESUKSESAN DAN DAYA SERAP SISWA
DALAM BELAJAR

A. Pendahuluan
Fokus utama kegiatan belajar dan pembelajaran di sekolah diarahkan kepada peningkatan kesuksesan belajar siswa. Siswa yang diangap sukses dalam belajar apabila mereka memperoleh hasil (pretasi) belajar yang tinggi (sukses akademik) serta diiringi dengan kesuksesan dalam bidang sosial –kemasyarakatan, dan karir Prestasi atau hasil belajar yang tinggi akan tidak mungkin dicapai siswa apabila mereka memiliki daya serap/penguasaan yang rendah terhadap materi-materi pelajaran yang mereka jalani setiap hari disekolah dibawah pengelolaan guru mata pelajaran.
Daya serap siswa dalam belajar berkaitan erat dengan mutu kegiatan belajar yang mereka jalani sehari- hari, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Siswa tidak dapat hanya mengandalkan kegiatan belajar dan pembelajaran di kelas yang waktunya amat terbatas itu. Kegiatan belajar di luar kelas memberi peluang lebih banyak kepada siswa untuk meningkatkan daya serap atau penguasaan terhadap materi pelajaran.
Dalam upaya mencapai hasil belajar dan daya serap siswa yang tinggi amat tergantung pada mutu kegiatan belajar yang dijalani siswa baik di sekolah maupun di luar sekolah. Untuk itu, mutu kegiatan belajar siswa perlu diperkuat melalui optimalisasi segenap unsur belajar dan pembelajaran sehingga mereka dapat meraih kesuksesan belajar.
Upaya optimalisasi unsur pembelajaran dapat dilakukan guru melalui sentuhan dan rangsangan psiko-pedagogis-edukatif dan optiomalisasi kegiatan belajar oleh siswa itu sendiri, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Dalam uraian berikut dikemukakan lima kondisi utama yang ada pada diri sisiwa yang secara langsung mempengaruhi mutu kegiatan belajarnya (kesuksesan dan daya serap) yang tercakup dalam unsur PTSDL serta berbagai kondisi yang relevan dengan hal tersebut.

B. Materi
1. Kesuksesan Belajar dan PTSDL
Tugas utama siswa adalah belajar . Belajar dalam arti kata yang sempit merupakan kegiatan untuk menguasai materi pelajaran atau perkuliahan dengan berbagai tuntutannya, sedangkan belajar dalam arti yang luas merupakan upaya pengembangan diri dalam segenap bidang kehidupan. Belajar yang dimaksud da-lam buku ini adalah dalam arti yang sempit itu.
Hasil belajar (daya serap) siswa di sekolah yang ideal ialah apabila mereka mampu mengusai sepenuhnya (kalau dapat sampai 90-100%) segenap materi pe-lajaran dengan berbagai tuntutan yang meliputi unsur-unsur atau ranah kognitif, afektif, dan psikomotoriknya. Hasil demikian itu digantungkan pada dua hal, yai-tu proses belajar-mengajar (PBM) yang terjadi dalam kelas dibawah pengelo-laan pengajar (guru mata pelajaran/praktek) selama jam pelajaran/praktek tertentu, dan kegiatan belajar siswa sendiri selama mengikuti PBM dan di luar PBM.
Adalah suatu pandangan yang keliru apabila pencapaian hasil belajar yang tinggi (penguasaan/daya serap) siswa sangat ditentukan oleh kegiatan belajar di-kelas. Prayitno, dkk. (1997) mengemukakan bahwa, selemah-lemahnya PBM di dalam kelas, apabila siswa/mahasiswa melakukan kegiatan belajar sendiri dengan sehebat-hebatnya, hasil yang lebih tinggi (bahkan setinggi-tingginya) akan lebih mugkin dicapai. Kegiatan belajar mahasiswa atau siswa di dalam mengikuti PBM dan belajar di luar kelas itu amat tergantung kepada lima hal, yaitu :
a. Prasyarat penguasaan materi pelajaran (disingkat P)
b. Keterampilan belajar (disingkat T)
c. Sarana belajar (disingkat S)
d. Keadaan diri pribadi (disingkat D)
e. Lingkungan belajar dan sosio-emosional (disingkat L)
Keadaan PTSDL siswa/mahasisiwa akan menentukan mutu kegiatan bela-jar yang selanjutnya akan menentukan hasil belajar mereka. Dalam kaitan itu, keadaan PTSDL siswa/mahasiswa perlu diketahui dan diungkapkan untuk diting-katkan dalam rangka pencapaian hasil belajar yang optimal siswa / mahasiswa yang bersangkutan.

2. PTSDL
a. Prasyarat Penguasaan Materi Belajar (P)
Rendahnya penguasaan materi / daya serap siswa dalam mata pelajaran terten-tu sering kali bukan disebabkan karena kemampuan dasar atau kecerdasan siswa itu yang rendah tetapi mungkin disebabkan oleh kondisi yang secara langsung terkait dengan materi pelajaran itu sendiri, yaitu mereka tidak men-guasai materi-materi tertentu yang menjadi prasyarat untuk menguasai materi selanjutnya. Seorang siswa SLTP/SLTA yang mampu menamatkan pendidikan pada jenjang pendidikan sebelumnya secara normal dapat diasumsikan memiliki kecerdasan rata-rata ke atas. Misalnya, seorang murid SD adalah ti-dak mungkin menguasai dengan baik (terlebih-lebih lagi untuk menerapkan-nya) konsep tentang “pembagian “dan”perkalian” jika mereka belum mengua-sai dengan baik konsep tentang “penjumlahan” dan”pengurangan”.
Materi yang dipelajari dalam mata-mata pelajaran sebagaimana termuat dalam kurikulum, pada umumnya disusun sesuai dengan urutan-urutan tertentu ber-dasarkan prasyarat itu atau setidaknya dari materi yang sederhana sampai ke-pada yang lebih kompleks. Kondisi seperti di atas sering tidak menjadi perha-tian guru, siswa dibiarkan berada dalam “ketidakpahaman” materi pelajaran sebelumnya dan mengalami kesulitan untuk mempelajari materi berikutnya, sementara guru tetap “melaju” dengan materi-materi baru.
Sejumlah kegiatan belajar yang dapat dicermati guru bahwa seorang siswa mengalami kesulitan berkenaan dengan materi prasyarat penguasaan materi belajar yang dimaksud antara lain:
1) Tugas-tugas pelajaran tidak dapat dikerjakan dengan baik karena materi pe-lajaran yang menunjang penyelesaian tugas itu tidak dikuasai.
2) Tidak mengulang kembali materi yang diberikan oleh guru pada pelajaran sebelumnya sebagai persiapan untuk menghadapi pelajaran berikutnya.
3) Apabila terpaksa tidak dapat mengikuti pelajaran, tidak berupaya mengejar ketinggalan agar materi pelajaran berikutnya dapat diikuti dengan baik.
4) Tidak dapat mengkaitkan atau melihat urutan yang teratur dan saling me-nunjang antara materi pelajaran terdahulu dengan materi pelajaran berikut-nya.
5) Tidak berusaha menguasai materi pelajaran terdahulu sebagai persiapan un-tuk menghadapi materi berikutnya.
6) Mengalami kesulitan dalam belajar karena materi pelajaran tidak berurutan, sehingga materi pelajaran terdahulu tidak menunjang untuk mempelajari materi pelajaran berikut.
7) Tidak dapat memahami materi pelajaran secara lengkap dan menyeluruh.
8) Mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas pelajaran karena tidak mengerti perintah/petujuk mengerjakan tugas tersebut
9) Tidak menpelajari kembali materi pelajaran terdahulu untuk menunjang penguasaan materi pelajaran berikutnya.
10) Dalam belajar untuk mempersiapkan ulangan/ujian, materi pelajaran tidak disusun sedemikian rupa sehingga materi yang terdahulu tidak membantu menguasai materi berikutnya.
11) Kesulitan membaca buku pelajaran karena materi tidak berurutan
12) Terhalang untuk mengikuti pelajaran dan /atau kegiatan sekolah tertentu karena tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar untuk mengua-sai materi pelajaran/kegiatan tersebut.
13) Ketidakmampuan siswa dalam menjawab soal-soal ulangan/ujian disebab-kan karena kurangnya pengetahuan dasar yang menunjang terhadap jawa-ban soal-soal ulangan/ujian tersebut.
14) Mengalami kesulitan memahami bahan pelajaran baru karena bahan-bahan terdahulu tidak atau kurang dikuasai.
15) Siswa kesulitan memahami kesulitan pelajaran karena tidak memahami konsep-konsep dasar, ungkapan-ungkapan dan /atau istilah-istilah yang ha-rus dikuasai terlebih dahulu.
b. Keterampilan Belajar (T)
Keterampilan belajar yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah suatu kete-rampilan yang sudah dikuasai oleh seorang siswa untuk dapat sukses dalam menjalani pembelajaran disekolah (sukses akademik) dengan menguasai materi yang dipelajari. Kenyataan emperis menunjukan bahwa dari hasil Uji-Coba Alat Ungkap Masalah (AUM) PTSDL (Prayitno,dkk: 1997) memperlihatkan bahwa lebih dari 60% mutu skor keterampilan belajar mahasiswa UNP dari berbagai program studi masih rendah. Rata-rata pencapaian skor mutu kegiatan belajar mereka baru mencapai 50 % dari skor ideal. Sementara dari subyek siswa SLTA ditemui tidak jauh berbeda, bahkan lebih rendah. Hal ini mengisyaratkan perlu peningkatan keterampilan belajar siswa dalam belajar.
Sejumlah keterampilan belajar yang secara praktis perlu dikuasai oleh siswa untuk mencapai hasil belajar dan daya serap yang tinggi, antara lain Ron Fry (1994) mengemukakan ada tujuh keterampilan, yaitu bagaimana secara efektif siswa (1) mengatur pelajaran, (2) membaca dan mengingat, (3) mengatur wak-tu belajar, (4) mengikuti pelajaran di kelas, (5) mengunakan kepustakaan dan sumber-sumber belajar, (6) menulis karya tulis dengan baik, dan (7) memper-siapkan diri untuk ujian.
Dalam kenyataan sehari-hari siswa dalam belajar baik di sekolah maupun di-luar sekolah sering menjumpai berbagai kesulitan yang menunjukkan bahwa mereka kurang memiliki keterampilan dasar tentang “learning how to learn” yang amat diperlukan mencapai kesuksesan belajar, seperti keterampilan dalan bertanya, menjawab dan mengemukakan pendapat, mencatat bahan pelajaran, meringkas bahan bacaan membaca cepat, mengatur jadwal belajar, kosentrasi, daya ingat dan ketahanan dalam belajar, belajar kelompok, mengerjakan tugas-tugas, menyiapkan diri mengikuti ujian, dan sebagainya.
Berikut dikemukakan sejumlah (contoh) perilaku siswa yang menunjukkan bahwa mereka memiliki keterampilan belajar (T) yang kurang memadai seba-gaimana diungkapkan dalam instrumen Alat Ungkap Masalah (AUM) PTSDL (Prayitno, dkk 1997), yang mencakup berbagai keterampilan tersebut diatas, antara lain :
1) Kurang dapat memanfaatkan kesempatan dan/atau mengalami kesulitan mengusun kata-kata untuk bertanya kepada guru tentang hal-hal yang ku-rang dipahami dalam PBM.
2) Kesulitan menghindarkan diri dari berbuat curang dan/atau melayani perta-nyaan teman sewaktu ulangan/ujian berlangsung.
3) Senang mengunakan waktu belajar untuk hal-hal diluar kegiatan belajar.
4) Catatan pelajaran tidak lengkap dan banyak kekurangan
5) Mengalami kesulitan dalam mempersiapkan kondisi fisik dan psikis sehingga waktu mengikuti pelajaran dan/atau ulangan/ujian siswa berada dalam kondisi yang kurang bersemangat.
6) Tidak membuat pertinggal dari tugas yang dikerjakan dan diserahkan pada guru sebagai bahan pelajaran berikutnya.
7) Tidak mencari/memanfaatkan kesempatan untuk memperbaiki ulangan/ujian dan/atau tugas yang nilainya rendah kepada guru.
8) Semua tugas yang dikerjakan, termasuk yang sudah dikembalikan oleh guru dibiarkan begitu saja dan tidak dijadikan sebagai bahan belajar berikutnya.
9) Mengalami kesulitan dalam menyari (membuat ringkasan) bahan bacaan (misalnya dari buku pelajaran) untuk melengkapi buku catatan pelejaran.
10) Jika diberikan kebebasan tempat duduk didalam kelas, maka yang bersangkutan akan memilih tempat duduk yang tidak menguntungkan untuk mengikuti pelajaran dengan sebaik-baiknya, misalnya bagian belakang.
11) Tidak mampu membuat pertanyaan tentang materi pelajaran yang dipelajari dan mencoba menjawab dalam rangka untuk memahami materi pelajaran.
12) Apabila terpaksa tidak masuk sekolah dan pada waktu itu ada tugas, tidak segera menyelesaikan tugas tersebut sebelum mengikuti materi pelajaran berikutnya.
13) Jarang mengunakan waktu yang tersisa untuk mengoreksi kembali semua jawaban ulangan harian/ujian sebelum diserahkan kepada guru/ pengawas.
14) Bahan/materi yang akan dipelajari, terlebih dahulu tidak ditentukan dan tidak menyusun secara berurutan.
15) Sering merasa tidak yakin terhadap hasil ulangan/ujian.
16) Menghafal hukum-hukum, defenisi-defenisi, rumus-rumus dan sebagainya tanpa mamahami benar apa yang dimaksudkanya.
17) Kurang senang belajar bersama untuk mendalami materi pelajaran atau mempersiapkan ulangan/ujian.
18) Mengalami kesulitan memahami bahan bacaan ( misalnya dari buku pelajaran ) yang membuat istilah-istilah baru, terutama istilah asing.
19) Dalam belajar di kelas, tidak berusaha menahan diri untuk tidak terganggu atau menganggu teman.
20) Dalam mempelajari bahan bacaan, melampaui bagian-bagian tertentu, seperti grafik, diagram, dan tabel, yang ternyata itu adalah amat penting
21) Hanya mengandalkan catatan pelajaran yang dibuat sewaktu proses belajar –mengajar didalam kelas berlangsung
22) Mengalami kesulitan dalam menentukan ide pokok/inti sari bahan bacaan (misalnya dari buku pelajaran) yang harus dipelajari.
23) Ceroboh dalam menjawab soal-soal ujian sehingga sering terjadi kesalahan.
24) Apabila tidak terpaksa mengikuti pelajaran, tidak berusaha meminjam catatan teman dan mendiskusikan materi pelajaran yang tertingal tersebut.
25) Tidak menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan, seperti buku catatan, buku-buku pelajaran, alat-alat tulis dan sebagainya sebelum berangkat kesekolah.
26) Tidak memiliki jadwal sendiri yang memuat kegiatan belajar, tugas-tugas, ulangan harian, ulangan /ujian umum , dan mengikuti jadwal tersebut dengan sepenuhnya.
27) Jarang membuat inti sari bahan bacaan (misanya dari buku pelajaran) yang dituliskan pada kartu-kartu atau catatan yang disediakan khusus untuk ini sebagai bahan pelajaran selanjutnya.
28) Tidak mempersiapkan diri untuk mengahadapi ulangan/ujian dalam bentuk apapun juga, seperti bentuk obyektif, uraian (essay) ataupun lisan, dan berusaha menjawab soal-soal yang pernah ditanyakan/ diujikan dalam mata pelajaran tersebut
29) Keterlambatan dalam belajar karena lambat dalam membaca
30) Hasil ulangan/ujian rendah karena kurang menguasai materi pelajaran yang diajarkan dan/atau ditugaskan oleh guru.
31) Kurang memperdalam pemahaman tentang bahan bacaan (misalnya dari buku pelajaran) dengan menyusun pertanyaan-pertanyaan untuk dijawab sendiri dan /atau didiskusikan dengan teman-teman.
32) Tidak memperbaiki atau mempelajari kembali tugas yang nilainya rendah
33) Setelah selesai pelajaran sekolah tidak segera menyusun kembali dan me-lengkapi pelajaran tersebut
34) Tidak memperlakukan semua mata pelajaran sama pentingnya, baik kegia-tan belajarnya disekolah, tugas-tugasnya maupun ulangan-ulangan/ujian-ujiannya
35) Dalam belajar mudah terpengaruh oleh keadaan lingkungan, seperti teman yang mengajak berbicara, suara-suara atau orang lain yang lewat diluar ruang, dan sebagainya.
36) Mengalami kesulitan dalam menjawab pertanyaan dan/atau menangapi hal-hal yang dilontarkan guru
37) Tidak suka mendiskusikan catatan dan materi pelajaran dengan teman sekelas
38) Tidak mampu mengatur waktu dalam mengerjakan soal ulangan/ujian sesuai alokasi waktu yang disediakan.
39) Mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas dalam bentuk makalah atau laporan tertulis berkenan dengan tata cara penulisan (ejaan, tata bahasa, dan tanda baca), pengutipan, format, dan sistimatika penulisan.
40) Tidak mampu mengatur kegiatan sehari-hari, seperti mengikuti kegiatan belajar, ekstra kurikuler, latihan-latihan khusus, dan kegiatan lainnya sehingga jadwal satu hari penuh dapat diisi denan baik.
41) Untuk setiap soal ulangan/ ujian, tidak berusaha menampilkan jawabannya dengan jelas, tepat dan lengkap.
42) Mengalami kesulitan membagi waktu dan/ atau memamfaatkan waktu luang mendalami waktu luang untuk mendalami materi pelajaran.
43) Mengabaikan hal-hal yang kurang mengerti dari bahan bacaan (misalnya dari bahan bacaan) dan tugas-tugas.
44) Mengalami kesulitan dalam menemukan bahan bacaan tambahan yang berkaitan dengan materi pelajaran.
45) Mengerjakan tugas-tugas pelajaran yang diangap berat dan/atau tidak me-narik seadanya untuk sekedar memenuhi tuntutan saja.
46) Kurang berminat dan cepat bosan dalam membaca buku pelajaran.
47) Selalu terlambat hadir dalam belajar disekolah.
48) Tidak suka mempelajari catatan dan bahan-bahan terdahulu serta membuat pertanyaan tentang bahan yang belum dipahami untuk disampaikan kepada guru pada pelajaran esok harinya.
49) Kurang mampu memberikan ide atau pendapat dalam kegiatan belajar kelompok
50) Dalam mengerjakan tugas lebih mengutamakan cepat selesai dari pada mutu hasilnya.

c. Sarana Belajar.
Ketersediaan sarana belajar merupakan salah satu aspek yang amat penting da-lam menunjang kesuksesan siswa dalam memcapai hasil belajar yang optimal. Siswa yang sedang menjalani kegiatan belajar seharusnya dilengkapi dengan sarana yang cukup memadai sehingga mereka mampu memanfaatkannya untuk kelancaran kegiatan belajar dengan hasil belajar yang tinggi.
Sarana belajar yang dimaksud disini adalah materi dan perlengkapan serta pera-latan yang dapat digunakan oleh siswa dalam kegiatan belajar baik belajar di kelas, sekolah, di labor/workshop, maupun di rumah. Sarana belajar yang diha-rapkan tersedia dan dimamfaatkan secara baik oleh siswa dalam kegiatan belajar meliputi :
 Dana
 Perlengkapan sekolah umumnya
 Buku-buku sumber
 Buku dan alat-alat tulis
 Alat-alat praktek
 Ruang belajar dirumah beserta perlengkapanya
Tetapi perlu diingat bahwa ketersediaan sarana belajar yang cukup tidak akan dapat menunjang pencapaian hasil belajar sebagaimana dikemukakan diatas, antara lain:
1) Tidak memiliki atau tidak berusaha melengkapi buku-buku pelajaran
2) Tidak didukung oleh sarana dan biaya yang cukup untuk sekolah
3) Kegiatan belajar dan kegiatan sekolah lainnya terganggu karena harus membantu orang tua bekerja demi mencukupi ekonomi keluarga
4) Banyak kehilangan waktu untuk mengikuti pelajaran dan kegiatan sekolah lainnya karena harus mempersiapkan biaya hidup dan biaya lain-lainnya seperti pulang kampung untuk menjemput pembelakan
5) Ruang dan sarana belajar yang tersedia dirumah tidak memenuhi persyara-tan
6) Buku-buku pelajaran yang dibutuhkan tidak tersedia di sekolah
7) Kegiatan belajar tidak menarik, karena tidak dilengkapi dengan alat penun-jang pelajaran, seperti alat peraga dan/atau alat untuk melakukan percobaan
8) Kegiatan belajar terganggu karena siswa setiap kali harus memikirkan biaya untuk membayar SPP dan/atau biaya lainnya
9) Tidak memiliki biaya yang diperlukan untuk tugas-tugas pelajaran tertentu
10) Kurang mampu tampil dengan kepercayaan diri yang tinggi dihadapan gu-rudan/atau teman-temankarena kekurangan sarana/ biaya hidup sehari-hari.
11) Tidak berusaha membeli dan meminjam dari perpustakaanatau teman bila tidak memiliki buku pelajaran
12) Pemikiran dan konsentrasi terganggu dalam belajar karena selalu memikirkan biaya sekolah
13) Kurang nyaman dan senang belajar di sekolah karena tidak didukung oleh kondisi ruangan atau kelas yang memadai
14) Kurang bersemangat dalam mengikuti pelajaran kerena tidak mampu memenuhi tuntutan sekolah seperti pakaian seragam, iuran dan sebagainya
15) Dalam kegiatan sehari-hari tidak didukung oleh sarana yang memadai

d. Keadaan Diri Pribadi (D)
Bagaimanapun lengkapnya sarana belajar yang tersedia bagi siswa, berbagai ke-terampilan belajar dan persyaratan penguasaan materi telah dilatihkan, tetapi apabila kondisi diri pribadi siswa, baik berkenan dengan kondisi psikis ataupun kondisi fisik siswa tersebut banyak mengalami hambatan, maka sukar diha-rapkan siswa mampu meraih prestasi belajar yang baik. Oleh sebab itu kondisi diri pribadi siswa perlu menjadi perhatian guru untuk dikembangkan kearah yang lebih positif.
Kondisi atau keadaan diri pribadi siswa yang dimaksud, terutama dalam menja-lani kegiatan belajar di sekolah meliputi, antara lain :
 Kondisi kesehatan fisik pada umumnya
 Minat,bakat,dan kemampuan
 Rasa percaya diri, kemauan dan semangat
 Persepsi, dan kenyakinan pentingnya kesuksesan belajar
 Aspirasi terhadap pendidikan

Faktor kondisi dari pribadi di atas apabila dicermati tidak jarang muncul pada diri siswa sewaktu mereka mengikuti kegiatan belajar dalam bentuk perilaku tertentu sebagaimana digambarkan dalam AUM PTSDL sebagai berikut :
1) Tampil dengan rasa percaya diri rendah dalam kegiatan belajar di kelas dan/atau di luar kelas
2) Giat belajar hanya pada mata pelajaran dan/atau kegiatan ko/ekstra kurikuler yang disenangi saja
3) Sering menghayal melamun tentang sesuatu sehinga mengangu konsentrasi dalam belajar
4) Tidak senang membantu teman untuk menjelaskan dan mendalami materi pelajaran
5) Kelancaran dalam belajar, baik di rumah ataupun di sekolah banyak dibantu oleh kemampuan berhubungan /bergaul dengan orang lain.
6) Gelisah setiap kali menghadapi ulangan/ujian
7) Merasa hasil belajar yang diperoleh lebih banyak tergantung pada foktor untung-untungan bukan karena usaha
8) Merasa belajar disekolah hanya membuang-buang waktu dan tenaga
9) Merasa nilai-nilai yang diperoleh tidak mencerminkan kemampuannya
10) Kurang semangat dalam mengikuti pelajaran
11) Merasa guru memberi nilai tidak obyektif
12) Mempunyai minat yang rendah dalam belajar untuk hampir semua mata pe-lajar
13) Merasa guru-guru mengharapkan siswa belajar berlebihan diluar jam pela-jaran/atau memberi tugas-tugas untuk sekedar menyusahkan siswa
14) Tidak dapat belajar dengan baik karena sering mengalami perasaan gelisah, murung atau pikiran kacau
15) Merasa menggunakan waktu untuk sesuatu yang menyenang-kan/mengembirakan lebih penting dari keperluan dari keperluan belajar
16) Sering merasa sangat lelah, jemu dan/atau mengantuk ketika belajar
17) Sering membuang-buang waktu untuk mengobrol, menonton televisi, mendengar radio, menonton dibioskop, dan sebagainya, yang sebenarnya waktu itu sangat berguna untuk belajar.
18) Percaya bahwa mata pelajaran-matapelajaran yang diikuti tidak berguna untuk melanjutkan pendidikan, dan/atau untuk bekerja kelak dan /atau kehidupan sehari-hari.
19) Dorongan utama untuk memasuki sekolah hanya sekedar untuk memperoleh ijazah, melanjutkan dan/menyenangkan orang tua, dan/atau memperoleh kehormatan dimata umum.

e. Lingkungan Sosio-Emosional (L)
Unsur kelima dari PTSDL adalah lingkungan sosio-emosional dari siswa beta-papun baiknya penguasaan materi persyaratan, keterampilan belajar, serta du-kungan sarana belajar dan keadaan diri pribadi siswa, apabila tidak didukung secara positif oleh lingkungan sosio-emosional yang berada disekitarnya, maka kesuksesan belajar yang tinggi sulit dicapai oleh siswa yang bersangkutan.
Lingkungan sosio-emosional siswa yang dapat menganggu kelancaran belajar siswa meliputi, antara lain :
 Hubungan guru dengan siswa,dan sesama siswa
 Hubungan dan perlakuan anggota keluarga
 Suasana lingkungan belajar (dirumah dan disekolah)
 Pergaulan dengan teman-teman diluar sekolah
 Kondisi geografis tempat tinggal dan sekolah
Kondisi lingkungan sosio-emosional sebagaimana tersebut di atas amat mempengaruhi kegiatan belajar siswa dan memunculkan berbagai perilaku siswa yang kurang mendukung dalam belajar antara lain :
1. Mengalami kesulitan dalam mengajukan pertanyaan kepada guru kerena kurang baiknya hubungan dengan guru tersebut
2. Merasa guru-guru tidak cukup mengerti terhadap minat dan keinginannya
3. Merasa disiplin dan peraturan yang diberlakukan terlalu ketat
4. Tidak suka kepada guru tertentu menyebabkan lalai terhadap tugas-tugas pelajaran
5. Merasa guru-guru lebih menyenangi siswa yang suka menghafal dari pada mereka yang suka berfikir dan mendalami materi pelajaran
6. Memiliki ruang belajar dirumah kurang bersih, rapi, dan berisi hal-hal yang tidak perlu sehingga melemahkan semangat belajar
7. Pergaulan dengan teman-teman atau guru-guru menurunkan semangat belajar.
8. Suara musik yang bergema dilingkungan rumah dan/atau tetangga serta kebisingan lainnya mengakibatkan sukar berkonsentrasi dalam belajar
9. Guru-guru lebih senang memperlihatkan kepada siswa bahwa mereka lebih berkuasa dan mempunyai hak istimewa
10. Sukar belajar di rumah karena penghuni terlalu banyak dan/atau banyak tamu.
11. Di rumah harus membantu adaik-adik belajar, dan/atau mengasuh mereka, dan/atau membantu pekerjaan sehari-hari, sehingga pelajaran terbengkalai
12. Merasa guru-guru kurang memberikan perhatian dan membantu para siswa secara lembut, bijaksana dan adil
13. Terpengaruh dengan teman yang kurang baik (misalnya santai, ceroboh) dalam belajar sehingga kegiatan belajar tidak penuh
14. Orang tua dan/atau saudara-saudara tidak memberikan perhatian dorongan kegiatanbelajar siswa baik disekolah maupun dirumah
15. Tidak mau bertanya dan/atau memberikan tanggapan sewaktu pelajaran dalam kelas berlangsung karena takut ditertawakan oleh teman-teman
16. Merasa guru-guru berbicara terlalu banyak dan membosankan baik didalam maupun diluar kelas
17. Berpendapat guru-guru mempunyai pandangan yang sempit dan mereka membuat keputusan kurang adil dan.atau tidak mempertimbangkan kea-daan dan kepentingan pada siswa
18. Merasa kegiatan organisasi kesiswaan dan/atau organisasi lainnya baik dis-ekolah maupun diluar sekolah sangat menganggu kegiatan belajar
19. Lingkungan sekolah yang kurang nyaman dan/atau kurang terawat menga-kibatkan proses belajar terganggu.
Sejalan dengan keterampilan belajar di atas, satuan tugas khusus 3 SCPD (1997) mengemukakan sekurang-kurangnya ada lima keterampilan belajar yang dapat dilatihkan kepada siswa dalam rangka meningkatkan unsur-unsur PTSDL yang dimaksudkan, yaitu: (1) Program studi dan beban studi, (2) Kemampuan menjalani pelajaran / perkuliahan secara efektif, (3) Peningkatan kemampuan membaca, dan (5) Penyelesaian tugas dan penulisan karya tulis
1) Program Studi dan Beban Studi
Mengenali program studi (sekolah) dan beban studi / belajar secara lengkap amat diperlukan agar siswa mampu merencanakan kegiatan belajar secara baik (tepat waktu dengan prestasi maksimal) di samping dapat menumbuh-kan motivasi belajarnya. Permasalahan yang sedang muncul dalam hal ini adalah siswa lebih mengutamakan rutinitas belajar dikelas dari pada penca-paian mutu hasil belajar serta mengabaikan kegiatan-kegiatan akademik lainnya.
Sehubungan dengan hal tersebut ada empat unsur yang perlu didalami oleh siswa yaitu (1). program study/sekolah secara lengkap,(2). Kurikulum dan mata-mata pelajaran yang akan diikuti, (3). Penyusunan rendcana belajar dan (4). Pemahaman kegiatan akademik lainnya seperti kegiatan praktek dila-bor/workshop dan sebagainya.
2). Kemampuan Menjalani Pembelajaran Secara Efektif
Menjalani pembelajaran merupakan bagian yang amat penting dalam kegiatan belajar di sekolah, bukan sekedar hadir dikelas tetapi siswa perlu men-gaplikasikan berbagai sikap positif dan keterampilan. Semua meteri pokok yang harus dikuasai oleh siswa akan dibahas oleh guru bersama siswa terma-suk kegiatan latihan berbagai ketrampilan dan mengerjakan tugas-tugas ter-tentu sehubungan dengan materi perkuliahan tersebut.
Empat unsur pokok yang amat penting diperhatikan oleh guru agar siswa te-rampil dalam menjalani pembelajaran adalah :
a). Sikap positif terhadap pelajaran, yaitu mencakup persepsi yang positif terhadap sekolah dan sikap dan pandangan positif terhadap kehadiran dalam belajar, guru, bahan serta fasilitas belajar.
b). Persiapan diri untuk belajar, seperti mempersiapkan materi pelajaran, mempelajari catatan yang lalu, persiapan fisik, menyelesaikan tugas, menbaca bahan-bahan yang relevan, membuat pertanyaan, dan memper-siapkan alat-alat.
c). Mengikuti pelajaran, seperti memilih tempat duduk, memusatkan perha-tian, mencatat materi pelajaran, bertanya dan menjawab dan mengemu-kakan pendapat.
d). Kegiatan pasca belajar, yaitu melengkapi catatan, pemerkasaan, menye-lengarakan latihan, dan mengerjakan tugas-tugas.
3) Peningkatan Kemampuian Belajar
Rendahnya hasil belajar siswa sering disebabkan karena lemahnya kemam-puan membaca mereka. Permasalahan dalam membaca yang sering dijumpai seperti cepat bosan, lambat, sukar menangkap ide-ide pokok, tidak mengerti istilah istilah penting, melampaui bagian-bagian penting, kurang cermat, dan sebagainya.
Sehubungan dengan kemampuan membaca tersebut ada empat unsur yang perlu mendapat perhatian, yaitu (1) minat dan semangat membaca, (2) kegia-tan membaca yang dilakukan dengan cermat, lengkap, cepat, memahami isti-lah, ide pokok, dan isi bacaan dengan baik, (3) hasil bacaan dengan mengua-sai keseluruhan isi bacaan, dan (4) memperkaya dengan sumber-sumber lain.
4). Kemampuan Mengingat, Konsentrasi, dan Ketahanan dalam Belajar
Tidak jarang dijumpai bahwa siswa sering mengeluh, mereka sukar mengin-gat materi pelajaran, tidak mampu konsentrasi dan kurang tahan dalam bela-jar. Untuk meningkatkan kemampuan mengingat, konsentrsi, dan ketahanan dalam belajar siswa perlu berlatih dengan memperhatikan hal berikut :
a) Kemampuan mengingat
Kemampuan mengingat siswa sebetulnya dapat ditingkatkan melalui berbagai cara dan teknik seperti melalui latihan :
1) Pencapaian kriteria kemampuan mengingat : volume, kualitas dan kegunaan
2) Pentahapan dan teknik mengingat:
a. Masukan:
• Teknik pengenalan dan penulisan
• Memo teknik
(b) Penyimpanan
• Pengulangan sederhana
• Penguatan antarmateri
• Perluasan isi materi
(c) pengungkapan kembali dengan :
• Relevansi
• Penerapan
• Kreatifitas
b) Konsentrasidalam belajar dapat ditingkatkan melalui :
(1) penetapan tujuan belajar dengan cara membagi-bagi bahan, menetapkan terget, dan penilaian diri sendiri
(2) pengendalian lingkungan seperti suasana hati, sosio-emosional, pengaturan tugas-tugas lain, dan lingkungan fisik
c) Ketahanan dasar belajar
ketahanan dalam belajar dapat ditingkatkan dengan memperhatikan unsur-unsur yang mempengaruhinya, yaitu ketahanan mental dan ketahana fisik seperti :
(1) perasaan tenang, aman dan tentram, keteraturan kegiatan, keberanian menanggung resiko, dan penguatan
(2) makanan/minunan, gizi dan kesehatan

5). Penyelesaian Tugas dan Penyusunan Karya Tulis
Siswa atau mahasiswa senantiasa dihadapi pada penyelesaian tugas-tugas dan karya tulis. Untuk itu keterampilan ini perlu dan amat penting dikuasai oleh mereka. Guru hendaknya selalu memberi peluang dan fasilitas kepada siswa agar mereka menguasai keterampilan yang dimaksudkan. Tugas-tugas dan karya tulis yang tidak selesai, terlambat dan apalagi rendahnya mutunya akan membawa dampak terhadap rendahnya prestasi belajar.
(a) Penyelesaian Tugas
Beberapa unsur yang perlu ditingkatkan penguasaan siswa dalam kete-rampilan ini adalah :
(1) Pemahaman terhadap tugas : materi dan intruksi
(2) Penyediaan sumber : buku, dokumen, orang, contoh dan model
(3) Penyelesaia tugas : mutu dan waktu
(4) Penyerahan tugas : waktu, tempat, dan bentuk
(5) Tidak lanjut : perbaikan dan pemanfaatan
b) Penyusunan karya tulis
Tidak jarang dijumpai bahwa siswa mengalami kesulitan untuk mengelu-arkan ide-ide dan gagasan secara tertulis. Misalnya dalam menyusun dan membuatmakalah atau tugas-tugas lainnya. Terlebih-lebih lagi apabila mereka sudah diperguruan tinggi, kemampuan untuk menyelesaikan tu-gas-tugas karya tulis sangat diperlukan. Untuk itu siswa perlu memperoleh bimbingan dan latihan dalam penyusunan karya tulis. Dua unsur pokok yang perlu difahami oleh siswa /mahasiswa adalah :
(1) Pemahaman terhadap jenis-jenis karya tulis dan tuntutan masing-masing karya tulis, seperti pembuatan makalah, laporan, skripsi /tugas akhir ( khusus mahasiswa)
(2) Sistim dan alur penyusunan, seperti penentuan topik,perumusan masa-lah, pembuatan out-line dan penyiapan materi/bahan yang diperlukan.

Rangkuman.
Kesuksesan dan daya serap (hasil belajar) siswa yang tinggi tidak tergan-tung hanya pada kegiatan belajar dikelas yang dikelola oleh Guru Mata pelajaran, tetapi sebetulnya juga ditentukan oleh keadaan atau kondisi siswa itu sendiri yang dapat disimpulkan kedalam lima unsur pokok, yaitu (1) persyaratan penguasaan materi belajar –P (2) keterampilan belajar –T, (3) sarana belajar –S, (4) keadaan diri pribadi –D, (5) lingkungan sosio-emosional –L.
Prasyaratan penguasaan materi belajar (P) mencakup materi – materi pela-jaran yang menjadi persyaratan atau materi yang dipelajari di kelas/ sekolah sebe-lumnya bagi terkuasainya materi pelajaran yang baru pada kelas/ sekolah yang le-bih tinggi.
Unsur keterampilan belajar (T) meliputi berbagai keterampilan dasar yang dapat digunakan siswa dalam belajar seperti keterampilan dalam bertanya, men-jawab dan mengemukakan pendapat, mencatat bahan pelajaran, meringkas bahan bacaan, membaca cepat mengatur jadwal belajar, konsentrasi, daya ingat dan ke-tahanan dalam belajar, belajar kelompok, mengerjakan tugas – tugas, serta me-nyiapkan diri dan mengikuti ujian.
Sarana belajar (S) yang dimiliki dan dimamfaatkan sekolah dan siswa juga amat berperan terhadap pencapaian dan peningkatan daya serap siswa dalam be-lajar, terutama menyangkut tentang dana, pelengkapan sekolah umumnya, buku–buku sumber, buku dan alat–alat tulis, alat–alat praktek, serta ruang belajar di se-kolah/rumah beserta perlengkapannya.
Keadaan diri pribadi (D) siswa sendiri juga amat menentukan keberhasi-lannya dalam belajar serta kondisi kesehatan fisik pada umumnya, minat, bakat, dan kemampuan, rasa percaya diri, kemauan dan semangat, persepsi, dan kenya-kinan pentingnya kesuksesan belajar, serta inspirasi terhadap pendidikan.
Demikian juga kondisi lingkungan sosio-emosional (L) yang tidak kalah pentingnya guna mendukung tercapainya hasil belajar yang tinggi oleh siswa. Kondisi lingkungan tersebut berupa hubungan guru dengan siswa, dan sesama siswa, hubungan dan perlakuan anggota keluarga, suasana lingkungan belajar (di rumah dan di sekolah), pergaulan dengan teman – teman di luar sekolah, dan kon-disi geografis tempat tinggal dan sekolah.
Kelima unsur PTSDL tersebut satu sama lain saling menunjang atau saling mempengaruhi terhadap keberhasilan atau kegagalan siswa dalam belajar. Makin tinggi mutu PTSDL seorang siswa makin tinggi pula tingkat keberhasilan atau daya serap yang dicapai siswa dalam belajar.
Mutu PTSDL siswa dapat diperkuat dan ditingkatkan melalui berbagai la-tihan peningkatan pemahaman dan penguasaan keterampilan belajar, terutama berkenaan dengan pemahaman tentang program studi/sekolah dan beban studi, kemampuan menjalani pelajaran secara efektif, peningkatan membaca, kemam-paun mengingat, konsentrasi, dan ketahanan dalam belajar, penyelesaian tugas dan penulisan karya tulis, dan menyiapkan diri dan mengikuti ujian.

Tugas dan Latihan.
Setelah anda selesai membaca materi diatas, lakukan hal – hal berikut :
1. Pelajarilah kembali perilaku siswa yang mungkin terjadi dalam kegiatan belajar dari masing – masing unsur P, T, S, D, L.
2. Tuliskan dengan bahasa anda sendiri aspek – aspek apa saja yang terdapat ke dalam unsur – unsur PTSDL tersebut.
3. Tandailah perilaku mana yang sesuai dengan keadaan diri anda sekarang, ma-kin banyak butir perilaku tersebut yang anda tandai, maka makin rendah pula mutu PTSDL yang anda miliki.
4. Berdasarkan perilaku yang anda tandai untuk setiap unsur (PTSDL), rencana-kanlah jenis keterampilan apa yang anda perlukan untuk meningkatkanhasil atau daya serap anda dalam belajar.
Daftar Pustaka

Dimyati dan Mudjiopno, (1994). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta, Dikti Depdikbud.
Fry, Ron, (1994). How to Study, Singapore, S.S. Munarak dan Brothers Pte. Ltd.
Prayitno, Dkk. (1997). Alat Ungkap Masalah (AUM) PTSDL Format 2 SLTA : Pa-dang Tim Pengembang 3 SCPD, Proyek PGSM Depdikbud.
Satgasus 3 SCPD. (1997). Seri Latihan Keterampilan Belajar. Padang : Tim Pengem-bangan 3 SCPD Proyek PGSM Depdikbud.
Steera, Richard. M. (1987). Motivation and Work Behavior, New York : McGraw Hill Book Company.

BAB VI
MOTIVASI BELAJAR

A. Pendahuluan
Dalam proses pendidikan di sekolah, belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Artinya berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan ditentukan oleh bagaimana proses belajar dan pembelajaran yang dialami siswa. Belajar merupakan usaha yang dilakukan siswa untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dan berinteraksi dengan lingkungan. Keberhasilan belajar seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satu diantaranya adalah “motivasi belajar” yang dimiliki seseorang.
Kenyataan di lapangan menunjukkan, banyak siswa yang belajar karena terpaksa atau karena kewajiban, bukan karena kebutuhan. Sehingga mereka melaksanakan kegiatan belajar tidak sepenuh hati atau asal–asalan, dan pada gilirannya hasil belajar yang diperoleh tidak optimal. Hal itu diduga antara lain disebabkan kurangnya motivasi belajar dan kurangnya pemahaman berkenaan dengan motivasi belajar itu, baik oleh siswa maupun guru atau pendidik.
Bagian ini, menyajikan topik : “Motivasi Belajar”, dengan ruang lingkup materi meliputi : pengertian motivasi, motivasi dan kebutuhan, pentingnya motivasi dalam belajar, jenis dan sifat motivasi, faktor – faktor yang mempengaruhi motivasi belajar, dan upaya meningkatkan motivasi belajar.
Setelah mempelajari isi dan menyelesaikan tugas – tugas dalam bab ini, anda diharapkan berkemampuan untuk :
1. merumuskan dengan kata – kata sendiri pengertian motivasi
2. menjelaskan pentingnya motivasi dalam belajar
3. mengindentifikasi jenis dan sifat motivasi belajar siswa.
4. Mengindentifikasi faktor – faktor yang mempengaruhi motivasi belajar siswa.
5. Mengupayakan peningkatan motivasi belajar siswa.

B. Motivasi Belajar
1. Pengertian Motivasi
Untuk memahami konsep tentang motivasi, dapat dilihat dari pengertian motivasi berdasarkan asal katanya yaitu motif yang berarti suatu kondisi atau keadaan pada diri seseorang atau organisme yang menimbulkan kesiapan untuk memulai atau melanjutkan perilaku. Sedangkan pengertian motivasi adalah suatu proses untuk menggiatkan motif menjadi tindakan atau perilaku untuk memenuhi atau memuaskan kebutuhan.
Thomas L. Good dan jere M. Brophy (dalam Elida Prayitno, 1989:80) menyatakan “motivasi sebagai suatu energi penggerak, pengarah, dan memperkuat tingkah laku”. Lebih lanjut dikatakan, bahwa motivasi hendaknya dianggap sebagai suatu yang terkait dengan kebutuhan, yaitu individu akan termotivasi untuk melakukan tindakan tertentu apabila aktivitas atau tindakan yang akan dilakukannya dapat memenuhi kebutuhan yang diinginkan.
Pada diri siswa sebenarnya terdapat kekuatan mental yang menjadi penggerak belajar. Siswa belajar kerena didorong oleh kekuatan mentalnya tersebut. Kekuatan mental itu berupa keinginan, perhatian, kemauan, atau cita – cita. Ada ahli psikologi pendidikan yang menyebut kekuatan mental yang mendorong terjadinya belajar tersebut sebagai motivasi belajar. Motivasi dipandang sebagai dorongan mental yang menggerakan dan mengarahkan perilaku manusia, termasuk perilaku belajar. Dalam motivasi terkandung adanya keinginan, harapan, kebutuhan, tujuan, sasaran, dan insentif. Keadaan kejiwaan inilah yang mengaktifkan, menggerakkan, menyalurkan, dan mengarahkan sikap dan perilaku individu belajar (Koeswara, 1989 ; Siagian, 1989 ; Schein, 1991 ; Briggs & Teffer, 1987, dalam Dimyati, 1994).
Ada tiga komponen utama dalam motivasi yaitu (1) kebutuhan, (2) dorongan, dan (3) tujuan. Kebutuhan terjadi apabila individu merasa ada ketidak seimbangan antara apa yang ia miliki dan ia harapkan. Misalnya, siswa merasa bahwa hasil belajarnya rendah, pada hal ia memiliki buku pelajaran yang lengkap. Ia merasa memiliki cupkup waktu., tetapi ia kurang baik mengatur waktu belajar. Waktu belajar yang digunakannya tidak memadai untuk memperoleh hasil belajar yang baik, sedangkan ia membutuhkan hasil belajar yang baik, oleh karena itu siswa mengubah cara–cara belajarnya. Dorongan merupakan kekuatan mental untuk melakukan kegiatan dalam rangka memenuhi harapan. Dorongan merupakan kekuatan mental yang berorientasi pada pemenuhan harapan atau pencapaian tujuan. Dorongan yang berorientasi tujuan tersebut merupakan inti motivasi. Sedangkan tujuan adalah hal yang ingin dicapai oleh seseorang individu. Tujuan tersebut menggerakan perilaku belajar.

2. Motivasi dan Kebutuhan
Motivasi dan kebutuhan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Satu sama lain saling berkaitan dan fungsional. Artinya, motivasi timbul karena didorong oleh kebutuhan yang ingin dipenuhi. Semakin tinggi kebutuhan dan keinginan yang dirasakan seseorang, maka akan mendorong muncul kekuatan (motif) untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Sebaliknya, jika kebutuhan dan atau keinginan yang dirasakan individu itu kurang atau lemah, secara otomatis motivasi untuk melakukan tindakan pemenuhan kebutuhan akan lemah pula.
Berkaitan dengan kebutuhan yang dibutuhkan oleh individu, Maslow membagi atau mengelompokkan kebutuhan manusia menjadi lima tingkat, yaitu (1) kebutuhan fisiologis (physiologis), (2) kebutuhan akan keselamatan dan keamanan (Saftety and security), (3) kebutuhan akan rasa kasing sayang dan memilik (Love and belonging), (4) kebutuhan akan penghargaan (self esteem), dan (5) kebutuhan mengaktualisasikan diri ( self actualization).
Kebutuhan fisiologis berkenaan dengan kebutuhan pokok manusia, seperti sandang, pangan, dan perumahan. Kebutuhan akan rasa aman berkenaan dengan keamanan yang bersifat fisik, dan psikologis. Kebutuhan dihargai dan menghargai, berkenaan dengan perwujudan berupa diterima oleh orang lain, jati diri yang khas, berkesempatan maju, merasa diikutsertakan, pemilihan harga diri. Kebutuhan untuk aktualisasi diri berkenaan dengan kebutuhan individu untuk menjadi sesuatu yang sesuai dengan kemampuannya.
Pendapat lain berkenaan dengan kebutuhan ini, dikemukakan oleh Mc. Cleland, bahwa setiap orang memiliki tiga jenis kebutuhan dasar, yaitu (1) kebutuhan akan kekuasaan, (2) kebutuhan untuk berafiliasi, dan (3) kebutuhan berprestasi. Kebutuhan akan kekuasaan terwujud dalam keinginan mempengaruhi orang lain. Kebutuhan berafiliasi tercermin dalam terwujudnya situasi bersahabat dengan orang lain. Sedangkan kebutuhan berprestasi terwujud dalam keberhasilan melakukan tugas–tugas yang diembankan.
Dari aspek dorongan menurut Hull, motivasi berkembang untuk memenuhi kebutuhan organisme, selain itu juga merupakan sistem yang memungkinkan organisme dapat memelihara kelangsungan hidupnya. Kebutuhan – kebutuhan organisme merupakan penyebab munculnya dorongan, dan dorongan akan mengakibatkan tingkahlaku mengembalikan keseimbangan fisiologis organisme. Tingkah laku organisme terjadi disebabkan oleh respons dari organisme, kekuatan dorongan organisme dan penguatan kedua hal tersebut. Hull menekankan dorongan sebagai motivasi penggerak utama perilaku, tetapi kemudian juga tidak sepenuhnya menolak adanya pengaruh faktor – faktor eksternal. Dalam hal ini insentif (hadiah atau hukum) mempengaruhi intensitas dan kualitas tingkah laku organisme.
Dari segi tujuan, maka tujuan merupakan pemberi arah pada perilaku. Secara psikologis, tujuan merupakan titik akhir, “sementara” pencapaian kebutuhan. Jika tujuan tercapai, maka orang menjadi puas, dan dorongan mental untuk berbuat berhenti sementara.

3. Pentingnya motivasi dalam belajar
Motivasi merupakan jantungnya proses belajar. Oleh karena demikian pentingnya motivasi dalam proses belajar dan pembelajaran, maka tugas guru yang utama adalah bagaimana membangun motivasi siswa terhadap apa yang dipelajari. Motivasi bukan saja menggerakan tingkah laku, tetapi juga mengarahkan dan memperkuat tingkah laku. Siswa yang termotivasi dalam belajar menunjukkan minat, kegairahan dan ketekunan yang tinggi dalam belajar, tanpa tergantung banyak pada guru.
Motivasi dalam belajar tidak saja merupakan energi yang menggerakkan saiswa untuk belajar, tetapi juga sebagai suatu yang mengarahkan aktivitas siswa kepada tujuan belajar. Marx dan Tombouch (1967) mengumpamakan motivasi sebagai bahan bakar dalam beroperasinya mesin gasolin. Tidaklah menjadi berarti, betapapun baiknya mesin dan kehalusan penyetelan kita dalam mengoperasikan mesin gesolin tersebut, kalau bahan bakarnya tidak ada. Identik dengan betapapun besarnya potensi anak (kemampuan intelektual atau bakat siswa) dn materi yang akan diajarkan, dan lengkapnya sarana balajar, namun jika siswa tidak termotivasi dalam belajar, maka proses belajar tidak akan berlangsung dengan optimal.
Motivasi belajar penting bagi siswa dan guru. Bagi siswa, pentingnya motivasi belajar, antara lain karena : (1) Menyadarkan kedudukan pada awal belajar, proses dan hasil akhir. (2) Menginformasikan tentang kekuatan usaha belajar, bila dibandingkan dengan teman sebayanya, (3) Mengarahkan kegiatan belajar, (4) Membesarkan semangat belajar, (5) Menyadarkan tentang adanya penjelasan belajar dan kemudian bekerja yang bersinambungan, individu dilatih untuk menggunakan kekuatannya sedemikian rupa, sehingga dapat berhasil.
Motivasi belajar penting pula diketahui oleh seorang guru. Pengetahuan dan pemahaman tentang motivasi belajar pada siswa bermanfaat bagi guru yaitu (1) Membangkitkan, meningkatkan dan memelihara semangat siswa untuk belajar sampai berhasil, membangkitkan bila siswa tidak bersemangat, meningkatkan bila semangat belajarya tenggelam, memelihara bila semangatnya telah kuat untuk mencapai tujuan belajar. Dalam hal ini, hadiah, pujian dorongan,atau pemicu semangat dapat digunakan untuk mengobarkan semangat belajar. (2) Motivasi belajar siswa di kelas bermacam – macam, ada yang acuh tak acuh, ada yang tak memusatkan perhatian, ada yang bermain, di samping yang bersemangat untuk belajar. Diantara yang bersemangat belajar, ada yang tidak berhasil, dan ada yang berhasil. Dengan bermacam ragam motivasi belajar tersebut, maka guru dapat menggunakan bermacam–macam strategi belajar mengajar. (3) Meningkatkan dan menyadarkan guru untuk memilih satu diantara bermacam – macam peran, seperti penasehat, fasilitator, instruktur, teman diskusi, penyemangat, pemberi hadiah, atau guru pendidik. Peran pedagogis tersebut sudah barang tentu sesuai perilaku siswa. (4) Memberi peluang guru untuk “unjuk kerja” rekayasa pedagogis. Tugas guru adalah membuat semua siswa belajar sampai berhasil. Tantangan profesionalnya justru terletak pada “mengubah” siswa tank berminat menjadi bersemangat belajar. “mengubah” siswa cerdas yang acuh tak acuh menjadi bersemangat belajar.

4. Jenis dan Sifat Motivasi
a. Jenis Motivasi
Motivsi sebagai kekuatan mental individu memiliki tingkat – tingkat tertentu. Para ahli ilmu jiwa mempunyai pendapat yang berbeda tentang tingkatan kekuatan mental tersebut. Perbedaan pendapat tersebut umumnya didasarkan atas hasil penelitian yan dilakukannya terhadap perilaku belajar pada hewan. Meskipun mereka berbeda pendapat mengenai tingkatan kekuatan mental tersebut, namun secara umumnya mereka sependapat bahwa motivasi tersebut dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu (1) motivasi primer, dan (2) motivasi sekunder.
1) Motivasi Primer
Motivasi primer adalah motivasi yang didasarkan atas motif–motif dasar yang umumnya berasal dari segi biologis, atau jasmani mereka. Sebagaimana diketahui bahwa manusia adalah makhluk–makhluk berjasmani, maka dengan demikian perilakunya terpengaruh oleh insting atau kebutuhan jasmaninya. Dalam kaitan ini, MC. Donald, menyatakan bahwa tingkah laku terdiri dari pemikiran tentang tujuan, perasaan subjektif, dan dorongan mencapai kepuasan. Insting tersebut memiliki tujuan, dan memerlukan pemuasan. Tingkah laku insting dapat diaktifkan, dimodifikasi, dipicu secara spontan, dan dapat diorganisasikan. Diantara insting yang penting adalah memelihara, mencari makan, melarikan diri, berkelompok, mempertahankan diri, rasa ingin tahu, membangun dan kawin. Freud, mengemukakan bahwa insting mepunyai empat ciri yaitu tekanan , sasaran, objek, dan sumber. Tekanan adalah kekuatan yang memotivasi individu untuk berperilaku. Semakin besar energi dalam insting, maka tekanan terhadap individu semakin besar. Sasaran insting adalah kepuasan atau kesenangan. Kepuasan tercapai bila tekanan energi pada insting berkurang. Misalnya, keinginan makan berkurang bila individu masih kenyang. Objek insting adalah hal – hal yang memuaskan individu atau dari dalam individu. Insting manusia dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu insting kehidupan (life instincts), dan insting kematian (death instincts). Insting – insting kehidupan teridi dari insting yang bertujuan memelihara kelangsungan hidup. Insting kehidupan tersebut berupa makan, minum, instirahat, dan memelihara keturunan. Insting kematian, tertuju pada penghancuran, seperti merusak, menganiaya, atau mebunuh orang lain atau diri sendiri.
Freud, menjelaskan bahwa energi bekerja memelihara keseimbangan finis. Insting bekerja sepanjang hidup. Yang mengalami perubahan adalah cara pemuasan atau objek pemuasan. Tingkah laku individu yang memuaskan insting dapat secara langsung atau dengan menekan; penekanan insting tersebut tidak menghilangkan energi. Penekanan insting tersebut diupayakan masuk alam tidak sadar. Insting yang ditekan berkaitan dengan seksualitas dan agresivitas. Penakanan insting ke alam ketidaksadaran tersebut merupakan salah satu kunci perilaku motivasi. Tingkah laku manusia sedemikian komplek, ada yang dapat dikenali motivasi dari alam sadarnya, dan ada pula yang berasal dari alam tak sadarnya.
2) Motivasi Sekunder
Motivasi sekunder berbeda dengan motivasi primer. Motivasi sekunder adalah meotivasi yang dipelajari. Misalnya orang yang lapar akan tertarik pada makanan tanpa belajar. Untuk memperoleh makanan tersebut orang harus bekerja terlebih dahulu. Agar dapat bekerja dengan baik, orang harus belajar bekerja. “Bekerja dengan baik” merupakan penguat motivasi sekunder. Bila orang memiliki uang, setelah ia bekerja dengan baik, maka ia dapat membeli makanan untuk menghilangkan rasa laparnya.
Sebagai makhluk sosial, perilaku manusia tidak hanya dipengaruhi oleh faktor biologis saja, tetapi juga faktor sosial. Perilaku tersebut terpengaruh oleh tiga komponen penting yaitu afektif, kognitif, dan konatif. Komponen efektif adalah aspek emosional, yang meliputi motif sosial, sikap, dan emosi. Komponen kognitif, adalah aspek intelektual yang terkait dengan pengetahuan. Komponen konatif adalah terkait dengan kemauan dan kebiasaan bertindak.
Motivasi sosial (sekunder) memegang peran penting dalam kehidupan manusia. Motivasi sekuner, oleh beberapa ahli dapat digolongkan atas beberapa golongan. Thomas dan Zanniecki menggolongkan motivasi sekunder menjadi keinginan – keinginan (1) memperoleh pengalaman baru, (2) untuk mendapat respon, (3) memperolah pengakuan, dan (4) memperoleh rasa aman. Sementara itu Mc. Cleland, menggolongkannya menjadi kebutuhan – kebutuhan untuk (1) berprestasi, seperti bekerja dengan penuh kualitas tinggi, IPK tinggi, (2) memperoleh kasih sayang, seperti rela berkorban untuk sesama, dan (3) memperoleh kekuasaan, kesetiaan kepada tujuan perkumpulan. Sedangkan Maslow, menggolongkannya menjadi kebutuhan untuk (1) memperoleh rasa aman, (2) memperoleh kasih sayang dari kebersamaan, (3) memperoleh penghargaan, dan (4) pemenuhan diri atau aktualisasi diri. Pemenuhan diri tersebut dilakukan dengan berbagai cara seperti ungkapan dalam kesenian, berdarmawisata, membentuk hubungan persahabatan, dan berusaha menjadi teladan.
Perilaku motivasi sekunder juga terpengaruh oleh adanya “sikap”. Sikap adalah suatu motif yang dipelajari. Ciri – ciri sikap antara lain (1) merupakan kecendrungan berfikir, merasa, kemudian bertindak, (2) memiliki daya dorong bertindak, (3) relatif bersifat menetap, (4) berkecenderungan melakukan penilaian, dan (5) dapat timbul dari pengalaman, dapat dipelajari atau berubah.
Perilaku juga terpngaruh oleh emosi. Emosi menunjukkan adanya sejenis kegoncangan seseorang. Kegoncangan tersebut disertai proses jasmani, perilaku, dan kesadaran emosi. Emosi memiliki fungsi antara lain (1) pembangkit energi ; misalnya karena dicemoohkan orang menjadi berusaha keras sehingga berhasil, (2) pember informasi pada orang lain; seperti rasa sedih tertulis dalam wajah, (3) pembawa pesan dalam berhubungan dengan orang lain ; seperti pembicara yang bersemangat menimbulkan semangat kerja, (4) sumber informasi tentang diri seseorang, seperti pemerolehan rasa sehat wal afiat.
Perilaku juga dipengaruhi oleh adanya pengetahuan dipercaya. Pengetahuan tersebut adakalanya berdasarkan akal, ataupun tidak berdasarkan akal sehat. Pengetahuan dimaksud dapat mendorong terjadinya perilaku. Contoh orang tetap merokok dengan motivasi yang berbeda, ada yang ingin menunjukkan kejantanan, ada yang mengisi waktu luang, ada pula yang ingin menimbulkan kreativitas. Mereka juga menyadari akan bahaya merokok.
Aspek lain yang mempengaruhi perilaku individu adalah kebiasaan dan kemauan. Kebiasaan ; merupakan perilkau menetap, berlangsung otomatis, dan kemungkinan besar perilaku tersebut hasil belajar. Kemauan, merupakan tindakan mencapai tujuan secara kuat. Kemauan seseorang timbul karena adanya (1) keinginan yang kuat untuk mencapai tujuan, (2) pengetahuan tentang cara memperoleh tujuan, (3) energi dan kecerdasan, dan (4) pengeluaran energi yang tepat untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain, kebiasaan kemauan seseorang mempertinggi motif untuk berperilaku.

b. Sifat Motivasi
Berdasarkan sumbernya, motivasi dapat tumbuh dari dalam diri sendiri, yang dikenal motivasi internal, dan motivasi yang muncul berasal dari luar diri seseorang, yang disebut dengan motivasi eksternal. Selain itu, kita juga dapat membedakan motivasi instrinsik, dan motivasi ekstrinsik.
Motivasi instrinsik, merupakan motivasi yang terkandung dalam diri siswa (individu), atau pengaruh dari dalam dirinya. Sedangkan motivasi ekstrinsik, adalah dorongan terhadap perilaku seseorang yang ada di luar perbuatan yang dilakukanya. Orang berbuat sesuatu kalau ada dorongan dari luar, seperti adanya hadiah, menghindari hukuman, dan sebagainya.
Motivasi ekstrinsik banyak dilakukan di sekolah dan di masyarakat. Hadiah dan hukuman sering digunakan untuk meningkatkan kegiatan belajar. Jika siswa belajar dengan hasil sangat memuaskan, maka ia akan memperoleh hadiah dari guru atau orang tua. Sebaliknya jika hasil belajar tidak baik (memperoleh nilai kurang), maka ia akan memperoleh peringatan atau hukuman dari guru atau orang tua. Peringatan tersebut tidak menyenangkan siswa
Motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik dapat dijadikan pangkal rekayasa pedagogis guru. Sewajarnyalah, guru mengenal dan memahami adanya motivasi – motivasi tersebut. Untuk mengenal dan memahami adanya motivasi – motivasi yang sebenarnya, guru perlu melakukan penelitian, sesuai dengan tuntutan profesinya, guru belajar meneliti sambil praktek mendidik di sekolah. Adakalanya guru menghadapi siswa yang belum memiliki motivasi yang baik. Dalam hal ini berpegang pada motivasi eksrimsik. Dengan menggunakan penguat berupa hadiah atau hukuman seyogyanya guru memperbaiki disiplin dari siswa dalam beremansipasi.

5. Faktor–faktor yang Mempengaruhi Motivasi Dalam Belajar
Dalam perilaku belajar terdapat motivasi belajar. Motivasi belajar tersebut ada yang instrisik dan ekstrinsik. Penguatan dan pengembangan motivasi belajar tersebut berada ditangan guru/pendidik dan anggota masyarakat lain. Guru sebagai pendidik dan pengajar bertugas memperkuat motivasi belajar siswanya di sekolah. Orang tua bertugas memperkuat motivasi belajar siswa sepanjang hayat. Ulama dan tokoh masyarakat memperkuat motivasi belajar sepanjang hayat.
Dalam pendidikan formal, motivasi belajar tersebut ada dalam jaringan rekayasa pedagogis guru. Dengan tindakan perbuatan persiapan mengajar, pelaksanaan belajar menagajar, maka guru menguatkan motivasi belajar siswa. Sebaliknya dari segi emansipasi kemandirian siswa, motivasi belajar semakin meningkat pada tercapainya hasil belajar. Motivasi belajar merupakan segi kejiwaan yang mengalami perkembangan perkembangan, artinya terpengaruh oleh kondisi fisiologis dan kematangan psiologis siswa.
Banyak faktor yang mempengaruhi motivasi belajar, antara lain (a) cita-cita atau aspirasi siswa, (b) kemampuan siswa, (c) kondisi siswa, (d) kondisi lingkungan siswa, (e) unsur–unsur dinamis dalam mempelajaran, dan (f) upaya guru dalam membelajarkan siswa.
a) Cita-cita atau aspirasi siswa
Motivasi belajar tampak pada keinginan anak sejak kecil. Keberhasilan mencapai keinginan tersebut menumbuhkan kemauan belajar, bahan dikemudian hari cita – cita dalam kehidupan. Timbulnya cita-cita dibarengi oleh perkembangan akal, moral, kemauan, bahasa, dan nilai – nilai kehidupan. Timbulnya cita – cita dibarengi oleh perkembangan kepribadian.
Keinginan yang terpuaskan dapat memperbesar kemauan dan semangat belajar. Cita – cita akan memperkuat motivasi belajar instrinsik maupun skstrinsik. Sebab tercapainya suatu cita-cita akan mewujudkan aktualisasi diri.

b) Kemampuan Siswa
Seperti halnya cita – cita atau aspirasi, kemampuan siswa turut mempengaruhi motivasi belajarnya. Karena dengan kemampuan yang dimiliki siswa, ia dapat melaksanakan tugas – tugas belajarnya. Dengan kata lain, kemampuan akan memperkuat motivasi siswa untuk melaksanakan tugas – tugas perkembangan.
c) Kondisi Siswa
Kondisi yang dimaksud adalah kondisi jasmani dan rohani. Dan kondisi tersebut mempengaruhi motivasi belajar. Siswa yang sedang sakit, lapar, atau marah, akan menganggu perhatian belajar. Demikianpula sebaliknya, siswa yang sehat, kenyang, dan gembira akan mudah memusatkan perhatian, dan sebagainya. Dengan kata lain, kondisi jasmanai dan rohani siswa berpengaruh pada motivasi belajar.
d) Kondisi Lingkungan Siswa
Keadaan alam, tempat tinggal, pergaulan sebaya, merupakan lingkungan siswa yang turut mempengaruhi belajar siswa. Oleh karena itu kondisi lingkungan sekolah yang sehat, lingkunagn masyarakat yang aman, tenteram rukun dan nyaman, perlu ditingkatkan mutunya. Dengan lingkungan yang aman, tenteram, tertib dan indah, semangat dan motivasi belajar mudah diperkuat.
e) Unsur – unsur dinamis dalam pembelajaran
Seperti diketahui,siswa mempunyai perasaan, perhatian, kemauan, ingatan, pikiran yang mengalami perubahan berkat pengalaman hidup. Siswa yang masih berkembang jiwa raganya, lingkungan yang semakin bertambah baik berkat dibangun, merupakan kondisi dinamis yang baik bagi pembelajaran. Guru profesional diharapkan mampu memanfaatkan berbagai sumber belajar, seperti surat kabar, siaran radio, televisi, dan sumber belajar di sekitar sekolah untuk memotivasi belajar siswa.
f) Upaya guru dalam membelajarkan siswa.
Upaya membelajarkan siswa oleh guru, bisa terjadi disekolah dan juga di luar sekolah. Upaya pembelajaran di sekolah, antara lain dapat dilakukan dengan (a) menyelanggarakan tertib belajar di sekolah, (b) membina disiplin belajar dalam tiap kesempatan, seperti pemanfaatan waktu belajar, (c) membina belajar tertib pergaulan, (d) membina belajar tertib lingkungan sekolah. Selain penyelenggaraan tertib yang umum tersebut, secara individual guru menghadapi anak didiknya. Upaya pembelajaran tersebut meliputi (a) pemahaman tentang diri siswa dalam rangka kewajaran tetib belajar, (b) pemanfaatan penguatan berupa hadiah, kritik, hukuman secara tepat, dan (c) mendidik cinta belajar.

6. Upaya Meningkatkan Motivasi Belajar.
Perilaku belajar siswa berbeda satu sama lain, hal itu sangat tergantung pada motivasi belajarnya. Guru di sekolah menghadapi banyak siswa dengan bermacam–macam motivasi belajar. Oleh karena itu guru harus mampu meningkatkan motivasi belajar siswa memalui peran–peran yang dimainkan, yaitu sebagai berikut :
a. Optimalisasi penerapan prinsip belajar
Perilaku belajar di sekolah telah menjadi pola umum. Dalam upaya pembelajaran, guru berhadapan dengan siswa dan bahan belajar. Untuk dapat membelajarkan atau mengajarkan bahan pelajaran di persyaratkan ; guru telah (1) mempelajari bahan pelajaran, (2) memahami bagian – bagian yang mudah, sedang, dan sukar, (3) menguasai cara – cara menpelajari bahan, dan (4) memahami sifat bahan pelajaran tersebut.
Upaya pembelajaran terkait dengan beberapa prinsip belajar, bahwa belajar akan menjadi bermakna bila : (1) siswa memahami tujuan belajar; oleh karena itu guru perlu menjelaskan tujuan belajar secara hierarkis, (2) siswa dihadapkan pada pemecahan masalah yang menantangnya ; oleh karena itu pelatakan urutan masalah yang menantang harus menyusun guru dengan baik, (3) guru mampu memuaskan segala kemampuan mental siswa dalam kegiatan program tertentu; oleh karena itu, disamping mengajarkan bahan secara terpisah – pisah, guru sebaiknya membuat pengajaran unit atau proyek, (4) sesuai dengan perkembangan siswa, maka kebutuhan bahan – bahan belajar siswa semakin bertambah; oleh karena itu guru perlu mengatur bahan dari yang paling sederhana sampai paling menantang. Sebaiknya bahan diatur dalam prinsip pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri, (5) belajar menjadi menantang bila siswa memahami prinsip penilaian dan faedah nilai bilajarnya bagi kehidupan di kemudian hari; oleh karena itu guru perlu memberi tahukan kriteria keberhasilan atau kegagalan belajar.

b. Optimalisasi unsur dinamis belajar dan pembelajaran.
Seorang siswa akan belajar dengan seutuh pribadinya, perasaan, kemauan, pikiran, perhatian, fantasi, dan kemampuan yang lain tertuju pada belajar. Meskipun demikian ketertujuan tersebut tidak selamanya berjalan lancar. Ketidak kesejajaran tersebut disebabkan oleh kelelahan jasmani atau mentalnya, ataupun naik turun energi jiwa.
Guru sebagai pendidik dan pembimbing, lebih memahami keterbatasan waktu bagi siswa. Sering kali siswa lengah tentang nilai kesempatan belajar. Oleh karena itu guru dapat mengupayakan optimalisasi unsur – unsur dinamis yang ada dalam diri dan yang ada dilingkungan siswa. Upaya optimalisasi tersebut adalah (1) pemberian kesempatan kepada siswa untuk mengungkap hambatan belajar yang dialaminya, (2) memelihara minat, kemauan, dan semangat belajarnya sehingga terwujud tindak belajar, betapa lamban gerak belajar, guru tetap secara terus menerus mendorong, (3) meminta kesempatan pada orang tua siswa atau wali, agar memberi kesempatan kepada siswa beraktualisasi diri dalam belajar, (4) memanfaatkan unsur – unsur lingkungan yang mendorong belajar; surat kabar, tayangan telavisi yang menganggu pemusatan belajar dicegah, (5) menggunakan waktu secara tertib, penguat dan suasana gembira terpusat pada perilaku belajar; pada tingkat ini guru memberlakukan upaya “belajar merupakan aktualisasi diri siswa, dan (6) guru meransang siswa dengan penguat memberi rasa percaya diri bahwa ia dapat mengatasi segala hambatan, dan pasti berhasil.

c. Optimalisasi pemanfaatan pengalaman dan kemampuan siswa
Perilaku belajar siswa merupakan rangkaian tindak – tindak belajar setiap hari. Perilaku belajar setiap hari bertolak dari jadwal pelajaran sekolah. Untuk menghadapi hari pertama masuk sekolah guru telah membuat rancangan pelajaran. Sedangkan siswa telah terbiasa dengan membawa buku pelajaran. Siswa telah mengalami belajar yang berhasil atau belajar yang gagal sebelumnya. Siswa menghayati “pahitnya kegagalan belajar, dan manisnya keberhasilan belajar. Oleh karena itu rancangan pengajaran selalu diharapkan siswa.
Guru sebagai penggerak perjalanan belajar bagi siswa, perlu memahami dan mencatat kesukaran – kesukaran siswa. Sebagai fasilitator belajar, guru diharapkan memantau tingkat kesukaran pengalaman belajar, dan segera membantu mengatasi kesukaran belajar. Guru wajib menggunakan pengalaman belajar dan kemampuan siswa dalam mengelola siswa belajar. Upaya optimalisasi pemanfaatan pengalaman siswa tersebut dapat dilekukan sebagai berikut (1) siswa ditugasi membaca bahan belajar sebelumnya : setiap membaca bahan belajar siswa mencatat hal – hal yang sukar, catatan tersebut diserahkan kepada guru, (2) guru mempelajarai hal – hal yang sukar bagi siswa, (3) guru memecahkan yang sukar, dengan mencari cara pemecahan, (4) guru mengajarkan cara memecahan dan mendidikan keberanian mengatasi kesukaran, (5) guru mengajak serta siswa menagalami dan mengatasi kesukaran, (6) guru memberi kesempatan kepada siswa yang mampu memecahkan masalah untuk membantu rekan–rekannya yang mengalami kesukaran, (7) guru pemberi penguatan kepada siswa yang berhasil mengatasi kesukaran belajarnya sendiri, (8) guru menghargai pengalaman dan kemampuan siswa agar belajar secara mandiri.
d. Pengembangan cita-cita dan aspirasi balajar
Dewasa ini keinginan hidup lebih baik telah dimiliki warga masyarakat. Belajar telah dijadikan alat hidup, oleh karena itu warga masyarakat mendambakan agar anak – anaknya memperoleh tempat belajar di sekolah yang baik.
Memasyarakatkan “cita-cita untuk hidup labih baik” akan berpengaruh pada generasi muda. Namun pengaruh tersebut perlu dikembangkan lebih lanjut oleh guru dan pendidik lain. Sekolah sebagai pusat kegiatan belajar adalah tempat tim guru profesional pendidik. Tim guru bekerja secara berkesenambungan, sejak dari TK, SD, SLTP, dan SLTA.
Guru sebagai pendidik, berpeluang merekayasa dan mendidikan cita – cita belajar. Mendidikan cita-cita belajar pada siswa merupakan upaya “memberantas” kebodohan masyarakat. Upaya mendidikkan dan mengembangkan cita-cita belajar tersebut dapat dilakukan denga berbagai cara, antara lain (a) guru menciptakan suasana belajar yang kondusif, (b) Guru mengikut sertakan siswa untuk memelihara fasilitas belajar, (c) guru mengajak serta siswa untuk membuat perlombaan untuk belajar, (d) guru mengajak serta orang tua siswa untuk memperlengkap fasilitas belajar, (e) guru “memberanikan” siswa untuk mencapai, siswa diajak berdiskusi tentang keberhasilan atau kegagalan mencapai keinginan yang baru yang diduga dapat tercapai, (f) guru bekerjasama dengan pendidik lain, untuk mendidikkan dan mengembangkan cita –cita belajar sepanjang hayat.
Untuk pengembangan cita – cita belajar siswa, guru dan pendidik lain dapat membuat program – program balajar. Guru dan pendidik lain berlaku “tut wuri handayani”. Pengembangan cita-cita belajar dilakukan sejak siswa sekolah dasar. Pengembangan cita – cita belajar tersebut “ ditempuh” dengan jalan membuat kegiatan belajar sesuatu. Penguat berupa hadiah diberikan pada setiap siswa yang berhasil. Sebaliknya dorongan keberanian untuk memiliki cita – cita diberikan kepada setiap siswa yang berasal dari semua lapisan masyarakat.

Rangkuman
Belajar merupakan perilaku yang dilakukan oleh pebelajar. Pebelajar menampilkan perilaku balajar karena adanya kekuatan mental sebagai penggerak yang ada pada dirinya. Kekuatan mental tersebut berupa keinginan, perhatian kemauan, atau cita-cita, yang disebut dengan motivasi belajar, unsur utama motivasi belajar adalah kebutuhan, dorongan, dan tujuan dari pembelajaran. Motivasi belajar ini sangat penting dipahami dan diketahui oleh siswa, maupun guru.
Sebagai kekuatan mental, motivasi dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu motivasi primer dan sekunder. Sifat motivasi dapat dibedakan menjadi instrinsik dan ekstrinsik. Ada pula pendapat yang membedakan motivasi atas motivasi internal dan eksternal. Maslow dan Rogers misalnya, mengakui pentingnya motivasi instrinsik dan ekstrinsik bagi acara pembelajaran. Beberapa ahli menekankan bahwa segi – segi tertentu pada motivasi justru mengisyaratkan agar guru bertindak taktis dan kreatif dalam mengelola motivasi belajar siswa. Motivasi belajar dihayati, dialami, dan merupakan kekuatan mental pebelajar dalam belajar. Motivasi belajar siswa perlu dihidupkan terus menerus untuk mencapai hasil belajar yang optimal dan dijadikan dampak pengiring, yang selanjutnya menumbuhkan program belajar sepanjang hayat. Dari sisi guru motivasi belajar pada siswa berada pada lingkup program dan tindak pembelajaran. Oleh karena itu guru berpeluang meningkatkan, mengembangkan, dan memelihara motivasi belajar dengan optimalisasi, (1) terapan prinsip belajar, (2) dinamisasi perilaku siswa seutuhnya, (3) pemanfaatan pengalaman dan kemampuan siswa, (4) aspirasi dan cita–cita siswa, dan (5) tindakan pembelajaran sesuai rekayasa pedagogis.

Tugas
Setelah anda mempelajari isi bab ini kerjakanlah (jawablah) tugas–tugas di bawah ini.
1. Buatlah rumusan mengenai pengertian motivasi belajar, dengan kata – kata sendiri !
2. Diskusikan dengan teman, mengapa calon pendidik maupun guru perlu mengetahui dan memahami motivasi belajar siswa !
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan motif dasar (primer), berikan contoh !
4. Identifikasi, perbedaan motivasi instrinsik dengan motivasi ekstrimisik, dan lengkapi dengan contoh !
5. Jelaskan pentingnya motivasi belajar bagi seorang guru dalam mengelola pembelajaran di kelas !
6. Jika anda seorang guru, upaya apa yang akan anda lakukan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa anda ?

Daftar Pustaka
Dimyati dan Mudjiono, (1994). Belajar dan Pembelajaran, Jakarta P2PLTK, Dirjendikti Depdikbud.
Prayitno, Elida, (1989), motivasi dalam belajar, Jakarta P2PLTK. Dirjendikti Depdikbud.
Slameto, (1991), belajar dan faktor – faktor yang mempengaruhinya, Jakarta, Reineke Cipta.
BAB VII
DASAR-DASAR PENGEMBANGAN DAN FUNGSI KURIKULUM

A. Pendahuluan

Mencermati dalam dimensi yang lebih luas dan mendalam, langsung atau tidak, kurikulum berperan amat penting dalam menentukan pembentukan generasi masa depan, generasi yang akan menentukan hidup dan kehidupannya sendiri. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa “mau dibawa kemana generasi masa depan “ maka kurikulum sangat berperan dalam keseluruhan aktivitas pendidikan yang dilakasanakan.
Selanjutnya, apabila dikaitkan dengan salah satu kompetensi guru, maka penguasaan terhadap kurikulum adalah salah satu kompetensi guru yang harus dimiliki dan dikuasai oleh guru dalam menjalankan tugasnya sehari-hari sebagai tenaga guru yang profesional.
Sehubungan dengan hal diatas, bagian ini akan menguraikan dan membahas tentang; Dasar-dasar Pengembangan kurikulum yang meliputi; Pengertian Kurikulum; Landasan Pengembangan Kurikulum; Komponen Kurikulum; dan Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum.
Dengan memberikan wawasan tentang hal ini, diharapkan calon guru (mahasiswa kependidikan) memiliki kemampuan yang dibutuhkan sebagai guru yang profesional, khususnya dalam hal pengembangan kurikulum

B. Materi
Pengembangan Kurikulum
a. Pengertian Kurikulum
Pengertian kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori-teori pendidikan yang dianutnya. Menurut pandangan lama, kurikulum merupakan kumpulan dari mata-mata pelajaran atau bahan ajaran yang harus disampaikan guru atau dipelajari oleh siswa. Anggapan ini telah ada sejak zaman dahulu (Yunani Kuno), dalam hubungan atau lingkungan tertentu pandangan itu masih terpakai sampai sekarang, Robert S. Zais ; 1976 (dalam Nana Syaodih ; 1988) menyatakan bahwa “curriculum is rececourse of subject matters to be mastered’. Banyak orang tua bahkan guru-guru, bila ditanya tentang kurikulum akan memberikan jawaban sekitar mata-mata pelajaran, lebih khusus mungkin kurikulum diartikan sebagai isi mata-mata pelajaran. Apabila dicermati pengertian tersebut tentu pengertian kurikulum bukan hanya sekedar itu, namun lebih luas dan lebih kompleks. Berbagai pengertian tentang kurikulum telah banyak dikemukakan dalam berbagai literatur, untuk mengemukakannya dalam kesempatan yang terbatas ini semua pengertian tentang kurikulum adalah hal yang tidak mungkin. Oleh sebab itu dalam hal ini hanya akan dikemukakan oleh beberapa ahli saja.
1) Mc Donald (1965;3)
Kurikulum merupakan sebuah rencana kegiatan yaitu rencana yang memberi pedoman kepada pengajaran
2) Mauritz Johnson (1967:130)
Kurikulum berkenaan dengan rentetan hasil-hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh siswa
3) Krug (1956) (dalam Zais; 1976:8)
Kurikulum adalah semua yang dipakai oleh sekolah untuk menyediakan kesempatan-kesempatan bagi siswa untuk memperoleh pengalaman belajar yang diperlukan
Pengertian yang dimasyarakatkan dan dipakai di Indonesia adalah sebagaimana yang tertera dalam UU No 2 tahun 1989 tentang Sistim Pendidikan Nasional, yaitu Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.

b. Landasan Pengembangan Kurikulum
Landasan kurikulum adalah nilai-nilai, tradisi, kepercayaan dan kekuatan lain yang berpengaruh terhadap bentuk dan kualitas pendidikan yang diberikan kepada peserta didik. Landasan tersebut dapat berupa; filosofis, psikologis, sosiologis, historis dan IPTEK.
1) Landasan Filosofis
Landasan filosofis pada hakekatnya adalah suatu kekuatan yang memberikan arah dalam semua keputusan dan tindakan yang diambil dalam bidang pendidikan. Pendidikan ada dan berada dalam kehidupan masyarakat, sehingga apa yang dikehendaki oleh masyarakat untuk dilestarikan, diselenggarakan melalui pendidikan (dalam arti yang seluas-luasnya). Dengan kata lain, pandangan hidup, wawasan yang ada dalam masyarakat merupakan landasan filosofis penyelenggaraan pendidikan. Sehubungan dengan hal di atas, pandangan hidup orang dan bangsa Indonesia adalah Pancasila. Oleh karena itu sistim nilai yang harus dipegang oleh seluruh jalur dan satuan pendidikan di Indonesia dalam penyelenggaraan pendidikannya secara keseluruhan, termasuk dalam pengembangan kurikulum adalah Pancasila
2) Landasan Psikologis
Landasan psikologis berkenaan dengan cara peserta didik belajar, faktor apa yang menghambat kemajuan belajar, memberikan landasan berfikir tentang hakikat proses belajar dan pembelajaran dan tingkat-tingkat perkembangan peserta didik. Kurikulum pada dasarnya disusun agar peserta didik dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dengan memperhatikan teori-teori dan prinsip-prinsip belajar yang sesuai dengan tingkat perkembangan psikologi peserta didik yang bersangkutan akan menghasilkan kurikulum yang efektif.
3) Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis menyangkut kekuatan-kekuatan sosial kemasyarakatan yang selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Hal itu akan memberikan warna dan pengaruh terhadap pengembangan kurikulum. Sekolah didirikan untuk mengembangkan kebudayaan masyarakat. Penerusan kebudayaan kepada peserta didik sebagai generasi penerus merupakan tujuan utama pendidikan yang pada akhirnya dapat menentukan kualitas masyarakat, sekarang dan masa depan. Tentu saja landasan ini tidak hanya berpengaruh terhadap pengembangan kurikulum pada dimensi kurikulum sebagai dokumen tertulis, tetapi juga lebih berpengaruh pada dimensi implementasi kurikulum yang bersangkutan.
4) Landasan Historis
Landasan historis berkaitan dengan keputusan-keputusan program pendidikan dan formulasi-formulasi program-program sekolah pada waktu lampau yang masih hidup sampai sekarang, atau yang pengaruhnya masih besar pada kurikulum saat ini. Kurikulum yang dikembangkan saat ini, perlu mempertimbangkan apa yang telah dilakukan dan apa yang telah kita capai melalui kurikulum sebelumnya. Demikian juga, kita perlu memper timbangkan kurikulum yang ada sekarang waktu mempertimbangkan kurikulum di masa depan, karena apa yang kita lakukan sekarang akan berpengaruh terhadap kurikulum yang akan kita kembangkan di masa depan. Contohnya, pengembangan kurikulum yang akan dan sedang dalam proses perbaikan dan penyempurnaan, tentu tidak akan dimulai dari nol (awal), tetapi mengambil pelajaran dan pengalaman dari kurikulum yang berlaku sebelumnya (kurikulum 1975, kurikulum 1984). Tujuan dan materi kurikulum sebelumnya tentu dipakai sebagai acuan dan pedoman bagi kurikulum berikutnya. Dengan demikian pelajaran dan pengalaman yang dapat diambil dari pelaksanaan kurikulum sebelumnya menjadi pelajaran yang berharga dan berpengaruh terhadap berbagai komponen kurikulum berikutnya.

5) Landasan Perkembangan IPTEK
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terus berlangsung, apakah menghasilkan teori (hukum) baru dan teknologi baru atau menggugurkan teori (hukuk) dan teknologi yang telah ada. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan hanya berkenaan dengan cara-cara dan alat-alat fisik-mekanik tetapi juga berkenaan dengan pemecahan masalah-masalah yang membutuhkan pendekatan dari sistem tertentu, logika, eksperimen tertentu dan sebagainya. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi cukup luas, menyentuh segala bidang kehidupan seperti; politis, ekonomi, sosial, keagamaan, etika, keamanan, pendidikan dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara langsung maupun tidak langsung menuntut perkembangan pendidikan. Pengaruh langsung perkembangan IPTEK ini adalah memberikan isi/materi atau bahan yang akan disampaikan dalam pendidikan. Pengaruh tidak langsung adalam perkembangan IPTEK, menyebabkan perkembangan masyarakat, dan perkembangan masyarakat menimbulkan problem-problem baru yang menuntut pemecahan dengan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan baru yang dikembangkan dalam pendidikan dan khususnya dalam pengembangan kurikulum.

c. Komponen Kurikulum
Kurikulum dapat diumpamakan sebagai suatu sistim atau suatu organisme manusia ataupun binatang, yang memiliki komponen tertentu. Komponen-komponen kurikulum yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum adalah :
1) Tujuan
Komponen Tujuan berkaitan dengan arah atau sasaran yang ingin dicapai dalam penyelenggaraan pendidikan dan akan mewarnai seluruh komponen lainnya dan akan mengarahkan semua kegiatan belajar pembelajaran. Oleh karena itu dalam pengembangan kurikulum komponen tujuan merupakan komponen pertama dan utama yang harus ditetapkan atau dikembangkan.
Tujuan ini, diangkat dari tuntutan dan kebutuhan masyarakat dan didasari oleh falsafah negara. Dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah tahuan 1994 dikenal beberapa kategori tujuan yang dapat dilihat secara hierarkis (berjenjang)
a) Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan ini merupakan tujuan ideal pendidikan seluruh bangsa Indonesia.
b) Tujuan Satuan Pendidikan
Tujuan Satuan Pendidikan (sebelumnya tujuan ini disebut tujuan Institusional) merupakan tujuan pendidikan yang akan dicapai suatu satuan pendidikan.
c) Tujuan Pengajaran
Merupakan tujuan yang ingin dicapai untuk setiap mata pelajaran/bidang studi.
d) Tujuan Pembelajaran
Tujuan Pembelajaran merupakan target yang harus dicapai oleh suatu pokok bahasan/suatu topik/suatu konsep/suatu tema/suatu sub tema. Tujuan yang terakhir ini dirinci lagi menjadi Tujuan Pembelajaran Umum (TPU) dan Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK).
2) Materi
Komponen materi berkenaan dengan hal/apa saja yang diajarkan agar peserta didik memperoleh pengalaman belajar seperti yang dirumuskan pada tujuan. Materi pelajaran mencakup;
a) Ilmu pengetahuan, seperti; konsep, ide, fakta, data dan prinsip;
b) Keterampilan, seperti; membaca, menulis, berhitung, berfikir, berkomunikasi dan
c) Nilai-nilai dan sikap yang terorganisasi dalam suatu pelajaran/bidang studi seperti baik-buruk, betul-salah, indah-jelek dsb.
Materi pelajaran tersebut perlu disusun (diorganisasi) sehingga peserta didik memperoleh pengalaman belajar untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Organisasi materi pelajaran dapat dimensi.
a) Organisasi horizontal
Organisasi materi dalam dimensi ini menyangkut ruang lingkup dan keterpaduan (integrasi) dari keseluruhan materi. Dengan kata lain, organisasi horizontal merupakan kaitan antara satu materi dengan materi pelajaran lainnya pada kelas yang sama. Umpama antara materi mata pelajaran Sejarah, Geografi, Antropologi, dan Sosiologi, baik secara terpisah-pisah maupun terpadu dalam satu mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial, dinamakan organisasi horizontal
b) Organisasi Vertikal
Organisasi materi dalam dimensi ini mencakup urutan dan kesinambungan materi pelajaran berupa hubungan longitudinal materi pelajaran dengan peserta didik. Misalnya, materi pelajaran Sejarah kelas V SD yang dikaitkan dengan materi pelajaran sejarah kelas VI SD, tetapi dengan tingkat kesukaran, keluasan dan kedalaman yang berbeda.
Untuk mengorganisaikan materi pelajaran ada 5 kriteria a) ruang lingkup; b) integrasi; c) urutan; d) berkelanjutan serta ; e) artikulasi dan keseimbangan.

3). Strategi dan Media Pembelajaran
Pengembangan materi (isi dan pengorganisasiannya) berhubungan erat dengan Strategi dan Media Pembelajaran, karena pada waktu dan setelah pengembangan materi juga harus dipikirkan strategi dan media pembelajaran mana yang sesuai untuk menyajikan materi yang bersangkutan.
Ada beberapa strategi yang dapat digunakan dalam pembelajaran yaitu:
a) Reception (Exposition/learning-Discovery Learning)
Dalam reception atau exposition learning keseluruhan materi/isi pelajaran disampaikan kepada peserta didik, baik secara lisan maupin secara tertulis. Peserta didik tidak dituntut mengolah atau melakukan aktivitas lainnya.
Dalam discovery learning materi/isi pelajaran tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan; menganalisis, menyimpulkan, mereorganisasi dan mengintegrasikan materi tersebut. Dengan demikian peserta didik akan menemukan hal-hal yang bermanfaat dan berarti baginya.
b) Rote Learning-Meaningfull Learning
Dalam rote learning materi/isi pelajaran disampaikan kepada peserta didik tanpa memperhatikan maknanya bagi mereka. Dalam meaningfull learning penyampaian materi/isi pelajaran mengutamakan maknanya bagi peserta didik. Suatu materi/isi pelajaran akan bermakna bila dihubungkan dengan struktur kognitif, yaitu; segala fakta, konsep, proporsi, teori dan data perseptual yang telah dikuasai siswa sebelumnya.
c) Group Learning-Individual Learning
Strategi pembelajaran ini berkenaan dengan pengorganisasian siswa dalam aktivitas belajar (dalam bentuk kelompok kecil dan secara individual)
Selanjutnya media pembelajaran merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan kepada penerima pesan. Di samping itu, yang penting untuk diketahui bahwa pemilihan dan penggunaan media pembelajaran secara tepat akan menghasilkan pengalaman belajar yang optimal bagi peserta didik.
4) Evaluasi
Komponen evaluasi dimaksudkan untuk mengetahui tujuan-tujuan yang telah ditentukan serta menilai proses belajar mengajar secara keseluruhan. Tiap kegiatan akan memberikan umpan balik, dan digunakan untuk mengadakan berbagai upaya penyempurnaan tujuan materi/isi pelajaran, strategi dan media pembelajaran dan evaluasi itu sendiri.
d. Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum
Ada beberapa prinsip pokok pengembangan kurikulum yang harus diperhaikan. Prinsip-prinsip tersebut ialah;
1) Prinsip Relevansi
Prinsip relevansi dapat diartikan bahwa kurikulum harus diuraikan dengan tuntutan kehidupan dan kehidupan peserta didik. Pada dasarnya prinsip ini dapat dibedakan kepada dua bagian yaitu ;
a) Relevansi ke dalam
Relecansi ke dalam adalah menyangkut kesesuaian atau keserasian antar komponen-komponen yang ada dalam kurikulum.
b) Relevansi ke luar
Relevansi keluar adalah menyangkut kesesuaian kurikulum dengan peserta didik, dengan perkembangan zaman sekarang dan masa datang serta dengan tuntutan dunia pekerjaan.
2) Prinsip Fleksibilitas
Prinsip fleksibilitas maksudnya adalah tidak kaku artinya adanya dan terbukanya kemungkinan bagi peserta didik untuk memilih beberapa alternatif di luar ketentuan yang berlaku. Misalnya, disediakannya beberapa program pilihan; program spesialisasi, jurusan dan program keterampilan. Peserta didik dapat memilih alternatif yang sesuai dengan kemampuan, bakat atau minat peserta didik yang bersangkutan.
Prinsip ini juga berlaku bagi guru dalam memilih, menentukan dan menyumbangkan program pembelajaran yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang memungkinkan aktivitas berjalan dan berhasil secara maksimal.
3) Prinsip Kontinuitas
Prinsip ini mengandung ide bahwa perlu dijaga atau dipelihara adanya saling keterkaitan materi pelajaran yang ada pada berbagai satuan dan jenjang pendidikan. Dalam pengembangan materi pelajaran perlu adanya kesinambungan agar materi pelajaran yang diperlukan untuk mempelajari materi pada tingkat yang lebih tinggi sudah dikuasai pada tingkatan materi dan tingkatan sekolah sebelumnya.
4) Prinsip Efektivitas
Prinsip ini berkaitan dengan tingkat pencapaian atau tingkat keberhasilan yang telah direncanakan atau yang diinginkan dapat terlaksana (tercapai). Dengan arti kata bahwa sejauh mana tingkat pencapaian atau keberhasilan proses dan hasil pembelajaran yang telah dilaksanakan.
5) Prinsip efisiensi
Prinsip ini menyangkut dengan perbandingan antara tenaga, waktu, dana dan sarana yang dimanfaatkan dengan hasil yang diperoleh. Untuk itu prinsip ini perlu diperhatikan misalnya, dengan tenaga guru yang berkualitas tinggi, sarana dan prasarana yang memadai, dan waktu yang mencukupi, berapa jauh semua proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan mencapai hasil seperti yang telah direncanakan.

2. Fungsi Kurikulum
Pada dasarnya kurikulum berfungsi sebagai pedoman kerja bagi berbagai pihak yang ikut terkait dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kurikulum. Dengan demikian segala pekerjaan yang erat kaitannya dengan implementasi kurikulum dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan yang diharapkan. Namun demikian ada beberapa hal penting san yang seyogianya diperhatikan atau di ketahui bahwa keberhasilan/kesuksesan implementasi kurikulum dipengaruhi oleh banyak faktor. Di samping itu, kurikulum bukanlah hal yang statis, tetapi merupakan unsur yang dunamis seiring dengan dinamika yang terjadi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi kita dengan dinamika perkembangan zaman. Hal ini tentu saja terkait dengan keputusan dan kebijakan mengenai penyempurnaan dan perubahan kurikulum.
Sehubungan hal di atas, bagian ini akan membahas tentang; fungsi kurikulum, faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan/kesuksesan kurikulum dan penyempurnaan/perubahan kurikulum. Dengan kajian ini diharapkan mahasiswa memahami secara lebih luas dan memadai sebagai bekal untuk melaksanakan tugasnya sebagai guru yang profesional.
Fungsi kurikulum dapat ditujukan kepada :
a. Bagi Pencapaian Tujuan
Salah satu fungsi kurikulum adalah untuk pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkan atau digariskan sebelumnya. Dengan kurikulum, maka tujuan akan dapat dicapai. Oleh sebab itu komponen kurikulum ini merupakan unsur pokok/penting kedudukannya untuk mencapai suatu tujuan, baik tujuan yang sifatnya lebih khusus maupun tujuan yang lebih umum, seperti tujuan Pendidikan Nasional.
b. Bagi Guru
Dalam mengemban tugas sebagai pelaksana kurikulum maka kurikulum berfungsi sebagai pedoman kerja. Dengan itu guru akan terhindar dari melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam kurikulum tersebut. Hal ini berarti bahwa kurikulum akan memberikan arah yang benar bagi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang menjadi tugas pokok guru.
c. Bagi Sekolah
Bagi sekolah kurikulum berfungsi sebagai :
1) Sebagai alat mencapai tujuan lembaga pendidikan yang diinginkan. Setiap lembaga (satuan pendidikan) mempunyai tujuan yang akan dicapai sesuai dengan jenjang pendidikannya. Kurikulum merupakan alat yang berfungsi untuk mencapai tujuan masing-masing lembaga yang bersangkutan.
2) Sebagai pedoman mengatur segala kegiatan sehari-hari di sekolah. Fungsi ini meliputi
a) Jenis program pendidikan yang harus dilaksanakan
b) Cara pelaksanaan/penyelenggaraan setiap jenis program pendidikan
c) Pihak yang bertanggung jawab dalam melaksanakan program pendidikan
d) Bentuk dan cara evaluasi dilaksanakan terhadap program pendidikan
d. Bagi Kepala Sekolah
Kepala Sekolah juga merupakan salah satu unsur pengembang kurikulum di sekolah. Oleh karena itu, kurikulum bagi kepala sekolah merupakan barometer atau alat ukur keberhasilan program pendidikan di sekolah yang dipimpinnya.
Kepala Sekolah dituntut untuk menguasai, dan mampu mengontrol apakah kegiatan-kegiatan proses pendidikan yang dilaksanakan itu berpijak pada kurikulum yang berlaku. Pengembangan kurikulum dan kegiatan administrasi dan program pembelajaran yang dibuat dan dilaksanakan di kelas, seyogianya semua berpedoman pada dan untuk menunjang kurikulum yang berlaku.
e. Bagi Masyarakat
Dengan adanya kurikulum, maka melalui kurikulum sekolah yang bersangkutan, masyarakat dapat mengetahui apakah pengetahuan, sikap dan nilai serta keterampilan yang dibutuhkannya relevan atau tidak dengan kurikulum suatu sekolah.
Perlu ditegaskan sini bahwa hasil pendidikan yang diperoleh peserta didik akan sukar mencapai manfaat optimal tanpa adanya partisipasi masyarakat baik langsung maupun tidak langsung. Oleh sebab itu, sewajarnyalah masyarakat khususnya para orang tua turut membantu pendidikan anak-anaknya di rumah masing-masing, dengan cara membimbing, membantu latihan dan sebagainya guna mencapai hasil yang optimal.
Selanjutnya, bantuan, bimbingan dan latihan yang tidak didasarkan atas kurikulum yang berlaku, tidak mustahil membawa akibat yang dapat merugikan peserta didik, merugikan sekolah, sekaligus masyarakat atau orang tua.

2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pengembangan Kurikulum
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengembangan kurikulum diantaranya ialah;
a. Pendidikan Tinggi
Kurikulum yang dikembangkan minimal mnedapat pengaruh dari pendidikan tinggi, yaitu, dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan di perguruan tinggi; dari pendidikan guru yang dilaksanakan oleh LPTK. Pengetahuan dan teknologi hanya memberikan sumbangan bagi isi kurikulum dan jenis pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan di Perguruan tinggi akan mempengaruhi isi pelajaran yang akan dikembangkan dalam kurikulum. Kurikulum di LPTK akan sangat mempengaruhi kompetensi guru dan tenaga kependidikan lainnya yang dihasilkan itu.
b. Masyarakat
Sekolah merupakan bagian dari masyarakat dan bertugas mempersiapkan anak untuk kehidupannya di masyarakat sebagai bagian dan agen dari masyarakat, sekolah sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dimana sekolah tersebut berada. Isi kurikulum hendaknya mencerminkan kondisi dan dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Salah satu contoh konkrit sebagai suatu kekuatan yang ada dalam masyarakat adalah dunia usaha. Perkembangan dunia usaha ynag ada di masyarakat mempengaruhi pengembangan kurikulum sebab sekolah bukan hanya mempersiapkan anak untuk hidup, tetapi juga untuk bekerja dan berusaha, hal-hal seperti ini tentu saja perlu disiapkan oleh sekolah melalui kurikulum.
c. Sistim Nilai
Dalam kehidupan masyarakat terdapat sistem nilai, seperti: nilai moral, nilai sosial maupun nilai politis. Sekolah sebagai lembaga masyarakat bertanggung jawab dalam pemeliharaan dan perumusan nilai-nilai dan yang akan dipelihara dan diteruskan kepada generasi muda harus terintegrasi dalam kurikulum.
Terdapat beberapa hal yang perlu diketahui dan diperhatikan dalam memberikan nilai-nilai tersebut, seperti: 1) semua nilai yang ada dalam masyarakat harus diketahui dan diperhatikan, 2) berpegang pada prinsip demokrasi, etis dan moral, 3) berusaha menjadi teladan yang dapat dan patut ditiru, 4) menghargai nilai0nilai kelompok lain, 5) memahami dan menerima keragaman kebudayaan sendiri.

3. Penyempurnaan dan Perubahan Kurikulum
Dalam proses pengembangan kurikulum secara keseluruhan, penyempurnaan dan perubahan suatu kurikulum adalah suatu kegiatan yang mesti ada dan harus dilakukan. Dilakukannya kegiatan tersebut karena pada hakikatnya kurikulum bukanlah sesuatu yang statis, namun merupakan suatu hal yang dinamis, seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat, dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika tuntutan dan aspirasi segala aspek kehidupan, penyempurnaan dan perubahan kurikulum dapat dilakukan pada sebagian atau keseluruhan dari komponen kurikulum dan dari segi waktu. Penyempurnaan dan perubahan tersebut tidak mesti pula menunggu lama baru dilakukan, kalau demikian yang terjadi adalah kurikulum akan selalu ketinggalan dan menjadi usang.

Tugas dan Latihan
1. Individual
a. Mencari 3 (tiga) pengertian menurut beberapa ahli dan berikan pendapat saudara tentang konsep/pengertian tersebut!
b. Menjelaskan maksud yang terkandung dalam pengertian kurikulum menurut UU No 2 tentang Sistim Pendidikan Nasional
c. Memberikan contoh untuk masing-masing landasan kurikulum (filosofis, sosiologis, historis dan IPTEK)

2. Kelompok
a. Mencari rumusan masing-masing tujuan berdasarkan hierarkis (jenjang) tujuan yang ada dan menjelaskan hubungan dan keterkaitan masing-masingnya
b. Menjelaskan keterkaitan antara komponen yang ada dalam kurikulum yang disertai contohnya masing-masing
c. Merumuskan implementasi dari masing-masing prinsip pengembangan kurikulum dalam kaitannya dengan pengembangan proses pembelajaran.
3. Melakukan kajian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan kurikulum dikaitkan dengan kurikulum dikaitkan dengan kurikulum dalam bentuk (dimensi) tertulis dan kurikulum dalam dimensi implementasi.
4. Mengkaji secara lebih luas dan mendalam terhadap penyempurnaan dan perubahan kurikulum ditinjau dari :
a) Penyempurnaan dan perubahan kurikulum yang terjadi di Indonesia
b) Alasan-alasan dilakukannya penyempurnaan dan perubahan kurikulum
c) Dampak positif (manfaat) yang dapat diperoleh dengan adanya penyempurnaan dan perubahan kurikulum tersebut.

Rangkuman
Pengertian kurilikum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan, juga bervariasi sesuaid engan aliran atau teori pendidikan yang dianutnya. Bentuk dan kualitas pendidikan yang diberikan kepada peserta didik melalui kurikulum sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai tradisi, kepercayaan dan kekuatan lainnya yang disebut dengan landasan pengembangan kurikulum yaitu; landasan filsofis, psikologis, sosiologis,historis dan IPTEK. Sebagai suatu sistem, kurikulum mempunyai beberapa komponen yang berkaitan satu dengan lainnya. Komponen yang dimaksud adalah: tujuan, materi, strategi dan media pembelajaran dan evaluasi. Dalam pengembangan kurikulum dan pengembangan proses pembelajara khususnya perlu diperhatikan prinsip-prinsipnya seperti; prinsip relevansi, kontinuitas, fleksibilitas, efektivitas dan efisiensi.
Fungsi kurikulum sangat krusial dan penting oleh berbagai pihak yang ikut bertanggung jawab terhadap terlaksananya pengembangan kurikulum secara optimal, seperti: bagi guru, bagi sekolah, bagi masyarakat dan paling utama adalah bagi pencapaian tujuan pendidikan. Dalam pengembangan kurikulum ada 3 faktor yang sangat berpengaruh yaitu : pendidikan tinggi, masyarakat dan sistim nilai. Ketiga faktor tersebut ada dan merupakan bagian dalam lembaga masyarakat, ia selalu tumbuh dan berkembang. Kondisi seperti itu, hendaknya menjadi pertalian utama dalam penyempurnaan dan perubahan kurikulum yang akan dilakukan.

Daftar Pustaka
Ansyar, M dan Nurtain. 1991/1992. Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Jakarta : Depdikbud P2TK.
Dimyati dan Mudjiono. 1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: P2LPTK
Sukmadinata, Nana S. 1988. Prinsip dan Landasan Pengembangan Kurikulum. Jakarta. P2LPTK.
Ansyar, M dan Nurtain. 1991. Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Jakarta : P2LPTK.
Dimyati dan Mudjiono. 1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : P2LPTK
Sudirman, dkk. 1987. Ilmu Pendidkan. Bandung : Remaja Karya.
Sukmadinata, Nana S. 1988. Prinsip dan Landasan Pengembangan Kurikulum. Jakarta. P2LPTK.
BAB VIII
JENIS–JENIS PENDEKATAN DAN PERANAN GURU
DALAM BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

A. Pendahuluan
Pendekatan dan peranan guru dalam pembelajaran penting dipahami oleh guru atau mahasiswa calon guru karena melalui pendekatan pembelajaran inilah kurikulum dari suatu lembaga pendidikan dapat diaplikasikan.
Proses belajar mengajar melibatkan guru dan sekelompok siswa yang jumlahnya sampai empat puluhan atau lebih. Keadaan demikian menuntut keterampilan guru dalam mengorganisir agar seluruh siswa terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran. Selain itu guru juga harus mengorganisir bahan atau materi pelajaran yang berasal dari berbagai sumber.
Hal ini membutuhkan keterampilan khusus dalam mengolah pesan. Pembelajaran juga berarti meningkatkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor dari siswa. Kemampuan–kemampuan tersebut dikembangkan bersamaan dengan pemerolehan pengalaman–pengalaman belajar tertentu. Dengan menghadapi sejumlah pelajar, berbagai bahan yang terkandung dalam bahan ajar, peningkatan kemampuan belajar, dan proses pemerolehan pengalaman, maka setiap guru memerlukan pengeta-huan tentang pendekatan pembelajaran.
Setelah mempelajari isi dan menyelesaikan tugas–tugas dalam bab ini Anda diharapkan mampu :
1. Mengenal pengertian pendekatan dalam pembelajaran dengan pengorganisasian siswa secara individual, kelompok, dan klasifikasi.
2. Menganalisis posisi guru dan siswa dalam pengolahan pesan, baik secara ekpsositori maupun secara inkuiri.
3. Menerapkan proses pembelajaran secara induktif dan deduktif.
4. Mengenal pengertian keterampilan proses dalam kaitannya dengan CBSA
5. Menjelaskan pentingnya penerapan keterampilan proses dalam pembelajaran.
6. Mengenal keterampilan dasar yang perlu dilatihkan dalam penerapan pendekatan keterampilan proses.
7. Merancang penerapan pendekatan keterampilan proses dalam kegiatan pembelajaran
8. Merancang kegiatan pembelajaran berdasarkan modal mengajar

B. Pengertian Pendekatan Pembelajaran

Pada kegiatan belajar–mengajar di kelas adakalanya guru memberikan bahan belajar kepada siswa untuk dikerjakan secara individu di kelas. Siswa mengerjakan tugas–tugas secara individu sesuai dengan petunjuk yang ada dalam bahan ajar. Guru bertugas mengontrol masing–masing siswa dan memberikan bimbingan kepada siswa yang membutuhkan.
Dalam kesempatan lain guru membentuk kelompok–kelompok siswa yang bertugas mendiskusikan materi dan tugas tertentu yang kemudian harus disampaikan di depan kelas. Guru menyediakan bahan yang diperlukan oleh masing–masing kelompok dan memberikan bimbingan yang dibutuhkan.
Sering pula guru menyampaikan materi pelajaran dengan cara menjelaskan di depan kelas sementara murid mendengar dan mencatat bagian–bagian yang penting. Kemudian murid diberi kesempatan untuk menanyakan bagian yang belum jelas, dan pada bagian akhir murid diberi tugas tertentu sesuai dengan materi yang telah dibahas.
Ketiga bentuk perlakuan guru yang dilukiskan di atas menggambarkan cara yang dipilih oleh guru dalam upaya membelajarkan siswa. Ketiga pendekatan yang dilakukan tersebut mempunyai tujuan, prinsip, dan tekanan yang berbeda.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan atau strategi pembelajaran merupakan penterjemahan filsafat atau teori mengajar menjadi rumusan tentang cara mengajar yang harus ditempuh dalam situasi-situasi khusus atau dalam keadaan tertentu yang spesifik.

C. Pendekatan ditinjau dari segi Pengolahan Pesan
Ada dua cara pandangan yang sangat berbeda mengenai pendekatan dalam proses belajar mengajar yaitu belajar penerimaan (reception learning) dan belajar penemuan (discovery laerning).
Pendekatan proses pembelajaran penerimaan dikembangkan menjadi strategi ekspositif, dengan langkah – langkah sebagai berikut.
1. Penyajian informasi, yang diberikan dalam bentuk penjelasan simbolik atau demonstrasi praktis.
2. Tes terhadap resepsi, ungkapan, dan pemahaman. Ulangi pesan/ informasi bila diperlukan.
3. Menyediakan kesempatan untuk menerapkan prinsip umum sebagai latihan dengan suatu contoh tertentu.
4. Menyediakan kesempatan untuk penerapan ke dalam situasi nyata sesuai dengan informasi yang baru dipelajari.
Pendekatan proses belajar pengalaman dikembangkan menjadi strategi diskoveri dengan langkah – langkah sebagai berikut :
1. Menyajikan kesempatan untuk bertindak atau berbuat dan mengamati konsekuensi – konsekuensi tindakan tersebut.
2. Tes terhadap pemahaman tentang hubungan sebab akbat.
Caranya dengan mempertanyakan atau mengamati reaksi – reaksi siswa. Sajikan kesempatan – kesempatan berikutmya bila diperlukan.
3. Mempertanyakan atau mengamati kegiatan selanjutnya, tes susunan prinsip umum yang mendasari kasus yang disajikan itu. Bila diperlukan, sajian kasus – kasus lainnya sampai prinsip – prinsip umum itu benar – benar dipahami.
4. Penyajian kesempatan – kesempatan guna penerapan hal yang baru saja dipelajari ke dalam situasi atau masalah – masalah yang nyata.
Langkah-langkah dalam melaksanakan metode inquiry
1. Identifikasi kebutuhan siswa
2. Seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian (konsep) dan generalisasi yang akan dipelajari dan peranan masing-masing siswa.
3. Guru membantu memperjelas tugas atau problema yang akan dipelajari dan peranan masing-masing siswa.
4. Seleksi bahan dan problema atau tugas-tugas
5. Mempersiapkan setting kelas dan alat-alat yang diperlukan
6. Mencek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan dan tugas-tugas siswa
7. Memberi kesempatan bagi siswa untuk melakukan penemuan
8. Membantu siswa dengan informasi atau data jika diperlukan
9. Guru memimpin analisis sendiri (self analisis) dengan pertanyaan yang mengarah dan mengidentifikasi proses.
10. Merangsang terjadinya interaksi antar siswa
11. Memotivasi siswa yang giat dalam proses penerimaan
12. Membantu siswa merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi atas hasil penemuan.

D. Pendekatan ditinjau dari Pengorganisasian Siswa.
1. Pembelajaran Secara Individual
Pembelajaran secara individual adalah kegiatan belajar – mengajar yang menitik beratkan bantuan dan bimbingan belajar kepada masing – masing individu. Ciri – ciri utama pada pembelajaran individual dapat dilihat dari beberapa hal.
a. Pencapaian tujuan pengajaran
Pencapaian tujuan pengajaran pada pengajaran individual tergantung kepada kemampuan individual siswa. Awal pelajaran dimulai dari kemampuan yang sudah ada pada individu. Kemampuan tersebut dikembangkan secara optimal.
b. Paranan siswa dan guru
Dalam pembelajaran individual siswa merupakan titik sentral dalam pelayanan pembelajaran. Siswa memiliki keleluasaan dalam beberapa hal seperti menggunakan waktu belajar, mengontrol kecepatan dan intensitas belajar, dan menyusun jadwal belajar sendiri.
Peranan guru pada pembelajaran individual adalah memfasilitasi siswa dalam beberapa hal antara lain membantu merencanakan kegiatan belajar, mengorganisasikan kegiatan belajar, memberikan fasilitas dan mempermudah cara belajar. Di samping itu guru juga berperan sebagai pembimbing dalam memecahkan kesulitan dalam belajar.
c. Program pembelajaran
Program pembelajaran individual adalah program yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat digunakan secara mandiri dengan bantuan yang sangat minim dari guru. Bentuknya antara lain berupa modul, paket belajar, pengajaran berprogram, dan pengajaran berbatuan komputer (Computerized Assisted Intructior, CAI).
Program pembelajaran individual beroriantasi pada pemberian fasilitas pada setiap siswa agar siswa dapat belajar secara mandiri. Kemandirian dalam belajar sesuai dengan tuntutan perkembangan individu.

2. Pembelajaran Secara Kelompok
Dalam kegiatan belajar mengajar di kelas adakalanya guru membentuk kelompok–kelompok kecil dengan amggota antara 4-8 orang siswa. Dalam pembelajaran kelompok guru dapat memberikan bimbingan yang lebih intensif kepada setiap anggota kelompok. Dalam pembelajaran kelompok hubungan guru dengan siswa lebih akrab, kelompok memperoleh bantuan sesuai dengan kebutuhan dan keamanan, sementara siswa terlibat secara aktif dalam kelompok rangka pencapaian tujuan balajar. Ciri–ciri yang nampak dari pembelajaran kelompok ini dapat dilihat dari beberapa aspek.
a. Pencapaian tujuan pengajaran
Pencapaian tujuan pengajaran pada pembelajaran kelompok dapat dicapai melalui proses kerja kelompok. Pembagian kerja untuk masing – masing anggota memupuk rasa tanggung jawab dari siswa. Siswa dilatih agar mampu memecahkan masalah secara rasional dalam kelompok yang dinamis.

b. Peranan guru dan siswa
Siswa dalam pembelajaran kelompok adalah anggota kelompok belajar yang kompak dan solid dalam memecahkan masalah kelompok. Ciri – ciri yang menonjol dari kelompok adalah adanya kesadaran bersama untuk mewujudkan tujuan kelompok, adanya rasa saling tergantung dan saling membutuhkan, interaksi antar anggota dan tindakan bersama sebagai perwujudan tanggung jawab kelompok.
Peranan guru dalam pembelajaran kelompok terutama sekali adalah memberikan perhatian kepada semangat kerja kelompok dalam memecahkan masalah kelompok. Oleh sebab itu guru perlu memperhatikan tentang bagaimana membentuk kelompok, perencanaan tugas masing – masing kelompok, mengawasi pelaksanaan, dan mengevaluasi hasil belajar kelompok.

3. Pembelajaran Secara Klasikal
Pengajaran klasikal merupakan pengajaran yang paling praktis dimana seorang guru menghadapi siswa yang jumlahnya mencapai empat puluhan. Walaupun demikian, pembelajaran klasikal menuntut kemampuan guru sekaligus dalam dua hal yaitu mengelola kelas dan mengelola pembelajaran.
Pengelolaan kelas adalah penciptaan kondisi yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan belajar dengan baik. Dalam hal ini mencakup kondisi fisik kelas dan kondisi emosional siswa yang akan belajar. Pengelolaan kelas yang baik oleh guru dapat mengatasi gangguan yang muncul dalam proses belajar dengan menggunakan teknik – teknik tertentu.
Pengelolaan pembelajaran bertujuan untuk mencapai tujuan belajar. Tekanan utama dalam pembelajaran klasikal adalah seluruh anggota kelas. Oleh sebab itu guru perlu menyusun disain intruksional yang lengkap, sehingga pelajaran dapat berjalan lancar,. Sebelum penyajian pelajaran, guru sudah menetapkan tugas yang harus dilakukan oleh siswa. Dengan demikian, siswa memahami apa yang harus dilakukan dan bagian mana yang mendapat penekanan untu dicatat dan dipahami. Di samping itu guru perlu menciptakan suasana tertib sehingga perhatian dapat tercurah pada meteri pelajaran dan siswa terlibat secara aktif.
4. Posisi Guru dan Siswa dalam pengelolaan pesan
Dalam kegiatan belajar – mengajar guru berusaha agar pesan atau meteri pelajaran yang mencakup pengetahuan, sikap dan keterampilan dapat dikuasai oleh siswa dengan baik. Cara yang ditempuh dapat bertumpu pada kegiatan apa yang dilakukan oleh murid (diskoveri dan inkuiri).

E. Pendekatan Keterampilan Proses
Dalam pencapaian hasil belajar, sering kita jumpai beberapa masalah. Contohnya adalah adanya siswa meskipun mendapat nilai yang tinggi dalam beberapa mata pelajaran di sekolah tetapi mereka tidak mampu menerapkan apa yang diperolehnya dalam kehidupan sehari – hari.
Para siswa memang memperoleh sejumlah pengetahuan, namun pengetahuan itu diterima sebagai informasi saja. Sementara siswa kurang mempunyai inisiatif dan tidak dibiasakan atau dilatih untuk mendapatkan pengetahuan melalui usaha dan pengalaman siswa itu sendiri. Peran siswa lebih banyak hanya menerima informasi dari guru yang kemudian dihapalkan untuk ujuan atau mendapatkan nilai.
Guru sebagai orang yang menggerakan terlaksanannya proses belajar mengajar tidak menggunakan strategi yang meransang keaktifan siswa. Sebagai sebuah ilustrasi, guru mengajarkan pokok bahasan tentang kebutuhan oksigen makhluk hidup, antara lain ikan. Dalam air yang tenang jumlah oksigen yang tersedia sedikit sedangkan dalam air yang bergerak jumlah oksigen lebih banyak. Kebutuhan akan oksigen dalam air yang tenag tidak cukup sementara dalam air yang bergerak lebih mencukupi. Hal ini akan mempengaruhi pertumbuhan ikan di kolam. Tetapi siswa yang mengukiti pelajaran tersebut tidak mampu memberikan saran kepada orang tuanya yang memelihara ikan dan kolam yang airnya tenang. Ia tidak bisa mengaplikasikan pengetahuannya dalam kehidupan nyata.

1. Rasional
Beberapa alasan yang mendasari perlunya diterapkan pendekatan keterampilan proses.
a. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat.
Perkembangan ilmu berlangsung sangat cepat, sehingga tidak mungkin bagi guru untuk menjadi satu–satunya sumber belajar dengan menuangkan semua informasi dan konsep yang diperlukan. Guru dituntut untuk membimbing siswa dalam menemukan informasi dan konsep yang selanjutnya mengolah perolehan tersebut. Pendekatan “menjajalkan ikan” dicoba mengalihkan pada pendekatan “memberikan kail” kepada siswa.
b. Anak didik mudah memahami konsep – konsep yang rumit dan abstrak jika anak dilibatkan secara fisik dan mental melalui percobaan dan praktek langsung.
c. Anak didik perlu dilatih untuk berfikir secara aktif, kreatif dan inovatif melalui latihan bertanya, diskusi, mengamati mengklasifikasi, menginterprestasi, mempredikasi, menerapkan, menilai berpikir, kritis dan mengupayakan berbagai kemingkinan jawaban.
d. Pendekatan keterampilan proses memberikan keluwesan dalam belajar dan perbedaan individual anak dapat dilayani dalam kegiatan belajar mengajar.

2. Pengertian Pendekatan Keterampilan Proses
Pendekatan keterampilan proses adalah pendekatan belajar mengajar yang mengarah pada pengembangan kemampuan mental, fisik, dan sosial yang mendasar sebagai penggerak kemampuan yang lebih tinggi dalam diri individu siswa.
Keterampilan proses terdiri dari tujuh ketermapilan yang masing – masing terbuna melalui beberapa kemampuan. Penjabarannya dapat dilihat pada tabel berikut.

Keterampilan Kemampuan
Mengamati

Mengklasifikasikan
(menggolongkan)

Menginterprestasikan
(menafsirkan)

Meramalkan
(memprediksi)

Menerapkan

Merencanakan penelitian

Mengkomunikasikan

– Melihat
– Mendapat
– Merasa (kulit), meraba
– Membaui
– Mencicipi, mengecap
– Menyimak
– Mengukur membaca

– Mencari persamaan, menyamakan
– Mencari perbedaan, membedakan
– Membandingkan
– Mengkontraskan
– Mencari dasar penggolongan

– Menaksir
– Memberi arti, mengartikan
– Mempromosikan
– Mencari hubungan ruang/waktu
– Menemukan pola
– Menarik kesimpulan
– Menggeneralisasi

– Mengantisipasi (berdasarkan kencendrungan, pola atau hubungan antar data atau informasi).

– Menggunakan (informasi, kesimpulan, konsep, hukum, teori, sikap, nilai atau keterampilan dalam situasi lain.
– Menghitung.
– Menentukan variabel
– Mengendalikan variabel
– Menghubungkan konsep
– Menyusun hipotesis
– Membuat model

– Menentukan masalah/objek yang akaan diteliti.
– Menentukan tujuan penelitian
– Menentukan ruang lingkup penelitian
– Menentukan sumber data
– Menentukan langkah–langkah pengumpulan data.
– Menentukan alat, bahan dan sumber kepustakaan.
– Menentukan cara melakukan penelitian.

– Berdiskusi
– Mendeklamasikan
– Mendramakan
– Bertanya
– mengarang
– meragakan
– mengungkapkan/melaporkan (dalam bentuk lisan, tulisan, gambar, gerak, penampilan).

Keterampilan dan kemampuan yang dijabarkan dalam daftar ini tidak berurutan secara hirarkhis, karena keterampilan bukanlah merupakan urutan langkah, tetapi merupakan sejumlah keterampilan yang perlu dibina dan dikembangkan sejak dari kanak – kanak.
3. Hal – hal yang harus diperhatikan dalam penerapan PKP
a. Sebelum pelaksanaan PKP, guru haruslah membuat program yang direncanakan sedemikian rupa sehingga menunjang CBSA dengan kadar tinggi.
b. Perlunya pengorganisasian kelas yang memungkinkan terciptanya suasana interaksi belajar mengajar yang mendorong siswa untuk aktif. Misalnya pengaturan siswa, pengaturan tempat duduk, pengaturan bahan – bahan dan alat – alat yang digunakan dalam pembelajaran.
c. Memilih metoda dan media yang dapat menunjang aktifitas siswa dalam belajar.
d. Evaluasi yang dilakukan hendaknya mencakup evaluasi proses dan hasil belajar siswa secara komprehensif.
4. Peranan Guru dalam penerapan PKP
a. Guru membimbing dan mendidik siswa untuk labih trampil dalam mengemukakan pengalaman, pendapat, dan hasil temuannya.
b. Guru menghidupkan suasana balajar yang kondusif sehingga mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif.
c. Guru mengajulan pertanyaan – pertanyaan yang mentang sehingga siswa dapat meneliti, mencari jawaban atas pertanyaan tersebut.
d. Guru harus memancing keterlibatan siswa dalam belajar, misalnya dengan cara memberikan semangat yang tinggi kepada siswa dalam mengajar.
e. Guru harus memberikan semangat yang tinggi kepada siswa dalam mengajar.
f. Guru melakukan komunikasi yang efektif dan informasi yang jelas, tepat dan tidak samar – samar pada siswa.
g. Guru mendorong siswa untuk dapat menyimpulkan suatu masalah / peristiwa berdasarkan fakta, konsep, dan prinsip yang diketahui.

F. Model-Model Mengajar
Yakni Model-model mengajar yang dimaksud adalah dimana proses dan prosedur KBM yang dapat mengoptimalkan kegiatan belajar siswa. Model tersebut didasarkan kepada teori-teori intruksional yang digabung dengan pengalaman lapangan di sekolah.
Nana Sudjana mengemukakan model-model tersebut sebagai berikut:
Model Delikan, Model Pemas, Model Mengajar Induktif, Model Mengajar Deduktif, dan Model Mengajar Deduktif-Induktif.

1. Model Dengar-Lihat-Kerjakan (delikan)
Model ini dapat digunakan untuk mengajar bahan pengajaran yang sifatnya fakta dan konsep. Aktivitas mental siswa dalam penggunaan model mengajar ini adalah: mengingat, mengenal, menjelaskan, membedakan, menyimpulkan, dan menerapkan. Model ini menekankan informasi partisipasi. Penyusunan satuan pelajaran: Sama dengan sistematika satpel biasa ——> perbedaannya hanya pada urutan kegiatan belajar siswa dikembangkan menjadi tiga kegiatan yakni: (a) kegiatan dengar, (b) kegiatan lihat, (c) kegiatan kerja.
Untuk jelasnya lihat prosedur menggunakan model delikan ini yang dilakukan dalam diagram berikut ini:

Diagram: Model Mengajar Delikan

2. Model Mengajar Pemecahan Masalah (Pemas)
a. Pola B-M yang mengandung aktivitas belajar siswa cukup tinggi, tepat digunakan untuk mengajarkan konsep dan prinsip. Aktivitas mental yang dapat dijangkau melalui model ini antara lain adalah: mengaingat, mengenal, menjelaskan, membedakan, menyimpulkan, menerapkan, menganalisis, mensitesis, menilai dan meramal. Menggunakan pendekatan interaksi sosial. Mengutamakan aktivitas belajar siswa dalam memecahkan masalah baik individual maupun kelompok.
b. Penyusunan satuan pelajaran hampir sama dengan model lain. Yang perlu diperhatikan adalah menyusun dan mengorganisasikan bahan ajar. Urutan kegiatan belajar dimu;ai dari klasikal (memperhatikan informasi) kemudian kegiatan individu (mencari jawaban), dilanjutkan dengan kegiatan diskusi dan diakhiri dengan kegiatan klasikal kembali.
c. Prosedur menggunakan model mengajar dilukiskan dalam diagram berikut:
Diagram: Model Mengajar Pemas

3. Model Mengajar Induktif
a. Pola interaksi B-M yang dikembangkan cara berfikir induktif yakni menarik kesimpulan dari fakta khusus menuju kepada hal yang umum. Model ini menekankan pentingnya pengalaman lapangan seperti mengamati gejala dan mencoba suatu proses, kemudian baru mengambil kesimpulan atau generalisasi sesuai dengan prinsip dan konsep dalam keilmuan.
b. Petunjuk pembuatan satuan pelajaran
– Waktu paling sedikit 2 jam pelajaran
– Rumusan tujuan mencakup penyusunan bahan ajar dan keterampilan proses
– Bahan pengajaran terdiri dari konsep materi (garis besarnya), fakta, peristiwa, gejala yang akan diamati oleh siswa dan topik atau masalah yang akan didiskusikan.
– Urutan belajar siswa, menerima informasi kunjungan lapangan atau laboratorium diskusi kelompok melaporkan hasil diskusi oleh setiap kelompok dan merangkumnya sebagai kesimpulan diskusi kelas
– Penialaian; penilaian proses selama kegiatan berlangsung dan penilaian hasil belajar setelah pelajaran selesai.

c. Prosedur menggunakan model terlihat dalam bahan berikut:.

Berikut uraian lebih lanjut untuk setiap tahap.
Tahap Kegiatan Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
Pra instruksional 1. Menumbuhkan motivasi belajar siswa
2. Informasi TIK . 1. Merespon guru

2. Mencatat dan bertanya.
Instruksional 1. Menjelaskan konsep dan prinsip bahan pengajaran serta tugas tugas belajar siswa
2. Mengidentifikasi gejala dan fakta yang harus diamati oleh siswa di lapangan atau laboratorium, atau sumber-sumber belajar lainnya
3. Membentuk kelompok belajar siswa untuk berdiskusi, menilai proses diskusi, dan menilai laporan hasil diskusi-diskusi kelompok

4. Menyimpulkan bahan pengajaran berdasarkan hasil pengamatan dan diskusi kelompok. 1. Memperhatikan, men-catat bahan dan tugas yang akan dikerjakan
2. Mengamati gejala/fakta, mencatatnya secara individual

3. Diskusi kelompok mem bahas dan merumuskan hasil pengamatannya secara tertulis, setiap kelompok melaporkan hasil
4. Mencatat kesimpulan hasil pengamatan dan diskusi.
Evaluasi 1. Menilai hasil perumusan kelompok yang dilaporkan oleh setiap kelompok
2. Mengajukan pertanyaan kepada kelas, lisan atau tertulis dan menyimpulkan bahan pelajaran. Menjawab/merespon guru dan mencatat kesimpulan pelajaran
Tindak lanjut Memberikan tugas pekerjaan ruman untuk pendalaman dan pengayaan konsep/prinsip yang telah dipelajarinya Mencatat pekerjaan rumah atau tugas yang diberikan oleh guru

4. Model Mengajar Deduktif
a. Pola B-M yang didasarkan atas cara berfikir deduktif, yakni menarik kesimpulan dari pernyataan umum menjadi pernyataan khusus, dari konsep teori menjadi fakta.
Proses pembelajaran dimulai dengan pembahasan teori, konsep dan prinsip oleh para siswa, kemudian setiap siswa mencoba mempraktekkan atau menggunakan konsep dan prinsip itu dalam memecahkan masalah atau membuktikan kebenaran konsep itu melalui percobaan (lebih tepat untuk pengajaran IPA dan Matematika).
b. Petunjuk pembuatan satuan pelajaran. Satuan pelajaran model pembelajaran deduktif tidak berbeda dari prinsip dengan satuan pelajaran model pembelajaran induktif. Perbedaan hanya terletak dalam menentukan urutan KBM-nya.
Model Pembelajaran Induktif mulai dari kegiatan empiris melalui pengamatan gejala peristiwa atau proses di lapangan atau dilaboratorium dan diakhiri dengan generalisasi/penemuan, sedangkan model pembelajaran deduktif dimulai dari pembahasan konsep dan prinsip menuju pembuktian empiris di lapangan atau di laboratorium.
Prosedur menggunakan model:
Prosedur menggunakan model pembelajaran deduktif dapat dilukiskan dalam diagram berikut:

Diagram: Model Mengajar Deduktif

5. Model Mengajar Gabungan Deduktif Induktif
a. Pola BM yang menggabungkan penggunaan kedua model ini dalam satu proses pembelajaran. Tahap pertama menggunakan pendekatan deduktif, kemudian dilanjutkan dengan pendekatan induktif
– Pendekatan deduktif menekankan kajian konsep dan prinsip bahan pengajaran secara teoritis, berdasarkan prinsip-prinsip pengetahuan ilmiah.
– Pendekatan induktif menekankan kajian bukti-bukti empiris dari konsep dan prinsip di laporatorium atau dengan alat sederhana atau dalam bentuk pemecahan masalah.
Melalui kedua pendekatan tersebut, siswa memahami prinsip-prinsip suatu ilmu serta pembuktian kebnaran prinsip tersebut secara faktual (teori didukung oleh fakta).
b. Petunjuk pembuatan satuan pelajaran
KBM yang ada dalam satuan pelajaran harus mengandung:
– Penjelasan masalah dan gejala oleh guru, supaya siswa memahami ruang lingkupnya.
– Penelaahan buku sumber/informasi untuk mendukung pemecahan masalah
– Pembahasan atau penelaahan masalah dan gejala berdasarkan pengetahuan ilmiah (dari bahan bacaan)
– Mencari jawaban dan pembuktian masalah dan gejala berdasarkan konsep dan prinsip pengetahuan ilmiah dengan melalui diskusi, pratikum atau pengamatan lapangan.
– Klasifikasi TIK-nya mengandung unsur kognitif tingkat tinggi seperti aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi.
c. Prosedur menggunakan model gabungan ini dilukiskan dalam diagram berikut ini:

Catatan :
Kelima model pengajaran CBSA yang telah dibahas di atas semuanya dapat digunakan untuk mengarahkan pengajaran terutama konsep, prinsip, generalisasi dan keterampilan. Hasil uji coba dari kelima model mengajar di atas untuk bidang studi IPA di SD menunjukkan bahwa proses belajar dan hasil belajar yang diperoleh cukup optimal (di atas 90% dan ada yang mencapai 100%). Kelima model mengajar ini cukup efektif.
– Model mengajar dengar-lihat-kerjakan sangat optimal pada kegiatan belajar individual
– Model mengajar pemecahan masalah sangat optimal dalam kegiatan klasikal dan kegiatan belajar kelompok
– Model mengajar induktif dan deduktif sangat optimal dalam kegiatan belajar kelompok dan individual
– Model mengajar gabungan deduktif-induktif sangat optimal dalam kegiatan belajar klasikal, kelompok dan individual.

Rangkuman

Pendekatan pembelajaran dapar berarti acuan pembelajaran yang berusaha meningkatkan kemampuan – kemampuan kognitif, efektif, dan psikomotoril siswa dalam pengolahan pesan sehingga tercapai sasaran belajar. Pendekatan pembelajaran tersebut dapat dilihat dari segi (a) pengoperasian siswa, (b) posisi guru dan siswa dalam pengolahan pesan, (c) pemerolehan kemampuan dalam pendekatan pembelajaran.
Pendekatan pembelajaran dengan pengoperasian siswa dapat dilakukan dengan (a) pembelajaran secara individual, (b) pembelajaran dengan kelompok, dan (c) pembelajaran secara klasikal. Ketiga pengorganisasian siswa tersebut; tujuan pengajaran, peran guru dan siswa, program pembelajaran, dan sisiplin belajar berbeda – beda. Ketiga pengorganisasian siswa tersebut hendaknya digunakan untuk melayani perbedaan individual siswa dalam memperoleh informasi.
Pendekatan dalam pengolahan pesan guru dan siswa dapat menggunakan strategi. Strategi ekspositori masih terpusat pada guru, oleh sebab itu hendaknya dikurangi. Strategi diskoveri dan inkuiri terpusat pada siswa, hendaknya inilah yang lebih banyak dikembangkan dalam pembelajaran, di mana siswa dirancang untuk efektif belajar sehingga ia dapat menemukan, bekaerja secara ilmuah, dan merasa senang melakukannya.
Untuk mengaktifkan siswa dalam belajar guru dapat menggunakan pendekatan keterampilan proses (PKP) sebagai acuan untuk pengembangan keterampilan–keterampilan intelektual, sosial dan fgisik yang bersumber dari kemampuan–kemampuan dasar yang telah ada dalam diri siswa. Dengan menggunakan PKP siswa akan (a) memperoleh pengertian yang tepat tentang hakekat pengetahuan, (b) memperoleh kesempatan belajar dengan ilmu pengetahuan, (c) memperoleh kesempatan melakukan proses dan memperoleh hasil belakar melalui pengalaman langsung.

Tugas
1. Lakukanlah observasi ke sekolah menengah untuk melihat pendekatan–pendekatan yang dilakukan oleh guru dalam mengajar dari segi pengolahan pesan, pengelompokan siswa dan pengorganisasian materi !
2. Buatlah sebuah perencanaan mengajar dalam bidang studi anda masing – masing yang mencerminkan kadar CBSA tinggi !

Daftar Pustaka
A. Tabrani Rusyin, dkk. (1989). Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung, CV. Remaja Karya.
Cony Seniawan, dkk, 1986, Pendekatan Keterampilan Proses : Bagaimana mengaktifkan Siswa dalam Belajar, Jakarta : PT Gramedia
Darmo Mulyoatmojo, dkk. (1982). Strategi dan Pengembangan Kegiatan Belajar Mengajar, Jakarta: Depdikbud.
Depdikbud. (1989). Pedoman Proses Belajar Mengajar di Sekolah Dasar, Jakarta: Direktur Pendidikan Dasar.
Moedjiono. (1986). Proses Belajar Mengajar, Bandung: Remaja Karya
Moedjiono dan Moh. Dumiyati. (1991-1993). Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Depdikbud.
Nana Sudjana dan Wari Suwaryah. (1991). Model-model Mengajar CBSA, Bandung: Sinar Baru.
T. Raka Joni, 1992, Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah melalui Strategi Pembelajaran Aktif (Cara Belajar Siswa Aktif) dan Pembinaan Profesional Guru, Kepala Sekolah, Penilik dan Pengawas Sekolah serta Pembina Lainnya, Jakarta : Depdikbud.
———–, 1984, Strategi Belajar Mengajar, Suatu Tinjauan Pengantar, Jakarta : P2LPTK
Oemar Hamalik,…., Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, Jakarta.
Tangyong A.F. (1988). Belajar Aktif dan Pembinaan Profesional Peningkatan Mutu Pendidikan di Sekolah Dasar Melalui Bantuan Profesional Bagi Guru, Jakarta : Depdikbud
Tjipto Utomo, dkk, 1991, Peningkatan dan Pengebangan Pendidikan, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
BAB IX
CARA BELAJAR SISWA AKTIF (CBSA)
DALAM PEMBELAJARAN

A. Pendahuluan

Konsep cara belajar siswa aktif (CBSA) bukanlah suatu hal yang baru dalam proses pendidikan dan pengajaran. Dalam proses pembelajaran kita sadari bahwa peserta didik harus dilibatkan, meskipun sudah barang tentu keaktifan mereka bera-da dalam kadar atau derajat yang berbeda-beda. Terdapat diantara mereka men-gikuti proses pengajaran dengan cara melihat, mendengar, dan memperhatikan guru, kemudian mereka mencatat dalam berbagai hal menurut apa yang diperitahkan guru sementara anak-anak lain, melakukan percobaan, mengamati dengan senang dan penuh kesunguhan, mencatat hal-hal yang terjadi, dan melaporkannya kepada te-man-teman yang lain. Mereka aktif berdiskusi tentang proses dan hasil atau temuan yang diperoleh melalui percobaan itu.
Kehadiran CBSA nampaknya mengandung maksud hendaknya mendorong guru-guru untuk bersungguh-sungguh menyelengarakan proses pengajaran yang memungkinkan peserta didik-terlibat dalam kadar keaktifan belajar yang tinggi. Se-bagaimana halnya yang kita ketahui bahwa dalam proses belajar mengajar yang be-lajar itu sesungguhnya adalah peserta didik bukan guru. Guru sudah jelas tugasnya yaitu mengajar ( menciptakan suatu kondisi agar terjadi proses belajar pada peserta didik ) bukan belajar. Maksudnya, bahwa pengajaran yang berpusat pada guru ( theacer centered ) sudah saatnya melalui untuk mempertimbangkan pengajaran yang berpusat pada peserta didik ( student centered ) mengajar bukanlah pekerjaan yang dilakukan menurut maunya guru saja, apalagi dalam keadaan terpaksa tetapi harus memperhatikan berbagai asfek yang terkait dengan tugas mengajarnya tersebut. uN-tuk maksud diatas berikut ini akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan keaktifan peserta didik dalam belajar, hal ini lebih ba-nyak membahas tentang CBSA

B. Tujuan
Dengan mempelajari bahan pelajaran yang dipaparkan pada bagian ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menjelaskan pengertian CBSA.
2. Mengungkapkan alasan yang kuat mengapa CBSA itu penting dipelajari
3. Mengemukakan prinsip-prinsip CBSA secara umum
4. Mengemukakan prinsip-prinsip CBSA dilihat dari pada dimensi peserta didik.
5. Mengemukakan prinsip-prinsip CBSA dilihat pada dimensi guru
6. Mengemukakan prinsip-prisip CBSA dilihat pada dimensi program pem-belajaran
7. Mengemukakan prinsip-prinsip CBSA dilihat pada dimensi situasi belajar mengajar

C. Pengertian CBSA
Cara Belajar Siswa Aktif ( CBSA) merupakan istilah yang berupa makna sama dengan Studend Active Learning (SAL). Cara Belajar Siswa Aktif bukan disiplin ilmu atau dalam masa populer bukan “teori “ melainkan merupakan cara, teknik, dan ada juga mengatakan sebagai sutau pendekatan. Dalam dunia pendidikan CBSA bukanlah suatu yang baru, bahkan dalam teori pengajaran CBSA me-rupakan konsekwensi logis dari pengajaran yang seharusnya. Artinya merupakan tuntutan logis dari hakekat belajar dan pembelajaran. Hampir tidak ada atau tidak pernah tejadi proses belajar tanpa adanya keaktifan individu atau siwa yang bela-jar. Permasalahannya hanya terletak dalam kadar atau bobot keaktifan belajar siswa.
Sebagai konsep CBSA adalah suatu proses kegiatan belajar mengajar yang subjek didiknya terlibat secara intelektual dan emosional sehingga ia betul-betul berperan dan berpartisipasi aktif dalam melakukan kegiatan belajar. Sejalan den-gan pengertian di atas, pengertian CBSA menurut Muhamad Ali (1984) menya-rankan dua sudut pandang, yaitu CBSA sebagai suatu konsep dan CBSA sebagai pendekatan dalam belajar mengajar.
Sebagai suatau konsep, CBSA merupakan konsep dalam mengembangkan keaktifan proses belajar mengajar, baik keaktifan mengenai kegiatan guru maupun keaktifan mengenai kegiatan peserta didik. Untuk meningkatkan proses pen-gajaran ini, sudah tentu guru membuat perencanaan dengan sebaik-baiknya dan melaksanakan pengajaran tersebut berdasarkan rencana yang telah dibuat itu. Dengan cara demikian hasil belajar peserta didik diharapkan menjadi lebih baik dibanding dengan pengajaran yang berpusat pada peserta didik. CBSA merupakan usaha pertemuan dua kutub ekstrim dalam pengajaran, yaitu guru aktif pesrta didik pasif atau guru pasif peserta didik aktif, sehingga terjadi keseimbangan keaktifan tersebut baik dipihak guru maupun dipihak peserta didk.
Sebagai suatu pendekatan dalam pengajaran, CBSA merupakan suatu upaya yang dilakukan guru yang dimulai dengan perencanaan pengajaran, pelaksanaan proses belajar mengajar, dan diakhiri dengan penilaian hasil belajar berdasarkan konsep tertentu. CBSA mencakup pengembangan strategi, metode dan teknik mengajar. Pengembangan srategi merupakan siasat untuk melakukan kegiatan-kegiatan dalam pengajaran yang mencakup metode dan teknik.
Pengembangan metode menunjukkan bahwa mengajar itu sendiri memerlukan berbagai cara, seperti cara ceramah, tanya jawab, atau diskusi dan sebagainya. Sedangkan pengembangan teknik menunjukkan bahwa pengajaran sebagai pen-dekatan CBSA menuntut kejelasan cara-cara yang lebih khusus lagi, seperti teknik bertanya, teknik memberi penguatan, dan sebagainya.
Lebih lanjut, Dimyati dan Mujiono (2002) mengatakan bahwa pendekatan CBSA dapat diartikan sebagai anutan pembelajaran yang mengarah pada pengop-timalisasian pelibatan intelektual emosional siswa dalam proses pembelajaran, dengan pelibatan fisik siswa apabila diperlukan. Pelibatan intelektual emosional–fisik secara optimal dalam pembelajaran diarahkan untuk membelajarkan siswa bagaimana belajar memperoleh dan memproses perolehan belajarnya tentang pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap.
Raka Joni (1992) dalam Dimyati dan Mujiono (2002) mengemukakan bahwa sekolah yang memiliki CBSA dengan baik menuntukkan ciri-ciri sebagai berikut :
1. Pembelajaran yang dilakukan berpusat kepada kepentingan peserta didik.
Peserta didik dipandang sebagai komponen terpenting dalam sistem dan proses pengajaran. Karena itu peranannya menjadi lebih kuat dalam pengembangan dan menetuan cara-cara belajarnya. Mereka berpeluang untuk berperan aktif dalam menetapkan rencana pelajaran, proses kegiatan belajar mengajar dan penilaian yang dilakukan. Pengalaman belajar mereka benar-benar menjadi titik tillah kegiatan belajar mengajar. Peserta didik sangat dimungkinkan menjadi lebih mandiri dalam menempuh kegiatan belajarnya.
2. Guru berperan sebagai pembimbing bagi terjadinya pengalaman belajar peserta didik.
Guru sebagai pembimbing memperlihatkan cara-cara belajar yang tidak pernah didikte si anak. Sebaliknya anak-anak itu memperoleh peluang, kemudahan dan dorongan untuk berbuat banyak dalam belajar. Mereka memperoleh pengetahuan, keterampilan dan pengetahuan belajarnya yang berharga melalui usahanya sendiri. Guru suka mensiasati peserta didiknya agar peserta didiknya selalu memiliki motivasi dan rasa harga diri dalam belajar, dan mereka selalu berusaha untuk berkarya secara nyata.
3. Tujuan kegiatan belajar berorientasi pada perkembangan kemampuan siswa secara utuh dan seimbang
Tujuan belajar bukanlah mewujudkan salah satu aspek saja. Mereka belajar bukan sekedar mencapai standard akademik saja, melainkan menyangkut selu-ruh aspek kehidupan baik secara utuh dan seimbang. Ini berarti menyangkut segi-segi wawasan pengetahuan, keterampilan yang dimilikinya, sikap yang dibentuknya, kepercayaan akan nilai-nilai yang diyakininya, sruktur emosi yang dipunyainya, rasa keindahan atau estetikanya yang dikembangkannya, dan lain-lain. Semua aspek kepribadiannya dikembangkan secara menyeluruh dan terpadu melalui kegiatan-kegiatan belajar yang diciptakan guru.
4. Penyelengaraan kegiatan belajar lebih berorientasi pada kreativitas peserta didik.
Kegiatan belajar yang diciptaan guru sangatlah dituntut untuk menghadapi berbagai permasalahan dan mengarahkan mereka untuk mampu mencari pe-mecahannya. Ini berarti pula bahwa peserta ini dituntut untuk terbiasa bekerja keras dengan penuh kesungguhan sehingga menghasilkan karya-karya nyata yang bermanfaat.
5. Penilaian diarahkan pada kegiatan dan kemajuan peserta didik
Proses penilaian yang dilakukan, adalah benar-benar memantau setiap bentuk kegiatan belajar yang dilakukan peserta didik dan mengukur setiap bentuk kemajuan yang diraih. Berbagai keterampilan seperti keterampilan berbahasa, keterampilan sosial, keterampilan matematika, keterampilan berpikir dan ber-tindak, keterampilan dalam proses belajar itu sendiri senantiasa mendapat per-timbangan penilaian.

D. Rasional CBSA
Tidak bisa kita pungkiri bahwa masih banyak diantara guru-guru menyelenga-rakan pengajaran secara tidak menarik dan karena kurang dapat mencapai sasaran-sasaran yang diharapkan. Pengunaan metode ceramah masih mendominasi kegiatan guru sehari-hari. Peserta didik kegiatannya berulang-ulang sekitar mendengar, mem-perhatikan penjelasan dan mencatat hal-hal yan diperintahkan guru. Kegiatan belajar telah menjadi sesuatu yang rutin, monoton dan membosankan, bukan lagi sebagai ke-giatan yang menarik, menantang, dan menuntut partisipasi aktif peserta didik
Dalam kehidupan yang penuh perubahan untuk berbagai sektor, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat, aman yang makin menglobal, dan persaingan hidup yang makin ketat, membawa implikasi ke dalam pentingnya reorientasi proses pengajaran. Proses pengajaran seperti digambarkan dalam alinea pertama bagian ini, jelas tidak mungkin dapat mempersiapkan peserta didik yang mampu bersaing dalam kehidupan dan menyesuaikan diri terhadap berbagai tantangan yang makin berat. Pengajaran harus diorientasikan pada kemampuan bersikap dan berpikir kritis, dibangun dari konsep-konsep dari filosofis yang kuat, dilakukan melalui proses pengajaran yang memberikan berbagai peluang dan pengalaman belajar yang penuh arti, dan dilakukannya penilaian yang benar-benar akurat, jujur, obyektif dan penuh antisipasi dalam menjawab tantangan hidup masa depan.
Pada gilirannya, wawasan pendidikan sepanjang hayat tidak boleh terabaikan dari perhatian guru dan peserta didik sebagaimana keterlibatan mereka dalam proses belajar mengajar sehari-hari. Motivasi yang kuat dari peserta didik maupun guru, se-benarnya untuk belajar terus mesti tumbuh, terpelihara dan giat belajar nampaknya harus dilatihkan mereka sepantasnya dibiasakan menghadapi masalah dan berusaha mencoba dan mencari jawaban atas masalah yang dihadapi itu. Mereka harus benar-benar dipersiapkan untuk benar-benar sudi dan mampu bersaing tidak hanya dengan teman-teman sekelasnya, tetapi juga dengan siapa saja sebayanya di daerah, di tingkat wilayah, secara nasional, bahkan bersaing dengan bangsa lain secara internasional.
Guru–guru sudah seharusnya mampu melibat-aktifkan peserta didik dengan penuh kemerdekaan. Peserta didik harus merasa senang dalam belajar, dalam mencari ilmu pengetahuan dan teknologi. Demokratisasi juga harus terjadi dalam proses pen-gajaran sehari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Mereka-pun harus memperoleh prestasi belajar yang tinggi. CBSA baik sebagai konsep mau-pun pendekatan dalam pengajaran bermaksud merespon berbagai tantangan sebagai-mana diuraikan di atas. Karena itu CBSA sepantasnya mendapat prioritas tinggi un-tuk dikuasai semua kalangan, khususnya guru dan siswa dalam pelaksanaan proses belajar pembelajaran.

E. Prinsip-prinsip CBSA
Sebagaimana diungkapkan Moejiono dan Dimyati dalam strategi belajar men-gajar (1992) prinsip-prinsip CBSA ini dapat di kelompokkan menjadi : pertama : prinsip-prinsip CBSA secara umum yang diturunkan dari prinsip-prinsip belajar. Ke-dua : adalah prinsip-prinsip CBSA yang secara khusus dilihat dari beberapa dimensi, yaitu pada dimensi guru, dimensi peserta didik, dimensi program pembelajaran dan pada dimensi situasi belajar mengajar.
1. Prinsip-prinsip CBSA secara umum
Secara umum prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam CBSA ini adalah :
a. Hal apapun yang dipelajari murid, maka ia harus mempelajari sendiri tidak ada seorang pun dapat melakukan kegiatan belajar tersebut
b. Setiap murid belajar menurut tempo (kecepatannya sendiri dan untuk se-tiap kelompok umur terdapat variasi kecepatan belajar)
c. Seorang murid belajar lebih banyak bilamana setiap langkah segera diberi penguatan (reinforcement)
d. Penguasaan secara penuh dari setiap langkah memungkinkan belajar secara keseluruhan lebih berarti
e. Apabila murid diberikan tanggungjawab untuk mempelajari sendiri, maka ia lebih termotivasi untuk belajar, ia akan belajar dan mengingat secara le-bih baik.
2. Prinsip-prinsip CBSA pada dimensi peserta didik
Menyangkut dimensi peserta didik, berbagai hal yang mesti diperhati-kan adalah :
a. keberanian peserta didik untuk menunjukkan minat, keinginan, dan do-rongan yang ada pada dirinya. Yang penting mendapat perhatian disini adalah bahwa peserta didik menyadari betul belajar sebagai tugasnya. Ia terlihat aktif dengan menunjukkan minatnya, berusaha meraih keinginan-nya dan melakukan kegiatan belajar untuk mewujudkan dorongan atau motifnya.
b. Keinginan dan keberanian untuk ikut dalam kegiatan belajar prinsip ini menuntut peserta didik untuk terdorong keinginannya berpatisipasi aktif dalam kegiatan belajar. Dengan kaa lain, keinginan dan keberanian untuk terlibat aktif harus dibangkitkan. Kehendak mereka tidak boleh terpen-dam, keinginan tidak perlu tertunda dan keberanian mereka tidak boleh menjadi kendor sebelum teraktiaslisasikan dalam pengalaman belajar me-reka sendiri
c. Usaha dan kreativitas peserta didik.
Kerja keras peserta didik dalam berusaha mencari pemecahan masalah yang dihadapi dalam belajar perlu menjadi perhatian yang penting. Mereka tidak diharapkan mengindari tantangan dan masalah-masalah yang di-hadapi, kreativitas mereka justru harus muncul dan berkembang dengan optimal
d. Keinginan yang kuat
Sifat keingintahuan (curiosity) yang kuat, yang secara alamiah telah ada dalam diri anak sejak kecil, tidak boleh terhambat. Peristiwa pembelajaran hendaknya memelihara kondisi belajar peserta didik untuk selalu bertanya dan berusaha mencari jawabannya secara memuaskan. Mereka menjadi lebih aktif dalam belajar karena berbagai hal yang merangsang untuk dita-nyakan dan dicari respon-responnya secara tepat.
e. Rasa lapang dan bebas
Kegiatan belajar sepatutnya menyenangkan, menimbulkan rasa lapang dan perasaan bebas, kegiatan itu bukanlah sesuatu yang menimbulkan beban, perasaan strees, situasi yang mencekan dan menakutkan. Mereka tidak bo-leh terganggu untuk mengekakan ide-ide atau gagasannya dalam kegiatan belajar. Mereka harus terbiasa dalam keadaan merdeka, memiliki kebeba-san yang bertanggung jawab.
3. Prinsip-prinsip CBSA pada dimensi guru
Dilihat dari dimensi guru, sejumlah prinsip yang harus dipatuhi adalah:
a. usaha guru menbina dan mendorong peserta didik
prinsip ini menuntut guru untuk senangtiasa bertindak sebagai motivator dan mempertahankan keterlibatan aktif peserta didik selama berlangsung-nya kegiatan belajar mengajar
b. guru sebagai inovator dan fasilitator
guru adalah seseorang yang selalu tanggap terhadap setiap perubahan dan pembaruan atau inovasi. Ia harus responsif terhadap ide-ide atau gagasan baru dan berusaha untuk menerapkan dan menyebarluaskannya kepada pi-hak-pihak yang berkepentingan. Ia juga dituntut untuk selalu berusaha menberikan bantuan, peluang dan kemudahan-kemudahan bagi terjadinya proses belajar peserta didiknya.
c. Sikap tidak mendominasi
Hal yang harus disadari guru adalah peran peserta didik dalam kegiatan be-lajar mengajar menduduki posisinya yang promer. Sedangkan guru sendiri menduduki posisinya yang sekunder. Peserta didiklah yang lebih penting dari pada guru. Karena itu guru tidak boleh mendikte atau mendominasi peserta didik. Peserta didik adalah seorang yang aktif belajar. Mereka pada dasrnya mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dengan cara-cara yang di-lakukan sendiri pula.
d. Menberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar menurut irama,cara dan kemampuannya.
Setiap peserta didik hendaklah disadari sebagai seorang individu yang me-miliki karakteristik masing-masing. Mereka itu memiliki keunikan, berbeda antara yang satu dengan yang alinnya dalam hal kekuatan motivasi belajar-nya, kebutuhan belajarnya, kemampuan , dan kecepatan belajarnya. Guru dituntut berusaha melayani kepentingan peserta didik yang berbeda itu. Pengajaran yang diciptakan guru hendaklah semakin membuka adanya ke-mungkinan pelayanan yang bersifat individual.
4. Prinsip- prinsip CBSA pada dimensi proyek pengajaran
Dari dimensi program pengajaran, prinsip-prinsip CBSA yang harus diperhatikan adalah :
a. Tujuan dan isi pelajaran memenuhi kebutuhan, minat, serta kemampuan peserta didik.
Menurut prinsip ini, tujuan dan isi program pengajaran hendaknya dapat disesuaikan dengan kebutuhan, minat dan kemampuan peserta didik
b. Kemungkinan terjadinya pengembangan konsep dan aktifitas peserta didik
Program pengajaran yang disusun dan dilaksanakan guru, hendaklah pro-gram yang menyediakan berbagai pengalaman belajar yang memungkinkan peserta didik mengembangkan konsep-konsep dan aktifitas belajarnya
c. Pengunaan dan pemilihan berbagai metode dan media. Suatu strategi dan metode mengajar yang bisa dipilih serta media yang bisa digunakan hen-daknya dapat ditelusuri dari program pengajaran itu mencerminkan tuntu-tan pemilihan suatu strategi dan metode belajar mengajar yang penuh makna (meaningfull learning).
d. Penentuan metode dan media yang fleksibel. Program pengajaran hendak-lah menyediakan pula adanya alternatif atau metode media secara fleksi-bel. Pilihan ini dilakukan bukanlah mengurangi keberartian proses belajar mengajar yang dilakukan, melainkan merupakan penetapan atas tindakan-tindakan atau pilihan-pilihan yang nilainya setara
5. Prinsip-prinsip CBSA pada dimensi situasi belajar mengajar
Prinsip-prinsip CBSA yang penting dipertimbangkan pada dimensi situasi be-lajar mengajar ini adalah :
a. Komunikasi guru-peserta didik yang intim dan hangat
Prinsip ini menunjukkan bahwa kedudukan guru dan peserta didik dalam peristiwa komunikasi (belajar-mengajar) menempati posisi yang sederajat. Hal demikian dimaksudkan agar hubungan diantara keduanya berada da-lam situasi keterbukaan, kebersamaan kekeluargaan, intim dan hangat. Da-lam situasi yang tercipta semacam ini tidaklah kewibawaan guru akan ber-kurang, melainkan hal ini dapat memperlancar jalannya proses belajar mengajar yang pada akhirnya dapat meningkatkan usaha pencapaian pres-tasi belajar peserta didik yang tinggi.
b. Terjadinya kegairahan dan kegembiraan dalam belajar
c. Guru-guru hendaknya mempertimbangkan betul karakteristik peserta didik dan melakukan penyesuaian pada situasi belajar mengajar yang dikondisi-kannya.

F. Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) sebagai Suatu Strategi Pembelajaran
Sebagaimana juga telah disinggung pada uraian sebelumnya, bahwa setiap kegiatan pembelajaran diyakini adanya keterlibatan dan keaktifan peserta didik. Hanya, permasalahannya adalah terletak pada bobot atau kadar keterlibatan dan keaktifan belajar peserta didik. Terdapat keterlibatan dan keaktifan peserta didik dalam proses pembelajaran dalam kategori rendah, sedang atau tinggi. Jika dibuat suatu skala keaktifan 1-10 maka setiap proses pembelajaran tentu ada dalam skala tersebut. Tidak ada skala keaktifan “nol” seberapapun keaktifan itu. Adapun keha-diran CBSA sebagai sebuah alternatif strategi pembelajaran dimaksudkan untuk mempertinggi atau mengoptimalkan aktifitas dan keterlibatan peserta didik dalam proses pembelajaran, khususnya belajar.
Keterlibatan peserta didik secara aktif dalam proses pembelajaran yang diha-rapkan adalah keterlibatan secara mental (intelektual dan emosional) yang dalam beberapa hal diikuti dengan keaktifan fisik. Sehingga peserta didik betul-betul berperan serta dan berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.
Dengan demikian, CBSA menempatkan kedudukan peserta didik sebagai subjek, pihak yang penting dan merupakan inti dalam kegiatan belajar mengajar.
Derajat ke CBSA-an yang bisa mengarah secara optimal bagi keterlibatan dan keaktifan peserta didik adalah jika diterapkan suatu pola pembelajaran “stu-dent cetered instruction” yaitu suatu pengajaran yang menempatkan peserta didik sebagai kedudukan sentral, berorientasi pada keaktifan belajar, dan guru memberi-kan kesempatan peserta didik untuk memecahkan masalah sendiri.
McKenchie sebagaimana dikutip oleh Roestiyah (1991 : 58) mengisyaratkan bahwa variasi kadar CBSA itu dipengaruhi oleh 7 (tujuh) faktor :
1. Faktor partisipasi peserta didik dalam menetapkan tujuan pengajaran. Misalnya, tujuan dirumuskan suatu peserta didik mempelajari bunyi-bunyi vokal Bahasa Indonesia. Maka dalam kegiatannya peserta didik meneliti bunyi-bunyi yang didengarkan lewat rekaman wacana lisan Bahasa Indonesia.
2. Stressing pada segi afektif dalam pengajaran, seperti tujuan tersebut maka segi efektif dapat ditumbuhkan dengan menjelaskan peranan bunyi-bunyi vokal da-lam menentukan makna kata.
3. Interaksi antara guru dengan siswa dalam kelas pengajaran. Hendaknya di-upayakan oleh guru suatu interaksi optimal (komunikasi multi arah).
4. Tanggapan guru terhadap peserta didik. Bahwa guru jangan sekali-kali men-ganggap dirinya serba tahu dan paling tahu. Guru harus memandang peserta didiknya sebagai manusia yang punya potensi dan daya kemandirian.
5. Rasa keterpaduan dalam kelompok kelas.
6. Pengambilan keputusan terhadap sesuatu masalah oleh peserta didik, hendak-nya mereka diberi waktu yang cukup.
7. Ada cukup waktu untuk memberikan bimbingan bagi peserta didik.
Lebih lanjut, Sudjana (1989) berpendapat bahwa, optimalitas keterlibatan atau keaktifan belajar peserta didik itu dapat dikondisikan. Menurutnya, melalui indikator CBSA dapat dilihat tingkah laku mana yang muncul dalam suatu proses pengajaran berdasarkan apa yang dirancang oleh guru. Indikator-indikator dimak-sud sebagaiman digambarkan dalam prinsip-prinsip penerapan CBSA itu sendiri.
Dari indikator tersebut setidaknya dapat memberikan rambu-rambu bagi guru untuk merancang dan melaksanakan pengajaran. Sejalan dengan itu, Raka Joni (1985) menyarankan yang penting, yang harus ditandaskan dalam gerakan meningkatkan kadar CBSA dalam proses pengajaran adalah bahwa apapun strategi pengajaran yang dipergunakan hendaknya diusahakan kadar keterlibatan mental peserta didik yang setinggi/seoptimal mungkin. Peserta didik diberi kesempatan :
1. Menyerap informasi ke dalam strukstur kognitif atau menyesuaikan struktur kognitif dengan informasi-informasi baru yang diperoleh (diakomodasi) se-hingga dapat dicapai kebermaknaan (meaningfulness) yang setinggi-tingginya.
2. Menghayati sendiri peristiwa-peristiwa untuk membentuk sikap dan internali-sasi nilai-nilai.
3. Melakukan sesuatu secara langsung dalam rangka pembentukan keterampilan yang menjalin percobaan perbuatan langsung dengan pengkajian teoritis secara fungsional.
Kegiatan pengajaran dalam konteks strategi CBSA tentu selalu melibatkan peserta didik secara aktif untuk mengembangkan kemampuan dan penalarannya seperti memahami, mengamati, menginterprestasikan konsep, merancang penelitian, melaksanakan penelitian, mengkomunikasikan hasilnya dan seterusnya, dengan mengikuti prosedur/langkah-langkah yang teratur dan urut

Rangkuman
Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) merupakan istilah yang berupa makna sa-ma dengan Student Active Learning (SAL). CBSA adalah suatu proses kegiatan belajar mengajar yang subjek didiknya terlibat secara intelektual dan emosional sehingga ia betul-betul berperan dan berpartisipasi aktif dan melakukan kegiatan belajar.
Ciri-ciri CBSA alam kegiatan pembelajaran adalah sebagai berikut :
1. Pembelajaran yang dilakukan berpusat kepada kepentingan peserta didik
2. Guru berperan sebagai pembimbing bagi terjadinya pengalaman belajar peserta didik
3. Tujuan kegiatan belajar berorientasi pada pengembangan kemampuan siswa secara utuh dan seimbang
4. Penyelenggaraan kegiatan belajar lebih berorientasi pada kreativitas peserta didik
5. Penilaian diarahkan pada kegiatan dan kemajuan peserta didik.
Prinsip-prinsip CBSA dapat dikelompokkan menjadi : pertama : prinsip-prinsip CBSA secara umum yang diturunkan dari prinsip-prinsip belajar. Kedua : adalah prinsip-prinsip CBSA yang secara khusus dilihat dari beberapa dimensi, yaitu pada dimensi guru, dimensi peserta didik, dimensi program pembelajaran dan pada dimensi situasi belajar mengajar.
Kegiatan pengajaran dalam konteks strategi, CBSA tentu selalu melibatkan peserta didik secara aktif untuk mengembangkan kemampuan dan penalarannya seperti memahami, mengamati, menginterprestasikan konsep, merancang penelitian, melaksanakan penelitian, mengkomunikasikan hasilnya dan seterusnya, dengan mengikuti prosedur/langkah-langkah yang teratur dan urut.

Pertanyaan dan Tugas
Anda diminta untuk menjawab pertanyaan dan tugas dibawah ini :
1. Jelaskan pengertian CBSA yang anda ketahui.
2. Coba anda kemukakan ciri-ciri sekolah yang memiliki CBSA
3. Coba anda ungkapkan pula alasan yang kuat mengapa CBSA itu penting dikem-bangkan dan diterapkan disekolah-sekolah.
4. Kemukakan yang anda ketahui tentang empat prinsip CBSA secara umum
5. Kemukakan empat prinsip CBSA dilihat pada dimensi peserta didik .
6. Kemukakan tiga prinsip CBSA dilihat pada dimensi guru
7. Kemukakan tiga prinsip CBSA dilihat pada dimensi program pembelajaran

Daftar Pustaka

Dimyati dan Mudjiono (1994), Belajar dan Pembelajaran
Depdikbud Dikti
JJ. Hasibuan dan Moedjiono, (1986), Proses Belajar Mengajar,
Bandung : Remaja karya
Mohammad Ali, (1984), Guru dalam Proses Belajar Mengajar,
Bandung : Sinar Baru
T. Raka Joni, (1985), Strategi Belajar Mengajar, Suatu Tinjauan Pengantar, Depdik-bud, Jakarta Ditjen Dikti Depdikbud.
Nana Sujana, dan Ahmad Rivai, (1989), Teknologi Pendidikan, Bandung : Sinar Ba-ru.
T. Raka Joni, (1985), Strategi Belajar Mengajar, Suatu Tinjauan Pengantar, Depdik-bud, Jakarta Ditjen Dikti Depdikbud.
BAB X
SUMBER BALAJAR DAN MEDIA PEMBELAJARAN

A. Pendahuluan
Dalam kegiatan pembelajaran, guru memilih dan menggunakan sumber belajar dan media pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan tujuan dan materi pembela-jarannya. Oleh karena itu sebagai seorang calon guru, anda perlu mengetahui berbagai jenis sumber belajar dan media pembelajaran serta karakteristiknya. Untuk itu di dalam bab ini akan dibahas pengertian, jenis dan manfaat sumber belajar dan media pembelajaran, serta karakteristik utama dari jenis media tertentu, serta kriteria pemi-lihan dan penggunaannya.
Dengan mempelajari isi bab ini, anda diharapkan mampu :
1. Membedakan pengertian sumber belajar dengan media pembelajara.
2. Menjelaskan manfaat penggunaan sumber belajar dan media pembelajaran.
3. Menjelaskan berbagai jenis sumber belajar dan media pembelajaran.
4. Menjelaskan hal–hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan dan penggunaan media pembelajaran.

B. Pengertian Sumber Belajar.
Proses belajar merupakan proses yang komplek yang dapat terjadi pada semua orang, dapat berlangsung kapan dan dimana saja tanpa terikat pada apakah ada yang mengajar atau tidak. Dengan demikian proses belajar terjadi karena adanya interaksi seseorang dengan lingkungannya.
Seseorang yang telah mengalami proses belajar ditandai dengan adanya perubahan perilaku pada dirinya. Perubahan tersebut dapat berupa pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor), maupun yang menyangkut nilai dan sikap (efektif). Sebagai contoh : Hendri Kurnia telah pandai menulis dan membaca dengan lancar setelah ia tamat Sekolah Dasar. Tati terampil merangkai bunga setelah melihat tayangan televisi, demikian pula dengan Mira menjadi lebih patuh dan hormat kepada orang tuanya serta lebih sayang kepada saudaranya setelah ia membaca buku agama dan mendengar ceramah agama.
Perubahan–perubahan yang terjadi pada Hendri Kurnia, Tati dan Mira menunjukkan hasil dari proses belajar yang mereka lakukan, meskipun tidak seluruhnya mereka belajar melalui guru yang mengajar. Jadi seseorang dapat belajar dari berbagai hal seperti melalui membaca, mendengar radio, menonton televisi, film atau dari pergaulan dengan orang di sekitarnya. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa banyak yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar. Selain dari guru, dan guru dapat memanfaatkannya untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran di sekolah.
Nana Sudjana & Ahmad Rivai (198) menyatakan bahwa sumber belajar adalah segala daya yang dapat dimanfaatkan guna memberi kemudahan kepada seseorang dalam belajar. Sumber belajar dapat sengaja dirancang atau dibuat untuk membantu proses balajar, biasanya disebut learning resource by design (sumber belajar yang dirancang), misalnya buku, brosur, film dan lain sebagainya. Sumber belajar lain yang membantu proses belajar siswa adalah sumber belajar yang walaupun tidak sengaja dirancang untuk pembelajaran tetapi dapat dimanfaatkan langsung untuk itu. Sumber belajar jenis ini disebut learning resource by utilization (sumber belajar yang dimanfaatkan); misalnya perkebunan, tanaman, pasar, masjid, musium, tokoh masyarakat, gambar kalender atau kartu pos, dan sebagainya yang ada di lingkungan siswa.

C. Jenis – Jenis Sumber Belajar
Semua sumber belajar dapat dikelompokan menjadi sumber belajar yang di-rancang dan sumber belajar yang dimanfaatkan. Rinciannya dikemukakan Nana Sudjana dan Ahmad Rivai (1989) seperti yang terlihat pada tabel berikut :

Tabel
Klasifikasi Jenis – Jenis Sumber Belajar

Jenis
Sumber Balajar Pengertian Contoh
Dirancang Dimanfaatkan

1. Pesan
(Message)
Informasi yang harus disalurkan oleh komponen lain berbentuk ide, fakta, pengertian data

Bahan–bahan pelajaran
Cerita rakyat, dongeng, nasi-hat
2. Manusia
(People)
Orang yg menyimpan infor-masi atau menyalurkan infor-masi. Tidak termasuk yang menjalankan fungsi pengem-bangan dan pengelolaan sumber belajar
Guru, aktor, siswa pembicara, pemain, tidak termasuk teknisi dan tim kurikulum Nara sumber, pemuka masyarakat, pimpinan, kantor, responden
3. Bahan
(Materials) Sesuatu, biasa disebut media/ software, yang mengandung pesan untuk disajikan melalui pemakaian alat.
Transparansi, film, slides, tape, buku, gambar, dan lain – lain. Relief, candi, arca, peralatan teknik
4. Peralatan
(Device) Sesuatu, biasa disebut media/ software, yang menyalurkan pesan untuk disajikan yang ada di dalam software
OHP, Proyektor slides, film, TV, kamera, papan tulis Generator, mesin, alat-alat mobil
5. Teknik/metode
(Technique) Prsedur yang disiapkan dalam mempergunakan bahan pelajaran, peralatan, situasi, dan orang untuk menyampaikan pesan
Ceramah, diskusi, sosiodrama, simulasi, kuliah, belajar sendiri Permainan, sa-reseh-an, percakapan bi-asa/spontan
6. Lingkungan
(Setting) Situasi sekitar dimana pesan disalurkan/ditransmisikan. Ruangan kelas, radio, perpusta-kaan, auditorium, aula, laboratorium
Taman, kebun, pasar, museum, toko

D. Manfaat Sumber Balajar
Sumber belajar sebagai bagian yang tidak dapat terlepas dari kegiatan pembe-lajaran sangat besar kegunaannya. Ada berbagai manfaat dari sumber belajar, antara lain :
1. Meningkatkan produktivitas pendidikan. Siswa belajar tidak tergantung pada satu–satunya sumber, seperti guru, melainkan dapat memanfaatkan berbagai sum-ber lain. Dengan demikian tugas guru menjadi berkurang dalam meyampaikan in-formasi kepada siswa, dan dapat lebih banyak membina dan meningkatkan ke-gairahan belajar siswa.
2. Memberikan kemungkinan terlaksananya pembelajaran yang sifatnya lebih individual. Penyediaan berbagai sumber belajar seperti modul, kaset rekaman dan sebagainya dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk berkembang sesuai dengan kemampuannya.
3. Memberikan dasar yang lebih ilmiah terhadap pembelajaran, misalnya perencanaan program pembelajaran dapat dibuat lebih sistematis, dan guru dapat pula melakukan pengembangan bahan pembelajaran melalui penelitian.
4. Lebih memantapkan pembelajaran. Dengan menggunakan berbagai jenis media yang dapat menyajikan informasi atau materi pembelajaran secara lebih konkret, pemahaman mahasiswa terhadap materi pembelajaran akan meningkat.
5. Memungkinkan belajar secara seketika. Hal ini dimungkinkan terjadi karena penyediaan berbagai sumber belajar dapat memberikan pengalaman langsung bagi seseorang tanpa harus terikat atau tergantung pada guru.
6. Memungkinkan penyajian untuk jangkauan lebih luas, pengakijan, untuk objek atau peristiwa penyajian untuk sesuatu yang sulit dijangkau oleh indra kita. Hal itu dapat dilakukan melalui penggunaan media elektronik dan media massa.
Diantara beberapa jenis sumber belajar yang telah dijelaskan diatas, ada dua jenis yang banyak mendapatkan perhatian untuk dikembangkan dan digunakan yaitu yang tergolong alat dan bahan, biasa disebut sebagai media pembelajaran.

E. Pengertian Media Pembelajaran
Kata “media” berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata “medium” yang berarti perantara atau pengantar. Dalam proses komunikasi, media merupakan apa saja yang mengantarkan atau membawa informasi ke penerima informasi. Di dalam proses belajar mengajar yang pada hakikatnya juga merupakan proses komunikasi, informasi atau pesan yang dikomunikasikan adalah isi atau materi pelajaran yang telah ditetapkan dalam kurikulum, sumber informasi adalah guru, penulis buku atau modul, perancang dan pembuat media pembelajaran lainnya ; sedangkan penerimaan informasi adalah siswa atau warga belajar.
Kalau ditinjau dari perkembangannya, media pembelajaran itu dahulunya dikenal sebagai alat bantu mengajar yang terutama berfungsi sebagai alat peraga, dan jenisnya juga mula–mula terbatas pada alat bantu visual yang dapat memberikan pengalaman kongkret melalui pemglihatan, antara lain : gambar, model, dan benda nyata.
Seiring dengan perkembangan teknologi, sejak pertengahan abad ke 20, alat bantu yang digunakan dalam pembelajaran juga mengalami perkembangan menjadi alat bantu audio visual yaitu berupa alat dan bahan untuk menyampaikan materi pembelajaran yang dapat diterima siswa melalui indera pendengaran dan penglihatan.
Pada akhir tahun 1950-an, dengan masuknya pengaruh teori komunikasi dalam penggunaan alat bantu audio visual, fungsi alat bantu bukan lagi sekedar alat peraga tetapi meningkat menjadi alat penyalur informasi atau materi pembelajaran. Disamping itu, sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi, jenis media pembelajaran yang dikembangkan juga semakin banyak dan beragam. Kalau dulunya gambar dibuat di papan tulis dia atas kertas misalnya, kemudian ada yang dibuat di atas transparansi dan diproyeksikan dengan proyektor. Begitu juga kalau dulunya foto dapat dikembangkan menjadi film bingkai (slaid) dan film rangkai, dan lain sebagainya.
Selanjutnya pada periode tahun 1960-1965, teori behaviorisme dari B.F.Skinner mulai berpengaruh terhadap pengembangan media pembelajaran yang mengutamakan pemberian penguatan (reinforcement) untuk terjadinya perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar. Pada waktu itu media yang dikembangkan bukan hanya untuk digunakan oleh guru di kelas, tetapi ditunjukan untuk dapat digunakan sebagai sumber belajar oleh siswa atau warga belajar tanpa kehadiran guru, contohnya adalah mesin ajar dan pembelajaran terprogram.
Pada periode 1965-1970, pendekatan sistem mulai pula terlihat pengaruhnya dalam sistem pembelajaran. Dengan diterapkannya pendekatan sistem, media pembelajaran menjadi bagian integral dalam program pembelajaran dan pemilihan serta penggunaannya sudah ditetapkan dengan penuh pertimbangan di saat membuat rancangan pembelajaran.
Dengan adanya perkembangan jenis dan fungsi media pembelajaran seperti diuraikan di atas, pengertian media pembelajaran juga menjadi bervariasi. Di samping itu, ada ahli media yang mebuat definisi yang menagcu hanya pada alat atau perangkat kerasnya, ada juga yang menonjolkan perangkat lunaknya. Contoh definisi yang mengacu pada perangkat kerasnya adalah definisi yang dikemukakan oleh Schramm (1977). Ia mendefinisikan media pembelajaran sebagai teknologi pembawa informasi yang dapat dimanfaatkan untuk proses belajar mengajar; sedangkang Briggs mendifikasikannya sebagai sarana fisik untuk menyampaikan materi pelajaran. Apabila dikaitkan dengan uraian mengenai sumber belajar di atas, dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah alat dan bahan yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk menyampaikan materi pembelajaran, baik dengan guru ataupun tanpa kehadiran guru.

F. Rasional Penggunaan Media Pembelajaran
Media pembelajaran digunakan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas proses belajar mengajar yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Ada beberapa alasan pentingnya penggunaan media pembelajaran dalam upaya meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa. Alasan utama adalah terkait dengan kemampuan media dalam membuat materi pelajaran yang bersifat abstrak menjadi lebih konkret dan lebih jelas. Sebagaimana diketahui bahwa sesuatu yang dipelajari akan lebih mudah dipahami dan diingat apabila diperoleh melalui pengalaman konkret yang melibatkan banyak indera.
Alasan lainnya terkait dengan manfaat yang dapat diperoleh melalui penggunaan media itu sendiri, yaitu antara lain :
1. Dapat membuat proses belajar mengajar lebih menarik dan lebih interaktif kerena penggunaan media dapat meningkatkan rasa ingin tahu, sikap poisitif dan motivasi belajar siswa. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap kecintaan siswa pada ilmu dan proses pencarian ilmu.
2. Dapat mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera karena rumit dapat digunakan untuk memanipulasi objek dan peristiwa, antara lain :
a. Objek yang berbahaya, yang terlalu besar, terlalu kecil atau terlalu rumit dapat dipelajari melalui gembar atau model dengan memperkscil yang berukuran kecil, meyederhanakan yang rumit, atau mengatur gerakan yang terlalu cepat dan terlalu lambat.
b. Peristiwa dan prosedur yang perlu diamati secara berulang dalam mempelajarinya dapat direka,/dofoto dan ditampilkan kembali melalui rekaman vidio dan audio, film, film rankai, atau film bingkai.
3. Dapat memperjelas, menyeragamkan dan mengefisienkan penyajian materi pembelajaran, dengan dapatnya media dipersiapkan terlebih dahulu, banyak hal yang dapat dipertimbangkan dan dilakukan untuk membuat panyajian materi pembelajaran lebih jelas, lebih sistematis, dan lebih efisien.

G. Jenis Media Pembelajaran
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, jenis media pembelajaran semakin banyak dan beragam. Secara sederhana sering orang membaginya atas dua kelompok besar antara lain :
• Media cetak media non cetak
• Media elektronik dan media non elektronik
• Media sederhana dan media rumit
• Media yang dirancang dan media yang dimanfaatkan
Ada banyak hal yang dapat dipakai sebagai dasar pengelompokkan media oleh para ahli. Schramm (1997) membagi media atas tiga kelompok daya liputnya atau ukuran banyaknya audiens yang dapat dijangkau oleh media tersebut. Ketiga ke-lompok media tersebut adalah :
1. Media masal : yaitu media yang liputannya luas, dapat menjangkau banyak orang ditempat yang tersebar. Contohnya : Telavisi, radio.
2. Media klasikal ; yaitu media yang liputannya terbatas, dapat menjangkau sekelompok orang dalam tempat tertentu seperti di kelas atau di tempat lainnya, dimana kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Contohnya : Film, video, slide.
3. Media individual; yaitu media yang dipakai untuk belajar secara perorangan. Contohnya : Media Cetak, telepon, CIA
Pengelompokkan media yang lebih rinci dilakukan oleh para ahli berdasarkan ciri atau karakteristiknya. Bretz dalam Arief dkk. (1986) misalnya, mengelompokkan media pembelajaran ke dalam delapan kelompok besar berdasarkan unsur pokok yang terkandung di dalamnya (suara gambar, grafik garis, simbol verbal tercetak, dan gerak). Kedelapan kelompok itu adalah :
1. Media cetak; ukuran utamanya simbol verbal
2. Media audio; unsur utamanya suara
3. Media semi gerak; unsur utamanya garis, simbol verbal, dan gerak.
4. Media visual diam; unsur utamanya garis, simbol verbal, dan gambar
5. Media visual gerak; unsur utamanya gambar, garis, simbol verbal, dan gerak.
6. Media audio semi gerak; unsur utamanya suara, garis, simbol verbal, dan gerak
7. Media audio visual diam; unsur utamanya suara, gambar, garis, dan simbol verbal.
8. Media audio visual gerak; unsur utamanya mencakup kelima – limanya yaitu suara, gambar, garis, simbol verbal dan gerak
Berbeda dengan Bretz, Kemp (1985) mengelompokkan media pembelajaran yang banyak digunakan sebagai sumber belajar di lingkungan pendidikan dan pelatihan berdasarkan cara pengoperasiannya, dia membagi media atas enam kelompok yaitu :
1. Benda nyata
Contohnya : benda, peralatan, model, mock-ups
2. Bahan yang tidak diproyeksikan
Contohnya : bahan cetak, papan tulis, bagan balik (flip chart), diagram, bagan, Grafik, foto.
3. Rekaman audio
Contohnya : Rekaman audio dalam kaset atai piringan
4. Gambar diam yang diproyeksikan
Contohnya : Slaid (film bingkai), film rangkai, OHT (transparansi). Program Komputer.
5. Gambar bergerak yang diproyeksikan
Contoh : film, rekaman video
6. Gabungan media
Contohnya : bahan dengan pita video, slaid dengan pita audio, film rangkai
dengan pita audio, mikrofis dengan pita audio, komputer interaktif dengan pita audio atau piringan video.

Setiap jenis media mempunyai karakteristik atau ciri tertentu dan masing–masingnya memiliki kelebihan dan kekurangan. Coba anda perhatikan media yang sering dipakai di kelas yang pernah anda ikuti, misalnya papan tulis dan buku. Dari kedua media tersebut anda pasti dapat mengemukakan kelebihan dan kekurangannya. Untuk dapat mengetahui lebih lanjut tentang kelebihan dan kekurangan media jenis lainnya, anda dapat mempelajarinya dari kepustakaan yang diberikan atau dari literatur lain yang terkait.

H. Kriteria Pemilihan dan Penggunaan Media Pembelajaran
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan media untuk dikembangkan dan digunakan. Yang pertama dan terutama sekali adalah kesesuaiannya dengan materi dan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Oleh karena media merupakan salah satu komponen sistem pembelajaran, faktor–faktor lain seperti karakteristik siswa, strategi pembelajaran, dan alokasi waktu juga perlu dipertimbangkan. Selain itu bagi media tertentu yang memerlukan fasilitas pendukung, perlu dipertimbangkan apakah fasilitas itu tersedia atau tidak; dan bagi media yang harganya atau biaya pembuatannya mahal juga perlu dipertimbangkan efektifitas biaya dalam jangka waktu lama. Adakalanya, ada media yang kalaupun biayanya mahal tetapi penggunaannya dapat berulang – ulang dalam jangka waktu yang panjang, sebaliknya ada media yang walaupun biaya pembuatan murah, karena hanya dapat digunakan untuk sekali waktu saja, akhirnya kalau dihitung untuk jangka panjang, malah jadi lebih mahal.

Latihan dan Tugas
1. Jelaskan pengertian sumber belajar dan media pembelajaran sehingga jelas keter-kaitan antara keduanya.
2. Berikan contoh sumber belajar yang dirancang dan sumber belajar yang diman-faatkan yang dapat dipakai masing–masingnya dalam mata pelajran :
a. Sejarah
b. Geografi
c. Bahasa Inggris
d. Akuntansi
e. Olah Raga
f. Biologi
g. Fisika
3. Jelaskan sekurang–kurangnya tiga alasan perlunya guru menggunakan media pembelajaran.
4. Berikan 2 (dua) buah contoh media pembelajaran yang dapat dipakai sebagai sumber belajar tanpa kehadiran guru
5. Jelaskan faktor–faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan media
6. Berikan masing–masing 2 (dua) buah contoh materi dan tujuan pembelajaran yang cocok bagi guru menggunakan media pembelajaran berikut ini.
a. Model dan mock-ups
b. Rekaman audio
c. Rekaman video
7. Baca buku–buku yang tercantum dalam Daftar Pustaka atau literatur lain tentang media pembelajaran. Pembelajaran ciri serta kelebihan dan kekurangan media ter-tentu yang sering digunakan dalam pembelajaran, dan tulis rangkumannya dengan kalimat anda sendiri berbentuk makalah, minimum lima halaman.

Rangkuman
Sumber belajar adalah segala daya yang dapat dimanfaatkan untuk memberi-kan kemudahan dalam belajar, baik yang sengaja dirancang maupun yang tidak . sumber belajar dapat dikelompokkan kedalam 6 (enam) kelompok yaitu : pesan, manusia, bahan, peralatan, teknik, dan lingkungan.
Sumber belajar yang tergolong bahan dan peralatan banyak dikembangkan dan digunakan untuk keperluan pendidikan dan pelatihan. Dalam hal ini keduanya disebut sebagai media pembelajaran. Para ahli sering menggunakan definisi yang berbeda untuk media pembelajaran, ada yang melihatnya dari perangkat kerasnya dan sebaliknya ada yang melihatnya dari perangkat lunaknya, tetapi kita perlu me-nyadari bahwa media pembelajaran mencakup keduanya. Oleh karena itu media pembelajaran dapat difenisikan sebagai bahan dan alat untuk menyampaikan materi pembalajaran.
Penggunaan media dalam proses pembelajaran memberikan beberapa manfaat yang dapat membantu siswa belajar secara optimal, antara lain kemampuan media dalam: (a) membuat materi pelajaran yang bersifat abstrak atau kurang jelas menjadi lebih konkret dan lebih jelas, (b) membuat proses belajar mengajar (pbm) lebih me-narik dan interaktif, (c) mengatasi keterbatasan waktu, ruang, dan daya indera, dan (d) memperjelas, menyeragamkan dan mengefisienkan penyajian materi pembelaja-ran.
Media pembelajaran sering dikelompokkan dengan menggunakan kriteria yang berberbeda. Setiap jenis media mempunyai ciri utama serta kelebihan dan kurangan. Oleh karena itu dalam memilih media untuk dikembangkan dan digunakan perlu dipertimbangkan kesesuainnya dengan materi dan tujuan pembelajaran yang diharapkan. Selain itu ada beberapa faktor lain yang perlu dikaji yaitu karakteristik siswa, strategi pembelajaran yang dipakai, alokasi waktu, ketersediaan media itu sendiri dan fasilitas pendukung, serta efektivitas biaya.

Daftar Pustaka

Arief. S. Sadiman, dkk, Media Pendidikan, Jakarta: CV rajawali, 1986
Bretz Rudy, A Taxonomy of Communication Madia, Englewood Cliffs, N. J. : Educational Technology Publications, 1971
Nana Sudjana & Ahmad Rivai, Teknologi pengajaran, Bandung : Sinar Baru 1989
——————Media Pengajar, Bandung : Sinar Baru 1989.
Schramm, Wilber. Big Madia Litte Media: Tools and Technology for Instruction, Beverly Hills, California : Sage Publication, Inc., 1977
BAB XI
EVALUASI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

A. Pendahuluan

Saudara–saudara para mahasiswa, pada bab ini saudara akan mempelajari ten-tang konsep dasar evaluasi belajar dan pembelajaran.
Pembahasan yang akan saudara pelajari pada evaluasi belajar meliputi: pen-gertian evaluasi dan pengakuran, kedudukan evaluasi dalam pendidikan, syarat-syarat pengukuran, kemudian dilanjutkan dengan evaluasi hasil belajar dan pembe-lajaran. Pada bagian ini yang akan dibahas adalah : tujuan dan fungsi, sasaran (ra-nah), prinsip-prinsip, bentuk dan alat evaluasi, prosedur dan pelaporan serta pengu-naan hasil evaluasi.
Pada evaluasi pembelajaran saudara akan mempelajari tentang tujuan dan fungsi, sasaran prosedur, pelaporan dan pengunaan hasil evaluasi pembelajaran.
Pengetahuan dan keterampilan yang saudara pelajari sehubungan dengan evaluasi belajar dan pembelajaran ini merupakan salah satu dari sekian banyak pengetahuan dan keterampilan untuk mempersiapkan kemampuan saudara sebagai seorang calon guru dan tenaga kependidikan lainnya. Salah satu kemampuan yang harus dipunyai oleh seorang guru adalah mampu melaksanakan evaluasi hasil belajar dan pembelajaran
Kemampuan guru untuk melaksanakan evaluasi hasil belajar, dimaksud agar para guru dapat mengukur dan menilai sampai sejauh mana para siswa yang mengikuti suatu proses pembelajaran yang dilaksanakan dapat mencapai keberhasilan. Untuk dapatnya menentukan keberhasilan siswa dalam belajar tidaklah merupakan suatu pekerjaan yang mudah, karena keputusan penilaian yang diberikan seseorang guru dapat memberikan dampak positif dan negatif terhadap siswa. Hasil penilaian yang didapat siswa mungkin dapat memacu memotivasi semangat belajarnya menjadi lebih baik dimasa yang akan datang, atau sebaliknya, hasil penilaian yang dapat menurunkan/mematikan semangat siswa untuk belajar selanjutnya.
Berdasarkan kemungkinan tersebut diatas, maka tentu saja para guru diharapkan dapat melaksanakan kegiatan penilaian dengan sebaik dan setepat mungkin dan jangan sampai kesalahan dalam menetapkan keputusan hasil belajar yang dicapai oleh para siswa.
Kemampuan guru melaksanakan evaluasi pembelajaran lebih diarahkan untuk menilai tentang upaya yang dilakukan guru dalam merekayasa terjadinya pembelajaran pada siswa. Pada pembahasan terdahulu (dalam bab-bab sebelumnya) telah dijelaskan bahwa tugas pokok guru dalam pembelajaran adalah merancang suatu desain pengajaran (desain instruksional), yang dapat mengupayakan terjadinya belajar pada siswa dan melaksanakan pengajaran
Dalam desain pengajaran (DI) tersebut, kegiatan guru dimulai dari mempelajari kurikulum yang berhubungan dengan bidang studi yang diajarkannya, kemudian menentukan TIU yang akan dicapai oleh siswa, setelah itu merumuskan tujuan pembelajaran (TIK) penetapan materi pelajaran, strategi belajar mengajar, media dan fasilitas belajar dan penentuan kegiatan evaluasi untuk pengukur keberhasilan.
Semua komponen yang disiapkan guru dalam desain pengajaran ini perlu dievaluasi, guna mengetahui efektifitas dan efisiensinya dengan diketahui efektifitas dan efisiensinya guru dapat secara terus menerus menyempurnakan setiap desain dan pelaksanaan pengajaran yang dilakukan.
Berdasarkan penjelasan–penjelasan diatas jelaslah keberadaan pengetahuan, keterampilan tentang evaluasi belajar dan pembelajaran penting dikuasai oleh seorang guru
Tentunya saudara –saudara para mahasiswa calon guru ingin mengetahui lebih lanjut tentang hal ini? teruskanlah membaca bahan ajar ini dan selamat belajar!

B. Tujuan Instruksioanal
Tujuan Instruksional khusus yang akan dicapai mempelajari pokok bahasan evaluasi belajar dan pembelajaran adalah mahasiswa dapat :
1. Menjelaskan pengertian evaluasi belajar dan pembelajaran
2. Membedakan antara tes, pengukuran, penilaian, dan evaluasi belajar
3. Menjelaskan kedudukan evaluasi dalam pendidikan
4. Menyebutkan syarat-syarat pengukuran yang baik
5. Menjelaskan tujuan dan fungsi evaluasi
6. Melaksanakan penilaian berdasarkan ranah
7. Menjelaskan prinsip-prinsip evaluasi
8. Mengidentifikasi bentuk – alat evaluasi yang dapat digunakan guru
9. Menjelaskan prosedur evaluasi yang cepat
10. Membuat pelaporan kegiatan evaluasi
11. Mengunakan hasil penilaian
12. Menjelaskan tujuan dan fungsi pembelajaran
13. Menjelaskan sarana evaluasi pembelajaran
14. Menjelaskan prosedur evaluasi pembelajaran
15. Membuat pelaporan kegiatan evaluasi pembelajaran.
16. Menjelaskan pengunaan hasil evaluasi pembelajaran

C. Pengertian Evaluasi dan Pengukuran
Istilah evaluasi berasal dari bahasa Inggris yaitu “ evaluation” Istilah ini diterjemahan kedalam bahasa Indonesia adalah “ Penilaian”.
Penilaian merupakan suatu pekerjaan yang selalu dilakukan oleh manusia didalam kehidupannya. Setiap hari barang kali kita tidak pernah luput dari pekerjaan melakukan penilaian. Misalnya kalau saudara membeli buku ditoko buku, saudara tentu akan memilih – milih buku dulu yang akan yang dibelis sampai berjam – jam berada disana, baru menentukan buku yang akan dibeli. Begitu juga dengan ibu-ibu jika belanja kepasar tentu akan berkeliling pasar dulu untuk membeli keperluannya, misalnya ingin membeli buah jeruk dari suatu penjual kepenjual lain setelah berada disalah satu penjual. Sebelum memutuskan membeli jeruk tersebut biasanya memilih-milih dahulu dari sejumlah jeruk yang ada baru setelah itu jeruk ditimbang, dibayar dan dibawa pulang.
Berdasarkan ilutrasi dan dikemukakan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sebelum mengambil keputusan perlu dilakukan beberapa kegiatan terlebih dahulu. Kegiatan itu diantaranya : membandingkan diantara suatu obyek dengan suatu kriteria ukuran tertentu, baru kemudian setelah obyek tersebut dibandingkan maka dibuat suatu keputusan.
Pada ilustrasi diatas, seseorang yang berjam-jam ditoko buku dan memilih buku serta berkeliling pasar dan memilih buah jeruk, sebenarnya sedang membandingkan antara kriteria yang mereka miliki dengan obyek yang dicarinya (yaitu buku dan buah jeruk). Dalam pekerjaan mahasiswa dengan si ibu tentu sudah ada suatu kriteria tentang buku dan buah jeruk yang akan dibelinya.
Kriteria untuk buku, munngkin , 1) berguna untuk bahan rujukan suatu mata kuliah, 2) cetakan terbaru, 3) pengarang terkenal, 4) bahasanya mudah dimengerti, 5) harganya relatif murah.
Sedangkan ibu yang membeli jeruk, mungkin memiliki kriteria/ukuran jeruk yang bagus adalah : terlihat segar, besar-besar, pori-pori kulitnya besar-besar, harganya relatif murah.
Kriteria/ukuran yang dimiliki oleh dua orang ini terlihat berbeda, sesuai dengan obyeknya dan kriteria tersebut bisa saja antara satu orang dengan orang lain terhadap obyek yang sama akan berbeda. Hal ini disebabkan karena kriteria yang digunakanlah perkiraan saja.
Kriteria/ukuran dari suatu obyek ada yang sifatnya standard. Misalnya kalau kita memiliki panjangnya 2 buah meja tulis, biasanya kita akan memakai ukuran yang standard yaitu meteran (m, cm) dan akan memakai timbangan ( kg, gram dsb). Setelah mengukur benda-benda tersebut baru kita dapat menentukan/ membuat suatu keputusan mana meja yang lebih panjang dan mana yang lebih berat.
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa dalam melakukan kegiatan penilaian terlebih dahulu harus melakukan kegiatan pengukuran. Pengukuran dapat dilakukan bila tersedia objek/benda yang akan diukur serta kriteria/ukuran. Kriteria dan ukuran itu ada yang sifatnya standard dan tidak standard. Jadi dalam melakukan penilaian hendaklah dilakukan kegiatan pengukuran terlebih dahulu.
Suharsumi Arikunto dalam bukunya Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (1986;3) mengatakan bahwa evaluasi meliputi dua bagian yaitu mengukur dan menilai. Mengukur adalah membanding suatu dengan satu ukuran, pengukuran bersifat kuantitatif, dan penilaian yaitu menambil keputusan terhadap suatu dengan suatu ukuran baik buruk, kualitatif.
Pendapat lain tentang evaluasi dikembangkan pula oleh Edwind Wand dan Gerald W. Brown, seperti di kutip oleh Wayan Nurkancana, yaitu suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari pada sesuatu. Sedangkan pengukuran suatu tindakan atau proses untuk menentukan luas atau kuantitas dari pada sesuatu.
Jadi saudara-saudara para mahasiswa, dari defenisi yang telah dikemukakan itu terlihat jelas adanya perbedaan antara pengukuran dan penilaian.
Meskipun ada perbedaan antara penilaian dan pengukuran. Namun kedua hal itu tidak dapat dipisahkan karena terdapat hubungan yang sangat erat. Penilaian tidak dapat dilakukan jika sebelum dilakukan pengukuran terlebih dahulu. Pengukuran bila sudah dilakukan belumlah memiliki “ Arti”, dan untuk menberi arti haruslah dilakukan penilaian. Jadi dalam penilaian sebenarnya sudah ada secara implisit terkandung pengukuran.
Saudara para mahasiswa, sekarang pekerjaan tentang penilaian dalam kegiatan pendidikan !. bagaimanakah menurut pendapat kamu semua ? apakah penilaian yang dilakukan dalam kegiatan pendidikan, misalnya penilaian yang dilakukan guru terhadap siswa juga mengandung unsur pengukuran ? bagaimanakah pelaksanaannya dan apakah kriteria/ ukuran yang dipakai oleh guru ?
Keberhasilan siswa dalam belajar tentu harus diketahui secara jelas. Untuk itu setelah siswa mengikuti suatu P.B.M. maka biasanya guru akan memberikan ujian kepada siswa. Para siswa diminta untuk menjawab sejumlah soal. Kemudian guru akan menghitung berapa skor yang diperoleh siswa. (berapa jumlah jawaban yang benar yang dapat oleh siswa) dan setelah itu skor-skor yang diperoleh siswa itu dapat dibandingkan dengan suatu kriteria tertentu dan dapat pula dibandingkan dengan sesama siswa. Berdasarkan hasil perbandingan itulah dapat diputuskan nilai yang diperoleh siswa dan sekaligus menunjukkan tingkat keberhasilan yang mereka capai.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa kegiatan pengukuran dilakukan guru dengan jalan meminta siswa menjawab soal-soal ujian. Soal – soal itu sendiri tentunya telah disiapkan sedemikian rupa sehingga soal itu merupakan alat ukur, skor yang diperoleh siswa setelah mengikuti ujian adalah hasil pengukuran yang bersifat kuantitatif.
Penilaian yang dilakukan oleh guru adalah guna memberi arti terhadap hasil pengukuran. Dengan kata lain hasil pengukuran yang diperoleh siswa belumlah memiliki arti apa-apa. Untuk itu guru memberikan arti dengan jalan menbandingkan sesama hasil pengukuran dengan suatu patokan tertentu sehingga hasil penilaian itu memiliki sifat kualitatif.

D. Kedudukan Evaluasi Dalam Pendidikan
Pelaksanaan kegiatan pendidikan sangat memerlukan sekali adanya kegiatan evaluasi. Kegiatan evaluasi itu digunakan pada setiap komponen yang ada dalam proses pendidikan. Sebelum kita membahas kegiatan evaluasi pada pendidikan tersebut, maka terlebih dahulu kita bahas bagaimana proses pendidikan itu dilaksanakan.
Pendidikan yang terlaksana secara formal dilembaga –lembaga pendidikan di Indonesia merupakan suatu sistim atau lebih dikenal dengan sistem transpormasi pendidikan, yang dapat diartikan sebagai suatu kesatuan yang terorganisir yang terdiri dari atas sejumlah komponen yang saling berkaitan satu sama lain untuk mencapai suatu tujuan. Untuk lebih jelasnya pemahaman saudara para mahasiswa tentang sistem transpormasi itu, perhatikanlah gambar sebagai berikut :

Row input atau masukan mentah dalam suatu proses pendidikan adalah siswa dengan segala karakteristik dan keunikannya. Setiap siswa Jelas memiliki perbedaan antara satu sama lain ada yang berkemampuan tinggi, sedangkan ada pula yang berkemampuan rendah. Guna menentukan karakteristik dan keunikan siswa tersebut maka diperlukan sekali adanya evaluasi terhadap kemampuan siswa atau kita kenal dengan adanya proses seleksi sebelum siswa masuk pada suatu lembaga pendidikan. Misalnya saudara dulu sebelum menjadi mahasiswa mengikuti test U.M.P.T.N. terlebih dahulu. Test yang saudara ikuti itu sebenarnya dapat menjadi masukan pada salah satu Universitas dan Institut negeri yang ada di Indonesia ini.
Lebih lanjut, setelah masukan pasti maka dilakukan pula penilaian terhadap segenap Instrumental Input (masukan intrumental) dan Enviromental Input (masukan lingkungan) yang akan bersama-sama memproses masukan mental (masukan intrumental) siswa (siswa) menjadi out put (keluaran).
Penilaian terhadap masukan instrumental dan masukan lingkungan ini dimaksudkan untuk menentukan / menetapkan masukan yang instrumental dan masukan lingkungan yang sesuai untuk memproses masukan mentah yang memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri. Masukan instrumental meliputi guru, kurikulum, sarana dan prasarana yang digunakan,dsb. Sedangkan masukan lingkungan antara lain keadaan antara lain keadaan sosial, budaya, ekonomi, keaman, dsb. Masukan lingkungan ini secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap berperannya masukan instrumental dalam pemprosesan masukan mental.
Guna dapat menentukan masukan mentah setelah diproses menjadi output (keluaran) juga memerlukan adanya kegiatan penilaian. Dengan kata lain untuk dapat ditentukan siswa lulus/ selesai mengikuti suatu kegiatan pendidikan pada suatu lembaga pendidikan maka biasanya ada kegiatan evaluasi belajar tahap akhir (ebta). Penentuan lulus/tidak lulusnya siswa itu memang bukan hanya ditentukan oleh EBTA saja, tetapi juga oleh setiap kegiatan penilaian yang telah dilakukan guru selama mengikuti kegiatan pendidikan dilembaga tsb. Secara rinci, biasanya guru berulang kali menilai siswanya guna mengetahui keberhasilan siswa dalam belajar atau dalam mencapai tujuan-tujuan instruksional yang sudah ditetapkan. Secara ringkas penilaian yang dilakukan oleh guru terhadap siswanya dapat dijelaskan pada DIAGRAM berikut :

Tujuan Instruksional

(a) (b)
pengalamanan belajar
(proses belajar
mengajar) (c ) Hasil belajar

Garis (a) menunjukkan hubungan antara tujuan instruksional dengan pengalaman belajar dengan hasil belajar. Dari diagram itu dapat ditarik kesimpulan bahwa kegiatan-kegiatan penilaian dinyatakan oleh garis (c) yakni suatu tindakan atau kegiatan untuk melihat sejauh mana tujuan-tujuan instruksioanal telah dicapai atau dikuasai oleh siswa dalam bentuk hasil belajar yang diperlihatkan setelah menempuh pengalaman belajar (PBM). Sedangkan garis (b) merupakan kegiatan penilaian untuk mengetahui keefektifan pengalama belajar dalam mencapai hasil belajar yang optimal.
Jadi penilaian yang dilakukan guru terhadap siswa tidak hanya bermamfaat untuk mengetahui tercapai/tidak tujuan instruksional bagi siswa,tetapi juga sebagai umpan balik bagi upaya memperbaiki PBM.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah diberikan, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan penilaian dalam proses pendidikan terlaksana pada hampir semua kegiatan pendidikan, baik dalam ruang lingkup lembaga, maupun yang dilakukan oleh guru.

Tugas :
1. Jelaskan dengan mengunakan contoh perbedaan antara pengukuran, penilaian dan evaluasi. ?
2. Kapankah kegiatan evaluasi dalam suatu proses pendidikan dilakukan ? , kemukakan pendapatmu dengan contoh .
3. Jelaskan kedudukan evaluasi dalam ruang lingkup tugas yang dilakukan oleh guru disekolah.

E. Syarat–Syarat Umum Evaluasi
Dalam melakukan kegiatan evaluasi kita perlu memperhatikan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh suatu alat ukur (tes). Syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh suatu alat ukur adalah :
1. Kesahihan (validitas)
2. Keterandalan (reliabilitas)
3. Kepraktisan (praktikabilitas)
4. Objektif (objektifitas)

1. Kesahihan (Validitas)
Pertanyaan yang selalu diajukan terhadap suatu alat ukur adalah sampai dimanakah validitasnya suatu alat ukur tersebut.
Sebuah tes dikatakan valid apabila tes itu dapat terpat mengukur apa yang hendak diukur (betul – betul mengukur semua yang seharusnya diukur).
Contoh :
Untuk mengukur besarnya partisipasi siswa dalam proses belajar mengajar bukan diukur melalui nilai yang diperoleh pada waktu ulangan, tetapi dilihat melalui :
– Kehadiran
– Terpusatnya perhatian pada pelajaran
– Menjawab pertanyaan yang diberikan guru
– Dan sebagainya
Nilai yang diperoleh pada waktu ulangan bukan mengambarkan partisipasi tetapi menggambarkan prestasi belajar.

a. Jenis – jenis Validitas
Ada dua kenyataan pokok yang memperlihatkan taraf validitas suatu tes yaitu :
1. yang dipertimbangkan secara rasional (validitas logis) terdiri :
Validitas Isi (Content Validity)
Validitas Kontruksi ( Construct Validity)
2. yang dilihat melalui prosedur empiris (Validitas Empiris) terdiri dari :
Validitas ada sekarang (Concurrent Validity)
Validitas prediksi (Predictive Validity)

Ad. a.1. Validitas isi (Content Validity)
Sebuah tes dikatakan memiliki validitas isi, apabila mengukur tujuan khusus tertentu yang sejajar dengan materi atau isi pelajaran yang diberikan
Contoh :
Apabila kita ingin mengukur penguasaan materi IPA untuk siswa kelas III SD maka tes yang disusun harus berdasarkan materi IPA untuk kelas III SD (sesuai dengan kurikulum untuk kelas III SD)
Ad.a.2. Validitas Konstruksi (Contruct Validitas)
Sebuah tes dikatakan memiliki validitas konstruksi apabila butir – butir soal yang dibangun tes tersebut mengukur setiap aspek berpikir seperti yang disebutkan dalam tujuan instruksional khusus.
Contoh :
Jika rumusan TIK “Siswa dapat membandingkan antara efek biologis dan efek psiologis“ maka butir soal pada tes merupakan perintah agar siswa membedakan antara dua efek tersebut.
a.b.1. Validitas ada sekarang (Concurrent Validitas)
Validitas ini lebih dikenal dengan validitas empiris (validitas pengukuran setara). Sebuah tes dikatakan memiliki validitas empiris jika hasilnya sesuai dengan pengalaman. Jika ada istilah “ Sesuai “ tentu ada dua hal yang dipasangkan. Dalam hal ini hasil tes dipasangkan dengan hasil pengalaman. Pengalaman selalu mengenai hal yang telah lampau, sehingga data pengalaman tersebut sekarang sudah ada (ada sekarang, concurrent).
Dalam membandingkan hasil sebuah tes diperlukan suatu kriterium atau alat banding. Maka hasil tes merupakan suatu yang dibandingkan.
Contoh :
Seorang guru ingin mengatakan apakah tes sumatif yang disusun sudah valid atau belum, untuk diperlukan sebuah kriterium masa lalu yang sekarang datanya dia miliki, misalnya nilai ulangan harian atau nilai ulangan sumatif yang lalu.
Jenis kesahihan ini diperoleh dengan mengkorelasikan hasil tes yang baru dengan hasil tes yang sudah ada (tes yang setara).
A.b.2) Validitas prediksi ( Predictive Validity )
Memprediksi artinya meramal mengenai hal yang akan datang (sekarang belum terjadi ).
Sebuah tes dikatakan memiliki validitas prediksi apabila tes mempunyai kemampuan untuk meramalkan apa yang akan ter-jadi pada masa yang akan datang.
Contoh :
Tes untuk masuk Perguruan Tinggi adalah sebuah tes yang diperkirakan mampu meramalkan keberhasilan peserta tes dalam mengikuti kuliah pada masa yang akan datang. Sebagai alat pembanding validitas prediksi adalah nilai – nilai yang di-peroleh setelah peserta tes mengikuti perkuliahan Perguruan Tinggi. Jika ternyata pengikut tes masuk Perguruan Tinggi yang mempunyai nilai tinggi, setelah mengikuti ujian semester I dia mendapat nilai yang rendah atau pengikut tes masuk Perguruan Tinggi yang mempunyai nilai rendah tetapi setelah mengikuti ujian semester I nilainya tinggi. Dalam ini tes masuk PT. Terse-but tidak memiliki validitas prediksi

2. Keterandalan (Raliabilitas).
Realiable artinya dapat dipercaya. Suatu tes yang mempunyai reabilitas berarti bahwa tes tersebut mempunyai sifat dapat dipercaya. Suatu tes dapat dikatakan mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi jika tes tersebut memberikan hasil yang tetap. Jadi pengertian reabilitas tes, berhubungan dengan masalah ketetapan hasil tes. Dengan perkataan lain, jika kepada para siswa diberikan tes yang sama pada waktu yang berlainan maka setiap siswa akan tetap berada dalam urutan ( ranking ) yang sama dalam kelompoknya.
Untuk menentukan tingkat realibilitas dari suatu tes, kita gunakan rumus korelasi Product Moment.
Metode yang digunakan adalah :
a. Metode bentuk paralel ( equivalent ).
b. Metode tes ulang ( test – retest method )
c. Metode belah dua ( split – half method )
Ad. a. Metode bentuk paralel ( equivalent )
Metode ini sering disebut realibitas pengukuran setara. Jika dua bentuk tes setara (mempunyai kesamaan tujuan, tingkat kesukaran dan susunan, tetapi butir – butir soalnya berbeda), dimiliki kedua tes ini, diberikan kepada siswa, tes pertama yang diberikan disebut tes ke I dan tes yang diberikan kedua disebut tes ke II. Kedua tes itu dapat diberikan atau dirangkai secara langsung atau boleh juga dipisahkan dengan jarak tertentu. Korelasi antara hasil kedua tes itu akan menentukan tingkat realibilitasnya.
Kelemahan dari metode ini adalah bahwa pengetes pekerjaannya berat, karena harus menyusun dua seri tes dan membutuhkan waktu lama untuk melaksanakan dua kali tes.
Ad. b. Metode tes ulang ( realibilitas pengukuran ulang )
Metode ini dilakukan orang untuk menghindari penyusunan dua seri tes. Pengetesan hanya memiliki satu seri tes tetapi dicoba-kan (di teskan ) dua kali. Kemudian hasil dari kedua kali tes terse-but dihitung korelasinya.
Ad. c. Metode belah dua ( reliabilitas belah dua )
Prosedur pengiraan/penghitungan yang paling sering digunakan untuk menetapkan reliabilitas dari suatu tes dalah metode belah dua. Pengetesan hanya menggunakan sebuah tes dan dicobakan satu kali. Caranya ialah dengan membagi dua tes itu dan hasil pada masing – masing bagian dikoreksikan satu sama lain. Cara membagi dua tes tersebut ialah meletakkan soal – soal bernomor ganjil kedalam tengahan pertama dan soal – soal bernomor genap kedalam tengahan kedua.
Pemecahan soal – soal tes seperti ini hanya dilakukan pada waktu pemeriksaan dan tidak pada waktu penyajian pada peserta tes. Jadi dengan sekali tes diperoleh dua hasil yang terpisah. Korelasi antara kedua tes ini (tangahan pertama dan tangahan kedua ) akan memperlihatkan tingkat reliabilitas dari tes tersebut.

3. Kepraktisan ( Praktikabilitas)
Sebuah tes dikatakan mempunyai praktikabilitas yang tinggi apabila tes tersebut bersifat praktis. Mudah pengadministrasiannya. Tes yang praktis adalah tes yang :
a. Mudah dilaksanakan
Tidak menuntut peralatan yang banyak dan memberi kebebasan kepada siswa untuk mengerjakan terlebih dahulu bagian yang dianggap mudah oleh siswa.
b. Mudah pemeriksanaanya
Artinya tes itu dilengkapi dengan kunci jawaban maupun pedoman skoringnya. Untuk soal bentuk objektif pemeriksaan akan lebih mudah dilakukan jika dikerjakan oleh siswa dalam lembaran jawaban.
c. Dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk yang jelas sehingga dapat diberikan/diawasi oleh orang lain.
d. Suatu tes akan mudah dilaksanakan jika waktunya tidak terburu-buru.
4. Objektif (Objektivitas)
a. Bentuk tes.
Tes yang berbentuk uraian akan memberikan banyak kemungkinan ke-pada sipenilai untuk memberikan penilaian menurut caranya sendiri. Dengan demikian maka hasil dari seorang siswa yang mengerjakan soal – soal dari sebuah tes, akan dapat berbeda apabila dinilai oleh dua orang penilai.
Untuk menghindari hal ini orang cenderung menggunakan tes abjektif.
b. Penilai
Subjektifitas dari penilai akan dapat masuk secara agak leluasa terutama dalam tes bentuk uraian. Faktor yang mempengaruhi subjektifitas itu antara lain : kesan penilai terhadap siswa. Tulisan , Bahasa,Waktu mengadakan penilaian, Kelelahan, dan sebagainya
Untuk menghindari atau mengurangi masuknya unsur subjektifitas dalam pekerjaan penilaian, maka penilaian harus dilaksanakan dengan mengingat pedoman. Pedoman yang dimaksud terutama menyangkut masalah pengadministrsian yaitu :
Evaluasi harus dilakukan secara kontiniu (terus menerus)
Dengan melakukan evaluasi yang berkali – kali, maka guru akan memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang keadaan siswa.
Evaluasi harus dilakukan evaluasi komprehensif (menyeluruh).
Yang dimaksud dengan komprehensif adalah atas berbagai peninjauan yaitu :
– Mencakup keseluruhan materi
– Mancakup berbagai aspek berfikir (ingatan, pemahaman, aplikasi, dan sebagainya)
– Melalui berbagai cara yaitu tes tertulis, tes lisan, tes perbuatan, pengamatan insidental, dan seterusnya.
Pertanyaan
1. Jelaskanlah kesulitan apa yang dihadapi (sehubungan dengan validitas isi) oleh seorang yang ditugaskan menyusun tes bentuk uraian.
2. Jelaskanlah bagaimana hubungan antara content validity dan construct validity suatu alat ukur hasil belajar.
BAB XII
MASALAH – MASALAH
BELAJAR

A. Pendahuluan
Suatu kenyataan yang perlu disadari oleh guru-guru ialah bahwa murid-murid yang dihadapi di kelas tidak sama satu dengan yang lainnya. Murid menpunyai perbedaan dalam banyak hal seperti : berbeda kemampuan, bakat, minat yang mereka miliki, berbeda dalam ketajaman melihat dan mendengar serta berbeda latar belakang kehidupannya. Oleh sebab itu guru tidak boleh menyamaratakan atau beranggapan bahwa semua anak mempunyai kemampuan dan kecepatan belajar yang sama, sehingga dalam waktu yang sama semua murid diangap akan dapat menyelesaikan isi pelajaran yang sama. Kenyataannya di dalam kelas selalu ada murid yang cepat dalam belajar, ada yang sedang atau normal dan ada murid yang lamban dalam mengikuti pelajaran.
Murid yang lambat dalam belajar sering mangalami kesulitan, sebab setiap akhir kegiataan belajar murid belum mampu untuk menguasai seluruh materi yang seharusnya sudah dikuasai, guru telah melanjutkan pada materi berikutnya. Akibat lain yang timbul pada diri murid mungkin ia tidak ada perhatian terhadap pelajaran itu atau tidak punya minat untuk belajar atau tidak bersemangat untuk belajar. Oleh sebab itu guru hendaknya dapat memberikan perhatian khusus terhadap murid yang lambat dalam belajar atau mengalami masalah atau kesulitan dalam mencapai tujuan pelajaran yang ditetapkan. Pada hakekatnya guru mempunyai tanggung jawab yang lebih luas dari peranannya sebagai pengajar atau pembelajar. Guru sebagai pembelajar bertanggung jawab untuk membantu murid dalam mencapai perkembangan yang optimal. Oleh sebab itu guru diharapkan dapat menciptakan situasi kegiatan dalam belajar dan pembelajaran di sekolah yang efektif dan efisien, sehingga murid diharapkan mencapai hasil belajar yang optimal. Untuk mencapai hasil belajar yang optimal bagi murid, maka setiap kesulitan atau masalah yang timbul dalam belajar seyogyanya dapat segera diidentifikasi dan segera pula diberikan bantuan atau perbaikan. Ini berarti bahwa setiap guru dituntut kemampuannya untuk mampu memberikan bantuan pada murid yang mengalami kesulitan atau masalah dalam belajar, materi yang di bahas dalam masalah-masalah belajar dan pembelajaran ini meliputi :
1. Jenis-jenis masalah belajar dan pembelajaran.
2. Faktor-faktor penyebabmasalah belajar dan pembelajaran
3. Cara mengungkapkan masalah belajar
4. Upaya pengentasan masalah belajar dan pembelajaran
5. Bentuk layanan yang diberikan

B. Masalah-masalah Belajar dan Pembelajaran
1. Jenis-jenis masalah belajar
Di sekolah, disamping banyaknya murid yang berprestasi belajar, sering pula dijumpai adanya murid yang gagal, seperti : nilai atau angka rapor banyak rendah, tidak naik kelas, tidak lulus ujian akhir dan sebagainya. Secara umum, murid-murid yang mengalami hal seperti itu dapat dipandang sebagai murid yang mengalami masalah belajar. Masalah belajar memiliki bentuk yang banyak ra-gamnya, menurut Prayitno (1994 : 90), mengemukakan masalah – masalah se-bagai berikut :
a. keterampilan akademik, yaitu keadaan siswa yang diperkirakan memiliki intelegensi yang cukup tinggi, tetapi tidak dapat memamfaatkannya secara optimal.
b. Ketercepatan dalam belajar, yaitu keadaan siswa yang memiliki IQ 130 atau lebih tetapi masih memerlukan tugas-tugas khusus untuk memenuhi kebutuhan dan kemampuan belajar yang amat tinggi itu.
c. Sangat lambat dalam belajar, yaitu keadaan siswa yang memiliki akademik yang kurang memadai dan perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan pendidikan atau pengajaran khusus
d. Kurang motivasi dalam belajar, yaitu keadaan siswa yang kurang bersemangat dalam belajar mereka seolah-olah tampak jera dan malas.
e. Bersikap dan berkebiasan buruk dalam belajar, yaitu kondisi siswa yang kegiatan atau perbuatan belajarnya sehari-hari antagonistik dengan yang seharusnya, seperti suka menunda-nunda tugas, mengulur waktu, membenci guru, tidak mau bertanya untuk hal-hal yang tidak diketahuinya dan sebagainya.
Menurut Modul Diagnostik Kesulitan Belajar Dan Pengajaran Remedial, beberapa ciri-ciri tingkah laku yang merupakan pernyataan manifestasi gejala kesulitan belajar antara lain :
a. Menunjukan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau dibawah potensi yang dimilikinya.
b. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan. Mungkin ada murid yang selalu berusaha untuk belajar dengan giat tetapi nilai yang dicapainya selalu rendah
c. Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajar. Ia selalu tertinggal dari teman-temannya dalam menyelesaikan tugas-tugas sesuai dengan waktu yang tersedia.
d. Menunjukkan sikap yang kurang wajar, seperti acuh tak acuh, menentang,berpura-pura, dusta dan sebagainya.
e. Menunjukkan tingkah laku yang berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, menganggu dalam atau di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak terature dalam kegiatan belajar, mengasingkan diri, tersisihkan, tidak mau bekerja sama dan sebagainya.
f. Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti : pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu misalnya dalam menghadapi nilai rendah tidak menunjukkan adanya perasaan sedih atau menyesal, dsb
Burton (1952 : 622-624) mengidentifikasi bahwa seorang siswa itu dapat dipandang atau dapat diduga sebagai mengalami kesulitan belajar kalau yang bersangkutan menunjukkan kegagalan ( failure) tertentu dalam mencapai tujuan-tujuan belajarnya. Kegagalan belajar didefenisikan oleh Burton sebagai berikut :
1. Siswa dikatakan gagal, apabila dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan (mastery level) minimal dalam pelajaran tertentu seperti yang telah ditetapkan oleh orang dewasa atau guru (criterion referenced). Dalam kontek sistem pendidikan di Indonesia angka nilai batas lulus (passing grade, grade-standard-basis) itu ialah angka 6 atau 60% atau C (60% dari tingkat ukuran yang diharapkan atau ideal), siswa ini dapat digolongkan kepada lower group.
2. Siswa dikatakan gagal, apabila yang bersangkutan tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi yang semestinya ( berdasarkan tingkat ukuran kemampuan : intelegensi : bakat ) ia diramalkan (predicted) akan dapat menyerjakan atau mencapai prestasi tersebut, siswa ini digolongkan kedalam under achievers.
3. Siswa dikatakan gagal, kalau yang bersangkutan tidak dapat mewujudkan tugas-tugas perkembangan termasuk penyesuaian sosisal, dengan pola organismik (his/organismic pattern) pada fase perkembangan tertentu seperti yang berlaku bagi kelompok sosial dan usia yang bersangkutan (norm referenced) siswa yang bersangkutan, dapat dikatagorikan ke dalam slow learners.
4. Siswa dikatakan gagal, kalau yang bersangkutan tidak berhasil mencapai tingkat penguasaan (mastery level) yang diperlukan sebagai persyaratan (prerequisisi) bagi kelanjutan (continuity) pada tingkat pelajaran berikutnya, siswa ini dapat digolongkan kedalam slow learners atau belum matang (immature) sehingga harus menjadi pengulang.
Dari keempat pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang siswa dapat diduga mengalami kesulitan belajar, kalau yang bersangkutan tidak berhasil mencapai taraf kualifikasi hasil belajar tertentu. Seperti ukuran kriteria yang dinyatakan dalam TIK atau ukran tingkat kapasitas atau kemampuannya.

C. Faktor-faktor Penyebab Masalah Belajar
Dalam kegiatan belajar mengajar yang dilalui atau dijalani murid-murid disekolah maupun diluar sekolah terdapat berbagai kesulitan yang dapat ber-sumber dari dirinya sendiri, pelajaran yang diterima, guru-guru, teman-teman, kelurga dan sebagainya. Oemar Hamalik (1983 : 112) merumuskan :
“Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan belajar itu dapat digolongkan menjadi : 1) Faktor yang bersumber dari diri pribadi, 2) Faktor yang bersumber dari lingkungan sekolah, 3) Faktor yang bersumber dari lingkungan keluarga, 4) Faktor yang bersumber dari lingkungan masyarakat.

Faktor yang bersumber dari diri pribadi sendiri yaitu faktor psikologis seperti intelegensi, bakat,minat, motivasi, kematangan. Intelegensi besar pengaruhnya terhadap keberhasilan belajar. Murid yang menpunyai intelegensi tinggi akan lebih mudah dalam atau lebih berhasil dibandingkan dengan murid-murid yang intelegensinya rendah. Sebabmurid yang berintelegensi rendah akan mengalami kesulitan dalam memahami pelajaran yang diberikan guru.
Bakat akan dapat mempengaruhi seseorang dalam belajar atau dapat mendatangkan kesulitan misalnya bila bahan yang dipelajari oleh murid tidak sesuai dengan bakatnya. Misalnya murid yang tidak berbakat menari akan memngalami kesulitan dalam belajar menari walaupun tari itu mudah gerakkannya.
Motivasi murid dalam proses belajar hendaknya diperhatikan guru, sebab motivasi erat sekali hubungannya dengan tujuan yang akan dicapai dalam belajar. Bila murid tidak mempunyai motivasi dalam belajar tentu prestasi belajar bisa menurun.
Kesulitan belajar yang disebabkan faktor fisiologis seperti kesehatan fisik berpengaruh pada fikiran dan demikian juga pikiran dapat mempengaruhi fisik. Winarno Surahmad mengatakan bahwa : “ Ganguan visual (penglihatan) diseko-lah-sekolah diperkirakan sekitar 25% dari murid biasa, yang biasanya tidak mu-dah diketahui kareta tidak nyata seperti pada keadaan buta. Ganguan-gangguan visual yang tidak tampak sering kali disertai dengan gejala pusing, mual, sakit kepala, malas dan kehilangan konsetrasi pada pelajaran.”
Jadi ganguan-ganguan fisik ini dapat berupa ganguan pada alat-alat penglihatan dan pendengaran yang dapat menimbulkan kesulitan dalam belajar.
Faktor yang bersumber dari lingkungan sekolah yang dapat menimbulkan kesulitan belajar yaitu : kurikulum, metode mengajar, hubungan guru dengan guru, hubungan guru dengan murid, hubungan murid dengan murid, sarana dan prasarana. Kurikulum yang dapat menimbulkan kesulitan belajar-mengajar bila kurikulum terlalu padat, tidak sesuai dengan kemampuan murid, kurikulum yang sering berubah.
Meode mengajar misalnya guru mengunakan metode yang sama untuk semua bidang studi, hal ini dapat membosankan murid dalam belajar. Hubungan guru dengan guru yang tidak baik dapat menimbulkan kesulitan dalam belajar misalnya guru menyebutkan kelemahanya atau kekurangan guru pada murid-muridnya. Hubungan guru dengan murid yang dapat menimbulkan kesulitan dalam belajar hubungan itu tidak baik, misalnya guru yang tidak menghargai murid dengan memarahi murid atau menyebutkan kelemahan murid dihadapan teman-temannya, guru menuntut sama semua murid dengan teman-teman yang berprestasi. Hubungan murid dengan murid yang dapat menimbulkan kesulitan belajar, bila dalam satu kelas terdapat persaingan yang kurang sehat. Sarana dan prasarana yang dapat menimbulkan kesulitan dalam belajar seperti alat-alat belajar yang kurang atau tidak lengkap, buku-buku sumber yang diperlukan sulit didapatkan, ruang kelas tidak mencukupi syarat seperti terlalu panas, pengap, ruang kecil tida sesuai dengan jumlah siswa.
Faktor yang bersumber dari lingkungan keluarga yang dapat menimbulkan kesulitan belajar yaitu : ekonomi keluarga, hubungan antar sesama keluarga, tuntutan orang tua, pendidikan orang tua.
Keadaan ekonomi keluarga, akan mepengaruhi belajar anak. Bila anak hidup dalam keluarga yang miskin, tentu kebutuhan pokok tidak terpenuhi dan akan mengangu kesehatan sekaligus tentu mengganggu belajar anak. Anak harus bekerja membantu mencari tambahan ekonomi keluarga, seperti berjualan sebelum berangkat kesekolah atau pulang sekolah. Hal ini dapat menimbulkan kesulitan bagi anak, mungkin anak terlambat datang, tidak dapat membeli peralatan sekolah yang dibutuhkan, tidak dapat memusatkan perhatian, karena sudah lelah dan sebagainya.
Hubungan antara sesama anggota keluarga dapat mendatangkan kesulitan belajar bagi anak bila hubungan antar keluarga tidak harmonis, misal orang tua sering bertengkar didepan anak, orang tua sering marah pada anak, orang tua otoriter, peraturan dalam keluarga kaku, orang tua keras dan sebagainya. Hal ini semua dapat mengangu anak belajar, sebagai akibatnya mungkin anak mungkin anak tidak bisa berkonsentrasi belajar, anak sering melamun waktu belajar atau anak mencari perhatian guru dengan menganggu teman dan sebagainya.
Tuntutan orang tua yang dapat menimbulkan kesulitan belajar bagi anak, yaitu bila tuntutan orang tua itu tidak sesuai dengan kemampuan anak. Misalnya orang tua menuntut anaknya supaya juara dikelasnya, sedangkan anak sendiri tidak mampu atau ada orang tua menuntut agar nilai matematika, IPA harus tinggi, sedangkan anak tidak mampu atau anak tidak punya minat atau bakat untuk bidang studi itu.
Faktor lingkungan masyarakat yang dapat menimbulkan kesulitan belajar seperti masmedia cetak, seperti komik, buku-buku pornografi, media elektronik TV, VCD, video, Play Station dan sebagainya.

D. Cara Pengungkapan Masalah Belajar.
Menurut Prayitno (1995; 90-94) : murid atau siswa yang mengalami ma-salah belajar dapat dikenali melalui prosedur pengungkapan melalui tes hasil bela-jar, tes kemampuan dasar, skala pengungkapan siakap dan kebiasaan belajar dan pengamatan.
Tes hasil belajar adalah suatu alat yang disusun untuk mengungkapkan sejauh mana siswa telah mencapai tujuan-tujuan pengajaranyang telah ditetapkan sebelumya.

1. Tes kemampuan dasar
Setiap siswa memiliki kemampuan dasar atau intelegensi tertentu. Tingkat ke-mampuan dasar ini biasanya diukur atau diungkapkan dengan mengadministra-sikan tes intelegensi yang sudah baku.

2. Melalui Pengisian AUM PTSDL
Siswa mengisi alat ungkap masalah yang berkenan dengan masalah belajar. Alat ini dapat mengungkapkan prasyarat penguasaan materi, keterampilan belajar,
sarana belajar, diri pribadi dan lingkungan belajar, (dibahas pada minggu keV).

3. Tes Diagnostik
Tes diagnostik merupakan instrumen untuk mengungkapkan adanya kesalahan-kesalahan yang dialami oleh siswa dalam bidang pelajaran tertentu, misalnya untuk bidang studi matematika, apakah dijumpai kesalahan-kesalahan dalam operasi matematika atau dalam pemakaian rumus.
Dengan tes diagnostik sebenarnya sekaligus dapat diketahui kekuatan dan ke-lemahan siswa dalam bidang studi tertentu.

4. Analisis Hasil Belajar
Tujuan analisis hasil belajar sama dengan tujuan tes diagnostik, yaitu untuk men-gungkapkan kesalahan-kesalahan yang dialami oleh siswa dalam mata pelajaran atau bidang studi tertentu. Analisis hasil belajar prosedur dan pelaksanaannya di-lakukan dengan jalan memeriksa secara langsung materi hasil belajar yang di-tampilkan siswa, baik melalui tulisan, bentuk grafik atau gambar, bentuk tiga di-mensi berupa model, maket, dan bentuk tiga dimensi hasil kerajinan dan kete-rampilan tangan, gerak gerik suara, bentuk hasil belajar lainnya dapat berupa foto, film, ataupun rekaman video.
Di samping pengungkapan masalah belajar tersebut di atas, dapat juga dilakukan melalui pengamatan langsung dan mengunakan tes bakat dan minat terhadap siswa

5. langkah-langkah atau prosedur dan teknik pengunaan masalah (diagnosa kesulitan belajar)
a. Identifikasi siswa yang mengalami kesulitan belajar. Cara yang dapat ditem-puh dalam mengidentifikasi siswa yang diperkirakan mengalami kesulitan be-lajar ialah dengan menandai siswa dalam satu kelas yang diperkirakan menga-lami kesulitan belajar dalam satu bidang studi
b. Melokalisasi letaknya kesulitan ( permasalahan), setelah menemukan kelas atau individu siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar, maka selanjutnya yang ditelaah adalah : 1) Dalam bidang studi manakah kesulitan itu terjadi ? , 2) Pada kawasan tujuan ( aspek prilaku ) yang manakah kesulitan itu terjadi ?, 3) Pada bagian (ruang lingkup bahan) yang manakah kesulitan itu terjadi ?, 4) Dalam segi proses belajar manakah kesulitan itu terjadi?.
c. Lokalisasi jenis faktor sifat yang menyebabkan mereka mengalami berbagai kesulitan. Pada garis besarnya sebab kesulitan timbul oleh dua hal yaitu :
1) Faktor internal yaitu faktor yang berada dan terletak pada diri murid itu sen-diri, antara lain disebabkan :
– Kelemahan mental, faktor kecerdasan, intelegensi, atau kecakapan/bakat khusus tertentu dapat diketahui melalui tes tertentu.
– Kelemahan fisik, pancaindera, syaraf, kecacatan, karena sakit daseba-gainya.
– Gangguan yang bersifak emosional.
– Sikap dan kebiasaan yang salah dalam mempelajari bahan pelajaran –pelajaran tertentu.
– Belum memiliki pengetahuan dan kecakapan dasar yang dibutuhkan untuk memenuhi bahan lebih lanjut.
Faktor eksternal yaitu faktor yang datang dari luar yang menyebabkan timbulnya kesulitan belajar, faktor ini meliputi :
– Situasi atau proses belajar mengajar yang tidak merangsang murid untuk aktif antisitatif.
– Sifat kurikulum yang kurang fleksibel
– Ketidak seragaman pola dan dan standard administrasi
– Beban studi terlalu berat
– Metoda mengajar yang kurang memadai
– Sering pindah sekolah
– Kurangnya alat dan sumber belajar
– Situasi rumah kurang mendukung untuk aktifitas belajar
d. Perkiraan kemungkinan bantuan
Kalau sudah ditelaah letak kesulitan, jenis dan sifat kesulitan dengan latar bela-kang, faktor-faktor yang menyebabkan, maka akan dapat memperkirakan :
1) Apakah siswa tersebut mungkin dapat dibantu untuk mengatasi kesulitan atau tidak
2) Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membantu mengatasi kesuli-tan siswa tersebut
3) Kapan dan dimana pertolongan itu diberikan
4) Siapa yang dapat memberikan pertolongan
5) Bagaimana cara memberikan pertolongan secara efektif
6) Siapa sajakah yang harus dilibatkan dalam memberikan pertolongan itu
e. Penetapan kemungkinan cara mengatasinya.
Langkah kelima ini adalah langkah menyusun satu rencana atau beberapa alterna-tif rencana untuk mengatasi kesulitan yang dialami siswa tertentu, rencana hen-daknya berisi cara-cara yang harus ditempuh untuk mengatasi kesulitan yang di-alami siswa tersebut menjaga agar kesulitan yang serupa jangan sampai terulang.

f. Tindak lanjut
Kegiatan tindak lanjut dapat berupa :
1) melaksanakan bantuan berupa pemberian pengajaran perbaikan pada bi-dang studi yang mengalami kesulitan
2) Membagi tugas dan peranan pada orang-orang tertentu : guru bidang stu-di, guru pembimbing.
3) Senantiasa mencek kemajuan siswa yang diberi bantuan
4) Mereveral siswa yang menurut perkiraan tidak bisa dibantu oleh guru studi atau guru pembimbing.

E. Upaya Pengentasan Masalah Belajar
Murid yang mengalami masalah belajar perlu mendapat bantuan agar ma-salahnya tidak berlarut-larut nantinya dan siswa yang mengalami masalah belajar ini dapat berkembang secara optimal. Beberapa upaya yang dapat dilakukan me-nurut Prayitno ( 1994 ; 94-99) sebagai berikut : a) Pengajaran perbaikan, b) Ke-giatan pengayaan, c) Peningkatan motivasi belajar, dan d) Pengembangan sikap dan kebiasaan belajar yang efektif.
1. Pengajaran perbaikan
Pengajaran perbaikan merupakan suatu bentuk layanan yang diberikan kepada seseorang atau sekelompok siswa yang menghadapi masalah-masalah belajar dengan maksud untuk memperbaiki kesalah-kelasalahan dalam proses dan ha-sil belajar siswa. Bentuk kesalahan yang paling pokok berupa salah pengertian, salah pemahaman, salah menafsirkan dan tidak menguasai konsep-konsep dasar. Dengan memperbaiki kesalahan-kesalahan itu maka siswa mempunyai kesempatan untuk mencapai hasil belajar yang optimal.
2. Kegiatan pengayaan
Kegiatan pengayaan merupakan suatu bentuk layanan yang diberikan kepada seseorang atau beberapa orang siswa yang sangat cepat dalam belajar. Siswa yang cepat dalam belajar mempunyai sisa waktu yang berlebih dalam belajar, untuk itu mereka memerlukan tugas-tugas tambahan yang terencana untuk menambah atau memperluas pengetahuan dan keterampilan yang telah dimili-kinya dalam kegiatan belajar sebelumnya.
3. Peningkatan motivasi belajar
Di sekolah sebagian siswa mungkin, telah memiliki motif yang kuat, untuk belajar, tetapi sebagian lain mungkin belum. Disisi lain, mungkin juga ada siswa yang semula motifnya amat kuat, tetapi menjadi pudar. Tingkah laku seperti kurang bersemangat, jera, malas, bosan dan sebagainya dapat dijadikan indikator kurang kuatnya motif ( motivasi) dalam belajar.
Guru bidang studi, guru pembimbing dan staf sekolah lainnya berkewajiban membantu siswa meningkatkan motivasi siswa dalam belajar.
Prosedur-prosedur yang dapat dilakukan menurut Prayitno (1994) adalah :
a. Memperjelas tujuan-tujuan belajar, siswa akan didorong untuk lebih giat belajar apabila ia mengetahui tujuan-tujuan atau sasaran yang hendak dicapai
b. Menyesuaikan pengajaran dengan bakat, kemampuan dan minat siswa
c. Menciptakan suasana pembelajaran yang menantang, merangsang dan menyenangkan
d. Memberikan hadiah ( penguatan dan hukuman bila perlu)
e. Menciptakan suasana hubungan yang hangat dan dinamis antara guru dan murid, serta antara murid dengan murid.
f. Menghindari tekanan-tekanan dan suasana yang tidak menentu ( seperti suasana yang menakutkan, mengecewakan, membingungkan, menjeng-kelkan)
g. Melengkapi sumber dan peralatan mengajar.

4. Pengembangan sikap dan kebiasaan belajar yang baik
Setiap siswa diharapkan menerapkan sikap dan kebiasaan yang belajar yang efektif. Tetapi masih ada siswa yang yang mengamalkan sikap dan ke-biasaan belajar yang tidak diharapkan dan tidak efektif. Bila siswa tidak me-miliki sikap dan kebiasaan belajar yang baik maka dikhwatirkan siswa tersebut tidak akan mencapai hasil belajar yang baik. Prestasi belajar yang baik itu diperoleh melalui usaha atau bahkan kerja keras.
5. Layanan konseling individual
Konseling dimaksud sebagai pelayanan khusus dalam hubungan langsung ta-tap muka antara konselor dan klien. Dalam hubungan tata muka ini klien dapat menyampaikan masalah-masalah yang dirasakan pada konselor dan masalah itu bisa dicermati dan diupayakan pengentasannya melalui pembahasan dengan konselor.

Rangkuman
Kenyataan didalam kelas selalu ada murid yang cepat didalam belajar, ada yang sedang atau normal dan ada murid yang lambat dalam belajar. Murid yang lam-bat dalam belajar sering mengalami masalah atau kesulitan dalam memahami atau menguasai materi pelajaran yang diberikan guru. Kesulitan belajar dapat diartikan sebagai suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar. Hambatan-hambatan itu bisa ada yang disadari dan mungkin juga tidak disadari oleh yang mengalami, dan hambatan itu dapat bersipat psikologis, sosiologis dan fisiologis dalam keseluruhan proses bela-jar. Orang yang mengalami kesulitan belajar akan mengalami hambatan dalam men-capai hasil belajarnya.

Jenis-jenis Masalah Belajar
Masalah-masalah belajar yang dihadapi siswa banyak ragamnya dan pada umumnya dapat digolongkan :
a. Keterlambatan Akademik, yaitu siswa memiliki intelegensi tinggi tetapi tidak da-pat memanfaatkan secara oftimal.
b. Ketercepatan dalam belajar, yaitu keadaan siswa yang memiliki bakat Akademik yang cukup tinggi seperti memiliki IQ 130 atau lebih tetapi masih memerlukan tugas –tugas untuk memenuhi kebutuhan dan kemampuan belajarnya yang amat tinggi.
c. Sangat lambat dalam belajar, yaitu siswa yang mempunyai kemampuan kurang memadai.
d. Kurang motivasi dalam belajar, mereka seakan-akan tampak malas, kurang ber-semangat dalam belajar.
e. Bersikap dan berkebiasaan buruk dalam belajar, seperti suka menunda-nunda tu-gas, mengulur-ulur waktu, membenci guru dan sebaginya.

Faktor penyebab Masalah Belajar dan Pembelajaran
Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dapat digolongkan menjadi dua go-longan yaitu : faktor intern adalah faktor yang ada dalam diri individu yang belajar, dan ektern adalah faktor yang ada diluar diri individu. Faktor yang bersumber dari diri sendiri yaitu faktor psikologis, seperti intelegensi, bakat, minat, motivasi dan ke-matangan.
Kesulitan yang disebabkan faktor fisiologis seperti kesehatan, ganguan fisik berupa ganguan penglihatan, pendengaran. Kesulitan yang disebabkan atau bersumber dari lingkugan sekolah seperti kurikulum, metode mengajar, hubungan guru dengan guru, hubungan murid dengan murid serta hubungan guru dengan murid, sarana dan prasarana.
Faktor yang bersumber dari lingkungan keluarga, seperti ekonomi keluarga, hubungan keluarga yang kurang harmonis, tuntutan orang tua, pendidikan orang tua. Faktor yang bersumber dari lingkungan masyarakat seperti media cetak dan media elektronik.
Cara pengungkapan masalah belajar dan pembelajaran dapat dilakukan melalui tes kemampuan dasar, tes hasil belajar, pengisian alat ungkap masalah PTSDL, tes diagnostik dan analisis hasil belajar serta melalui observasi.
Langkah atau teknik penanganan masalah belajar.
Identifikasi kasus (menandai siswa yang diduga mengalami masalah/kesulitan belajar) 2) Melokalisasi letaknya kesulitan/ permasalahan 3) Melokalisasi jenis sipat yang menyebabkan 4) perkiraan kemungkinan bantuan 5) Penetapan kemungkinan cara mengatasinya, 6)Tindak lanjut
Bentuk layanan yang diberikan
Siswa yang mengalami kesulitan atau masalah belajar setelah ditentukan ben-tuk langkah-langkah penangganannya selanjutnya ditentukan bentuk pemberian ban-tuan atau layanan agar belajar siswa optimal.
1. Pengajaran perbaikan, yaitu suatu bentuk pengajaran khusus yang dirancang guru untuk siswa yang mengalami kesulitan dalam memaham materi pelajaran yang sudah diberikan.
2. Kegiatan pengayaan, suatu bentuk pengajaran yang khusus dirancang guru untuk siswa yang cepat dalam belajar.
3. Peningkatan motivasi belajar terutama bagi siswa yang tidak bersemangat dalam belajar, malas belajar dan sebagainya
4. Pengembangan sikap dan kebiasaan belajar yang baik. Hendaknya setiap siswa dapat mengamalkan sikap dan kebiasan belajar yang baik.
5. Layana konseling individual.
Layanan konseling individual khusus diberikan guru pada siswa yang memiliki masalah dalam belajar atau kesulitan belajar disebabkan hal-hal yang sangat pri-badi.

Daftar Pustaka
Depdikbud ( 1982/1983) Buku II : Modul Diagnostik Kesulitan Belajar DanPengaja-ran Remedial, Depdikbud Dikti Proyek Pengembangan Institusi Pendidikan Tinggi.
Koestoer Partowisastro, (1982), Diagnosa dan Pemecahan Kesulitan Belajar, Jilid I, Tarsito Bandung.
Oemar Hamalik, (1983), Metode Belajar Dan Kesulitan Belajar, Penerbit Tarsito Bandung
Slameto, (1988), Belajar Dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Penerbit Bina Aksara, Jakarta.
Prayitno, (1994), Dasar-dasar Bimbingan Dan Konseling, Buku I, Jurusan PPB FIP IKIP Padang.
BAB XIII
EVALUASI HASIL BELAJAR

A. Pendahuluan
Evaluasi pembelajaran merupakan suatu proses untuk menentukan jasa, nilai atau manfaat legiatan pembelajaran melalui kegiatan penilaian dan/atau pengukuran. Evaluasi pembelajaran mencakup perbuatan pertimbangan tentang jasa, nilai atau manfaat program, hasil dan proses pembelajaran. Pembahasan evaluasi pembelajaran dalam uraian berikut ini akan dibatasi pada : fungsi dan tujuan evaluasi pembelajaran, sasaran evaluasi pembelajaran, dan prosedur evaluasi pembelajaran.
B. Fungsi dan Tujuan Evaluasi Pembelajaran

Dari pengertian evaluasi pembelajaran kita dapat mengetahui bahwa tujuan utama dari evaluasi pembelajaran adalah sejumlah informasi atau data tentang jasa, nilai atau manfaat kegiatan pembelajaran. Sejumlah informasi atau data yang diperoleh melalui evaluasi pembelajaran inilah yang kemudian difungsikan dan ditujukan untuk : pengembangan pembelajaran dan akreditasi.
1. Fungsi dan tujuan evaluasi pembelajaran untuk pengembangan
Dalam hal evaluasi pembelajaran berfungsi dan bertujuan untuk pengembangan pembelajaran, maka evaluasi pembelajaran sedang menjalankan fungsi formatif. Hal ini bertitik tolak dari pandangan bahwa fungsi formatif evaluasi dilaksanakan apabila hasil yang diperoleh dari kegiatan evaluasi diarahkan untuk memperbaiki bagian tertentu atau sebagian besar bagian kurikulum (pembelajaran) yang sedang dikembangkan (Hasan, 1988:39). Memperbaiki bagian tertentu atau sebagian besar aspek pembelajaran dapat diartikan sebagai kegiatan pengembangan pembelajaran. Dengan kata lain, fungsi dan tujuan evaluasi pembelajaran untuk pengembangan pembelajaran dilaksanakan apabila hasil kegiatan evaluasi pembelajaran digunakan sebagai dasar pengembangan pembelajaran.

2. Fungsi dan tujuan evaluasi pembelajaran untuk akreditasi
Orang-orang yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan pada umumnya mengenal pengertian akreditasi sebagai suatu penilaian yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sekolah swasta untuk menentukan peringkat pengakuan pemerintah terhadap sekolah tersebut (Arikunto, 1990:186). Akreditasi juga dapat diartikan sebagai suatu proses dengan mana suatu program atau institusi (lembaga) diakui sebagai badan yang sesuai dengan beberapa standar yang telah disetujui (Scravia B. Anderson dalam Arikunto, 1990:86). Berdasarkan pengertian akreditasi tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa akreditasi ditetapkan atau diputuskan setelah dilaksanakan evaluasi terlebih dahulu terhadap lembaga pendidikan, baik TK, SD, SLTP dan SLTA swasta maupun Perguruan Tinggi Swasta. Ada berbagai aspek yang dinilai dalam menentukan akreditasi suatu lembaga pendidikan, salah satu aspek/komponen yang dinilai adalah pembelajaran. Dengan demikian fungsi dan tujuan evaluasi hasil belajar untuk akreditasi dilaksanakan apabila hasil kegiatan evaluasi pembelajaran digunakan sebagai dasar akreditasi lembaga pendidikan.
C. Sasaran Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi pembelajaran sebagaimana diungkapkan sebelumnya berusaha menetapkan jasa, nilai atau manfaat aspek-aspek pembelajaran. Dengan kata lain, sasaran evaluasi pembelajaran adalah aspek-aspek yang terkandung dalam kegiatan pembelajaran. Dengan demikian sasaran evaluasi pembelajaran meliputi : tujuan pengajaran, unsur dinamis pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran dan kurikulum.
1. Tujuan pembelajaran merupakan sasaran evaluasi pembelajaran yang perlu diperhatikan, karena semua unsur/aspek pembelajaran yang lain selalu bermula dan bermuara pada tujuan pengajaran. Hal-hal yang perlu dievaluasi pada tujuan pengajaran adalah penjabaran tujuan pengajaran, rumusan tujuan pengajaran dan unsur-unsur tujuan pengajaran.
Penjabaran tujuan pengajaran yang dimaksudkan adalah penjabaran dimulai dari tujuan pengajaran tertinggi sampai tujuan pengajaran terendah, seringkali disebut hierarki tujuan. Tujuan pengajaran yang tertinggi adalah tujuan pendidikan nasional, tujuan kelembagaan, tujuan kurikuler, tujuan umum pengajaran dan terakhir tujuan khusus pengajaran, semakin kebawah semakin rinci unsur-unsur yang ada pada rumusan tujuan umum pengajaran. Unsur-unsur yang seharusnya terlihat pada rumusan tujuan khusus pengajaran meliputi perilaku yang diharapkan dapat dicapai, kriteria keberhasilan yang ditentukan dan situasi kondisi untuk membentuk perilaku dengan kriteria yang diinginkan tersebut.
2. Unsur dinamis pembelajaran merupakan sasaran evaluasi pembelajaran yang kedua. Yang dimaksud dengan unsur dinamis pembelajaran adalah sumber belajar atau komponen sistem instruksional yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran. Sumber besar meliputi: pesan, orang, bahan, alat, teknik dan latar (AECT, 1986:2). Sumber belajar dibedakan menjadi dua jenis: (1) sumber belajar yang dirancang (by design) yakni sumber belajar yang secara khusus telah dikembangkan sebagai komponen pembelajaran untuk memberikan kemudahan/fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal, dan (2) sumber belajar karena dimanfaatkan (by utilization) yakni sumber belajar yang tidak secara khusus dirancang untuk keperluan pembelajaran namun dapat ditentukan, diterapkan dan digunakan untuk keperluan belajar (AFCT, 1986:9).
Sumber belajar disebut unsur dinamis pembelajaran karena setiap perubahan yang terjadi pada salah satu sumber belajar akan mengakibatkan terjadinya perubahan pada kegiatan pembelajaran. Selain itu, perubahan pada satu sumber belajar akan mengakibatkan sumber belajar lain menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi.
Pesan dapat diartikan sebagai informasi yang disampaikan oleh sumber belajar atau komponen sistem instruksional yang lain dan berbentuk gagasan, fakta, makna dan data (AECT, 1986:195). Pesan dapat juga diartikan sebagai isis pembelajaran bidang studi/mata pelajaran. Dengan demikian pesan haruslah bersesuaian dengan tujuan pengajaran. Orang sebagai sumber belajar adalah orang yang bertindak sebagai penyimpan dan/atau penyalur pesan (AECT, 1986:10). Yang termasuk sumber belajar orang dalam kegiatan pembelajaran adalah guru, siswa dan/atau orang lain yang diminta bertindak sebagai nara sumber.
Bahan adalah barang-barang (lazim disebut perangkat lunak) yang biasanya berisikan pesan untuk disampaikan dengan menggunakan peralatan, kadang-kadang bahan itu sendiri sudah merupakan bentuk penyajian (AECT, 1986:10). Bahan sebagai sumber belajar dapat berupa pita audio, program pembelajaran komputer, peta, buku teks, dan yang sejenis lainnya.
Alat merupakan barang-barang (lazim disebut perangkat keras) yang digunakan untuk menyampaikan pesan yang terdapat dalam bahan (AECT, 1986:10). Termasuk alat sebagai sumber belajar ini diantaranya adalah video tape recorder (VTR), proyektor slide, pesawat radio, pesawat televisi dan komputer.
Teknik adalah prosedur atau langkah-langkah tertentu dalam menggunakan bahan, alat, tata tempat dan orang untuk menyampaikan pesan (AECT, 1986:10). Teknik dapat berupa pembelajaran berbantuan komputer, pendekatan CBSA, diskusi, pembalajaran individual dan yang lain. Latar merupakan sumber belajar berupa lingkungan tempat pesan diterima oleh siswa. Latar dapat berupa lingkungan fisik dan lingkungan non fisik. Perpustakaan, laboratorium, ruang kelas, tempat duduk dan meja merupakan contoh lingkungan fisik. Sedangkan lingkungan non fisik dapat berupa sirkulasi udara, penerangan ruang, akustik ruangan dan yang lain. Adanya interaksi antara sumber belajar sebagai unsur dinamis pembelajaran dengan siswa akan mewujudkan pelaksanaan pembelajaran.
3. Sasaran evaluasi pembelajaran lainnya adalah pelaksanaan pembelajaran. Dalam hal ini pelakanaan pembelajaran diartikan sebagia interaksi antara sumber belajar dengan siswa. Dengan demikian dalam mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran, kita sebenarnya menentukan seberapa derajat interaksi sumber belajar dengan tujuan pengajaran. Sasaran evaluasi pembelajaran dalam pelaksanaan lebih terperinci diantaranya adalah :
• Kesesuaian pesan dengan tujuan pengajaran
• Kesesuaian sekuensi penyajian pesan kepada siswa
• Kesesuaian bahan dan alat dengan pesan dan tujuan pengajaran
• Kemampuan guru menggunakan bahan dan alat dalam pembelajaran
• Kemampuan guru menggunakan teknik pembelajaran
• Kesesuaian teknik pembelajaran dengan pesan dan tujuan pengajaran
• Interaksi siswa dengan siswa lain
• Interaksi guru dengan siswa.
4. Sasaran evaluasi pembelajaran yang berikutnya adalah kurikulum. Dalam hal ini, kurikulum dipandang sebagai rencana tertulis yakni seperangkat komponen pembalajaran yang diuraikan secara tertulis pada bahan tercetak atau bahan baku. Kurikulum sebagai sasaran evaluasi pembelajaran akan meliputi :
• Tersedianya dan sekaligus kelengkapan komponen kurikulum
• Pemahaman terhadap prinsip-prinsip pengembangan dan pelaksanaan kurikulum
• Pemahaman terhadap tujuan kelembagaan atau tujuan institusional sekolah
• Pemahaman terhadap struktur program kurikulum
• Pemahaman terhadap GBPP
• Pemahaman terhadap teknik pembelajaran
• Pemahaman terhadap sistem evaluasi
• Pemahaman terhadap pembinaan guru
• Pemahaman terhadap bimbingan siswa.
Demikianlah sasaran evaluasi pembelajaran yang meliputi tujuan pengajaran, unsur dinamis pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan kurikulum. Sasaran evaluasi tersebut harus dijabarkan ke dalam deskriptor dan indikator pada instrumen evaluasi pembelajaran yang akan digunakan dalam prosedur evaluasi pembelajaran.

D. Prosedur Evaluasi Pembelajaran
Sebelum membahas tentang prosedur evaluasi pembelajaran, perlu kiranya kita tahu terlebih dahulu tentang siapa yang berhak menjadi evaluator pembelajaran ? Ditinjau dari sasaran evaluasi pembelajaran dapat kiranya kita bayangkan banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan oleh evaluator. Oleh karena itulah dapat diungkapkan bahwa evaluator dalam evaluasi pembelajaran adalah suatu tim yang mempunyai peran penting dalam memberikan informasi mengenai keberhasilan pembelajaran (dimodifikasi dari Arikunto, 1988:7). Yang berhak menjadi tim evaluator adalah orang-orang yang telah memenuhi berbagai persyaratan yang ditentukan.
Prosedur evaluasi pembelajaran terdiri dari lima tahapan, yakni penyusunan rancangan (desain), penyusunan instrumen, pengumpulan data, analisis data dan penyusunan laporan evaluasi pembelajaran. Kita dapat mempelajari prosedur evaluasi pengembangan melalui pembahasan berikut ini.
1. Penyusunan rancangan
Secara garis besar desain evaluasi pembelajaran berisi hal-hal yang sama dengan yang tertera dalam desain penelitian yakni meliputi latar belakang, problematika, tujuan evaluasi, populasi dan sampel, instrumen dan sumber data, teknis analisis data (Arikunto, 1988:44). Untuk memperjelas tentang penyusunan rancangan evaluasi pembelajaran akan diuraikan secara singkat tiap-tiap langkah kegiatannya.
a. Menyusun latar belakang yang berisikan dasar pemikiran dan/atau rasional penyelenggaraan evaluasi.
b. Problematika berisikan rumusan permasalahan/problematika yang akan dicari jawabannya baik secara umum maupun terinci.
c. Tujuan evaluasi merupakan rumusan yang sesuai dengan problematika evaluasi pembelajaran, yakni dirumuskan tujuan umum dan tujuan khusus.
d. Populasi sampel, yakni sejumlah komponen pembelajaran yang dikenai evaluasi pembelajaran dan/atau yang dimintai informasi dalam kegiatan evaluasi pembelajaran.
e. Instrumen adalah semua jenis alat pengumpulan informasi yang diperlukan sesuai dengan teknik pengumpulan data yang diterapkan dalam evaluasi pembelajaran. Sumber data adalah dokumen, kegiatan atau orang yang dapat memberikan informasi atau data yang diperlukan.
f. Teknis analisis data, yakni cara/teknik yang digunakan untuk menganalisis data yang disesuaikan dengan bentuk problematik dan jenis data. (Arikunto, 1988:44-47).
2. Penyusunan instrumen
Setelah seorang evaluator menyusun rancangan evaluasi pembelajarannya yakni peta kegiatan yang akan dilakukan selama kegiatan evaluasi pembelajaran, maka tahapan berikutnya adalah penyusunan instrumen evaluasi pembelajaran. Menurut Arikunto (1988:48-49) langkah-langkah penyusunan instrumen adalah :
a. Merumuskan tujuan yang akan dicapai dengan instrumen yang akan disusun.
b. Membuat kisi-kisi yang mencanangkan tentang perincian variabel dan jenis instrumen yang akan digunakan untuk mengukur bagian variabel yang bersangkutan.
c. Membuat butir-butir instrumen evaluasi pembelajaran yang dibuat berdasarkan kisi-kisi, dan
d. Menyunting instrumen evaluasi pembelajaran yang meliputi : mengurutkan butir menurut sistematika yang dikehendai evaluator untuk mempermudah pengolahan data, menuliskan petunjuk pengisisan dan identitas serta yang lain dan membuat pengantar pengisisan instrumen. Semua langkah yang dilaksanakan dalam penyusunan instrumen di atas berisikan kegiatan seperti yang telah direncanakan dalam rancangan evaluasi pembelajaran.
3. Pengumpulan data
Setelah instrumen evaluasi pembelajaran siap pakai, maka langkah berikutnya adalah datang kepada sumber data untuk mengumpulkan data/informasi yang diperlukan. Dalam pengumpulan data dapat diterapkan berbagai teknik pengumpulan data diantaranya adalah kuesioner, wawancara, pengamatan, dan studi kasus. Setiap teknik pengumpulan data mempunyai prosedur yang berbeda-beda seperti dibahas berikut ini :
Kuesioner yakni seperangkat pertanyaan tertulis yang diberikan kepada seseorang untuk mengungkapkan pendapat, keadaan, kesan yang ada pada diri orang tersebut maupun di luar dirinya (Arikunto, 1988:53). Orang di sini adalah semua orang yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam kegiatan pembelajaran yang diminta mengisi kuesioner, misalnya: guru, siswa, orang tua, pengawas sekolah, atau kepala sekolah dan orang-orang lainnya. Kegiatan yang sebaiknya dilakukan oleh evaluator dalam menerapkan teknik kuesioner ini adalah :
– mengujicobakan kuesioner kepada sejumlah orang yang memiliki karakteristik yang sama dengan yang akan mengisi angket,
– melancarkan penyebaran kuesioner kepada orang yang dituju,
– mengumpulkan dan mengadministrasikan kuesioner, dan
– mengolah data yang berhasil dikumpulkan.
Wawancara yakni suatu teknik pengumpulan data yang menurut adanya pertemuan langsung atau komunikasi langsung antara evaluator dengan sumber data. Langkah kegiatan yang hendaknya dilakukan oleh evaluator dalam menerapkan teknik wawancara ini adalah :
– Menyusun pedoman wawancara atau daftar cocok (chek-list) sesuai dengan data yang akan dikumpulkan,
– Evaluator yang bertindak hanya sebagai pengumpul data perlu memahami tujuan dan petunjuk penggunaan wawancara,
– Melaksanakan wawancara,
– Menyusun sesegera mungkin jawaban hasil wawancara, dan
– Mengolah data/informasi hasil wawancara.
. Pengamatan merupakan teknik pengumpulan data melalui kegiatan mengamati yang dilakukan oleh evaluator terhadap kegiatan pembelajaran. Evaluator yang bertindak langsung sebagai pengamat, harus mencatat segala kejadian dalam kegiatan pembelajaran sesuai dengan instrumen pengamatan yang tersedia. Data yang terkumpul melalui teknik pengumpulan data ini, berupa informasi/data yang objektif dan realistik dari kegiatan pembelajaran. Langkah-langkah yang ditempuh oleh evaluator dalam menerapkan teknik ini adalah :
– Menyusun instrumen pengamatan sesuai dengan informasi/data yang ingin dikumpulkan.
– Melaksanakan pengamatan terhadap kegiatan pembelajaran untuk mengumpulkan informasi/data dengan menggunakan instrumen yang ada.
– Mengolah data yang berhasil dikumpulkan.
Studi kasus adalah teknik pengumpulan data berdasarkan kasus-kasus yang ada dan didokumentasikan. Teknik pengumpulan data ini dimaksudkan untuk memperoleh data tentang keadaan yang menyimpang dalam suatu kegiatan pembelajaran. Langkah-langkah ynag ditempuh oleh evaluator dalam menerapkan teknik ini adalah :
– menyusun instrumen studi kasus,
– melaksanakan kegiatan lapangan, dan
– mengolah data yang diperoleh.
4. Analisis data
Data atau informasi yang berhasil dikumpulkan selanjutnya dioleh dan dianalisis. Sebagaimana halnya dalam evaluasi hasil belajar, data dapat dioleh secara individual ataupun secara kelompok. Apabila data diolah dan dianalisis secara individual, maka hasilnya menunjuk suatu bagian data atau keseluruhan. Dalam kegiatan evaluasi pembelajaran, analisis data yang paling banyak dilaksanakan adalah analisis deskriptif kualitatif yang ditunjang oleh data-data kuantitatif.
5. Penyusunan laporan
Setelah melakukan analisis data seseorang evaluator masih harus menyusun laporan tentang evaluasi pembelajaran yang telah mereka laksanakan. Dalam laporan evaluasi pembelajaran harus berisikan pokok-pokok berikut :
Tujuan evaluasi, yakni tujuan seperti yang disebutkan di dalam rancangan evaluasi pembelajaran yang didahului dengan latar belakang dan alasan dilaksanakannya evaluasi.
Problematika, berupa pertanyaan-pertanyaan yang telah dicari jawabnya melalui kegiatan evaluasi pembelajaran.
Lingkup dan metodologi evaluasi pembelajaran, yang dicantumkan di sini adalah unsur-unsur yang dinilai dan hubungan antar variabel, metode pengumpulan data, instrumen pengumpulan data, teknik analisis data. Selain itu, dalam metodologi hendaknya diungkapkan pula populasinya dan sampel evaluasi pembelajaran.
Pelaksanaan evaluasi pembelajaran, meliputi :
– siapa tim evaluator selengkapnya dan jika perlu dengan pembagian tanggung jawab,
– penjadwalan pelaksanaan evaluasi, dan
– kegiatan penyusunan laporan.
Hasil evaluasi pembelajaran, yakni berisi tujuan pengajaran, tolak ukur, data yang diperoleh, dan dilengkapi dengan sejumlah informasi yang mendukung penemuan evaluasi pembelajaran sehingga dengan mudah pembuat keputusan dapat memahami tingkat keberhasilan pembelajaran (dimodifikasi dari Arikunto, 1988: 117-118).
Demikianlah pembahasan tentang evaluasi pembelajaran, dimana kita dapat menandai bahwa evaluasi pembelajaran tidak mungkin dilakukan oleh seorang guru sendirian. Pelaksana/evaluator evaluasi pembelajaran adalah tim yang terdiri dari beberapa orang ahli. Untuk memperluas wawasan Anda tentang evaluasi pembelajaran, tugas-tugas berikut dapat Anda kerjakan.

E. Evaluasi hasil belajar
Tujuan dan fungsi evaluasi hasil belajar
Pada penjelasan terdahulu telah dapat kita pahami bahwa evaluasi hasil belajar merupakan proses pemberian nilai terhadap hasil-hasil belajar yang dicapai siswa dengan kriteria tertentu. Hal ini mengisyaratkan bahwa yang dinilai adalah hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa dalam pengertian yang luas mencakup bidang kognitif, afektif dan psikomotor.
Berdasarkan penjelasan di atas jelaslah bahwa suatu kegiatan evaluasi hasil belajar hendaklah memiliki tujuan yang dilakukan itu. Apakah tujuannya untuk mengetahui hasil belajar siswa dalam bidang kognitif, afektif maupun psikomotor. Secara lebih rinci tujuan evaluasi hasil belajar menurut Sudjana (1992:4) adalah sebagai berikut :
1. Mengdeskripsikan kecakapan belajar para siswa sehingga dapat diketahui kelebihan dan kekurangannya dalam berbagai bidang studi atau mata pelajaran yang ditempuhnya.
2. Mengetahui keberhasilan proses pendidikan dan pengajaran di sekolah, yaitu untuk mengetahui seberapa jauh keefektifannya dalam mengubah tingkah laku para siswa ke arah tujuan pendidikan yang diharapkan.
3. Menemukan tindak lanjut hasil penilaian, yakni melakukan perbaikan dan penyempurnaan dalam hal program pendidikan dan pengajaran serta strategi pelaksanaannya.
4. Memberikan pertanggungjawaban dari pihak sekolah kepada pihak-pihak yang berkepentingan, seperti masyarakat, pemerintah dan orang tua siswa, tentang hasil-hasil pendidikan dan pengajaran yang telah dicapai.
Fungsi evaluasi menurut Sudjana (1992: 3) adalah :
1. Alat untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan instruksional.
2. Umpan balik bagi perbaikan proses belajar mengajar dalam hal ini bisa perbaikan untuk tujuan instruksional, kegiatan belajar siswa, strategi belajar guru dan lain-lain.
3. Dasar dalam menyusun laporan memajukan belajar siswa kepada para orang tuanya.
Pendapat Sudjana tentang tujuan dan fungsi evaluasi di atas terlihat sejalan, maksudnya dari tujuan evaluasi yang dirumuskan secara tidak langsung terlihat fungsi/guna dari evaluasi yang akan didapatkan setelah pencapaian tujuan tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Arikunto (1986:7-8) dalam bukunya dasar-dasar evaluasi pendidikan dikemukakan tujuan atau fungsi penilaian sebagai berikut :
1. Penilaian berfungsi selektif, yaitu dapat ditujukan guna memilih siswa yang akan diterima di sekolah tertentu, naik atau tinggal kelas, menentukan siswa yang akan mendapat bea siswa dan lulus dari sekolah.
2. Penilaian berfungsi diagnostik, yaitu penilaian yang ditujukan guna mengetahui kelemahan-kelemahan siswa dalam menguasai suatu kegiatan pengajaran sehingga dapat ditentukan cara untuk mengatasinya.
3. Penilaian berfungsi untuk penempatan, yaitu untuk menentukan kedudukan siswa dalam kelompok belajar yang tepat, sehingga dapat mempermudah siswa belajar dalam pencapaian tujuan yang ditetapkan.
4. Penilaian berfungsi sebagai pengukur keberhasilan yaitu untuk mengetahui sejauhmana keberhasilan penerapan suatu program pembelajaran.
Pendapat lain tentang fungsi dan tujuan evaluasi juga dikutip dari pendapat Purwanto (1984 : 5-7), yang menyatakan bahwa fungsi dan tujuan evaluasi tidak dapat dipisahkan. Ada 4 macam tujuan dan fungsi evaluasi yaitu :
1. Untuk mengetahui mekajuan dan perkembangan serta keberhasilan ssiswa setelah melakukan kegiatan belajar selama jangka waktu tertentu. Hail yang telah diperoleh digunakan untuk memperbaiki cara belajar siswa dan untuk menentukan lulus/tidak lulus siswa dari suatu lembaga pendidikan.
2. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program pengejaran, yang selanjutnya berguna bagi guru atau supervisor untuk mengadakan perbaikan program.
3. Untuk keperluan Bimbingan dan Konseling (BK). Hasil evaluasi yang diperoleh dari siswa digunakan untuk sumber informasi bagi pelayanan BK.
4. Untuk keperluan pengembangan dan perbaikan kurikulum informasi tentang evaluasi hasil belajar yang diperoleh merupakan masukan untuk pengembangan dan perbaikan kurikulum.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tentang tujuan dan fungsi evaluasi di atas dapat disimpulkan bahwa kedua hal ini tidak memiliki kaitan yang erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Dari tujuan evaluasi yang dirumuskan akan dapat dipahami secara tersirat fungsi evaluasi yang akan diperoleh.

F. Sasaran/ranah Evaluasi Hasil Belajar
Sasaran/ranah evaluasi hasil belajar merupakan kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah menerima pengalaman belajarnya. Howard Kingsley seperti dikutip oleh Sudjana (199:22) menyatakan ada tiga macam hasil belajar, yakni keterampilan dan kebiasaan pengetahuan dan pengertian dan sikap dan cita-cita. Pendapat lain tentang hasil belajar juga dikutip dari pendapat Gagne, yang membagi lima kategori hasil belajar yaitu : a) informasi verbal, (b) keterampilan intelektual, c) strategi kognitif, d) sikap, e) keterampilan motoris. Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan baik tujuan kurikuler maupun instruksional menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin S. Bloom, yang membagi klasifikasi hasil belajar atas tiga ranah (taxonamy) yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
Ranah kognitif merupakan hasil belajar yang bersifat intelektual hasil belajar yang bersifat intelektual atau penguasaan pengetahuan yang terdiri atas enam aspek yang memiliki tingkat kesulitan yang berjenjang dari yang paling rendah sampai paling tinggi, meliputi pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sistesis dan evaluasi, dua aspek pertama dikatakan tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk ranah kognitif tingkat tinggi.
Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri atas lima aspek yakni penerimaan, jawaban atau reaksi penilaian, organisasi dan internalisasi.
Ranah psikomotor berkenaan dngan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotr, yaitu gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan atau ketetapan, gerakan keterampilan kompleks, gerakan ekspersif dan interpretatif.
Ketiga ranah tersebut dapat menjadi sasaran evaluasi hasil bealajar. Diantara ketiga ranah tersebut ranah kognitif paling banyak dinilai oleh para guru di sekolah karena berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menguasai materi pengajaran. Ketiga ranah ini biasanya didalam perencanaan pengajaran yang dibuat oleh guru akan terlihat dalam rumusan tunjuan instruksional khusus (TIK). Oleh sebab itu TIK dapat dijadikan sasaran penilaian hasil belajar siswa.

G. Prinsip-prinsip Penilaian Hasil Belajar
Ada beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam melaksanakan penilaian hasil belajar. Sudjana (1992:8-9) mengemukakan prinsip-prinsip penilaian sebagai berikut :
1. Dalam menilai hasil belajar hendaknya dirancang sedemikian rupa sehingga jelas abilitas (kemampuan) yang akan dinilai, materi penilaian, alat penilaian dan interprestasi penilaian.
2. Penilaian hasil belajar hendaknya menjadi bagian integral dari proses belajar mengajar. Artinya penilaian dilakukan pada setiap saat proses belajar mengajar sehingga pelaksanaannya berkesinambungan.
3. Penilaian hendaklah menggunakan berbagai alat penilaian dan sifatnya komprehensif. Begitu juga dengan ranah/sasaran hasil belajar yang dinilai meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Dan setiap aspek hendaknya mencakup tindakan aspek yang ada di setiap ranah.
4. Penilaian hasil belajar hendaklah diikuti dengan tindak lanjutnya. Hasil penilaian hasil belajar yang telah diperoleh perlu didokumentasikan dengan jelas dan teratur dan dimanfaatkan untuk kepentingan peningkatan kegiatan pengajaran.

H. Bentuk dan Alat Evaluasi
Evaluasi hasil belajar akan dapat dilakukan bila telah dilakukan kegiatan pengukuran. Pelaksanaan pengukuran tentu saja memerlukan alat ukur atau disebut juga alat evaluasi.
Menurut Arikunto (1986:201) dalam bukunya dasar-dasar evaluasi pendidikan, menyatakan ada 2 macam alat evaluasi yang dapat digunakan yaitu tes dan nontes. Secara jelas ruang lingkup dari kedua alat evaluasi tersebut akan dijelaskan lebih lanjut seperti berikut ini :
1. Tes
Tes adalah suatu alat atau prosedur yang sistematis dan objektif untuk memperoleh data-data atau keterangan-keterangan yang digunakan tentang seseorang dengan cara boleh dikatakan tepat dan cepat. (Arikunto 1986:26).
Tes dapat digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa dan dapat juga untuk mengukur keberhasilan program pengajaran secara keseluruhan.
Ditinjau dari segi kegunaan untuk mengukur hasil belajar siswa, tes dibedakan atas tiga macam yaitu tes diagnostik, formatif, dan sumatif.
Tes diagnostik adalah tes yang digunakan untuk mengetahui kelemahan siswa sehingga berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut dapat dilakukan pemberian perlakuan yang tepat.
Tes formatif adalah tes yang dilakukan untuk mengetahui sejauhmana siswa telah terbentuk setelah mengikuti suatu program terntetu.
Tes sumatif dilaksanakan setelah berakhirnya pembenam kelompok program atau sebuah program yang lebih besar.
Tes sebagai alat penilaian hasil belajar dapat dibedakan atas dua kelompok besar, yaitu tes essay dan tes objektif.
Tes essay atau disebut juga tes bentuk uraian merupakan alat penilaian hasil belajar yang paling tua. Secara umum pengertian tes uraian adalah pertanyaan dengan menggunakan kata-kat dan bahasa sendiri. Dengan demikian tes ini menuntut kemampuan siswa mengekspresikan gagasannya melalui bahasa tulisan.
Dintinjau dari jenisnya, tes uraian dapat dibedakan menjadi uraian bebas (free essay) dan uraian terbatas (restrected essay). Dalam tes uraian bebas, jawaban yang diberikan siswa tidak dibatasi, tergantung kepada pendapat siswa.
Pertanyaan uraian bebas ini tepat digunakan untuk :
a. Mengungkapkan pandangan para siswa terhadap suatu masalah, sehingga dapat diketahui luas dan intensitasnya.
b. Mengupas suatu persoalan yang kemungkinan jawabannya beraneka ragam, sehingga tidak ada satupun jawaban yang pasti.
c. Mengembangkan daya analisis siswa dalam melihat suatu persoalan dari berbagai segi atau dimensinya.
Bentuk kedua dari tes uraian adalah uraian terbatas. Perntayaan uraian terbatas diarahkan hal-hal tertentu atau ada pembatasan. Pembatasan bisa dari segi (a) ruang lingkup; (b) sudut pandang menjawabnya dan (c) indikator-indikatornya.
Dengan demikian jawaban yang diberikan siswa jika menjawab tes ur jawaban yang diberikan siswa jika tes uraian terbatas lebih terarah sesuai dengan pertanyaan yang sudah terarah pula.
Kedua jenis tes bentuk uraian ini sangat cocok digunakan untuk meningkatkan kemampuan menalar para siswa/mahasiswa, karena tes uraian ini dapat mengungkapkan penguasaan siswa/mahasiswa terhadap ranah kognitif tingkat tinggi, yaitu analisis, sintesis juga diajak untuk memecahkan masalah (problem solving) merumuskan hipotesis, menyususn an mengekspresikan gagasan dan menarik kesimpulan dari pemecahan masalah.
Tes objektif banyak digunakan dalam menilai hasil belajar. Hal ini disebabkan antara lain karena banyaknya materi pengajaran yang dpaat dicakup dalam tes ini, dan meudah untuk menilai jawaban yang diberikan.
Soal-soal dalam bentuk tes objektif ada dalam beberapa bentuk, yaitu jawaban singkat, benar-salah, menjodohkan dan pilihan ganda.
Bentuk soal jawaban singkat merupakan soal yang menghendaki jawaban dalam bentuk kata, bilangan, kalimat atau simbol dan jawabnya dpaat dinilai benar atau salah.
Tes bentuk soal jawaban singkat cocok untuk mengukur pengetahuan yang berhubungan dengan istilah terminologi, fakta, prinsip, metodem prosedur, dan penafsiran data yang sederhana.
Soal bentuk benar-salah adalah bentuk tes yang soal-soalnya berupa pernyataan. Sebagian pernyataan merupakan pernyataan yang benar dan sebagian lagi merupakan pernyataan yang salah. Pada umumnya soal benar-salah dipakai untuk mengukur pengetahuan siswa tentang fakta, defenisi dan prinsip.
Bentuk soal menjodohkan terdiri atas dua kelompok pernyataan yang paralel. Kedua kelompok pertanyaan berada dalam satu kesatuan, kelompok sebelah kiri berisikan soal-soal yang harus dicari jawabannya, dimana jawaban itu terdapat di kolom sebelah kanan. Dalam bentuk yang sederhana jumlah soal sama dengan jumah jawabannya, tetapi sebaiknya jumlah jawaban yang disediakan dibuat lebih banyak dari pada soalnya karena hal akan mengurangi kemungkinan siswa menjawab betul hanya dengan menebak.
Bentuk soal pilihan ganda adalah bentuk tes yang mempunyai satu jawaban yang benar atau paling tepat, soal pilihan ganda terdiri atas pilihan ganda biasa, bentuk hubungan antar hal. Soal hubungan antar hal menuntut siswa untuk mengidentifikasi hubungan sebab akibat antara pernyataan pertama (yang merupakan akibat) dan pernyataan kedua yang merupakan sebab). Kedua pernyataan (pertama dan kedua) dihubungkan dengan kata sebab. Kedua pernyataan itu dapat benar, salah, atau satu salah dan satu lagi benar dan sebaliknya.
2. Non tes
Teknik non tes merupakan alat ukur untuk mengathuo hasil belajar siswa yang tidak dpaat diukur dengan alat ukur tes. Ada beberapa jenis alat ukur non tes ini, yaitu skala bertingkat, kuesioner, wawancara, pengamatan (observasi), dan sosiometri, dll.
Skala bertingkat menggambarkan suatu nilai yang berbentuk angka terhadap suatu hasil pertambangan.
Kuesioner dan wawancara pada umumnya digunakan untuk menilai aspek kognitif, seperti pandangan atau penapat seseorang serta harapan dan aspirasinya disamping aspek afektif dan perilaku individu.
Observasi pada umumnya digunakan untuk memperoleh data mengenai perilaku individu atau proses kegiatan tertentu dan sosiometri digunakan untuk mengetahui aspek perilaku individu terutama hubungan sosialnya.
Penggunaan non tes untuk menilai hasil belajar masih sangat terbatas dibandingkan dengan penggunaan tes. Dalam menilai hasil dan proses belajar, para guru di sekolah pada umumnya lebih banyak menggunakan tes dari pada non tes karena alat ukur tes lebih meudah dibuat, penggunaannya lebih praktis dan terbatas mengukur aspek kognitif berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh siswa setelah menyelesaikan pengalaman belajarnya.
Pada bagian berikut akan dijelaskan secara umum masing-masing alat ukur non tes yang telah dikemukakan sebagai berikut :
a. Skala bertingkat
Skala adalah alat penilaian untuk mengukur sikap, nilai, minat, perhatian dan sebagainya yang disusun dalam bentuk pernyataan untuk dinilai responsen dan hasilnya dalam bentuk rentangan nilai sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Rentangan nilai biasanya dalam bentuk huruf (A, B, C. D, E), angka (4, 3, 2, 1) atau dalam bentuk kategori tinggi, sedang, rendah atau baik, sedang, kurang.
Hal yang harus diperhatikan dalam skala penilaian adalah adanya penjelasan operasional untuk setiap alternatif jawaban, sehingga mudah dalam memberikan nilai dan terhindar dari subjekvitas penilai. Tugas penilai memberi tanda cek (v) dalam kolom rentangan nilai.
b. Kuesioner
Kuesioner atau dikenal juga dengan angket pada dasarnya adalah sebuah daftar pertanyaan yang harus diisi oleh orang yang akan diukur. Dengan kuesioner ini dapat diketahui tentang keadaan/data diri pengalaman, pengetahuan, sikap atau pendapatnya.
Penyampaian kuesioner ada yang langsung dibagikan kepada siswa yang setelah diisi dikumpulkan lagi. Ada juga yang dikirim melalui pos. Ada ahli yang membedakan kuesioner ditinjau dari segi menjawabnya, yaitu kuesioner langsung, yaitu kuesioner yang diisi oleh orang lain yang bukan diminati keterangannya.
Ditinjau dari segi cara menjawabnya kuesioner dapat dibedakan atas kuesioner tertutup dan terbuka. Kuesioner tertutup adalah kuesioner yang disusun dengan menyediakan pilihan jawaban lengkap sehingga pengisis tanggal memberi tanda pada jawaban yang dipilih. Kuesioner terbuka adalah kuesioner yang disusun sedemikian rupa sehingga pengisis bebas mengemukakan pendapatnya. Kuesioner terbuka disusun apabila jawaban pengisi belum terperinci dengan jelas sehingga jawabannya akan beraneka ragam.
Alternatif jawaban yang ada dalam kuesioner yang memiliki rentangan huruf dan kategori dapat ditransformasikan dalam bentuk simbol kuantitatif agar menghasilkan data interval. Caranya adalah dengan memberikan skor terhadap setiap jawaban berdasarkan kriteria tertentu.
c. Wawancara
Wawancara atau interview adalah suatu metode/cara yang digunakan untuk mendapatkan jawaban dari responsen dengan jalan tanya jawab sepihak. Dikatakan sepihak karena dalam wawancara ini responden tidak diberi kesempatan sama sekali untuk mengajukan pertanyaan.
Ada dua jenis wawancara, yakni wawancara berstruktur dan wawancara bebas (tak berstruktur). Dalam wawancara berstruktur kemungkinan jawaban yang telah disiapkan, sehingga orang yang diwawancarai tinggal memilih jawaban yang telah disediakan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Sedangkan wawancara bebas, responden mempunyai kebebasan untuk mengutarakan pendapat, tanpa dibatasi oleh patokan-patokan yang telah dibuat terlebih dahulu, sehingga dapat diperoleh informasi yang lengkap dari suatu pertanyaan yang diajukan.
Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan wawancara yaitu tahap awal, yaitu tahap yang bertujuan untuk mengkondisikan situasi wawancara, supaya penuh keakraban, sehingga orang yang diwawancarai tidak merasa takut dan terdorong mengemukakan pendapat secara bebas, benar atau jujur. Setelah kondisi awal tercipta dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan sesuai dengan tujuan wawancara. Pertanyaan diajukan secara bertahap dan sistematis berdasarkan rambu-rambu/kisi-kisi yang telah dibuat seblumnya. Tahap terakhir adalah mencatat hasil wawancara. Haisl wawancara dicatat supaya tidak ada yang lupa.
d. Pengamatan (observasi)
Pengamatan (observasi) sebagai alat penilaian biasanya digunakan untuk mengukur tingkah laku individu ataupun proses terjadinya suatu kegiatan yang dapat diamati baik dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam situasi buatan.
Ada tiga jenis observasi yang dapat dilakukan yaitu observasi langsung, yaitu observasi yang dilakukan terhadpa gejala atau proses yang terjadi dalam situasi yang sebenarnya dari langsung diamati oleh pengamat. Sedangkan observasi tidak langsung dilakukan dengan menggunakan alat seperti mikroskop dan observasi partisipasi, yaitu pengamat harus melibatkan diri atau ikut dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh individu atau kelompok yang diamati.
Berhasil/tidaknya observasi atau kelompok yang diamati bergantung pada pengamat, bukan pada pedoman observasinya. Oleh sebab itu pengamat hendaklah cakap, mampu dan menguasai segi-segi yang diamati.

e. Sosiometri
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menyesuaikan dirinya terutama hubungan sosial siswa dengan teman sekelasnya adalah dengan teknik sosiometri. Dengan teknik sosiometri dapat diketahui posisi seorang siswa dalam hubungan sosialnya dengan siswa lainnya.
Dengan menggunakan sosiometri dapat diketahui siswa yang terisolasi dari teman-temannya. Siswa yang akrab dengan siswa lainnya (tertentu) sehingga hubungannya merupakan mata rantai (saling memilih), dan dapat pula diketahui siswa yang paling disenangi tema-temannya.
Sosiometri dapat dilakukan dengan cara menugaskan kepada siswa yang ada di kelas untuk memilih satu atau dua temannya yang paling dekat atau disenanginya. Usahakan dalam kesempatan memilih tidak terjadi kompromi antara sesama siswa supaya pilihannya bersifat netral dan tidak diatur sebelumnya. Tuliskan nama itu pada selembar kertas kecil, dan dikumpulkan oleh guru setelah seluruh kertas terkumpul, guru dapat mengolahnya dengan cara yaitu melukiskan alur-alur pilihan dari setiap siswa dalam bentuk digram sehingga terlihat hubungan antar siswa berdasarkan pilihannya. Digram hasil pilihan tersebut disebut seismogram.
Ada beberapa kategori yang diperoleh dari seismogram yaitu siswa yang terpopuler, terisolasi, siswa yang berbentuk klik, bila klik terdiri atas tiga orang tersebut “triangle” dan bisa hanya dua orang disebut “pair” atau pasangan. Serta pilihan siswa yang berbentuk mata rantai atau “chain”.

I. Prosedur Evaluasi Hasil Belajar
Prosedur dalam melakukan evaluasi dapat dibagi atas beberapa langkah. Yuken Stanley seperti dikutip oleh Kerkancana (1983 : 6-7) mengemukakan langkah-langkah evaluasi terdiri dari penetapan tujuan program, memilih alat yang layak, pelaksanaan pengukuran, memberikan skor, menganalisa dan menginterprestasi skor, membuat catatan yang baik dan menggunakan hasil-hasil pengukuran.
Pendapat lain tentang hal ini juga dikemukakan oleh Mochtar Buchari yaitu langkah-langkh pokok dalam evaluasi terdiri dari perencanaan, pengumpulan data, implikasi data, analisa data dan penafsiran data (1972:24). Lebih lenajut akan dibahas prosedur penilaian yang dikemuakakn oleh Mochtar Buchari sebagai berikut :
1. Perencanaan evaluasi
Dalam perencanaan evaluasi kegiatan yang harus dilakukan meliputi :
a. Menetapkan tujuan evaluasi, yang tujuan evaluasi ditetapkan berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dalam suatu program. Tujuan evaluasi panitia seleksi akan berbeda dengan tujuan evaluasi seorang guru mata pelajaran.
b. Menetapkan aspek-aspek yang harus dinilai. Penentuan asep evaluasi ditentukan berdasarkanpada tujuan evaluasi. Misalnya panitia seleksi akan menetapkan aspek evaluasi terhadap potensi-potensi dasar yang diperlukan untuk jenis pendidikan atau jabatan tertentu.
c. Menentukan metode evaluasi atau alat evaluasi yang sesuai untuk mengukur aspek yang akan dinilai bisa saja digunakan alat ukurnya tes dan non tes sesuai keperluan.
d. Memilih dan menyusun alat-alat evaluasi yang akan dipergunakan. Memilih alat relakukan bila telah tersedia sejumlah alat ukur yang dapat dipergunakan. Jika belum ada tentu perlu disusun terlebih dahulu alat ukur yang diperlukan.
e. Menentukan kriteria yang akan digunakan untuk menilai. Dalam hal ini digunakan kriteria acuan norma atau kriteria acuan patakan.
f. Menetapkan frekuensi evaluasi, artinya perlu direncanakan jumlah pelaksanaan evaluasi yang akan dilakukan untuk satu periode tertentu.
2. Pengumpulan data
Pada tahap pengumpulan data ada beberapa kegiatan yang dilakukan yaitu :
a. Pelaksanaan evaluasi
b. Memeriksa hasil evaluasi dan memberi kode dan skor
c. Menganalisis skor dengan teknik analisa statistik dan bukan statistik
d. Memberikan interprestasi terhadap skor yang telah diperoleh dengan menggunakan kriteria tertentu yang disebut norma.
3. Pengunaan hasil-hasil evaluasi
Hasil evaluasi yang sudah diperoleh dapat digunakan untuk membuat laporan pada orang tua siswa tentang kemajuan anaknya dalam belajar.

J. Pelaporan dan Penggunaan Hasil Evaluasi
Data hasil penilaian baik formatif maupun sumatif hendaklah dilaporkan agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan. Mellaui laporan hasil penilaian semua pihak yang berkepentingan dapat mengetahui kemampuan dan perkembangan siswa, sekaligus dapat mengetahui keberhasilan pendidikan di sekolah, dan atas dasar itu pula pihak yang berwenang dapat menentukan langkah dan upaya yang harus dilakukan dalam meningkatkan proses dan hasil pendidikan.
Laporan data hasil penilaian bukan hanya mengenai prestasi atau hasil belajar saja melainkan juga mengenai kemajuan dan perembangan belajar siswa di sekolah, seperti motivasi belajar, disiplin, kesulitan belajar atau sikap siswa terhadap mata pelajaran. Oleh sebab itu guru perlu mencatat perkembangan dan kemajuan belajar siswa secara teratur dan berkelanjutan.
Hasil belajar yang dicapai siswa hendaklah dilaporkan secara menyeluruh baik dalam bentuk skor maupun dalam bentuk nilai. Lebih jauh perlu juga dilakukan interprestasi terhadap nilai yang diperoleh siswa, misalnya untuk menentukan kedudukan siswa dalam kelompoknya, atau dibandingkan kriteria yang telah ditentukan. Dengan demikian dapat diketahui tingkat keberhasilan siswa baik dilihat dari kelompoknya maupun dari tujuanyang harus dicapai. Data tentang perkembangan belajar siswa dapat dilaporkan dalam bentuk catatan khusus sebagai pelengkap data belajarnya. Catatan khusus itu berkenaan dengan aspek perilaku siswa seperti kehadiran, disiplin belajar, motivasi belajar dan kesulitan belajar.
Data hasil penilaian dilaporkan pada semua staf sekolah, yaitu kepala sekolah, wali kelas, guru-guru. Kepada kepala sekolah dilaporkan tentang prestasi atau hasil belajar siswa selama mengikuti pendidikan di sekolah, khususnya dalam PBM. Hasil belajar siswa disampaikan dalam bentuk yang ringkas, tapi jelas sehingga dpaat dengan mudah dipahami oleh kepala sekolah.
Laporan hasil penilaian itu untuk wali kelas berupa nilai yang digunakan untuk mengisi raport. Oleh sebab itu hasil yang dilaporkan hendaklah mempertimbangkan hasil tes formatif dan sumatif termasuk catatan khusus yang dibuat oleh guru mengenai kemajuan belajar siswa.
Laporan tentang hasil belajar siswa juga perlu diberikan pada orang tua siswa. Hal ini dilakukan karena secara alamiah orang tua merupakan penanggung jawab utama terhadap pendidikan anaknya. Oleh sebab itu orang tua juga perlu mengetahui kemajuan belajar anaknya dari hari ke hari melalui laporan yang dibuat oleh guru.
Data yang penilaian hasil belajar juga perlu dilaporkan kepada soswa sendiri yang dikenal dalam bentuk raport. Dari raport yang diterima siswa maka ia akan dapat mengetahui hasil belajar yang telah dicapainya serta keunggilan dan kelemahan yang masih dimilikinya dalam penguasaan terhadap suatu mata pelajaran.
Berdasarkan penjelasan terdahulu dapat disimpulkan bahwa data hasil penilaian proses belajar mengajar sangat bernafaat bagi guru, siswa dan kepala sekolah untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan yang masih dimiliki dalam menjalankan tugasnya masing-masing.
Guru akan mengetahui kemampuan dirinya sebagai pengajar, sehingga ia dapat memperbaiki dan menyempurnakan kekurangannya dan mempertahankan atau meningkatkan kelebihannya.
Sedangkan bagi siswa data penilaian itu dapat dijadikan bahan untuk meningkatkan upaya dan motivasi belajar menjadi lebih baik lagi dan bai kepala sekolah dapat memikirkan upaya pembinaan bagi para guru dan siswa untuk menyempurnakan penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang dipimpinnya.

Rangkuman
Kegiatan pembelajaran yang memuat tindak interaksi, antara pembelajar dengan pebelajar berorientasi sasaran belajar, berakhir dengan evaluasi. Kegiatan evaluasi terdiri dari kegiatan evaluasi hasil belajar dan kegiatan evaluasi proses pembelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan evaluasi merupakan bagian integral dari kegiatan pembelajaran/pendidikan.
Evaluasi berarti sebagai proses sistematis merupakan nilai tentang sesuatu hal seperti objek, proses, unjuk kerja, kegiatan, hasil, tujuan dan hal lain, berdasarkan kriteria tertentu melalui penilaian. Evaluasi hasil belajar adalah proses penentuan pemerolehan hasil belajar berdasarkan kriteria tertentu. Dalam penentuan nilai tersebut orang dapat melakukan pengukuran, pembandingan, penilaian dan kemudian keputusan penialian. Evaluasi bersifat bersinambungan dari tahap satu ke tahap lain selama jenajang pendidikan atau sepanjang hayat.
Evaluasi dalam proses pendidikan dituntut memneuhi syarat-syarat berupa (i) kesahihan, (ii) keterampilan, dan (iii) kepraktisan. Untuk memperoleh kesahihan, keterandalan, dan kepraktisan evaluasi tersebut seorang evaluator dituntut mempertimbangkan faktor-faktor yang terkait dalam kegiatan penilaian. Hasil kegiatan evaluasi hasil belajar berfungsi untuk (i) diagnostik dan pengembangan, (ii) seleksi, (iii) kenaikan peringkat belajar, dan (iv) penempatan siswa. Adapaun sasaran evaluasi hasil belajar berorientasi pada perbaikan atau peningkatan kemampuan pada ranah-ranah kognitif, afektif, psikomotorik siswa.
Dalam kegiatan evaluasi hasil belajar seorang evaluator umumnya menempuh tahap-tahap persiapan, penyususnan alat ukur, pelaksanaan pengukuran, pengolahan hasil pengukuran, penafsiran hasil pengukuran, pelaporan hasil pengukuran, dan penggunaan hasil evaluasi.
Evaluasi pembelajaran merupakan suatu proses penentuan nilai, jasa, atau manfaat kegiatan pembelajaran berdasarkan kriteria tertentu melalui kegiatan pengukuran dan penilaian. Evaluasi hasil pembelajaran memiliki fungsi dan tujuan, sasaran dan prosedur tertentu. Pada umumnya fungsi dan tujuan evaluasi pembelajaran berorientasi pada pengembangan pembelajaran dan akreditasi. Adapun sasaran evaluasi pembelajaran tertuju pada tujuan pembelajaran, dinamika pembelajaran, pengelolaan pembelajaran, dan kurikulum. Prosedur evaluasi pembelajaran umumnya terdiri dari lima tahap berupa tahap-tahap penyusunan rancangan, penyusunan instrumen, pengumpulan data, analisis data, dan penyususnan laporan evaluasi pembelajaran. Pada tempatnya seorang guru profesional dapat melakukan kegiatan sebagai evaluator pembelajaran.

Tugas dan Latihan
Kerjakanlah tugas-tugas berikut secara perorangan dan kumpulkan pada dosen pem-bina !
1. Buatlah rangkuman tentang evaluasi pembelajaran berdasarkan bacaan sebelum-nya!
2. Apakah perbedaan antara evaluasi hasil belajar dengan evaluasi pembelajaran !
3. Mengapa guru tidak dapat seorang diri berindak sebagai evaluator evaluasi pem-belajaran !
4. Apa yang harus dicantumkan dalam laporan evaluasi pembelajaran !

FAMILY THERAPY

Februari 12, 2010

BAB I
POLA INTERAKSI KELUARGA

Sebuah keluarga adalah sistem sosial yang alami, dimana seseorang menyusun aturan, peran, struktur kekuasaan, bentuk komunikasi, cara mendiskusikan pemecahan masalah sehingga dapat melaksanakan berbagai kegiatan dengan lebih efektif. Sistem keluarga dipelajari melalui 3 perspektif : Pertama, secara struktural dapat dilihat dengan dyadic yaitu subsistem suami isteri, saudara kandung, dari anak dengan orang tua, dan tryadic yaitu subsistem ibu-nenek-anak perempuan atau ayah, kakek dan anak perempuan. Kedua, secara fungsional adalah bagaimana cara keluarga melindungi, merawat dan mendidik anak. Bagaimana membuat lingkungan fisik, sosial dan ekonomi untuk mendukung perkembangan individu, bagaimana menciptakan ikatan yang kuat dan terpelihara, bagaimana orang tua mendidik anak supaya sukses dikehidupan dunia. Ketiga, secara developmental, keluarga seperti individu, dimana dalam kehidupannya berbagai tugas perkembangan harus dikuasai dan cara baru untuk beradaptasi harus selalu disempurnakan.

MENGADOPSI PERSPEKTIF KELUARGA
Untuk mengatasi permasalahan disfunction behaviour dapat dilakukan dengan metode terapi keluarga. Terapi keluarga adalah cara baru untuk mengetahui permasalahan seseorang, memahami perilaku, perkembangan simtom dan cara pemecahannya. Rancangan kerja terapi keluarga, awal permasalahan yaitu pada apa yang menyebabkan adanya kesulitan hubungan dan tingkah laku individu menjadi tidak bisa dimengerti. Pendekatan terapi keluarga lebih melihat bahwa individulah yang membawa simptom. Individu yang sakit telah menggambarkan adanya ketidakseimbangan di dalam keluarganya. Terapi keluarga fokusnya adalah anggota keluarga lain, membantu untuk memahami masalah sebagai gambaran tidak berfungsinya sistem dalam keluarga.

MEMBANTU MASALAH KELUARGA
Terapi keluarga dapat dilakukan oleh sesama anggota keluarga dan tidak memerlukan orang lain, terapis keluarga mengusahakan supaya keadaan dapat menyesuaikan, terutama pada saat antara yang satu dengan yang lain berbeda.

Berikut ini adalah tipe keluarga yang ada di Amerika :
Tipe Keluaga Anggota Keluarga
Nuclear Family Suami, isteri, anak
Extended Family Nuclear family ditambah kakek, paman, bibi
Blended Family Suami, isteri ditambah anak dari pernikahan sebelumnya
Common Law Family Laki-laki, perempuan, dan mungkin anak yang tinggal bersama sebagai keluarga, meskipun tanpa diikat oleh pernikahan yang sah
Single Parent Family Rumah tangga yang terdiri dari satu orang tua (laki-laki atau perempuan) yang mungkin disebabkan oleh perceraian, kematian, ditinggalkan atau tidak pernah menikah.
Commune Family Laki-laki, perempuan dan anak tinggal bersama, berbagai hak dan kewajiban, memiliki dan menggunakan perabotan bersama, kadang memutuskan untuk melakukan pernikahan monogami.
Serial Family Laki-laki atau perempuan yang telah menikah berkali-kali kemudian mendapatkan pasangan dan keluarga sepanjang hidupnya tetapi hanya sekali memiliki nuclear family.
Composite Family Bentuk pernikahan poligami dimana 2 atau lebih nuclear familiy berbagai suami (poligini) atau isteri (poliandri)
Conabitation Hubungan yang kurang permanen antara 2 orang yang tidak menikah dengan jenis kelamin berbeda yang tinggal bersama tanpa adanya aturan yang sah.
Gay Coupies Pasangan dengan jenis kelamin sama yang membina hubungan homoseksual.

PROSES PERKEMBANGAN KELUARGA
Menurut Carter dan McGoldrick (1980) terdapat siklus kehidupan keluarga. Dengan mengenali fase perkembangan keluarga, kita akan tahu para tiap anggota keluarga dan memahami keluarga sebagai system yang dinamis. Semua anggota keluarga akan mengalami krisis-krisis yang dapat merubah hubungan dengan system keluarga. Hoffman (1980) menyebut gangguan tersebut sebagai discountinous changes – perubahan tiba-tiba yang merubah system keluarga sehingga tidak bisa kembali pada bentuk dan fungsinya semula.

SIKLUS KEHIDUPAN KELUARGA
Setiap fase perkembangan keluarga menurut keluarga menghadapi tugas-tugas baru dan mempelajari teknik adaptasi yang sesuai. Duvall (1977) menggambarkan tipe siklus keluarga dari keluarga utuh dengan lingkaran yang memiliki 8 sektor. Lingkaran ini dapat membantu menempatkan keluarga berada difase yang mana dan memprediksi kapan setiap fase akan dicapai. Perilaku disfungsional pada individu anggota keluarga berhubungan dengan stressor vertical dan horizontal dalam system keluarga. Stresor vertical meliputi pola-pola hubungan dan fungsi-fungsi yang diturunkan antar generasi. Stressor horizontal meliputi kecemasan-kecemasan akibat peristiwa yang dialami sepanjang keluarga melalui siklus kehidupannya.

TUGAS PERKEMBANGAN KELUARGA
Tabel tahap-tahap siklus kehidupan keluarga
Tahap Siklus Kehidupan Keluarga Proses Emosi Transisi : Prinsip Utama Perubahan Sekunder Yang dibutuhkan untuk dapat berkembang
1.Antara keluarga dan
dewasa muda yang
tidak terikat Menerima bahwa harus siap berpisah dengan keluarga a.pembedaan diri dalam hubungan dengan keluarga
asal.
b. Membangun hubungan yang intim dengan sebaya
c. Mapan dalam keluarga
2. Penyatuan keluarga
melalui perkawinan
pasangan pengantin
baru Komitmen dengan system yang baru a. Membantuk sistem keluarga
b. Menyusun kembali hubungan dengan keluarga
luas dan teman dengan melibatkan pasangan
3.Keluarga dengan
anak kecil Menerima anggota baru ke dalam sistem a.Menyesuaikan system dengan memberi ruang
untuk anak
b. Mengambil peran menjadi orang tua
c. Menyusun kembali hubungan dengan keluarga
luas termasuk peran orang tua dan kakek nenek
4.Keluarga dengan
remaja Menambah fleksibilitas dalam ikatan keluarga termasuk memberi kebebasan pada anak a.Mengganti hubungan orang tua-anak dengan
mengizinkan anak keluar masuk system
b. Memfokuskan kembali pada masa perkawinan
pertengahan dan masalah akhir.
c. Mulai fokus pada generasi lansia
5. Pelepasan anak-
anak dan keluarga
harus terus berlanjut Menerima masuk dan keluarnya anak dalam system keluarga a.Menegaskan kembali system perkawinan sebagai
sebuah dyad.
b. Mengembangkan hubungan orang tua anak
sebagai hubungan sesama orang dewasa.
c. Menyusun kembali hubungan dengan melibatkan
mertua dan cucu.
d. Menerima disabilitas atau kematian orang tua
6. Keluarga dalam
kehidupan senja Menerima pergantian peran antar generasi a. Memelihara fungsi dan interes pribadi maupun, pasangan dalam menghadapi penurunan fisik, menemukan peran-peran baru dalam kehidupan keluarga dan sosial.
b. Mendukung generasi kedua menjadi sentral peran
c. Menyediakan ruang untuk kebijaksanaan dan pengalaman para orang tua dalam system, mendukung mereka tanpa diberdayakan secara berlebihan
d. Menerima kehilangan salah satu pasangan, saudara-saudara kandung, atau teman sebaya dan mempersiapkan kematian, mengkaji dan menginterprestasikan kehidupan.

Keluarga-Keluarga Alternatif
Keluarga lainnya seperti single parents dan keluarga inti telah mengalami suatu gangguan pada siklus kehidupan keluarga sebelum menuju tahap perkembanganya. Pentingnya bagi terapis keluarga untuk mengetahui latar belakang etik dan social ekonomi suatu keluarga.
BAB II
KEBERUNTUNGAN DAN KETIDAKBERFUNGSIAN
SISTEM KELUARGA

TEORI SISTEM: BEBERAPA PERTIMBANGAN DASAR
Suatu sistem digambarkan sebagai satu set unit yang saling berinteraksi dengan hubungan antara mereka yang ada didalamnya (Miller, 1978) atau seperti satuan unsur-unsur yang didasarkan pada interaksi (Bertalanffy, 1968). Gray, Duhl dan Rizzo (1969) menjelaskan bahwa teori sistem menghadirkan suatu pendekatan ilmu baru yang menekankan keutuhan, interaksi bagian komponen dan organisasi sebagai pemersatu prinsip. Konsep organisasi adalah dasar dan teori sistem (Steinglass, 1978). Konsep keutuhan terdiri dari dua prinsip pokok teori sistem yaitu sistem terbuka dan tertutup. Sistem terbuka menerima masukan perihal, energi atau informasi dari lingkungan dan mengeluarkannya ke lingkungan. Sistem tertutup tidak mempunyai pertukaran dengan lingkungan; sistem itu hanya beroperasi di dalam batasan-batasannya. Sistem terbuka dikatakan negentropy; yaitu dapat menyesuaikan diri dan terbuka bagi perubahan. Sistem tertutup cenderung ke arah entropy; yaitu dikacaukan dan diperuntukan untuk kekacuan akhirnya. Semua sistem diharapkan mampu memelihara beberapa macam keseimbangan. Homeostatis mengacu pada kecenderungan suatu sistem untuk memelihara keseimbangan dinamis disekitarnya.

BEBERAPA KARAKTERISTIK SISTEM KELUARGA
Aturan Keluarga
Suatu keluarga adalah aturan sistem yang diatur, interaksi anggota keluarga mengikuti aturan, menetapkan pola teladan.

Homeostatis Keluarga
Dalam terminiologi keluarga, homeostatis mengacu pada keramahan, menopang proses interaksi yang berlangsung di dalam suatu keluarga dan membantu menyakinkan keseimbangan internal.

PERUBAHAN PERAN PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI
Dimensi psikologis dalam peran perempuan dan laki-laki

Peran perempuan
1. Oriantasi rumah, orientasi anak
2. Kehangatan, emosi, kelembutan, penawaran
3. Tenggang rasa, bijaksana, berbelas kasih
4. Suka murung, temperamental, emosional tidak masuk akal.
5. Keluhan, mengomel.
6. Lemah tanpa mengharapkan, mudah secara emosional luka.
7. Bersikap tunduk, bergantung

Peran laki-laki
1. Ambisi, kompetisi, mencoba usaha baru, duniawi
2. Tenang, stabil, tak berperasaan, realistas, logis
3. Kuat, tabah
4. Agresif, kuat bersifat menentukan, dominan
5. Bebas, percaya diri
6. Kasar, menjengkelkan, kejam
7. Otokritas, kaku, angkuh

FUNGSI DAN DISFUNGSI SISTEM KELUARGA
Mengelompokan fungsi keluarga

Tipologi keluarga kantor & Lehr’s
Menurut Kantor & Lehr’s (1975) ada tipe keluarga yakni terbuka, tertutup dan random yang mencakup bentuk struktur hubungan keluarga internal dan akses untuk menyesuaikan dengan dunia luar. Dalam tipe keluarga terbuka, menekankan demokratis, kejujuran. Fleksibilitas tercermin pada keluarga ini, negosiasi antar anggota keluarga dapat dilakukan, dan diharapkan adanya loyalitas antar anggota keluarga. Dalam tipe keluarga tertutup, aturan dan struktur hirarki diterapkan, orang tua membatasi pergaulan anaknya, semua kegiatan dirumah dipersiapkan mulai nonton acara TV dan sebagainya. Pada tipe ini, keluarga mempunyai jadwal tersendiri untuk diterapkan. Tujuan dari tipe keluaga ini adalah untuk stabilitas yang sesuai dengan tradisi sedangkan tipe keluarga terbuka, lebih mengarah pada penyesuaian jaman. Struktur keluarga random menekankan aturan namun hanya aturan tertentu yang harus dijalankan. Jadwal makan jarang ditentukan karena disesuaikan dengan aktivitas anggota keluarga. Tujuan dari tipe keluarga ini adalah eksplorasi melalui intuisi.

Model Olson’s Circumplex
Penelitian David menemukan model integratif dari fungsi keluarga yang berdasarkan pada dimensi keluarga yakni kohesi dan kemampuan untuk menyesuaikan. Kohesi adalah keterikatan emosional antara anggota keluarga dan otonomi individu dalam sistem keluarga. Kemampuan adaptasi adalah kemampuan anggota dalam sistem keluarga untuk mengubah struktur, aturan dan peran dalam hubungunnya untuk merespon situasi. Olson dan koleganya berpendapat bahwa keseimbangan antara dimensi ini lebih diperlukan untuk mencapai perkawinan yang efektif.

Paradigma keluarga Reiss’s
Penelitian Reiss’s menemukan bagaimana keluarga mengembangkan paradigma keluarga dan apa yang terjadi jika paradigma tersebut dirusak. Reiss (1981) membedakan 3 dimensi dengan karakteristik paradigma keluarga yakni ”konfigurasi” (level keluarga yang percaya bahwa dunia sudah menjadi sifat seperti yang telah ditentukan), ”koordinasi” (tingkat kepercayaan bahwa lingkungan mempunyai efek yang sama terhadap semua anggota keluarga) dan ”closure” (variasi persepsi keluarga tentang peristiwa yang familiar kemudian diinterprestasikan atas dasar pengalaman yang lalu).

Fungsi tingkat Beavers’s
Penelitian Lewis, Beavers, Gossett & Phillips (1976) melihat kekuatan dan kelemahan anggota keluarga untuk mengidentifikasi interaksi dalam sistem keluarga yang sehat untuk menjalankan fungsi-fungsinya secara optimal. Fungsi keluarga yang baik adalah anggota bersedia untuk berhubungan dengan anggota keluarga yang lain. Mereka mengharapkan adanya kepedulian, keterbukaan, empati dan kepercayaan. Sedangkan anggota keluarga yang disfungsional biasanya bersifat menolak, menjaga jarak dan bermusuhan. Keluarga yang berfungsi tinggi, anggotanya lebih peduli pada kemandirian pribadi dan mengembangkan sikap toleransi. Keluarga disfungsional, anggota keluarga merespon yang lain dengan sikap pasif dan lemah.
Persaingan dan konflik yang tersembunyi antara anggota keluarga disfungsional akan menyebabkan frustasi. Ketika anak tumbuh pada suatu lingkungan keluarga yang mengalami pergeseran, mereka mempelajari peran yang strereotype dalam mengembangkan identitas. Ketika mereka beranjak remaja maka akan memisahkan diri dari keluarga dan sikap keluarga dapat dibedakan menjadi centripental dan centrifugal (Stierlin, 1972). Centripental merupakan kecenderungan anggota keluarga untuk terlibat satu sama lain sedangkan centrifugal menandakan kenyamanan saat proses melepaskan terjadi. Pada keluarga disfungsional dengan gaya centripental, menurut Beavers, remaja memandang keluarga sebagai hal yang harus memenuhi kebutuhan mereka dibanding dengan lingkungan luar keluarga.

BAB III
TANDA-TANDA DISFUNGSI KELUARGA

Krisis memberikan kesempatan bagi keluarga untuk berkembang menjadi lebih baik dan mempunyai bekal menghadapi tantangan ke depan. Kita kemudian menguji beberapa tanda umum perilaku difungsi dalam keluarga : pola komunikasi yang patologis, keterlibatan dan menjaga jarak, korban kekerasan dalam keluarga, penyalahgunaan peran dalam keluarga, berakhir dengan menetapkan mitos-mitos keluarga.

STRESS HIDUP DAN KRISIS KELUARGA
• Stres berhubungan dengan transisi dalam perputaran kehidupan keluarga atau perubahan mendadak yang dapat mengarahkan pada krisis keluarga yang menantang bagi stabilitas keluarga.
• Keluraga akan kurang mempunyai pengalaman hidup bila tanpa kesulitan, ketegangan, dan pengalaman kegagalan. Bahkan keluarga yang paling tenang sekalipun kadangkala harus berurusan dengan masalah. Menninger (1963); krisis dalam keluarga sebagai suatu rangkaian kemarahan, perubahan, trauma, atau sesuatu yang tidak disangka.

Krisis Perkembangan
• Krisis terkait pada tugas langsung dari fase perkembangan keluarga. Pada keluarga yang tidak memiliki anak, krisis bisa diatasi ketika bayi lahir yang kemudian mengubah peran mereka, kebebasan bergerak, dan status ekonomi. Terkadang orang tua bisa melakukan tugas mengasuh anak dengan baik, namun gagal memberi support dan dorongan ketika anak mulai masuk sekolah. Pada keluarga lain, orang suka sangat mampu dan menikmati bermain dengan anak, namun tidak mampu menawarkan kepemimpinan dan bimbingan yang penting saat anak mencapai remaja.

• Shapiro (1967) meneliti pelajar muda dan keluarga secara individual maupun terapi keluarga dan menemukan bahwa hubungan orang tua anak berperan dalam membentuk identitas atau kebinbangan identitas, identitas ini penting dalam menentukan gangguan pada remaja yang menjadi konsekuensi keluarga.

Krisis Situasional
• Krisis situasional dapat terjadi dengan tiba-tiba dan merusak inti perkembangan keluarga. Sumber krisis ini diantarannya : keguguran, perkosaan, perpisahan, kematian anggota keluarga, bunuh diri, dll.
• Tiap krisis menjadi inspirasi bagi anggota keluarga untuk mengembangkan gaya baru untuk kopling.

POLA KOMUNIKASI PATOLOGIS
Kecacatan Komunikasi : Konsep dari Penyimpangan Komunikasi
• Fungsi keluarga yang efektif mengharuskan berkembangnya komunikasi yang mapan, jelas dan terpelihara.
• Komunikasi yang sehat mengharuskan 2 orang atau lebih, untuk berusaha berbagi kebersamaan fokus perhatian dan memaknai arti berbagai selama proses komunikasi.
• Dalam komunikasi keluarga diam dan menghindari kontak mata ketika orang lain bicara merupakan pesan yang berarti.

Komunikasi Paradoksial : Konsep Double – Blind
• Komunikasi paradoksial adalah komunikasi yang bergerak dalam 2 arah dan tidak konsisten pada waktu yang sama (Steinglass : 1976)
• Pesan double-blind dapat merusak komunikasi paradoksial satu orang mengungkapkan pernyataan kepada yang lain yang secara simultan berisi 2 pesan atau permintaan yang secara logis tidak konsisten dan berlawanan.

Penyamaran Komunikasi : Mistifikasi
• Mistifikasi : Laing (1965) ; gamaran bagaimana keluarga mengatasi konflik dan pertentangan melalui kebingungan, ketidakjelasan atau menutupi apapun yang terjadi diantara anggotanya.

KOMUNKASI TERPOLA: HUBUNGAN SIMETRIS DAN
KOMPLEMENTER
• Hubungan simetris; partisipan saling menjadi cermin perilaku satu sama lain, jika A membual, B membual lebih besar. Hubungan komplementer, perilaku satu pasangan akan melengkapi yang lain ; jika A asertif, B menjadi patuh (Baterson, 1958)
• Hubungan simetris bersifat sejajar dan minim partisipan, juga menjadi bersaing, aksi tiap pasangan mempengaruhi reaksi pasangannya pada efek spiral yang disebut eskalasi simetris.
• Hubungan simetris dan komplementer umum pada keluarga yang normal; namun tidak pada yang patologis. Misal pada eskalasi simteris dapat mengubah pembicaraan pada perubahan yang buruk yang menyisakan partisipan secara fisik dan emosi menjadi kering. Pasangan bisa berbalik menjadi pola dominan-pengalah dalam rangkaian perubahan sodomasochistis yang pada akhirnya merusak harga diri dari keduanya.

Keterlibatan dan Pengingkaran Janji
• Banyak sistem keluarga yang terpuruk antara keterlibatan (batas yang dikuburkan dan pengingkaran janji (batas yang kaku dan komunikasi antara sub-sistem yang sulit).
• Keterlibatan adalah bentuk dari kedekatan dan interaksi keluarga yang anggotanya sangat perhatian dan saling terlibat. Keluarga yang menjaga jarak berfungsi secara terpisah tidak loyal pada keluarga, dan kurang saling bergantung.

Penyimpangan – Produk Keluarga
• Ekstrim dari keterlibatan dan menjaga jarak (atau alternatif dari keduanya menentukan karakter interaksi keluarga, yang memunculkan penyimpangan dalam keluarga.

Keluarga Psikosomatis
• Elemen psikosomatis yang memperburuk simptom dengan cepat adalah tekanan emosi seperti misalnya anak yang mendapatkan bimbingan orang tua. Keluarga yang memiliki masalah dalam perkawinan yang mengakibatkan penyakit asma pada anak. Serangan ini sesungguhnya merupakan penangkisan terhadap masalah orang tuanya.

Batasan-Kekerasan dalam keluarga
• Inti dari konsep batasan disini adalah pengalaman terhadap keterlibatan atau ketidaksetujuan pada suatu perilaku dalam keluarga. Keluarga dengan batasan yang kaku cenderung akan membuat anggotanya memilih jalan masing-masing.
• Pada keluarga patogenik yaitu kelurga yang menghasilkan suatu perilaku disfungsional, salah satu atau kedua orang tua dan anak yang membuat peraturan yang tidak tepat/pantas yang seolah-olah mereka hanya punya satu karakter kepribadian, misalnya si pemalas atau si egois.

Korban Kekerasan
• Korban adalah seseorang yang mengembangkan simptom yang biasanya digunakan untuk mengidentifikasikan klien yang membawa penyimpangan pada seluruh anggota keluarga. Korban muncul sebagai akibat dari suatu proses. Tidak peduli korban itu merupakan korban dari perlakuan orang lain atau tidak. Semua anggota termasuk si korban merupakan orang yang berpartisipasi dalam proses.

KEKERASAN KELUARGA
• Pada episode kekerasan keluarga, tekanan, intensitas, persaingan, dan kontrol yang hilang semuanya bersumber dari ketidaknyaman individu atau dari sikap agresi yang tidak terpecahkan dari sipelaku.

Keluarga dan Hakekat Penyiksaan
• Teori sistem berasumsi bahwa tiap anggota keluarga memiliki peran dalam perilaku disfungsional dari anggota keluarga yang mengalami gangguan. Pada kasus kecanduan alkohol dan ketergantungan terhadap obat-obatan, perilaku individu akan dengan cepatnya bergema dalam keluarga.

Mitos yang menetap pada Keluarga
• Dalam keluarga, mitos dibagi keseluruh anggota keluarga, membantu dalam berinteraksi, melengkapi aturan. Seperti misalnya ; para pria disatu keluarga yang menyatakan bahwa mereka merupakan orang-orang cerdas pada keluarga tersebut dibanding para wanitanya yang lebih sering menggunakan emosi.

Pseudomutuality dan Pseudohostility
• Pseudomutuality adalah mereka yang melakukan usaha yang kuat untuk memelihara penampilan dalam hubungan, ilusi yang terbuka dan empati dalam interaksi dengan orang lain. Jika hal ini nyata mereka malah menjaga jarak dengan yang lain.
• Pseudomutually adalah karakter yang disetting keluarga dimana skizoperina berkembang

BAB IV
DASAR DAN PERKEMBANGAN FAMILY THERAPY

Chapter ini memaparkan sejumlah model teoritis yang menjadi dasar berkembangnya bentuk-bentuk terapi keluarga. Goldenberg dan Goldenberg (1983) menekankan pada lima pendekatan ilmiah dan perkembangan klinis yang memprakarsai famili terapy.
Kelima pendekatan tersebut adalah :
1) Eksistensi treatment psikoanalitas terhadap masalah-masalah emosi, termasuk pola interaksi keluarga yang menyeluruh.
2) General system theory yang menekankan pada interaksi dari suatu bagian yang memiliki keterkaitan dengan sistem secara menyeluruh.
3) Investigasi pada peran keluarga terhadap anggota keluarga yang menderita schizopherina,
4) Evolusi dalam hal child guidence, dan marital counseling serta
5) Meningkatnya minat terhadap teknis klinis yang baru seperti terapi kelompok.

Psikoanalisis
Psikoanalisis merupakan suatu teknik terapi yang diprakarsai oleh Sigmund Freud, yang akhirnya menjadi ideologi yang dominan dalam dunia psikiatri di Amerika. Freud berpendapat bahwa hubungan keluarga (family relationship) sangat mempengaruhi karakter seseorang, khususnya dalam perkembangan simpton-simpton perilaku. Dalam hal ini, Freud mengelaborasi pandanganya tentang perkembangan psikoseksual pada anak dan penggunaan defence mechanisme sebagai dorongan ketidaksadaran dari ego, yang tampak pada orang yang mengalami gangguan afeksi yang disebabkan oleh anxiety. Disamping itu, Freud percaya bahwa resolusi yang tidak adekuat pada setiap tahap perkembangan psikoseksual dapat menyebabkan perilaku neurotik, misalnya phobia. Terapi yang diperkenalkan oleh Freud ini merupakan terapi yang berorientasi individual.

Ackerman mengkaji tentang peran keluarga sebagai suatu unit psikososial yang dinamis yang mempengaruhi para anggotanya. Ia mengelaborasi konsep psikoanalisis (interaksi yang bersifat konstan diantara dorongan biologis pada diri seseorang) dan konsep sistem (lingkungan sosial) dalam mengembangkan terapi keluarga. Tokoh psikoanalisis yang juga berpengaruh terhadap perkembangan terapi keluarga adalah Adler dan Sulivan.

General System Theory
General system theory merupakan upaya untuk menghasilkan suatu model teori yang komprehensif yang mencakup seluruh sistem kehidupan, suatu model teori yang relevan untuk semua ilmu perilaku. GST ini diprakarsai oleh Ludwig Von Bertalanffy, yang menggambarkan suatu framework tentang fenomena yang nampaknya tidak berhubungan sebagai komponen dari suatu ”self-regulating” dari sistem secara keseluruhan dengan mekanisme umpan balik untuk mengembangkan proses. Konsep ini diterapkan dalam system keluarga, yang berfokus pada bagaimana bentuk sebagian dari keseluruhan, bagaimana bagian-bagian tersebut diorganisasikan pada berinteraksi.

Schizophrenia dan Family Therapy
Terkait dengan penderita schizopherina, telah banyak ahli yang melakukan investigasi tentang peran keluarga terhadap anggota keluarga yang menderita schizopherina, antara lain : Lidz dan Lidz (1949) dalam invesgasinya terhadap ibu penderita schizopherina, menemukan bahwa terdapat kondisi yang baik adekuat dan mengindikasikan adanya gangguan psikologis pada relasi antara ibu dengan anak. Senada dengan itu, investigasi yang dilakukan oleh Browen tentang hubungan simbiotik antar ibu dan anak, Wyne tentang pseudomutuality juga menunjukan bahwa schizopherina secara etilogi terjadi karena adanya disfungsi peran keluarga dan pola interaksi dalam keluarga.

Marital Counseling dan Child Guidance
Marital counseling dan Child guidance pada umumnya ditandai dengan adanya famili therapy, yang didasari oleh konsep bahwa gangguan psikologis yang muncul akibat adanya konflik diantara orang yang berasal dari konflik yang terjadi di dalam diri seseorang. Pendekatan ini akan afektif apabila treatment diberikan simultan kepada pasangan marital (ibu dan ayah) atau pasangan orang tua dengan anak.

Group Therapy
Group therapy telah dipraktekan sejak permulaan abad 20 akan digunakan setelah perang dunia kedua. Penggunaan proses kelompok psikoterapi diawali oleh seseorang psikiatris asal Austria Jacob Moreno sekitar tahun 1910, dengan melakukan teknik terapi dan drama yang dikombinasikan menciptakan psychodrama. Teknik ini masih digunakan sampai saat ini. hal ini dipercaya bahwa dalam proses terapi perlu untuk melukis kembali berbagai interpersonal yang mungkin telah mendorong munculnya kesulitan psikologis. Pada dasarnya praktek group therapy merupakan prinsip suatu kelompok kecil dapat bertindak sebagai pembawa perubahan dan betul-betul mempengaruhi pilihan yang perlu dipertimbangkan oleh anggotanya.

PERKEMBANGAN DALAM FAMILY THERAPY
Berdasarkan stimulasi oleh penelitian research-oriented dari keluhan keluarga dengan anggota yang schizohreic, terapi keluarga ini dimulai bergerak tahun 1950-an. Pendiri terapis keluarga pada dekade itu telah dihubungkan dalam tahun 1960-an oleh terapis yang bersifat individual – oriented, yang tertarik dengan baru mengkonseptualisasikan dan memperlakukan perilaku disfungsional. selama besar temuan diperoleh dari penelitian keluarga, selama ini klinis kerepotan melakukan praktek berkaitan dalam proses, mereka menciptakan beberapa hal baru untuk intervensi keutuhan keluarga.

Teknik ini bergerak lebih cepat dari teori dan riset baik selama teknik terapi yang inovatif memperkenalkan pendekatan perilaku untuk masalah-masalah family-oriented. Perkembangan pada bidang ini diarahkan pada awarness dan self-evalutiaon. Di tahun 1980-an marital therapy dan family therapy adalah suatu bidang nyaris disatukan. Praktisi dari berbagai disiplin ilmu “family therapist” terutama identifikasi profesional. Sekarang ini penekannya masalah-masalah perlakuan dalam proses konteks hubungan dibanding individu yang bekerja secara terpisah. Kebangkitan kembali dari minat akan keluarga dan hubungannya dengan penelitian klinis keluarga dan praktek family therapy.

BAB V
PERSPEKTIF TEORITIS
PSIKODINAMIKA DAN MODEL HUBUNGAN

Pendekatan terapi keluarga dibagi menjadi enam kelompok yaitu : psikodinamika, eksistensial/humanistik, Bowenian, struktural, komunikasi dan perilaku. Perbedaan penting dalam orientasi teoritis, adalah penekanan dalam intervensi pada masa lalu; atau masa sekarang, apakah yang berperan kesadaran atau ketidaksadaran, fungsi utama dari terapis, kesatuan analisis dan treatmen untuk mencapai tujuan. Perbedaan itu dapat dilihat pada tabel berikut :

Dimensi Psikodinamika Humanistik / Experential Bowenian Structual Communcation Behavior
Kerangka waktu utama Masa lalu : pengalaman pada masa kecil terbuka Sekarang : data kini dan disini dari pengalaman yang diobservasi langsung Mengutamakan masa kini, meskipun juga memperhatikan latar belakang keluarga Kini dan masa lalu : struktural keluarga yang sekarang dipengaruhi oleh pola-pola transaksional sebelumnya Kini masalah atau gejala-gejala yang ada sekarang, dipelihara oleh pengulangan hubungan antar personal Kini : masalah atau gejala-gejala yang ada sekarang, dipelihara oleh pengeluaran hubungan antar personal
Peranan proses-proses tak sadar Konflik dari masa lalu yang tidak terselesaikan, akan nampak pada perilaku sadar seseorang secara kontinyu untuk menghadapi situasi dan objek yang ada sekarang Pilihan bebas, dan menentukan dengan kesadaran Konsep awal memicu konflik bawah sadar Pengulangan kebiasaan yang dipelajari lebih penting daripada ketidaksadaran Peran-peran keluarga, keseimbangan homostatis menentukan perilaku Perilaku bermasalah dipelajari dan dipelihara oleh konsekuensinya
Fungsi utama terapi Netral membuat interprestasi terhadap pola perilaku individu dan keluarga Fasilitator aktif pada potensi-potensi pertumbuhan Langsung tapi tidak konfrontatif Pengarah tingkatna : memanipulasi perubahan keluarga Aktif, manipulatif Direktif, guru, trainer atau model pada perilaku yang diharapkan negosiator kontrak.
Unit analisis Individu Diadik Keluarga dalam beberapa generasi Triadikoalis, subsistem, keterikatan, kekuasaan Diadik dan triadik Diadik
Tujuan treatmen Insght, kematangan psikologis, menekankan pada fungsi ego hubungan objek yang lebih memuaskan Pertumbuhan, interaksi yang lebih bermakna, komunikasi yang jelas, kesadaran yang lebih bagus, keotentikan. Memaksimalkan self differensiation dari semua anggota keluarga Berubah dalam konteks hubungan untuk merestrukturisasi organisasi keluarga dan mengubah pola transaksional yang tidak berfungsi Mengubah perilaku disfungsional dan rangkaian perilaku yang tidak diinginkan antara anggota keluarga untuk mengurangi timbulnya masalah dan sympton-sympton Berubah dalam konsekuensi perilaku antara individu untuk mengurangi masalah perilaku maladaptif.

Sudut pandang psikodinamika sebagian besar mendasarkan pada model psikonalisis. Menurut pendekatan ini, dua individu yang disatukan dalam pernikahan. masing-masing membawa sifat psikologis yang berbeda dan unik. Latar belakangan dan pengalaman masing-masing anggola keluarga sebagai salah satu unit dalam keluarga. Terapi ini melihat sejauh mana individu masih berhubungan dengan masa ialunya. Tekanan pada pasangan dalam pemikahan bertiubungan dengan pathogenic introjects yang dibawa oleh masing-masing individu dalam hubungan ini.
Nathan Ackerman, seseorang yang mempelopori terapi keluarga. mencoba untuk mengintegrasikan teori psikoanalisis (dengan orientasi dalam tubuhnya) dan sistem teori (yang menekankan hubungan antar pribadi). la memandang bahwa tidak berfungsinya keluarga merupakan kagagalan di dalam poran yang menyeluruh diantara anggota dan sebagai produk dari konflik yang belum terselesaikan (di dalam dun di antara individu dalam sebuah keluarga) dan prasangka sebagai kambing hitam. Terapi berusaha diarahkan untuk membebaskan dari penyakit. James Framo, generasi pertama terapis keluarga yang lain, percaya bahwa konflik intrafisik tidak diperoleh dari keluarga asal, terlihat dalam wujud proyeksi ke teman akrab atau bersikap seperti anak-anak. Menggunakan pendekatan suatu obyek-hubungan, Frarrto menitikberatkan dirinya sendiri sebagai pembahasan dan memindahkan introjects, riil dalam proses ia melihat pasangan yang sendiri, kemudian dalam kelompok berpasaugan, dan akhimya menggunakan bagian terpisah dengan masing-masing pasangan dan anggota laki-laki atau perempuan keluarga asal.
Ivan Boszormenyi-Nagy dihubungkan dengan pusat pada transgenerational warisan dan bagaimana pengaruh masa lalu bertiubungan dengan funpsi dalam semua anggota keluarga. Dalam pandangan ini, keluarga mempunyai kewajiban kesetiaan berakar dalam generasi masa lampau dan tanggung jawab yang seimbang. Boszormenyi-Nagy menyatakan pendekatan terapi termasuk untuk membangun kembali tanggung jawab, perilaku yang dapat dipercaya, dengan mempertimbangkan pemberian judul dari semua hal yang terkait. Helm Stierlin, pendekatannya berkaitan dengan bagaimana keluarga yang mengalami penyakit skizofrenia, berusaha mengidentifikasi pasien untuk keluardari permasalahan dasarmereka.
Robin Skynner berpendapat bahwa orang dewasa dengan berbagai kesulitan hubungan sudah mengembangkan harapan tidak realistis dari yang lain dalam wujud sistem bersifat provcksi yang dihubungkan dengan kekurangan pada masa kanak-kanak. Pasangan dalam perkawinan, sering bertentangan dengan sistem proyeksi, usaha menciptakan situasi dalam perkawinan dimana situasi pengalaman yang hilang dapat disediakan, kekurangan yang ditengahi kembali oleh pasangan yang lain, tak bisa diacuhkan. Frustrasi tidak bisa dibiarkan, pasangan boleh mengarahkan proyeksi ini ke seorang anak, yang merupakan gejala simtomatik Skynner berusaha melakukan terapi, dengan versi yang diperluas, usaha untuk memudahkan perbedaan antara pasangan perkawinan menjadi lebih mandiri.
John Bell, seorang pendiri terapi keluarga, menggunakan dasar pendekatan pada teori psikologi sosial tentang perilaku kelompok kecil. Pendekatan terapi kelompok keluarga saling berinteraksi; la memudahkan komunikasi menjelaskan dan menginterpretasikan, untuk memimpin terapi kelompok yang akan lakukan. Di tahun terakhir, Bel telah mengarahkan perhatiannya untuk membantu menciptakan keluarga-meningkatkan lingkungan atas pertolongan suatu teknik intervensi yang berupa konteks dalam terapi keluarga.

BAB VI
THEORETICAL PERSPECTIVES:
EXPERIENTIAL / HUMANISTIC MODEL

THE EXPERIENTIAL MODEL
Semua experiential therapists sepakat untuk menggunakan pendekatan yang menekankan pada kondisi sekarang atau yang sedang terjadi. Tokoh yang menggunakan perspektif ini adalah Carl Whitaker (1976), Kempler (1981), Kaplan & Kaplan (1978). Penekanan mereka terhadap : here-and-now situasi yang terbuka dari waktu ke waktu antara terapis yang aktif dan perhatian dengan sebuah keluarga. Interaksi antar anggota keluarga dan dengan terapis adalah usaha yang dilakukan untuk membantu setiap oranc menghadapi masalah untuk mengeMbangkan lebih banyak kesempatan untuk-bebas berperilaku. Para terapist memberikan pengalaman daripada menggunakan insight dan interprestasi. Menyediakan kesempatan bagi anggota keluarga untuk membuka diri mereka sendiri secara spontan, bebas berekspresi, dan berkembang secara personal.
Pengalaman interpersonal merupakan stimulus utama untuk mengembangkan pendekatan psikoterapi ini.

EXPERIENTIAL / SYMBOLIC FAMILY THERAPY (Whitaker)
Asumsi dasar yang menjadi konsep dalam penerapan terapinya adalah
bahwa keluarga diubah sebagai hasil dari pengalaman moreka, tidak seluruhnya
dari pendidikan. Karena kebanyakan dari pengalaman kita terjadi diluar
kesadaran kita, kita hanya dapat memperoleh pesan secara non verbal atau
berupa symbol, stfatnya tidak teiap letapi dampak prosesnya terjadi dalam
keluarga. . …
Whitaker menggunakan pendekatan nonteorites di dalam terapinya. la lebih menekankan pada proses sesuatu yang terjadi selama tahapan keluarga, dan bagaimana setiap orang (partisipan) mengalami perasaan-perasaan dan perubahan perilakunya.

Menurut Whitaker, terapi keluarga terdiri dari boberapa tahapan yang meliputi: (1) pre-treatment phase, seluruh komponen dalam keluarga diharapkan memberikan kontribusi dan berpartisipasi dalam proses terapi (2) mid-phase. meningkatkan ke’terlibatan dalam perkembangan keluarga, (3) late phases pada terapan ini fleksibilitas dalam keluarga ditingkatkan dengan meminimalkan intervensi dari kelompok terapi, dan (4) separation phase, para terapis dan family part, tetapi dengan pengakuan terhadap mutual interdependence and loss.

GESTALT FAMILY THERAPY (Kempler)
Pendekatan gestalt menekankan pada pengorganisasian diri secara menyeluruh. Keseluruhan dari diri seseorang harus dijaga dan dapat diintegrasikan. Dalam proses pencapaian secara menyeluruh, aspek-aspek kepribadian yang tidak terlihat diidentifikasi dan diperoleh kembali. Self-awareness diartikan sebagai perubahan yang diselesaikan. Kecenderungan self-defeating hams dikenali, menghilangkan hambatan emosional terhadap self-understanding, mengekspresikan kondisi-kondisi yang dirasakan. Meningkatnya kesadaran diri, berimplikasi terhadap sense of self-direction. Pendekatan gestalt menganggap bahwa pengalaman sepanjang hidup dan observasi terhadap orang lain merupakan proses internalisasi nilai-nilai yang dinginkan dalam hidup seseorang. Ketika sumber daya yang ada dalam diri seseorang mampu dimobilisasi, maka hal ini diasumsikan sebagai sarana/untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupannya.
Peran seorang terapis dalam terapi gestalt adaiah membantu klien menyadari bagaimana mereka memanfaatkan sumber daya yang tidak efektif dan menemukan apa yang menghambat usaha mereka untuk mencapai tujuan, seorang terapis tidak menjelaskan kepada klien mengapa mereka melakukan cara tertentu. Gestalt family therapy menunjukkan usaha untuk memadukan prinsip-prinsip dan prosedur dalam keluarga dan terapis gestalt dalam usaha membantu seseorang (anggota keluarga) untuk mencapai cara yang biasanya dilakukan untuk memberdayakan diri, defenses, dan facades. Seseorang mampu menyadari kebermaknaan dirinya dan mampu mengekspresikan perasaan-perasaannya. Idealnya, anggota keluarga menyadari hubungan saling mempengaruhi antara dirinya dengan orang lain, dan keluarga dapat mempelajari cara baru untuk bekerja dan hidup bersama.

THE HUMANISTIC MODEL
Orientasi para terapis yang menggunakan pendekatan humanistic menekankan pada konsep yang mengatakan bahwa disfungsi perilaku merupakan hasil dari adanya hambatan dalam masa pertumbuhan, hal ini disebabkan karena adanya kegagalan dalam mengaktualisasikan potensial diri mereka sebagai gambaran adanya masafah psikologis. Pada umumnya, mereka mengartikan kematangan seseorang dilihat dari segi kemampuan untuk membuat pilihan secara rasional terhadap apa yang mereka minati dan kemampuan seseorang untuk merencanakan masa depannya. Pendekatan humanistic menganggap bahwa pertumbuhan adalah proses alami dan spontan yang terjadi pada semua human being yang dipengaruhi oleh lingkungan. Gangguan psikoiogis merupakan gambaran adanya kegagalan dalam mengaktualisasikan potensi untu.’c berkembang. Terapis humanistic berperan dalam memperkaya pengalaman kelusrga dan mengajarkan kepada setiap
anggota keluarga untuk menyadari keunikan dan potensi mereka yang luar biasa.

PENDEKATAN PROSES / KOMUNIKASI (Satir)
Satir (1982) mengidenlifikasi pendekatannya sebagai “model proses” dimana para terapis dan keluarga bekerja sama untuk menstimulasi proses health-promoting dalam keluarga. Pengalaman Satir dalam menerapkan terapinya sangat terkenal didunia. Pendekatan yang digunakan dalam menyatukan keluarga diawali dengan usaha mengklarifikasi adanya ketidaksesuaian dalam proses komunikasi diantara anggota keluarga dengan menggunakan pendekatan humanistic dalam usaha membangun self-esteem dan self-worth pada semua anggota keluarga. Dengan meyakini bahwa human-beings yang ada dalam diri setiap manusia merupakan sumber daya yang mereka butuhkan untuk mencapai kemajuan. Satir memandang bahwa salah satu tugasnya adalah membantu orang-orang untuk menggali potensi yang mereka miliki dan mengajarkan orang untuk menggunakan potensinya secara efektif.

BAB VII
PERSPEKTIF TEORI: MODEL BOWENIAN

Murray Bowen mencoba menjembatani antara pendekatan yang berorientasi pada psikodinamika, yang menekankan pada perkembangan dini, isu-isu antar generasi, dan arti dari masa lalu, dengan system pendekatan yang membatasi perhatiannya pada unit di masa kini dan pengaruh-pengaruh terkini.

TEORI SISTEM KELUARGA
Murray Bowen hingga hari ini masih menjadi seorang figur kunci dalam perkembangan terapi keluarga. Bowen menekankan pentingnya teori untuk penelitian, tujuan penibelajaran dan sebagai blueprint dalam psikoterapi klinis. la prihatin dengan apa yang ia anggap sebagai kekurangluasan teori perkembanagan keluarga. maupun pendekatan lerapiutiknya. Ia melihat hubungan antara teori dan praktek sangat lemah

8 KONSEP YANG SALING BERKAITAN
Bowen berpendapat bahwa keluarga mcrupakan system hubungan emosional yang memiliki 8 konsep yang saling berkaitan. 8 kekuatan yang membentuk fungsi keluarga tersebut meliputi:
1. Perbedaan diri atau individu
2. Triagulasi
3. Sistem emosional keluarga kecil
4. Proses proyeksi keluarga
5. Pemutusan emosi
6. Proses penularan multigenerasi
7. Posisi saudara kandung
8. Regresi masyarakat

PERBEDAAN DIRI
– Landasan teori Bowen adalah konsep perbedaan diri, yaitu tingkat perbedaan intelektual dan emosional anggota keluarga. Menurut Bowen, tingkat perbedaan diri ditentukan oleh kemampuan individu dalam membedakan fungsi intelektual dan emosi. Mereka yang perpaduan emosi dan intelektualnya kurang baik, akan cenderung mudah emosi dan menjadi merasa tidak berguna meskipun stress yang dialami pada level yang rendah.
– Bowen mengenalkan konsep tidak adanya perbedaan ego keluarga, yang diambil dari teori psikoanalisis. Konsep ini menyatakan bahwa ada saling ketergantungan dan kedekatan emosi antar anggota keluarga, dimana mereka saling tahu perasaan, khayalan dan impian satu sama lain. Kedekatan ini menurut Bowen, dapat mengakibatkan ketidaknyamanan yang pada akhirnya mencapai fase saling menolak di antara anggota keluarga. Atas desakan kematangan dan aktualisasi diri, individu dituntut untuk memutuskan kelekatan emosi dengan keluarga asal mereka. Kemudian muncullah perbedaan diri.
– Bowen menjelaskan level perbedaan diri dengan membuat skala sebagai berikut :
• Skala 0 – 25 Orang yang emosinya sangat dipengaruhi oleh emosi keluarga dan orang lain, perasaannya lebih dominan dibanding pikirannya.
• Skala 25 – 50 Reaksi emosi masih terbimbng oleh orang lain. Dalam menyelesaikan masalah masih butuh orang lain.
• Skala 50 – 75 daya pikimya sudah cukup berkembang dan tidak lagi didominasi perasaan ketika menghadapi stress.
• Skala 75 – 100 Sudah dapat memisahkan antara pikiran dan perasaan. Keputusan-keputusan yang diambil sudah bebas dari pengaruh kedekatan keluarga.

TRIANGULASI
– Teori Bowen juga mendasarkan pada kecemasan atau tegangan emosi dalam kaitannya dengan orang lain. Oleh karena itu menurut Bowen, dasar yang menghalangi system emosi keluarga adalah triangulasi.
– Dalam menghadapi stress, dua orang anggota keluarga cenderung untuk melakukan perekrutan anggota baru atau membentuk triangulasi, mencari anggota ketiga, untuk mengurangi intensitas stress dan memperoleh kembali stabilitas. Contohnya ketika dua saudara kandung bertengkar, orang tua jadi orang ketiga yang menjadi penengah pertengkaran mereka. Hanya saja jika orang tua tidak dapat mengontrol emosinya atau tidak dapat netral dalam menyelesaikan masalah, justru akan memperparah situasi.
– Dalam kaitannya dengan tehnik terapi keluarga, Bowen berpendapat bahwa jika terapis yang diambil sebagai orang ketiga dalam system triangulasi tersebut di atas, maka ia dapat terlibat dalam permasalahan suami-istri tanpa ada keberpihakan pada satu orang atau lainnya.

SYSTEM EMOSI KELUARGA KECIL
– Dalam System emosi keluarga kecil, akan terlihat cara yang bervariasi dalam mengurangi tegangan emosi dan memelihara stabilitas emosi. Keluarga kecil yang menghadapi kecemasan kronis dan potensi instabilitas, akan cenderung untuk :
1) Mengembangkan jarak emosi antara suami-istri.
2) Tidak berfungsinya fisik atau emosi dalam hubungan suami-istri.
3) Terus menerus konflik, tidak memecahkan konflik pernikahan.
4) Memperburuk psikologis anak.

PROSES PROYEKSI KEUARGA
– Proses proyeksi keluarga adalah proses emosional yang dijalani dari satu generasi ke generasi berikutnya. Orang tua akan melekatkan emosinya pada anak-anaknya, demikian juga anak-anak ini akan melekatkan emosinya pada anaknya kelak, demikian seterusnya.
– Anak-anak yang hanya sedikit terlibat dalam proses poyeksi, akan muncul sebagai orang yang memiliki kemampuan yang baik dalam menahan pengaruh emosi orang lain dan akan mampu memisahkattantara pikiran dan petasaan.

PEMUSATAN EMOSI
– Pemutusan emosi adalah pemisahan jarak emosi dengan keluarga asal.
– Bowen menuntut orang dewasa agar memutuskan keterikatan emosi mereka
dengan keluarga asal.
– Terapis keluarga sebaiknya adalah orang yang tidak sedang memiliki masalah keluarga sehingga masalahnya tidak akan bercarnpur dengan masalah klien.

PROSES PENULARAN MULTIGENERASI
Proses penularan multigenerasi adalah proses emosi keluarga yang ditransfer dan dipelihara oleh lebih dan 3 generasi.
– Dua konsep awal yang penting dalam penularan emosi keluarga ini adalah :
• Pemilihan suami/istri dengan level perbedaan diri yang sama dengan dirinya
• Proses proyeksi keluarga yang menghasilkan level perbedaan diri yang lebih rendah dari keturunan tertentu.

POSSISI SAUDARA KANDUNG
– Menurut Bowen ada hubungan antara nomor unit kelahiran dengan kepribadian yang menjelaskan pengaruh posisi saudara kandung dalam proses emosi keluarga.
– Pola interaksi antara pasangan suami-istri dalam sebuah keluarga sangat dipengaruhi oleh nomor unit kelahiran pasangan tersebut dalam keluarga asal mereka. Misalnya: anak sulung yang menikah dengan anak ke dua atau yang lebih muda, dia akan lebih besar tanggungjawabnya, menjadi pengambil keputusan dalam keluarga dan sebagainya.

REGRESI MASYARAKAT
– Bowen berpendapat bahwa masyarakat, sebagaimana.keluarga terdiri dan kekuatan yang saling berlawanan, yang satu ke arah ketidakperbedaan (kesamaan), yang lain kearah individualitas.
– Dibawah tekanan/stress yang kronis (pertumbuhan penduduk menipisnya sumber daya alam) akan menimbulkan kecemasan, yang kemungkinan besar akan menjadi pengikisan kesamaan dan menjadi kekuatan munculnya individualitas. Hal ini tentu saja akan berpengaruh dalarn kehidupan keluarga.

TEKNIK PENDEKATAN KELUARGA BOWEN
Terapi Bowenian adalah sebuah system teori yang memikirkan hubungan-hubungan dalam keluarga, dengan suatu metode terapiutik yang bekerja untuk memperbaiki system keluarga, tanpa menghiraukan jumlah orang dari “keluarga” dalam tiap sessi atau pembahasan.
Dalam pendekatan Bowen, ada beberapa hal yang dapat dicatat sebagai berikut:
– Terapis tidak boleh mudah rentan, harus tenang, tidak boleh larut dalam triangulasi dan tidak terlibat secara emosional dengan suami/istri yang bermasalah.
– Tidak rnembiarkan konflik terbuka.
– Menggunakan posisi “AKU” dalam mengajarkan pada pasangan yang bermasalah untuk melakukan sesuatu.
– Menghindari interpretasi-interpretasi
Tujuan dari pendekatan Boweniah adaiah memaksimalkan perbedaan diri setiap individu dalam system keluarga kecil dan memisahkah dari pengaruh keluarga asal.
BAB VIII
PERSPEKTIF TEORI:MODEL STRUKTURAL

Banyak konsep dari pendekatan struktural untuk tcrapi keluarga dikenal oleh pembaca : subsistem, boundaris, alignment, dan ketidakterlibatan. Salvador Minuchin (Minuchin, 1974a, 1974b; Minuchin, Rosman & Baker, 1978), scjak tahun 1970-an membantu moyakinkan terapis keluarga untuk mengadopsi pandangan struktural terhadap organisasi keluarga dan menggunakan teknik lerapeutik dengan pendekatan struktural.

TEORI STRUKTUR KELUARGA
Lebih berorientasi pada sistem dibandingkan dengan Teori dari Bowen. pendekatan struktural lebih diasosiasikan dengan Salvadors Minuchin dan koleganya (Edgar Aurswald, Braulic Montalvo, Harry Apontc, Jay Haley, dan Lyrn Hofman). Lahir di Argentina, Minuchin menerima pelatihan medis disini dan dikirim keluar negeri. Ketika Israel mendeklarasikan negaranya pada 1948, Minuchin adalah seorang dokter melawan dalam perang antara Israel dengan negara-r.egara Arab. Setelah menjalani pelatihan sebagai psikiatris anak di Amerika Serikat, dia kembali ke Israel untuk bekerja dengan anak-anak yang selamat dari Holocaust dan dengan imigran Yahudi dari negara-negara Arab, ltu adalah titik dimana Minuchin menjadi tertarik untuk bekerja dengan keluarga. Setelah kembali ke Amerika Serikat dia mulai mengembangkan teori dan teknik khusus untuk bekerja dengan kebutuhan mendesak, seperti keluarga miskin berantakan di Wiltwayek School dimana banyak anak berkulit hitam dan anak-anak Puerto Rico dan New York dikirim kesana. Minuchin banyak memberikan pemaknaan, arahan, prosedur intervensi berorientasi aksi untuk merestrukturasi keluarga yang kemudian membawanya ke Klinik Pembinaan Anak Philadelphia, dimana dia menjadi direkturnya dari tahun 1965 sampai 1975. Klinik Pembinaan Anak Philadhelphia aslinya adalah klinik kecil dengan 1 orang staf. Klinik itu terletak ditengah-tengah (Shetto orang kulit hitam. Klinik itu berkembang dibawah kepemimpinan Minuchin menjadi fasilitas terbesar untuk jenisnya yang pernah dibangun. Klinik itu saat ini mempekerjakan 200 orarng Staf dan berafilasi dengan Rumah Sakit Anak di Universitas Pennyslvania. Klinik itu menjadi satu dari sedikit klinik di Amerika Serikat dengan keluarga Ghetos sebagai mayoritas. Dalam beberapa tahun, Minuchin menghabiskan waktu profesionalnya untuk mengajar, memberi konsukasi, mengawasi, menulis dan mendemonstrasikan tekniknya.
Dengan mcnggunakan beberapa prinsip sistem sejati yang telah kita diskusikan di Chapter 2, Minuchin (1974a) menekankan pada keaktifan, keseluruhan unit keluarga yang teratur. Lebih spesifik, dia menekankan kerugian dan perilaku repepetif serta kebiasaan yang dengannya suatu keluarga mengorganisasikan diri mereka, kemudian dengan mengikuti pola ini, menciptakan kesempatan pada keluarga untuk mengorganisasikan diri mereka serta substitusi struktur dan pola transksional baru. Secara umum, usaha terapeutik ini melibatkan takaran untuk boundary yang lebih jeias meningkatkan fleksibilitas dalam interaksi keluarga, dan yang paling penting, memodifikasi struktur yang disfungsi oral. Minuchin (1974a) mengungkapkan pandangannya sebagai berikut: “Esensinya, pendekatan struktural terhadap keluarga berdasar pada konsep bahwa keluarga lebih dari individu biopsikodinamis dari anggotanya. Anggota keluarga berhubungan pada susunan tertentu yang mengatur transaksi mereka. Susunan ini, biasanya tidak dinyatakan secara eksplisit atau dikenali sebagai bentuk keseluruhan struktur keluarga. Realitas dari struktur adalah sesuatu yang berbeda dari realitas individual anggota keluarga (p-89)”.
Seperti kebanyakan sistem teori struktural tertarik pada bagaiamana kompehen dari sebuah sistem berinteraksi, bagaimana keseimbangan atau homeosteraksi dapat dicapai, bagaimana pola komunikasi yang disfungsional berkembang. Mereka secara khusus memberi perhatian terhadap pola transaksi keluarga karena pola tcrsebut memberi petunjuk organisasi keluarga, permeabilitas dari batas subsistem keluarga, eksistensi atau koalisi. Rosenberg (1983) menambahkan dengan memberi kesimpulan bahwa “ketika sebuah keluarga mengalarni kesulitan, seseorang dapat berasumsi bahwa keluarga itu diatur oleh struktur yang disfungsi. Mungkin keluarga itu berfungsi sesuai garis perkembangan normal kemudian memasuki tahapan perkembangan baru atau bernegosisasi dengan krisis dulam lingkaran kehidupan, seperti kelahiran anak, anak meninggalkan rumah, atau pemecatan fungsi anggota keluarga menjadi terlalu terlibat satu sama lain (perilaku orang tua yang tampak mendukung dan mencintai anak remajanya sering dianggap sebagai perilaku ikut campur oleh anak trsebut). Atau mungkin, dalam akhir kontinum, orang tua mengalami dilema ketidakterlibatan (anak menjadi mandiri, disisi lain juga menunjukkan ketidakmampuan orang tua memberi dukungan di saat Krisis).
Struktur yang disfungsional menunjukkan bahwa aturan yang mengatur transaksi keluarga tidak beijalan, tidak sesuia dan rnembutuhkan negoisasi ulang.
Walaupun Minucnin tidak mendefinisikan teori bcrdasar intervensi ini dia menawarkan bcberapa konsep vang berguna untuk menganalisis mckanisnic bagaimana keluarga mengatur dirinya, sesuai dengan isu transaksional, dan adaptasi menuju tahapan perkembangan baru. Secara teoritis, Minuchin memandang keluarga sebagai sistem sosial terdiferensial yang mengembangkan pola transaksional yang mengatur bagaimana, kapan, dan kepada siapa anggota / keluarga saling berhubungan. Operasi yang berulang-ulang (misal : siapa yang memiliki anak untuk berbicara apa kepada siapa dengan cara bagaimana) membangun pola sepanjang waktu dan pola itu menjadi cara bagaimana anggota keluarga berinteraksi. Sistem keluarga dibentuk oleh pola transaksional. Sistem ini menjaga bentuknya dalam jangkauan yang lebih luas maupun sempit, pelanggaran menjadi pemicu mekanisme homeostatic untuk membangun kembali jangkauan yang sesuai.

Subsistem, Boundaries, Alignment
Sistem keluarga menjalankan tugas mereka melalui subsistem. Individu adalah subsistem, dan seperti suami dan istri atau subgrup yang lebih luas ditentukan oleh generasi, gender, tugas yang diterima, atau kepentingan umum, adalah subsistem. Setiap orang berpartisipasi dalam variasi subsistem dalam keluarga dan mungkin dapat memainkan peranan yang berbeda. Minuchin menggambarkan seorang anak berperan sebagai anak laki-laki sehingga ayahnya dapat berperan sebagai seorang ayah, tetapi dia dapat mengambil posisi yang lebih kuai jika hanya bersama adiknya.
Aponte dan Van Deusen (1981) percaya bahwa transaksi dalam kcluarga mcnyepakati tentang boundaries alignment dan power. Boundaries dari sebuah subsystem adalah aturan yang mendefinisikan siapa berpartisipasi dan peranan mereka dalam trahsaksi atau pengoperasian yang dibutuhkan untuk manjalankan fungsi tertentu (misal : siapa yang hams bertanggung jawab terhadap pendidikan seks untuk anak, apakah ayah, ibu, atau saudara yang lebih tua? Atau sekolah?).
Alignment adalah kesetujuan atau ketidaksetujuan seorang anggota dari sistem terhadap anggota lain dalam menjalankan peranannya (misal : ayah setuju atau tidak dengan tindakan disiplin ibu pada anak? Power adalah pengaruh tiap anggota kelurga terhadap perannya. Power tidak absolut dan terkait dengan konteks atau situasi (misal : ibu memiliki pengaruh terhadap perilaku putrinya ketika di rumah, tetapi memilki pengaruh minimal di luar rumah). Power juga terkait dengan cara anggota keluarga secara aktif dan pasti mengkombinasikan kekuatan (misal: autotoritas ibu tergantung dukungan suaminya). Untuk dapat mencapai hasil yang diinginkan dalam keluarga harus ada :
1. Boundaries generasi yang jelas, sehingga orang tua dapat membentuk subsystem dengan kekuatan eksekutif.
2. Alignments antara kedua orang tua terhadap isu-isu kunci seperti disiplin.
3. Aturan terkait dengan power dan autoritas, mengindikasikan siapa yang berhak memutuskan ketidaksetujuan orang tua dan siap yang mampu mengabulkan harapan jika mereka setuju.
Sebagai catatan, boundary generasi yang terkuat dapat mencegah campur tangan kakek dan nenek dalam keluarga dan pengambil alihan fungsi terhadap anak. Sebagai tambahan, alignment harus berfungsi baik atau individu akan menyeberangi boundary pergi ke ayah untuk mendapat ijin, jika ibu tidak mengijinkan untuk mendapatkan yang diinginkan.
Beberapa keluarga merespon perubahan perkenibangan dengan membuat pola transaksi yang lebih rigid. Keluarga menjadi lebih: tertutup; sistemnya, anggota keluarga memiliki pilihan yang sempit dan mengembangkan respon stereo type ini sama lain. Dalam beberapa kasus, respon stereo type ini dapat menimbulkan sorang anggota dalam sebagai deviasi.
Minuchin menjelaskan bahwa kesulitan keluarga dalam menjalankan tugasnya pada masyarakat modern semakin nyata dan intense fi distress pada sistem keluarga, khususnya terhadap transisi, menunjukkan abnonnalitas atau disfungsional. Minuchin menekankan bahwa keliarga tidak perlu terlalu kaku dan resisten terhadap perubahan yang mencegah eksporasi pola interaktif. Keluarga yang mengadaptasi mekanisme coping menjadi kelelahan, siapa yang mengontrol konflik sebagai hasil, dan siapa yang tidak melihat alternatif, mungkin membutuhkan intervensi terapeutik jika anggotanya mengalami realitas dengan cara baru, mengubah pola transaksional, modifikasi struktur keluarga dan menyesuaikan dengan perubahan.

TERAPI STRUKTUR KELUARGA
Usaha terapeutik dari Minuchin berdasar pada keadaan saat ini dan prinsip tindakan menimbulkan pengertian (Minuchin dan Fishman, 1981). Tindakan menimbulkan pengalaman baru, untuk mendapatkan peagertian (insight) dan pemahaman untuk menyusun ulang struktur (berkebalikan dengan Bowen) Pendekatan Minuchin adalah untuk meningkatkan pola interaksi keluarga / memaksa anggota untuk melihat dibalik simtom-simtom agar dapat melihat (semua perilaku mereka dalam konteks struktur keluarga. Dia menawarkan kepemimpinan keluarga arahan dan pengkajian untuk menguji dan mengabaikan struktur yang rigid yang tidak lagi fungsional.
Perubahan kedekatan hubungan, seperti hubungan suami istri yang lebih dekat atau jarak antara anak laki-laki dengan ibu. Hubungan hierarkis dapat didefinisikan ulang, dibuat lebih fleksibel dan diberi penguatan satu sama lain
pada keluarga yang menggunakan autoritas. Aligment dan koalisi lebih diekspolarasi konflik lebih dipahami dalam keluarga/aturan alternatif lebih dikembangkan. Bagi Minuchin dan koleganya, cara paling efektif untuk menghilangkan perilaku yang disfungsional dan simtom-simtom adalah dengan mengubah pola transksional keluarga yang mengatur mereka.

MENYUSUN ULANG KESATUAN DISFUNGSIONAL
Minuchin (1974) meletakan patologi kekeluargaan sebagai hasil dari pembangunan kesatuan disfungsional. Kesatuan disfungsional adalah reaksi-reaksi keluarga, terbentuk dalam respon sampai tekanan, yang diulangi tanpa adanya modifikasi ketika terjadi konflik keluarga. Seorang suami yang mengalami stres pada pekerjaannya pulang ke rumah dan berteriak pada istrinya. Sang istri berteriak balik, menambah konflik yang berkelanjutan tanpa perubahan sampai salah satu pasangan meninggalkn konflik tersebut. Dua kelompok tersebut mengalami suatu kesatuan resolusi. Contoh yang lain, seorang Ibu secara verbal memarahi anak laki-laki remajanya, sang Ayah lain membelanya, anak yang lebih muda mengambil kesempatan bergabung dan membela kakak laki-lakinya. Semua anggota keluarga menjadi ikut serta dan bermacam koalisi terbentuk tetapi organisasi keluarga nampak sama dan kesatuan disfungsional akan terulang pada situasi yang memungkinkan selanjutnya.
Minuchin mengemukakan bahwa suatu keluarga yang mencari permasalahan mengalami tekanan yang melebihi mekanisme adaptasi dan pengopian sistem merintangi fungsi optimal dari para anggotanya dalam proses berkeluarga. Minuchin membuatt penyusunan ulang alas kesatuan keluarga-mengatur ulang sistem yang mengatur transaksi/hubungannya di dalamuya-sehingga keluarga akan berfungsi secara lebih efektif dan potensi pertumbuhan setiap anggotanya akan menjadi maksimal (Minuchin, I974). Proses pengaturan ulang mengandung perubahan dalam aturan-aturan keluarga. perubahan dalam hal-hal pokok yang mendukung perilaku-perilaku tertentu yang tak diinginkan dan perubahan dalam rangkaian interaksi.
Pendekatan terapi Minuchin sangat inovatif dan manipulatif secara sengaja, menyusul sebuah kesatuan perhitungan dan prosedur percobaan yang terencana. Secara umum Minuchin menyarankan bahwa ahli terapi memulai terapinya dengan menggabungkan dirinya bersaman keluarga dengan tujuan untuk terdapat pengalaman secara langsung tentang tekanan dalam sistem keluarga tersebut. Minuchin mulai dengan.menyelidiki struktur keluarga, mencari wilayah yang mengkaji terjadi perubahan. Contohnya, jika sebuah keluarga melakukan terapi karena anak wanitanya sangat pintar, menarik diri dan memiliki kesulitan dalam kehidupan sosialnya, ahli terapi dapat melakukan diagnosis berlangsung bagaimana keluarga tersebut memasuki ruangan terapi: anak perempuan duduk dekat ibunya dan mereka menempatkan kursi mereka saling berdekatan. Ketika ahli terapi menanyakan apa permasalahannya, ibunya yang menjawab, mengabaikan anak perempuannya yang mencoba mcnjawab dan menambahkan jawaban ibuaya. Ibunya membuat pernyataan yang menunjukkan bahwa ia sangat tahu secara mendalam mengenai kehidupan pribadi putrinya, lebih tahu dari orang kebanyakan. Selang beberapa menit setelah memulai diagnostik, Minuchin membuat satu campur tangan pertamanya, ia meminta sang Ibu dan Ayah untuk berganti kursi. Terapi struktural dimulai: ketika sang Ayah mulai digambarkan, flekbilitas keluarga kemudian diuji ; dengan implikasi pada patologi hubungan ibu-anak, alasan keluarga menjalani terapi untuk anaknya kemudian diatur ulang atau dikelompokkan ulang sebagai sebuah masalah dengan fokus yang luas (Minuchin, 1974b).

TEKNIK INTERVENSI STRUKTURAL
Minuchin, adalah seorang dokter, ia membuat teori struklur keluarga sebagai sebuah hasil dari terapi kerjanya dengau keluarga yang mengabaikan anak mudanya di Wiltwyek sebagaimana pada keluarga yang tidak memperhatikan keadaan psikologi anak-anaknya, terutama anoreksi di Pusat Pendampingan Anak Philadelphia (untuk pembahasan kedua penelitian ini, lihat bab 3). la cenderung melakukan praklek terapi keluarga di rumah, namun diri pengalaman klinisnya ia membuat strategi intervensi tertentu yang membentuk dasar pendekatan struklural. Strategi ini secara sederhana dan praktis, Diperhitungkan memiliki efek-efek tertentu strategi-strategi tersebut telah membuat terapi structural keluarga yang populer dan berpengaruh. Kami telah menyinggung, beberapa taktik ini dalam bagian sebelumnya: ikut masuk dan bergabung dengan aturan-aturan hubuugan keluarga, berhadapan, Dengan aturan-aturan hubungan keluarga mencoba untuk menyusun ulang dan mengalur ulang aturan-aturan perilaku para anggotanya.
Beberapa taktik klinis lainnya mengandung beberapa catatan. Mimesis menyamakan proses penggabungan keluarga dengan mengimitasi aturan, gaya. lingkup afektif atau isi dari komunikasi. Melalui proses tracking, ahli terapis struktural mengadopsi simbol-simbol kehidupan keluarga yang diperoleh dari komunikasi para anggotanya (seperti tema-tema kehidupan, nilai, kejadian-kejadian historis klinis) dan secara sengaja menggunakannya dalam percakapan keluarga. Usaha untuk mcmperkuat usaha-usaha trapis yang diberikan pada keluarga juga merupakan satu cara mempengaruhi aturan transisional terbaru mereka; Minuchin (1974) menyebutnya ‘mengatur lewat mengikuti.
Pengundangan adalah usaha-usaha yang dibuat oleh terapis untuk mengatasi konflik keluarga sehingga para anggota keluarga dapat mengkaji bagaimana mereka menghadapinya dan para terapis dapat mulai merencanakan cara untuk memodifikasi interaksi mereka dan membuat perubahan struktural. Untuk menggunakan sebuah contoh yang ditawarkan oleh Rosenberg (1983), seorang lbu mengajukan komplain kalau putrinya yang berusia 2.5 taliun marai; dan mempermalukan ibunya di depan kakek dan neneknya, di dalam bus, dan dalam situasi yang lain,. Si putri masih berperilaku dan bersikap baik selama sesi-sesi awal terlepas (atau mungkin karena) akan desakan ibunya sehingga ini berperilaku seperti itu. Saat sesi ketiga atau keempat, saat si anak meminta permen karet, Rosenberg tahu ada kesempatan baginya: ia meminta sang ibu untuk tidak memberinya permen karet karena waktu makan siang sudah dekat. Ketika si anak inercngek dan meuaugis, ia akhirnya menyungkur kaji dirinya ke lantai dan melopas bajunya dan ibunya ingin menurutnya sementara Rosenberg mendorong sang ibu untuk tetap bersikeras, dan jangan peduli dengan suara bising/tangis itu. Lepas sekitar setengah jam berikutnya, si anak berhenti menangis; ia terlihat baik kendati sang ibu dan terapist terlihat kelelahan! Dalam hal struktural, batasan generasional di siniterbentuk kembali, saiig ibu kembali memikul tanggungjawabnya, dan sang putri, akhirnya merasa nyaman setelah tahu bahwa ibunya dapat menanganinya.
Enactment (pemeriksaan) seringkali bermanfaat untuk menegaskan tujuan
atau maksud. Dalam hal ini, terapist keluarga struktural mendefinisikan ulang
masalah yang ada (sebagai contoh, penderitaan diri seorang putri dewasa) sebagai
fungsi dari struktur keluarga itu sendiri. Gadis yang anorexic (anorexia) dikatakan ‘bandel’ dan bukannya ‘sakit’, memaksa anggota keluarga untuk melihat pandangannya tcntang apa yang terjadi dan akhimya meiigubah pola transaksional mereka. ‘Kenyataan’ halnya si anak (puteri) tidak makan tidak mengubah ‘arti’ yang dikaitkan dengan perilaku tersebut. Refraining digunakan oleh banyak terapist keluarga (terutama para advokat ‘komunikasi’) untuk mengubah perspektif keluarga, dan akhirnya untuk mengubah pola perilaku keluarga berdasarkan pilihan dan alternatif baru.
lntervensi Minuchin sangat mungkin meningkatkan stresi/tekanan pada sistem keluarga bahkan mungkin menciptakan; krisis keluarga yang menjadikan homeostatis kekeluargaan tidak seimbang tapi sekaligus membuka peralihan struktur keluarga. Minuchin menemukan: bahwa dalam sistem keluarga yang lingkungan berbagai contoli. anggota keluarga kerab kali percaya bahwa semua keluarga tidak dapat beradaptasi dengannya; sebagai akibatnya, sistem melebihi menemukan adanya perubahan anggota tertentu untuk mempertahankan homecslatis disfungsional. Ketika mungkin bahaya dari keluarga tadi semakin meningkat maka penilaian gejala akan dialihkan sebagai bagian dari menurut penalaran konflik; sistem keluarga memperkuat konstitutional (berkelanjutan) gejala yang membantu mempertahankan keseimbangan sistem dan status quo. Dan tugas sang terapist lah untuk menjadikan semua orang sadar, yang senang dicapai melalui refraining, karena masalah itu milik dan dialami oleh keluarga. dan bukan individu; sehingga implementasi rangkaian fungsicnal baru harus mampu menggantikan kebiasaan/liabitual dari yang disfungsional.
Taktik terapeutik yang digunakan oleh Minuchin seringkali dramatik dan sekaligus terikat. Laiknya seorang pengarah panggung, ia menikmati penciptaan situasi, menciptakau skenario, memberikan tugas kepada keluarga dan menuntut anggota keluarga tadi untuk berfungsi atau berjalan sesuai dengan seting yang diberikan/ditunjukan. Sebagai contoh dalam menangani anak anorexia, menyiksa diri sendiri dan menolak makan, Mintichin menuliskan untuk menemui keluarga saat makan siang selama sesi pertama. la. menciptakan pcmcrilakuun sepcni itu sccara ssugaja, untuk mencari orang adanya krisis seputar makan dan nicngalami apa yang dialami olcli anggota keluarga. la mengamati baliwa orang tua berdalih, menuntut, membujuk, akhirnya menyerah dan merasa kalah. la mcngamati si anak (puteri yang sudah dewasa) menunjukan ketidakberdayaan, menolak makan. Minuchin melakukan refraining, membantu keluarga itu untuk melihat bahwa anorexia nervosa adalah diagnosis dan suatu sistem keluarga, tidak semata-mata perilaku simptomatik orang dewasa. Semua anggota keluarga terjebak dalam pola interaksi yang sia-sia yang telah menjadi pusat kehidupan mereka; setiap anggota memiliki taruhan/saham dalam mempertahankan penyakit tersebut. Minuchin menemukan tipe khusus dan organisasi keluarga terkungkung dimana si puteri mencoba menurunkan pemahaman terhadap dirinya sendiri. Dan menurutnya itu berkaitan dengan perkembangan dan perawatan sindrom psikosonatik pada perempuan dewasa. Sebaliknya, sindrom tersebut memainkan peran penting di dalam mempertahankan homeostatis keluarga. Tetapi keluarga struktural membantu setiap orang dalam keluarga tersebut untuk mengenali sindrom tadi dan mcngambil tanggung jawab untuk memberikan kontribusi tcrhadapnya.. Dengan menciptakan suatu krisis keluarga, Minuchin mendesak keluarga uutuk mengubah sistem mereka, menggantikannya dengan interaksi yang lebih fungsional.
Berikut ini merupakan pendekatan pemicuan-krisis Minuchin yang manipulatif. Dengan menunjukkan tekniknys terhadap keluarga yang memiliki puteri dewasa penderita anorexia, Minuchin menurut orang tua untuk memberikan makna , atau dia akan mati. Mereka membujuknya, desakan, ancaman, teriakan. dan akhirnya menjejalkan makanan ke tenggorokannya hingga si anak menangis dan pingsan. Minuchin yakin bahwa ia sekarang akan mau makan.
‘Anoretic terobsesi dengan ketidakberdayaan, ketidakmampuan, kelemahan, dan keburukannya. Saya mendorong suatu konflik interpersoncil yang menjadikannya berhenti berpikir lantang seberapa burukkah dia dan-akan berpikir tentang seberapa. (maaf) ‘brengsek’nya orang tuanya. Pada demonstrasi tersebut, saya mengatakan kepada orangtua si anak, “Buat ia mau makan,” dan ketika mereka melakukannya, dia harus menghadapinya sebagai manusia/orang. Sebelumnya, sang orangtua’ mengatakan “Kami mengendalikanmu karena kami menyayangimu.Salam posisi itu hanya memasukkan mereka ke dalamnya, mereka akhirnya berkala “(‘maaf) brengsek. Ini makan!’ Entah setelah itu si anak mau makan atau tidak, ia dapat saja memarahi si orang tua itu”
Dengan pendekatannya ini, Minuchin (oleh dapat menunjukan bahwa gejala anorexic ternyata tetapi melekat pada organisasi keluarga yang selalu karenanya mengubah organisasi tersebut akan menghilangkan gejala yang fatal.
Penyakif psikosomatik menunjukkan suatu tipe penyakit dimana penawar atau obatnya dapat diukur secara ilmiah, tidak semata-mata diasunisi atau disiratkan. Data Minuchin mengindikasikan tingkat keberhasilan sebcsar 86% dalam perawatan anorexic dengan terapi struktural ini. keberhasilan Minuchin dalam hal ini menunjukan kebermanfaatan penelitian lebih jauh untuk menilai apakah bentuk intervensi yang sangat diperhitungkan dapat juga efektif untuk masalah keluarga yang lain.

BAB IX
PERSPEKTIF TEORITIS : MODEL KOMUNIKASI

Komunikasi, atau interaksi diyakini merupakan bentuk hubungan yang bersifat sirkular (berputar), dan merupakan repetisi (pengulangan) yang kompleks, karena itu tidak dapat dipilah-pilah dalam logika sederhana, dan juga tidak selalu berupa hubungan sebab-akibat. Setiap orang cenderung menempatkan dirinya dalam pihak yang bereaksi, bukan yang memulai aksi, sekaligus juga menafsirkan posisi dan reaksi yang benar menurut subyektivitas mereka sendiri. Dengan demikian, komunikasi dalam keluarga uinumnya juga inengalami situasi yang sama. dan hal tersebut rentan menimbulkan konflik dalam keluarga. Pendapat ini telah bertahan dalam jangka waktu lama, dan telah memunculkan pengembangan dan revisi baru. Untuk itu, perspektif model komunikasi dan terapi masalah komunikasi dalam keluarga akan dibahas dalam 3 bagian.

A. THE MENTAL RESEARCH INSTITUTE (MRI)
INTERACTIONAL VIEW
Tinjauan Interaksional MRI dikembangkan oleh Don Jackson, Jay Haley, dan Virginia Satir, beserta tokoh-tokoh terapi keluarga yang terkemuka seperti Gregory Bateson, John Weakland, Jules Riskin, Paul Watzlawick dan Richard Fisch. Mereka mengembangkan teori model komunikasi berdasarkan pada teori system umum, sibernetika, dan teori informasi. Konsep mereka berisi teori aturan dalam keluarga, homeostasis (kemampuan mempertahankan keluarga dalam keseimbangan), marital quid pro quo, prinsip redundancy) (interaksi terbatas dan berkurang), punctuation (penekanan “tanda baca” sesuai persepsi sendiri). hubungan simetris dan komplementer, dan kausalitas sirkular.
Sesuai dengan konsep dasar komunikasi semua pelaku adalah bentuk komunikasi, baik verbal maupun nonverbal. Dengan demikian, komunikasi dapat direpresentasikan dalam gestur, bahasa tubuh, nada suara, postur tubuh dan intensitas perilaku. Namun demikian, komunikasi dapat bermakna ganda, dimana makna tersebut kontradikiif dan tidak dapat dihindari kedua-duanya. Seringkali komunikasi bermakna lerbeda pada level pertama (permukaan/isi) dan pada level kedua (metakomunikasi). Apabila hal tersebut terjadi pada anak, dapat membutuhkan penyakit sistem. Konsep MRI sangat menekankan pengendalian keseimbangan keluarga terjaga.
Setiap komunikasi memiliki 2 aspek, yaitu aspek isi (“laporan”) dan aspek hubungan (“perintah”). Hal ini berarti komunikasi tidak hanya memuat informasi. Namun juga menjelaskan hubungan antara pihak yang berkomunikasi. Menurut Jackson, hubungan dalam keluarga dapat dijelaskan dengan aspek perintah tersebut, sekaligus menegaskan aturan dan usaha mempertahankaii homeostasis dalam keluarga. Seperti yang diungkapkan Haley, komunikasi dalam keluarga dapat berfungsi pada banyak hal, diantaranya untuk mengendalikan anggota keluarga, menegaskan kekuatpn hubungan dan perintah, serta memfungsikan organisasi keluarga yang lebih baik (melalui pengenalan perilaku dan komunikasi lewat perilaku). Satir, sebagai pelengkapnya, menambahkan adanya komunikasi yang jujur dan efcktif antar anggota keluarga, seperti mcnjadikan aturan tak tertulis menjadi lebih eksplisit.
Bentuk terapi yang dikembanjkan dari konsep MRI, terutama oleh Jackson dan Watzlawick, berupa therapeutic double-bind, yaitu terapi dengan feknik paradoks. Terapi ini berguna untuk mendorong komunikasi yang lebih eksplis.l dalarn keluarga agar tidak terjadi penyampaian pesan inkongruen, asimetris. dan terlebih menimbulkan gejala skizofrenik. Terapi ini memberikan subyck permasalanan y’ang bersifal saling bcricnlangan, dimana hal tersebut tidak bisa dihindari tidak ada solusi yang mungkin, dan tidak ada bantuan ekstervial. Dengan demikian, orang yang mengikuti terapi harus memaksa dirinya berubah atau membuat pilihan sendiri, yang akhirnya dapat terkontrol melalui perilaku. Inti terapi ini adalah prescribing the symptoms (menentukan gejalanya). Dengan meminta peserta terapi untuk tidak merubah perilaku dasamya, diharapkan mereka dapat mengenali sendiri gejala dan penyebab konflik yang disebabkan kegagalan komunikasi, dan akhirnya mendapat feedback positif untuk mengatasinya secara alamiah.
Bentuk lain terapi mereka adalah dengan relabeling, yaitu tanpa mengubah perilaku maupun bentuk komunikasinya, namun dengan memberikan penjelasan atas perilaku yang tidak terkomunikasikan dengan baik, sehingga dapat diterima sebagai suatu persepsi positif dan simpatik.

B. STRATEGIC FAMILY THERAPY
Dikembangkan oleh Jay Haley dan Cloe Madanes. model terapi ini berlaku pada perancangan strategi yang akan disarankan pada klien yang.mengalami perrnasalahan dalam interaksi. Terapi strategis yang ditawarkari ini berfungsi untuk mengatasi masalah di masa sekarang, tanpa melihat bagaimana di masa lalu, dan berusaha mencegahnya menimbulkan repetisi atau perilaku destruktif. Secara garis besar, terapi ini berusaha mengubah aspek sistem dalam keluarga yavg menimbulkan masalah
Dalam prosesnya, terapis berperan iangsung dan tegas dalam memberikan arahan dan petunjuk. Hal ini cenderung manipulatif dan dapai bersifa: memaksa, namun disini Haley menunjukkan bahwa instruksi yang tegas dan skenario yang taktis dapat membantu menyelesaikan masalah. Arahan-arahan yang diberikan terapis dilakukan dengan beberapa alasan, antara lain untuk memberikan pengalaman subyektif yang berbeda pada klien, memperkuat hubungan antara terapis dan anggota keluarga, serta untuk mendapatkan informasi yang penting dari reaksi klien. Selain memberikan petunjuk Iangsung, cara lain yang biasa digunakan adalah merubah konteks dan interpretasi komunikasi/interaksi, yaitu dengan relabeling atau refroming.
Bentuk terapi lain dari Haley adalah paradoxical intervention, kurang lebih mirip dengan terapi yang dikembangkan Jackson dan Watzlawick. Inten.’ensi paradoks ini lebih luas, dimana terapi disusun dengan 3 tahap: redefining (inenjelaskan dengan cara lain, mirip dengan relabeling), prescribing (menenlukan gejala). dan restraining (membatasi perilaku bermasalah). Disini terapis akan membeVikan rencana, termasuk juga arahan dan petunjuk untuk mengatasi masalah, sesuai urulan diatas. Dengan demikian, perubahan perilakuHidak akan terjadi secara drastis, dan klien mungkin tidak sadar telah berusaha diubah perilakunya. Hal ini berguna untuk mengatasi penolakan yang mungkin muncul dari klien atau keluarganya, akibat persepsi awal rnengenai upaya terapis mengubah sistem nilai dan keseimbangan keluarga.
Konsep dan metode Haley dinilai oleh banyak pihak terlalu otoriter dan manipulatif, sekaligus sangat bergantung pada kemampuan dan pengaruh terapis Untuk membalikkan titik berat terapi pada klien, maka Madanes mengembangkan teknik pretending (berpura-pura). Teknik ini memberikan penjelasan dan arahan badi semua pihak yang terlibat untuk “berpura-pura”, seakan-akan apa yang mereka alami dan perilaku bermasalah mereka tidak nyata. Teknik ini berfungsi untuk membalikkan fakta, sehingga masalah tidak dianggap sesuatu yang nyata dan akhirnya harus ditekan, karena tidak sesuai dengan kenyataan.

C. SYSTEMIC THERAPY AND THE MILAN ASSOCIATES
Pendekatan terapi keluarga ini dikembangkan oleh Mara Selvini-Palazzoli dan groupnya, The Milan Associates. Fokus konsep mereka, sejalan dengan konsep sirkular Bateson, yaitu berfokus pada informasi serta pendekatan sistematik pada perbedaan perilaku dan hubungan dalam keluarga. Terapi ini dikenal dengan .systemic family therapy (terapi sistemik untuk keluarga). Terapi ini Tidak seluruhnya direncanakan, naniun terkoordinir dengan baik. Umumnya terapi ini memakan waktu yang cukup lama, dari sebulan hingga setahun, karena dasar metode terapi sistemik sangat terstruktur dan sangat memperhatikan proses perkembangan.
Grup terapis ini menyusun serangkaian skenario dan jadwal yang melibatkan anggota keluarga, terdiri dari sejumlah sesi wawancara, diskusi, dan permainan yang umumnya bersifat paradoks. Mereka berusaha mengumpulkan seluruh informasi hingga sedetil mungkin. Apabila terjadi hal-hal yang diluar perkiraan, mereka akan menyusun rencana lain untuk mengakomodasinya. Terapi ini juga melibatkan sejumlah :..ahan, petunjuk, dan tugas untuk dilakukan. Dengan demikian, selamu masa terapi tersebut grup terapi Milan ini terns memonitor dan mengontrol situasi dan pola perilaku keluarga.
Proses tetapi ini tidak terlalu memperhatikan faktor struktur nilai keluarga, sehingga mereka dapat merubah maupun mengendalikan nilai atau struktur yang dianggap bermasalah, tidak sesuai, atau dianggap kaku. Metode ini Sangat rawan dalam mengharuskan perlawanan, karena itu harus dilakukan secara tersistem. Salah satu metode yang mereka gunakan adalah melawan komunikasi yang bermakna ganda dan kontradiktif dengan paradoks lain, yang disebut coimicrpuruilox.
Terapi sistematik dari grup Milan ini memiliki beberapa teknik dan prinsip khusus, antara lain: positive conotulion, yaitu membcrikan tc.ni yang positif dan iebih baik pada perilaku yang memicu masalati (seperti relabeling atau refraining), sehingga seluruh anggota keluarga dapat menilai paradoks tersebut dan sudut yang berbeda dan akhirnya secara bertahap dapat merubah sistem nilai mereka sendm; hypothesizing, yaitu menyusun seluruh informasi awal yang mereka dapatkan sehingga mereka dapat ikut bertanggungjawab dalam setiap pembahasan masalah serta dapat merumuskan langkah awal; neutrality, yaitu tetap bersikap netral dan melihat masalah keluarga klien sebagai sesuatu yang komprehensif; dan circular questioning, yaitu diagnosa sirkular dengan merancang pertanyaan yang melibatkan seluruh anggota keluarga untuk suatu konflik. dan kemudian menanyakannya pada setiap anggola keluarga, sehingga informasi tenta.ig masalah yang sama dapat ditinjav dari sudut pandang yang berbeda-beda. Dengan melihat perbedaan yang terjadi dalam proses terapi ini, mereka dapat merumuskan perubahan sistem yang dipenukan dan metode komunikasi yang ideal untuk setiap anggota keluarga.

BAB X
THEORETICAL PERSPECTIVE: BEHAVIORAL MODELS

Terapi keluarga model behavioral mulai berkembang tahun 60-an. Model ini merupakan bentuk reaksi atas konsep psikodinamika yang menganggap ketidaksadaran sebagai dasar perilaku patologis. Model terapi behavioral mendasarkan pada prinsip “here and now” sehingga lebih menekankan pada pengamatan oerilaku, penggunaan tes hipotesis, dan koreksi diri atas periiaku klien, dengan prosedur metodologi yang ketat dan terkontrol secara ilmiah. Ini merupakan kontribusi terpenting bagi psikologi.

BEBERAPA KONSEP YANG MENDASARI TERAPI BEHAVIORAL
Prinsip yang mendasari model ini adalah social learning (pembelajaran sosial) yang diperoleh melalui modifikasi perilaku maladaptive hasil uji laboratonum. Tokoh-tokoh yang berjasa merintis model ini antara lain Ivan Pavlov (Classical conditioning), Skinner (operant conditioning), Watson (S – R Bond theory), Albert Bandura (Social Learning), Clark Hull, rill. Asumsi yang mendasari konsep terapi behavioral, yakni:
1. Setiap bentuk perilaku diperoleh dan dipelihara dengan pola yang sama.
2. Gangguan perilaku menandakan adanya pembelajaran yang salah suai, dan
tidak perlu dicari motif yang tak tampak yang mendasarinya.
3. Perilaku maladaptive hanyalah gejala, bukan bentuk manifestasi dari gangguan.
4. Tidak periu menemukan lingkungan yang menjadi penyebab, tetapi lebih fokus memperkirakan faktor utama penentu penyokong timbulnya perilaku itu.
5. Perilaku maladaptive merupakan perilaku yang dipelajari, dapat diubah dan diganti dengan perilaku yang baru.
6. Treatment merupakan bagian dari aplikasi temuan eksperimen psikologi, dengan
metodologi yang dipilih secara tepat, dinilai secara objektif dan mudah dilakukan.
7. Assesmen merupakan bagian dari treatment dilakukan secara kontinyu, dievaluasi dan diinlervensi dengan teknik disesuaikan karaktcristik masalah dan individu.
8. Terapi behavioral memandang masalah dengan prinsip “here and now”. Terapis lebih tertarik pada modifikasi perilaku mendasarkan pada situasi sekarang.
9. Hasil treatment dinilai menurut purubahan perilaku yang terukur.
10. Validitas keilmiahan dan penelitian pada penggunaan teknik terapi khusus telah disediakan atau difsilitasi oleh ahli terapi behavioral.

BENTUK-BENTUK TERAPI KELUARGA MODEL BEHAVIORAL

The Association for the Advancement of Behavior Therapy mengemukakan bahwa behavioral therapy terutama mencakup aplikasi prinsip-prinsip yang diperoleh dari hasil riset ekserimental’dan psikologi sosial untuk mengurangi penderitaan dan meningkatkan fungsi hidup manusia. Ada tiga bentuk terapi behavioral sbb.:

1. Behavioral Marital Therapy (Terapi Perkawinan)
Jenis terapi ini mula-mula dikembangkan oleh Robert Liberman. Terapist mencoba mengubah perilaku pasangan suami-isteri dengan merekonstruksi lingkungan yang diperkirakan berpangaruh pada hubungan interpersonal. Langkah-langkahnya sbb.: Pertama, memperkirakan perilaku apa yang menjadi akar masalah bagi suami-isteri. Kedua, perubahan spesifik apa yang diinginkan oieh masing-masing pasangan. Ketiga, dengan kedua pertanyaan itu terapist berusaha menemukan kemungkinan -kemungkinan perilaku tidak menyenangkan (undesirable behavior) yang menjadi pemicu timbulnya permasalahan dan akibatnya.
Keempat, Selanjutnya terapis melakukan pembelajaran dengan menggunakan penguatan positif untuk membentuk pola perilaku yang diinginkan (desirable behavior).
Stuart (1969) dengan. teori operant conditioning, memberi nama Operant interpersonal therapy, beranggapan bahwa pada mulanya pola interaksi bermasalah itu tejjadikarena perbedaan pandangan antara suami atau isteri terhadap suatu hal. Dan perilaku merupakan bentuk pilihan yang dianggap lebih memberikan keuntungan (the most rewarding) sehingga mengapa ia melakukannya. Contoh : Mengapa suami memilih menghadiri undangan teman karibnya daripada mengantar isteri berbelanja karena menghadiri undangan dipandang lebih memberi arti (menguntungkan). Hal ini berbeda dengan pandangan isteri yang berangpapan bahwa kebutuhan isteri lebih penting daripada teman karib. Ada sembilan langkah dalam terapi perkawinan model ini, yakni:

 Langkah 1, pengisian data pra konseling’
 Langkah 2, perjanjian kontrak treatment
 Langkah 3, mendiskusikan tentang; jenis intervensi
 Langkah 4, memulai dengan hari-hari yang mesra
Langkah 5, meningkatkan fungsi komunikasi
 Langkah 6, kesepakatan tentang perubahan perilaku
 Langkah 7. membuat keputusan untuk menghormati peran dan tanggung jawab.
 Langkah 8, memelihara perubahan perilaku.
 Langkah 9, menyepakati perubahan untuk masa selanjutnya.

2. Behavioral Parent Training / BPT (Pelatihan bagi Orangtua)
Pelatihan ini diperuntukan bagi orang tua dalam memperlakukan anak. Pendekatan yang digunakan pada umumnya dengan pembelajaran sosial (social learning model). Umumnya pelatihan diarahkan pada perubahan perlaku anak yang tak” disukai, menerima pandangan-pandangan orangtua pada problem anak. Pada sasaran akhirnya adalah mengubah system interaksi dalam keluarga. Untuk pengungkapan problem anak dengan menggunakan daftar prilaku bemnasalah (behavioral problem).

3. Conjoint Sex Therapy (Terapi seks bersama-sama)
Gangguan fungsi seks banyak menimbulka.n berbagai akibat dalam kehidupan keluarga, maka sex therapy merupakan hal penting dalam problem rumah tangga. Terapi seksual ini dirintis oleh William Masters dan Virginia Johnson pada Masters and Johnson Institut di St.Louis, Amerika Serikat. Asurnsi yang mendasari terapi ini adalah bahwa salah satu pasangan suami-isteri tidak cukup memaharni berbagai bentuk kehidupan seksual. Akibatnya adalah suami dan isteri saling melakukan penekanan, dan akibatnya penyelewengan merupakan problem perkawinan yang lazim terjadi.
Prosedur yang dilakukan yaitu masing-masing pasangan suami-isteri dilayani oleh tim terapis pria dan wanita. Secara ideal, satu pasangan dilatih dengan pemahaman ilmiah tentang anatomi tubuh, dan pasangan yang lain dengan pelajaran perilaku seks. Pelatihan dilakukan selama dua minggu dengan dimulai dari penilaian secara menyeluruh pengalaman-pengalaman seksual dari masing-masitig pasangan, bukan hanya menilai pengalaman seksual dalam arti kronologis hubungan seksual, tetapi yang lebih penting justeru bagaimana orientasi atau pemahaman terhadap nilai seksual, sikap, perasaan, dan harapan tentang hubungan seksual itu dilakukan. Selanjutnya terapis bersama pasangan suami-isteri mereviu beberapa masalah yang menimbulkan kesulitan seksual.
Selama bebarapa hari berikutnya, terapis menginstruksikan kepada pasangan suami isteri untuk fokus pada daerah yang sensitive, tetapi tanpa adanya penekanan pada perilaku seksual. Selama periode ini diadakan pertemuan bersama-sama (roundtabie) antara terapis dan pasangan suami-isteri untuk membicarakan ketidak-serasiannya, perasaan bersalah, atau kekuatirannya selama ini. Sisa waktu yang ada tersebut digunakan oleh terapis untuk memberi pelajaran keduanya (suami dan isteri) untuk bisa bekerja bersama-sama mengatasi kesulitan dalam melakukan hubungan seksual mereka.

BAB XI
PROSES TERAPl KELUARGA

KARAKTERISTIK DASAR TERAPl KELUARGA
Terapi Keluarga vs Terapi Individual
 Terapi Keluarga adalah suatu teknik psikoterapi untuk menggali dan mencoba untuk mengurangi masalah-masalah emosional yang berpautan satu sama lain di dalam suatu sistem keluarga dengan cara menolong perubahan disfungsi pola transaksional keluarga pada anggota-anggota keluarga secara bersama-sama. Minat terapi keluarga adalah keluarga dari pasien psikiatrik dan keluarga sebagai pasien psikiatrik (Bloch, 1974).
 Psikoterapi Individual terfokus pada kesulitan intrapsikis seseorang mengetahui bahwa gangguan relasi interpersonal pasien mungkin berkontribusi pada kesulitan-kesulitan individu tersebut.

Tiga dimensi perbedaan Terapi Keluarga dan Terapi Individual:
1. Sifat dan lokasi sumber yang mengakitfkan gangguan dalam perkembangan kepribadian.
■ Terapi Keluarga : sumber eksternal mendominasi pembentukan kepribadian dimana karakteristik pengaturan tingkah laku dalam keluarga mengatur dan meregulasi kehidupan interpersonal anggota keluarganya.
■ Terapi Individual: sumber internal lebih dominan (pikiran, ketakutan,
konflik).
2. Formasi simptom.
■ Terapi Keluarga : konflik di dalam transaksional antara individu dan sistem keluarga yang disfungsional.
■ Terapi Individual : formasi simptom sebagai hasil dari konflik antara bagian dari self (misal, id/ego/superego dal?m psikoanalisis).
3 Pendekatan perubahan terapetis.
■ Terapi Keluarga : keluarga sebagai suatu komitmen bertingkah laku sesuai tata krama, melindungi diri sendiri dar. mempertahankan keseimbangan pada perubahan yang terjadi dalam keluarga.
■ Terapi Individual : pasien mencapai insight atau mendapatkan pengalaman baru untuk mengerti atau mengatasi kegagalan dan melepaskan simptom yang mengganggu.

Indikasi dan Kontraindikasi Terapi Keluarga
Terapis yang berorientasi pada keluarga dapat rnemilih untuk bekerja dengan seluruh keluarga, subsistem di dalam keluarga, atau individu sebagai anggota keluarga dengan maksud untuk menolong perubahan sistem sosial keluarga. Pada prakteknya, saat ini kasus Terapi Keluarga sering kali menjadi suatu kasus untuk Terapi Marital (Framo, 1975). Secara umum, indikasi Terapi Keluarga adalah ketika kemampuan keluarga untuk melakukan fungsi dasar menjadi inadekuat, dan lebih ;elasnya ketika masalah muncul di dalam suatu konteks hubungan keluarga. Indikasi Terapi Keluarga terutama untuk kasus konflik marital, persaingan saudara yang parah, atau konflik intergenerasi, atau untuk mengklarifikasi dan menyelesaikan kesulitan hubungan di dalam suatu keluarga. Kontraindikasi:
Kemampuan terapis yang terbatas untuk bekerja dengan seluruh keluarga atau keengganan sistem keluarga untuk mengatasi masalah dengan perubahan yang diperiukan pada seluruh anggota keiuarganya. Terapi Keluarga tidak selalu bermanfaat untuk semua gangguan.keluarga.
Terapi Keluarga tidak dapai bekerja ketika secara jelas satu atau lebih anggota keluarga menjadi lebih dominan dalam keluarga dengan dorongan dan tingkah laku yang membahayakan dan destruktif ataupun rapuh secara psikologis.

PENGUKURAN KELUARGA
Akankah Diagnosis Diperlukan ?
Terapis keluarga memiliki pandangan yang berbeda dalam memandang diagnosis keluarga. Terapis yang tidak mendukung diagnosis menemukan bahwa proses diagnostik tidak iuktif dan mengganggu, sedangkan terapis yang mendukung setuju bahwa diagnosis iriukan dan berguna sebagai petunjuk untuk perencanaan tritrnen.

METODE PENILAIAN KELUARGA
Terapis keluarga percaya bahwa suatu proses evaluasi formal membantu untuk terlibat seluruh keluarga secara langsung pada kelanjutan tritmen lima prosedur evaluasi yang digunakan antara lain :

Keluarga Terstruktur
Perkembangkan oleh Paul Watzlawick (1 Jf 6), merupakan suatu teknik evaluasi terstandar yang ncang untuk mengungkap pola interaksi keluarga. Instrumen dimaksudkan untuk

NILAI DAN TUJUAN TERAPF KELUARGA
Nilai-nilai terapis seperti kepercayaan di dalam kehidupan perkawinan dan keluarga. cenderung pada keluarga asal kelas menengah dan berpengaruh pada proses terapi dan pilihan tujuan terapi. Meskipun terjadi perbedaan dalam orientasi nilai, tujuan utama terapis adalah untuk mengembangkan kemampuan anggota keluaga untuk berfungsi sebagai kelompok interdependen (saling tergantung).

ISUE ETIK DALAM TERAPI KELUARGA
Isue etik meliputi loyalitas dan tanggung jawab terapis, menjaga kerahasiaan keluarga, melakukan diagnostik, dan menyadari kekuatan untuk meningkatkan atau menurunkan konflik sebagai suatu pertimbangan dalam Terapi Keluarga.

TAHAP-TAHAP TERAPI KELUARGA
The Initial Interview
Tahap proses Terapi Keluarga dimulai dengan koritak pertama dengan keluarga, biasanya dilakukan per telepon. Kebanyakan terapis akan berusaha sebisa mungkin bertemu dengan seluruh keluarga sebanyak yang mereka bisa. Banyak cara untuk m’emulai interview; mulai dan suatu strategi yang terencana dengan hati-hati (Haley), pertemuan spontanitas antara terapis dengan keluarga (Whitaker), sampai usaha bergabung dengan keluarga, berakomodasi dengan gaya keluarga tersebut, dan berusaha untuk merubahnya dari dalam (Minuchin).

The Middle Phase
Selama fase pertengahan dalam Terapi Keluarga, keluarga dianjurkan untuk melihat hubungan mereka, bekerja pada masalah-masalah spesifik yang membawa mereka pada tritmen, dan berusaha mereorganisasi struktur keluarga.

Termination
Jika keluarga telah berhasil dalam daya tahan dan keteriibata n mereka sendiri di dalam tritmen, sering kali keluarga telah siap untuk mengakhiri tritmen, sekarang keluarga telah memiliki kemampuan lebih baik dalam bekerja sabagi suatu kelompok untuk menyelesaikan masalah dan mengubah pola tingkah laku yang merusak.

REFERENSI :
Goldenberg, Irene & Goldenberg, Herbert. 1985. Family Thetapy : An Overview. Second Edition. California : Brooks/Cole Publishing Company.

BAB XII
INNOVATIVE TECHNIQUES IN FAMILY THERAPY

Dibawah ini akan membahas sejumlah format terapi keluarga yang penting dalam suatu pengertian, variasi atas tema yaitu sebagian two-will. Beherapa format, dari berbagai terapi keluarga berdampak pada proses terapi. Adapun beberapa taknik berdasar pada terobosan teknologi ( sebagai contoh, videoplayback teknik). Sebelum orang menghadirkan aplikasi pengembangan teknik intervensi, orang mengubah kebutuhan keluarga dengan prosedur klinis ( sebagai contoh, famili krisis intervensi). Terapi keluarga didalam rumah adalah juga diwakili intervensi jaringan sosial. Dibawah ini kita akan meringkas format dan inovasi yang khusus dalam kaitannya dengai aplikasi klinis dari prosedural, ke situasi krisis, ke perawatan batas waktu dan ke siluasi di mana large-group perawatan ditandai.

1. PROSEDUR PERAWATAN NONVERBAL
A. Family Sclupture and Choreography (seni perencana tari balet)
Keluarga sclupture adalah kiasan untuk pemahaman artara hubungan keluarga dengan para anggota keluarga tersebut. Keluarga sclupture adalah suatu pengaturan yang menyangkut anggota dalam suatu keluarga, dari tiap figur yanq ditentukan oleh perorangan anggota keluarga yang bertindak sebagai ” direktur” {kepala rumah tangga}.

B. Videoplayback (Memainkan Video Kembali)
Penggunaan memainkan video kembali selama suatu sesi keluarga memiliki peluang unik untuk menangkap sasaran data tingkah laku dan untuk menguji (memeriksa kembali) tingkah laku-tingkah laku keluarga tersebut dengan segera ( Alger, 1976a). Memainkan video kembali, siaran ulang TV dari video merekam dan memainkan lagi suatu terapi keluarga untuk mengobati atau tujuan-tujuan latihan.

C. Other Projective and Expressive (Teknik Ekspresi dan Proyeksi lain)
Proyeksi adalah suatu test psikologis yang dengan bebas menghadiahi stimuli rancu dan tidak tersusun untuk menemukan yang tak sadar axaminee’s prosses dan aspek yang jumlah prosedur pemeriksaan ancillary ke terapi keluarga sudah nampak di tahun terakhir, disarankan membantu anggota keluarga mengungkapkan hubungan antar pribadi sekarang, yang ditekankan untuk menimbulkan memori, dan menekankan orang lain untuk meningkatkan ketrampilan memecahkar; masalah yang tersembunyi dari kepribadiannya.
Adapun teknik-tekniknya adalah; pekerjaan menggambar keluarga denah keluarga, wawancara boneka keluarga, pengintaian keluarga dan keluarga mengontrak game.

2. CRISIS ORIENTED TREATMENT PROCEDURES (Perawatan
Berorientasi Krisis Prosedures)
A. Berbagai dampak terapi
Berbagai terapi keluarga suatu format psikoterapi di mana anggota beberapa keluarga-keluarga dilihat bersama-sama sebagai kelompok. Berbagai dampak terapi suatu format psikoterapi dimana anggota suatu Glossory. B. terapi krisis keluarga. Terapi krisis keluarga adalah suatu crisis-intervention orientasi terapi keluarga di mana keluarga sebaqai sistem dibantu untuk memugar kembali tingkatan yang sebelumnya dari berfungsi; dalam beberapa hal berkenaan dengan penyakit skisofrenia, opnam dapat dihindari.

TIME LIMITED TREATMENT PROCEDURES
Brief Family Therapy
Brief Family Therapy adalah suatu prosedur terapi yang memiliki batasan waktu (tidak lebih dari sepuluh sesi), prakmatis, nonhistoris, dimana setiap langkah strategis yang dibuat dalam pendekatan ini didasari pada pemahaman bahwa kebanyakan permasalahan yang dihadapi manusia berkembang karena penanganan yang tidak tepat teihadap kesulHan-kesulitan hidup. Oleh sebab itu, terapis akan berusaha untuk memperoleh gambaran yang jelas dari persoalan yang spesifik, gambaran perilaku tertentu yang membentuknya, kemudian memikirkan rencana untuk mengubah aspek dari sistem interaksi yang membuat persoalan tersebut tetap bertahan.
Klinisi melaporkan tiga langkah penanganan masalah yang justru membuat sebuah keluarga menghadapi masalah yang lebih besar lagi yaitu : (1) beberapa tindakan dibutuhkan, tetapi tidak dilakukan; (2) suatu tindakan ditampilkan pada waktu yang tidak tepat; (3) suatu tindakan dilakukan pada tingkatan yang salah. Kegagalan yang berulang hanya membuat kebingungan dan respon yang kurang lebih sama.
Versi MRI dari brief therapy berfokus pada penyelesaian kembali berbagai persoalan yang dihasilkan dari usaha awal dalam mengatasi kesulitan. Keluarga belajar penyelesaian masalah yang baru dan bersifat sistematis, daripada melanjutkan penerapan solusi yang justru merusak diri mereka dan orang lain.

Divorce Therapy
Perceraian pada kehidupan modern sekarang semakin meningkat dan telah menjadi suatu kenyataan yang dapat diterima. Banyak pasangan yang mencari terapi perkawinan dengan fokus utama adalah kemungkinan untul: bercerai. Alasan yang biasa dikemukakan adalah karena pemikahan mereka tidak lagi memuaskan, meski sebagian lagi merasa takut dengan istilah “cerai” karena berpendapat bahwa hal itu adalah kegagalan pribadi. Ada juga pasangan yang beranggapan bahwa dengan mendatangj terapi perkawinan, mereka berharap hubungan dengan pasangan dapat meningkat. Dalam semua hal ini, perceraian tampaknya alternatff yang lebih mungicin untuk dilakukan dalam mengatasi persoalan hubungan dengan pasangan.
Divorce therapy sebenarnya” tidak melibatkan teknik yang baru, tetapi menghendaki berbagai macam prosedur yang disarankan untuk berbagai tingkatan perceraian (pra-perceraian, perceraian, pasca perceraian). Divorce mediation dilemparkan sebagai suatu strategi alternatif dimana pasangan dibantu untuk sampai pada penyelesaian perceraian yang dapat diterima dan bermanfaat bagi kedua belah pihak, dengan berfokus pada saat ini dan masa depan, dan bukan pada masa lalu.

LARGE-GROUP TREATMENT PROCEDURES
Multiple Family Therapy
Multiple Family Therapy (MFT) pada awalnya diberikan pada keluarga dimana salah satu anggota keluarganya adalah pasien shizoprenia, namun kini telah diterapkan pada berbagai keadaan disfungsi keluarga dan juga setting kli.iik. Terapi model ini membantu pembentukan desired behavior lebih cepat. Hal ini terjadi karena interaksi antar keiuarga menjadi dukungan bagi terbentuknya perilaku baru yang diharapkan. Satu keluarga akan memperhatikan bagaimana pola penyelesaian masalah di keluarga yang lain pada situasi konflik, dan dilakukan analogi dalam keluaiganya sehingga dapat membentuk pola yang baru yang akan diterapkan di kelurrganya. Cara ini ternyata lebih efektif daripada memberikan terapi hanya pada pasien seca/a individual ataupun pada satu keluarga secara terpisah. Social Network Intervention
Pendekatan lain yang memanfaatkan kekuatan suatu kelompok adalah Social Networ Intervention atau disebut network therapy. Metode yang diterapkan adalah dengar mengumpulkan bersama-sama keluarga, teman-teman, tetangga, dan orang-orang ‘ang terlibat dalam kehidupan seorang pasien untuk menolong pasien dalarn proses ierapi dan rehabilitasi. Tujuannya adalah memanfaatkan kekuatan jaringan sosial yang terbentuk atau terpasang untuk mengguncangkan dan mengubah siVem keluarga yang kaku. Tujuan lain adalah untuk mengubah persepsi anggota keluarga terhadap satu sama lain, membuka jaringan komunikasi yang lebih luas dan mtmunculkan kekuatan positif keluarga dan jaringan sosial yang lebih besar.
Sejumlah bentuk terapi keluarga yang bemilai. yaitu berbagai variasi tema-lema yang disajikan pada bagian Dua, akan dibahaa disini. Beberapa- bentuk seperti terapi keluarga muliipel atau terapi dampak multifel, merepresentasikan pendekatan yang baik pada periakuan keluarga sementara yang lain seperti patung keluarga atau koreografi keluarga. adalah teknik pelengkap yang berguna bukannya pendekatan terapetik yang telah berkembeng penuh. Beberapa didasarkan pada terobosan teknologi (misalnya teknik video playback). Bentuk yang lain yaitu merepresentasikan aplikasi teknik intervensi yang sebelumnya dikembangkan lerhadap kebutuhan keluarga yang berkembang (terapi perceraian), atau ekstraoolasi pada keluarga dari prosedur klinis individu (misalnya, intervensi krisis keluarga). Terapi keluarga di rumah juga dibahas di sini dalam bentuk interver.si jaringan sosial.
Dalam Pematungan keluarga, berbagai anggota diminta untuk menggambarkan. bagaimsna mereka melihat hubungan di dalam keluarga dengan mengatur orang-orang dalam berbagai posisi fisik dalam ruang dan waktu. Koreografi keluarga, suatu teknik non verbal terkait, menciptakan pola interaksi di dalam keluarga dan membukanya pada pemeriksaan dan perubahan yang mungkin. Pemutaran video adalah teknif, terapi tambahan untuk memungkinkan sebuah keluarga untuk memandang pola peri.’akunya sendiri dengan memfilmkan sesi terapi keluarga dan segera menunjukkan pada partisipan, sinyal apa, pesan dan tranksasi yang berlanysung. Umpan balik negatif ini dan konfrontasi din mendorong perubahan. Teknik non verbal lain meliputi menggambar keluarga, menggunakan boneka, foto keluarga, dan permainan menggunakan papah.
Pada terapi dampak multipel, sebuah keluarga dalam krisis (sering dibangkitkan dengan perilaku nakal dari anggota remaja) dilihat selama periode dua hari untuk interaksi intensif dengan tim profesional kesehatan mental. Meskipun pada intinya prosedur diagnostik, sejumlah pedoman terapetik diperkenalkan oleh tim, yang menjalankan studi lanjutan dengan keluarga untuk mengevaluasi luasnya keuntungan terapetik yang dibuat. Pendekatan berorientasi krisis lain, terapi krisis keluarga, adalah teknik yang sangat terfokus untuk memobilisasi kemampuan koping keluarga untuk menghadapi situasi emerjensi keluarga, yang menghindari rawat inap psikiatris dari anggota keluarga.
Dua prosedur periakuan terbatas waklu yang bernilai adalah tempi keluarga dan terapi perceraian. Seperti dipraklekan pada MRI, ferapi keluarga singkat adalah teknik pragmatis,. stralegis dan kadang paradoks untuk pemecahan masalah dimana keluarga mempelajari solusi masalah sistemik yang baru tertiadap masalah bukannya melanjutkan solusi mengalahkan diri yang menjadi masalah dalam dan dari diri mereka sendiri. Terapi perceraian tidak melibatkan teknik baru tetapi mensyaratkan berbagai prosedur yang direkomendasikan untuk fase perceraian yang berbeda (pra perceraian, perceraian, pasca perceraian). Mediasi perceraian adalah intervensi jangka pendek non adversarial dengan sebuah tin. yang teriatih uiituk menghadapi kekhawatiran emosional dan legal dari partner yang menginginkan perceraian. I’ntuk memungkinkan pasangan bemegosiasi dalam sebuah ccra yang terbuka, adil, langsung dan setara.
Prosedur penanganan kelompok bes3r, terapi kefuarga multipel awalnya dikembangkan untuk \bekeria dengan penderita sizoprenia yang diopname dan keluarga mereka tetapi dalam tahun-tahun terakhir telah juga digunakan dengan populasi rawat jalan. Ini adalah suatu bentuk teori kelompok dimana beberapa keluarga bertemu secara teratur untuk saling membagikan masalah dan saling membantu dalam proses pemecahan masalah suatu variasi adalah kelompok pasangan menikah, yang bertemu untuk membahas masalah perkawinan umum dan menemukan solusi bersama. Bentuk lain dari pendekatan kdompok besar, intervensi jaringan sosial (terapi jaringan). mengumpulkan keluarga, teman, tetagga, dan orang lain yang signrfikan untuk membantu dalam; penanganan pasien dan rehabilitasi. Tujuannya adalah mengkapitalsasi kekuatan dari kelonpok yang dirangkai untuk menimbulkan perubahan drlam sistem keluarga yang disfungsional.

BAB XIII
BELAJAR, PRAKTEK DAN EVALUASI
TERHADAP TERAPI KELUARGA

A. Menjadi Terapis Keluarga
Pada psikoterapi individual yang konvensional, terapis hams memberikan sikap mental yang netral, pasif, tidak menilai, tidak melibatkan diri dengan perhatian yang lebih.
Terapis keluarga harus teriibat dalam proses interpersonal keluarga, membantu dan menolong pada beberapa hal, menegur dan menuntut pada hal lain, menyelesaikan anggota dari usia yang berbeda, bergerak masuk/keluar seccra bergantiandalam keteriibatan emosi tanpa kehilangan jejak interaksi dan pola transaksi keluarga.

1. Program pendidikan
Pendidikan dalam terapi keluarga sebagai sebuah profesi terdiri dari dua jenis : pendidikan tingkat sarjana dan instansi independen setingkat pasca .sarjana. Tidak seperti trainee yang lulus dari pendidikan akademik yang lebih formal dan mempeYoleh sertifikat atas profesi mereka, Musan dari program yang independen ini biasanya mencari standar profesi yang diatur oleh American Associatbn for Marriage and Family Therapy (AAMFT), meskipun pada beberapa kasus .seseorang mungkin telah mendapat gelar sarjana di tempat lain dan masuk institusi ini untuk pendidikan khusus lebih lanjut.

2. Tujuan pendidikan
a. Tujuan dasar Pendidikan Terapis Keluarga
– Menguasai ketrampilan perseptual : mengenali interaksi dan artinya, efeknya terhadap anggota keluarga dan sistem keluarga.
– Menguasai ketrampilan konseptual : me mformulasikan masalah-masalah keluarga secara sistematis.
– Menguasai Ketrampilan terapeutik : mengenali mengubah urutan transaksi keluarga.
b. Tujuan lanjut Pendidikan Terapis Keluarga
– Belajar mengkatalisasi interaksi, memahami dan mengenali pesan-pesan dari suatu hubungan.
– konfrontasi. anggota keluarga dengan apa yang mereka lakukan satu sama lain, untuk menemukan solusi ban, up.tul: menggunakan kekuatannya sebagai sebuah keluarga agar oertanggungjawab atas perubahan anggota keluarganya sendiri.
– Mampu menilai keefektifan intervensinya dan merubah pendekatan apabila periu untuk membantu keluarga berjalan dengan lebih efisien dan sedikit distress.

B. Alat Bantu Pendidikan
Ada tiga metode primer untuk pendidikan yang digunakan dalam program terapi keluarga: didaktis (pendidikan), supervisi (pengawasan) dan praktek.

1. Kursus didaktis
Komponen didaktis dari pendidikan terapi keluarga meliputi kuliah/ceramah, diskusi kelompok, demonstrasi, tugas membaca, dan role play.

2. Film dan videotape
Film-film yang berisi teknik-teknik terapi, dinamika situasi kaluarga dengan terapis, berbagai bentuk terapi dalam berbagai jenis Ueluarga (remaja yang minggat, ibu yang bekerja, dan Iain-lain).
Videotape yang rnerupakan rekaman dari terapis ahli yang
mendemonstrasikan teknik mereka dalam sesi sesungguhnya dengan
keluarga.
– •
3. Maraton
Merupakan suatu pengalaman terapi keluarga yano intensif dan tanpa henti, kadang diperpanjang beberapa hari, yang berpusat pada proses pertemuan anggota keluarga secara terus menerus.

4. Pengawasan langsung
Pengamat mengawasi sesi terapi keluarga yang sedang berlangsung melalui one way mirror atau melihat melalui monitor video, sehingga ia bisa memberi feedback pada apa yang dilakukan terapis.

C. Co-terapi: Penggunaan Kerjaoama Tim Terapeutik
Co-terapi merupakan keterlibatan secara simultan dari 2 terapis dalam seting periakuan. Hal ini pada mulanya merupakan suatu cara untuk mengikutsertakan seorang trainee dalam sesi terapeutik untuk tujuan pengajaran, dan sudah dikembangkan dengan sukses dalam menangani individu, kelompok dan keluarga.

D. Pengaturan Praktek Profesional dalsm Terapi Pernikahan/Keluarga
Seseorang yang mencari pendidikan dalam terapi pernikahan/keluarga bisa mendapat gelar sarjana dan atau profesional dari universitas atau mendapatkan persiapan profesional pada pusat yang menawarkan pendidikan khusus dalam terapi pemikahan/keluarga.
Seseorang yang mengikuti jalur akademik dan telah mendapat pengawasan
pendidikan yang disyaratkan di suatu program terakreditasi oleh asosiasi
profesional yang layak (misalnya APA) bisa mendapatkan surat ijin atau
sertifikat berdasarkan hukum pemerintah yang berlaku di negara bagian
tertentu.

E. Efektivitas Terapi Keluarga
1. Pertanyaan penelitian psikoterapi
– Apakah psikoterapi bisa membantu?
– Apakah pendidikan tinggi membantu?
– Periakuan apa, oleh siapa, yang paling efektif untuk individu dengan masalah tertentu, dengan keadaan yang bagaimana dari bagaimana itu terjadi?

2. Hasil penelitian terapi keluarga
– Terapi keluarga lebih efektrf daripada terapi individual uniuk menangani remaja nakal dalam membentuk penyesuaian din yang baru.
– Produktivitas penelitian di area ini meningkat sejalan dengan kualitas rancangan peneiitian secara umum.
3. Revisi hasil penelitian
Terapi keluarga sama atau lebih tinggi daripada jenis periakuan lain.
– Terapi keluarga lebih efektif daripada terapi individu.
Pasangan yang mengalami distress akan lebi’i mengalami kemajuan apabila mereka berdua teriibat dalam terapi secara bersama daripada terpisah.
– Ahli klinis harus waspada dengan efek kemunduian yang mungkin terjadi
dalam terapi pernikahan/keluarga, terutama saat mereka dirawat oleh
terapis dengan ketrampilan interpersonal yang rendah.

F. Terapi Keluarga di Masa Depan
Dekade selanjutnya menjanjikan perubahan dalam bentuk dan organisasi dan sistem keluarga. Program terapeutik yang berani dan banyak ide harus dikembangkan untuk menjawab tantangan di masa depan. Metode pendidikan yang baru, masyarakat baru untuk dilayani, seting baru untuk kegiatan klinis, teknik terapi keluarga yang baru dan maju.
Profesi ahli terapi keluarga (family therapist) telah menambah pengalaman belajar yang baru bagi para dokter yang mendapat pelatihan agar dapat lebih memahami fungsi individu dan memberikan psikoterapi bagi para individu. Pemahaman teori hubungan keluarga pengalaman klinis pertama kali berhadapan dengan keluarga dan memberikan bimbingan yang teliti menjadi unsur penting dalam pendidikan terapi keluarga. Pelatihan menjadi ahli terapi keluarga dapat diperoleh dengan mengikuti program paska sarjana (post¬graduate) yang telah mapan atau dapat diperoleh dari lembaga pelatihan terapi keluarga indeperiden. Bantuar, pelatihan meliputi didactic course work (perkuliahan, demonstrssi, tugas wacana); pemakaian film master therapist dan trainee videotape untuk postsession viewing yang dilakukan oleh trainee (peserta latihan) bersama supervisomya dan/atau rekan-rekan sekeias; multiple-family marathon session yang melibatkan trainee, keluarga klien, dan supervisor; serta live supervision yang dilakukan lewat bimbingan aktor oleh seorang supervisor yang berada di balik kaca (one-way mirror) dan mengawasi sesi yang berlangsung, serta menawarkan umpan balik korektif lewat telepon, earphone, atau dengan memanggil trainee keluar dari ruang terapi.

Co-therapy, yang melibatkan dua ahli terapi (terapis) dengan sebuah keluarga, dapat diselenggarakan untuk pelatihan pada saat supervisor dan supervisee (pihak yang mendapat supervisi) bekerja bersama. Pmkteknya, teknik ini sering digunakan oleh ahli terapi keluarga, seperti Whitaker, yang menekankan upaya saling dukung (mutual “support), kerja tim (teamwork), dan kesempatan agar secara bebas mengikuti bidang-bidang yang sensitif (peka) dengan keluarga sementara dengan tetap tahu bahwa -erapi lain dalam posisi mendukung, yang terikat dengan kenyataan. Haley mewakili ahli terapi keluarga yang menyatakan bahwa co-therapy lebih bcrmanfaat bagi sense of security (kepekaan terhadap keamanan) di kalangan para ahli terapi
dibandingkan terapi keluarga {family therapy). Maski demikian, Haley menganggap bahwa terapi ini tidak murah dan kurang efisien bagi seorang profesional.
Kepercayaan untuk menjalankan praktek didapat oleh para ahli terapi keluarga salah satu dari dua cara berikut ini, sesuai latihan yang diperoleh, yaitu lewat: (1) state licensing (izin resmi pemerintah) stau sertifikasi di bidang profesi kesehatan mental yang bersangkutan; atas (2) sertifikasi yang dikeluarkan oleh AAMFT yang menyatakan bahwa oara ahli terapi tersebut telah berhasil lulus program tingkat sarjana yang terakreditasi dan berpengalaman melaksanakan terapi perkawinan/keluarga (marital/family therapy) pada pusat pelatihan pasca sarjana (post-degree) yang terakreditasi Sekarang ini, di Amerika Serikat, para lulusan program terapi perkawinan/terapi keluaiga. mendapat izin atau sertifikat untuk menyelenggarakan praktek profesional tersebut di sebelas negara bagian yang adri di Amerika Serikat
Sebelumnya, hanya ada sedikit hasil penelitian vang kurang memadai di bidang terapi keluarga akibat buruknya metodologi penelitian. Sebelumnya, memang diutamakan untuk lebih menggali sejumlah ‘eknik baru, ketimbang melakukan evaluasi ilmiah. Belakangan ini, telah mulai muncul sejumlah penelitian yang lebih terancang dengan baik. Penelitian kelompok tunggal (single-group studies), yaitu penelitian yang membandingkan perawatan keluarga /tanpa perawatan pada sebuah populasi klien tertentu dan penelitian yang membandingkan dua bentnk perawatan pada sebuah populasi tertentu merupakan jenis hasil penelitian dalam terapi keluarga. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa terapi keluarga membandingkan dengan jenis penelitian perawatan lain tlan menjadi telah menjadi perawatan piiihan (treatment of choice) untuk masalah perkawinan/keluarga tertentu.
Masa depan terapi keluarga nampaknya menunjukkan titik cerah dan memiliki teknik yang sesuai untuk masa sekarang. Beberapa keuntungan terapi keluarga meliputi dasar teori yang lebih luas, lebih banyaknya perhatian terhadap beberapa faktor budaya, dapat diterapkan pada sejumlah keadaan
baru, dan dilaksanakannya evaluasi yaiig berbasis pada peneiitian yang iebih sistemaVis terhadap asumsi, prosedur, dan hasil yang ada. Ke depan, profesi ini menjanjikan sejumlah.-teknik intervensi baru, melayani populasi baru, menawarkan prosedur observasi dan pelatihan baru, mengembangkan metodologi peneiitian yang Iebih bagus, dsn menjelaskan kualifikasi yang periu dalam menghadapi sejumlah masalah klinis yang spesifik.

KOMENTAR DAN PEMBAHASAN

KOMENTAR DAN PEMBAHASAN 1
Untuk membentuk kerangka berpikir yang akan mengkritisi pokok-pokok pikiran yang dituangkan dalam buku ini, perlu dibicarakan secara teoritik dan terpisah hal-hal yang berkaitan dengan sifat manusia sebagai mahkluk individu dan sebagai mahkluk sosial. Manusia sadar bahwa ia memiliki, menguasai dan memastikan diri sendiri. Kesadaran manusia merupakan titik tolak pengertian manusia tentang wujudnya. Ia sadar bahwa segala peristiwa hidup bertalian dengan dirinya sebagai pusat; ia mengerti, mengalami dan merasa bahwa akulah yang berbuat demikian (Mariani Ga, 1999). Sebagai mahkluk individu, segala sesuatu terfokus pada dirinya sendiri. Dengan kesadaran dan akal budinya, manusia merasakan bahwa ia ada karena ia ada. Keberadaannya bukan ditentukan oleh pihak luar, tetapi oleh dirinya sendiri. Kesadaran akan dirinya sendirilah yang menjadi bukti bahwa ia ada. Ia tahu bahwa semua yang terjadi, baik dalam dirinya maupun di luar dirinya, ada hubungannya dengan dirinya. Manusia mengalami Aku ini Ada dan Aku ini Aku.
Di lain sisi, manusia juga adalah mahkluk sosial. Keberadaannya dicirikan dengan sikap terbuka kepada manusia luar. Keterbukaannya tidak hanya berarti keterarahan pada dunia, tetapi juga keterbukaan pada orang lain. Kecenderungan ini diungkapkan dengan kata eksistensi yang berarti keterbukaan (ex = keluar; sistere = berdiri). Hal ini berarti hidup mengandung keterbukaan kepada orang lain, sehingga eksistensi juga berarti koeksistensi (hidup bersama orang lain). Bahkan hubungannya dengan ora ng lain begitu meresapi manusia, sehingga rasa sunyi atau sendiri, yaitu k eadaan yang mengembalikan manusia pada diri sendiri hanya dapat dimengerti jika diandaikan, bahwa orang lain semestinya hadir, yang hidup berbagi dengannya.
Pemahaman di atas akan membantu dalam analisa terapi keluarga yang memiliki eksistensi kesadaran diri pada satu pihak dan interaksi social inter dan atau antar keluarga dengan masyarakat di pihak lain, sebab keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama dimana anak mengalami dirinya baik secara pribadi dan dalam hubungannya dengan orang lain..

KOMENTAR DAN PEMBAHASAN 2
Sebagai lingkungan yang pertama dan utama, keluarga memiliki beberapa dimensi, yang sebenarnya perlu dibahas dan dijelaskan dalam buku ini. Dimensi-dimensi tersebut sebagai berikut:
Emosi. Nathan W. Ackerman (1961) mengatakan keluarga adalah pusat strategis untuk mengerti gangguan emosional. Keluarga juga adalah pusat untuk memahami campur tangan atas kekuatan jiwa yang berhubungan dengan kesehatan dan penyakit, dalam hubungan manusiawi. Dengan perkataan lain, keluarga dapat membuat atau menghancurkan kesehatan mental. Keluarga merupakan sistem sosial yang dihubungkan dengan ikatan emosional yang begitu erat. Sebagai sistem, individu dilihat dan dipahami dalam kerangka totalitasnya. Gangguan terhadap satu bagian merupakan gangguan terhadap bagian yang lain. Dengan kata lain, gangguan yang dialami oleh seorang individu merupakan indikasi gangguan yang diderita oleh seluruh anggota keluarga. Dalam beberapa kasus gangguan jiwa misalnya, pasien yang telah dinyatakan sembuh dan diijinkan pulang, setelah beberapa bulan ternyata kembali dan hal ini terjadi beberapa kali. Menurut Virginia Satir, rasa sakit yang dialami oleh pasien tertentu seperti neurosis dan-delinkuen, adalah ungkapan yang jelas dan tersembunyi yang diderita oleh keseluruhan anggota keluarga dalam hal relasib (Satir. 1964).
Sosial. Selaku miniatur masyarakat, keluarga merupakan alat kontrol masyarakat yang sangat efektif. Faktor emosional yang mengikat hubungan keluarga memungkinkan anggota-anggotanya saling mengenal, menjaga dan memperhatikan dengan baik, sehingga tenaga, pikiran dan perhatian sepenuhnya dapat dipusatkan demi tujuan ini. Di sinilah proses sosialisasi (Nuhamara. 1994) pertama kali terjadi. Fungsinya adalah membentuk identitas diri (self-identity) melalui interaksi dengan orang-orang dalam lingkungannya. Identitas diri adalah kesatuan dari tiga hal pokok yang dimiliki seseorang yang saling berkaitan, yaitu sistem kepercayaan (belief system), sistem nilai (value system) dan pola tingkah laku (pattern of behaviour), Sosialisasi berjalan seumur hidup karena bagaimanapun manusia akan selalu berhadapan dengan realita sosial dalam hubungannya dengan orang lain. Sosialisasi dibagi lagi dalam dua kategori, sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer berpusat pada masa kanak-kanak, yang akan membentuk konsep dirinya, sistem nilai, serta pandangan dunianya dengan mengadopsi harapan-harapan, sistem nilai dan pandangan dunia orang-orang dewasa, terutama orang tua atau gurunya. Sedangkan sosialisasi sekunder merupakan kelanjutan dari sosialisasi primer, yang terjadi dengan mengadopsi nilai dan norma dalam masyarakat. Hasil sosialisasi dengan jelas dapat ditemukan dengan meninjau istilah seks dan gender. Seks selalu bersifat alami dan tidak dapat berubah sedangkan gender adalah peran yang dikonstruksikan oleh masyarakat, yang diperkuat dan berakar secara turun-temurun melalui proses sosialisasi. Gender tidaklah mutlak, dalam artian dapat diubah dan dipertukarkan. Sebagai hasil sosialisasi, kaum laki-laki harus bersifat agresif, kuat, rasional, jantan dan perkasa, sedangkan perempuan adalah kaum yang lemah, lembut, cantik, emosional, lemah-lembut dan keibuan. Pelabelan yang didasarkan pada perbedaan seks melahirkan sturktur dan pola relasi masyarakat yang tidak adil juga, misalnya istilah kanca wingkirg; swarga nunut, nanaka katut dalam masyarakat Jawa. Pemahaman ini menempatkan laki-laki sebagai penguasa yang harus lebih dominan dibandingkan perempuan yang inferior.
Reproduksi. Keluarga adalah satu-satunya lembaga sosial yang diberi tanggung jawab untuk mengubah organisme biologis menjadi manusia, dengan mengajarkannya kemampuan berbicara dan menjalankan banyak fungsi social (Goode, 1983). Dapat ditambahkan juga bahwa sturktur tali kekeluargaan merupakan suatu jaringan peran sosial yang dipersatukan oleh hubungan biologis yang benar atau diperkirakan tidak salah. Tanpa keluarga tampaknya ras manusia akan segera punah. Secara sosial keluarga dibebankan sebuah tugas khusus yang berkaitan dengan penerusan keturunan. Tentu saja hal ini berkaitan dengan masalah seks. Hubungan yang tercipta antara dua jenis kelamin yang berbeda selalu dipantau oleh masyarakat. Hubungan seks hanya dimungkin dalam sebuah lembaga yang disahkan, pernikahan, dan bertujuan untuk meneruskan keturunan. Hubungan seks di luar pernikahan adalah pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat.Selain hubungan seks pra-nikah, incest merupakan masalah lain yang sangat ditantang masyarakat. Yang disebut incest adalah hubungan seksual antara saudara laki-laki dengan saudara perempuannya, anak laki-laki dengan ibunya, atau anak perempuan dengan ayah kandungnya.
Edukasi. Long life education merupakan proses yang berlangsung seumur hidup. Meneruskan keturunan tidak hanya dalam arti kuantitatif, tapi juga dalam arti kualitatif, dengan mendidiknya secara bertanggung jawab. Ada beberapa hal yang esensial yang hanya dapat dipelajari di rumah, seperti belajar mencintai dan dicintai, keamanan dan penerimaan, hormat terhadap otoritas, membedakan mana yang benar dan mana yang salah, disiplin, tanggung jawab dan kontrol diri. Dalam hal belajar, orang tua adalah model utama bagi mereka. Dengan melihat contoh, perilaku dan sikap orang tuanya, anak-anak belajar membedakan mana yang benar dan yang salah. Anak-anak belajar dari apa yang mereka jalani dalam hidupnya dan menyerap pengetahuan tentang dunia melalui kejadian-kejadian yang dialami dan diamati. Mereka lebih banyak belajar dari pengamatan terhadap perilaku orang-orang dewasa dari pada belajar dari perkataan atau nasihat (learning by doing). Mereka lebih peka terhadap kurikulum tersembunyi di batik pengajaran, yang disampaikan lewat metode dan struktur yang bisa memperkuat atau justru bertentangan dengan isi pelajaran tersebut (Thompson, 2000). Karena itu, kata-kata yang diucapkan tidak bisa menyampaikan kebenaran, sistem kepercayaan dan pandangan seseorang terhadap dunia, sebaik kata-kata yang dilakukan melalui perbuatan ketika menjalani kehidupan sehari-hari dalam keluarga (Mulholland, 1985). Anak pertama kali merasakan cinta di dalam rumah; menemukan rasa aman dan penerimaan diri sebagai laki-laki atau perempuan, sehingga mulai belajar mencintai dirinya sendiri, yang memberikan dasar untuk mencintai orang lainOrang tua adalah otoritas pertama. Penghormatan terhadap orang tua juga merupakan basis untuk menghormati otoritas-otoritas yang lain. Bagaimana anak-anak menghormati orang tua, menentukan bagaimana mereka menghormati otoritas-otoritas yang lain di luar rumah.
Ekonomi. Tidak mungkin membentuk sebuah keluarga tanpa menyangkut pengembangan ekonomi. Tanpa ekonomi, keberlangsungan hidup sebuah keluarga akan kolaps di tengah jalan. Banyak keluarga di Indonesia, baik diperkotaan maupun di pedesaan, masih sulit memenuhi kebutuhan ekonominya, baik berupa sandang, pangan maupun papan. Anehnya, walaupun belum memiliki penghasilan (tetap), ada orang yang nekad berkeluarga juga. Keluarga yang terbentuk, dengan tanggungan tiga atau empat orang anak merupakan masalah serius yang perlu diperhatikan. Akibatnya, anak-anak yang dilahirkan tanpa kepastian ekonomis, harus turun tangan. Sebagian masalah-masalah kemiskinan, anak jalanan, pekerja anak, pelacuran (anak), dan tindak kriminal lainnya yang melanda kota-kota besar disebapkan karena kurangnya kesadaran akan hal ini.

IMPLIKASI TERHADAP PRAKTEK
BIMBINGAN DAN KONSELING DI SEKOLAH

Melalui pendalaman dan pemahaman dalam buku Family Therapy karangan Irene Goldenberg dan Herbert Goldenberg, implikasinya terhadap praktek bimbingan dan konseling disekolah sebagai berikut:

Tujuan
1. Klien (para siswa) memperoleh pemahaman tentang definisi, fungsi dan peran keluarga.
Keluarga merupakan Sistem sosial yang alami dengan hubungan darah, perkawinan, atau adopsi. Hubungan interpersonal dengan melibatkan sejumlah aturan, peran, struktur kekuasaan, dan bentuk komunikasi. Keluarga juga sebagai tempat bersosialisasi yang pertama bagi anak. Di dalamnya bakat-bakat dan karakter diperkuat lewat interaksi dengan anggota keluarga yang lain. Hubungan dengan orang tua dan saudara-saudari kandungnya menjadi penting dan menentukan. Tanpa disadari, anak merefleksikan perasaan-perasaan, nilai-nilai, kepercayaan dan pola-pola kehidupan orang tua mereka, serta menyerapnya dengan amat cepat. Itulah sebabnya keluarga juga disebut juga sebagai lingkungan utama. Pola didikan yang dialami selama masa anak-anak akan menetap hingga masa dewasa nantinya.
• (Beavers, 1982):
Fungsi keluarga yang baik adalah anggota keluarga bersedia untuk berhubungan dengan anggota keluarga yang lain, ada saling kepedulian, keterbukaan, empati, dan kepercayaan. Keluarga yang berfungsi tinggi, anggotanya lebih peduli pada kemandirian pribadi dan mengembangkan sikap toleransi.
Keluarga disfungsional biasanya antar anggota keluarga bersifat menolak, menjaga jarak dan bermusuhan. Keluarga disfungsional, anggota keluarga merespon yang lain dengan sikap pasif dan lemah. Persaingan dan konflik yang tersembunyi antar anggota keluarga disfungsional akan menyebabkan frustrasi

2. Klien (para siswa) memperoleh pemahaman tentang sistem keluarga dan siklus keluarga.
Secara struktural keluarga dibagi atas: 1.Dyadic: suami-istri; saudara kandung;
anak-orang tua 2. Tryadic: ibu-nenek-anak perempuan; ayah-kakek-anak laki-laki.
Sistem keluarga tediri dari satu set unit yang saling berinteraksi antar mereka yang ada di dalamnya.Teori system yaitu: pendekatan yang menekankan keutuhan, interaksi bagian komponen, dan organisasi sebagai pemersatu prinsip. Konsep keutuhan: terdiri dari 2 prinsip pokok, yaitu: system terbuka dan tertutup. A. Sistem Terbuka: Menerima masukan perihal, energi, dan informasi dari lingkungan dan mengeluarkannya ke lingkungan disebut negentropy, yaitu dapat menyesuaikan diri dan terbuka bagi perubahan. B. Sistem Tertutup: Tidak mempunyai pertukaran dengan lingkungan disebut entropy, yaitu tak terorganisir dan cenderung kacau.

Siklus keluarga dapat digambarkan sebagai berikut
• Tahap: Antara keluarga dan dewasa muda yang tak terikat
• Proses emosi: Menerima perpisahan dengan keluarga asal
• Perubahan yang dibutuhkan:
a. Pembedaan diri dalam hubungan dengan keluarga asal
b. Membangun hubungan intim dengan sebaya
c. Mapan dalam pekerjaan
Keluarga juga merupakan sistem social (Clinebell, 1984). Berbicara mengenai sistem, berarti berbicara mengenai sebuah hubungan yang saling terkaitan antara individu-individu yang bernaung di dalamnya. Bagian-bagian yang memainkan peranannya dan yang bergabung menjadi keluarga tidak berdiri sendiri, otonom dari bagian lainnya, tetapi membentuk sebuah pola relasi yang saling berkait-kaitan satu dengan yang lain. Saling terkaitan ini dapat dibayangkan sebagai sebuah jaring yang saling terhubung dan terikat satu dengan yang lain. Gangguan terhadap satu bagian merupakan gangguan terhadap seluruh bagian dari sistem tersebut. Jika satu bagian merasa sakit, maka bagian yang lainnya juga akan merasa sakit (I Kor 12: 12- 31).
Oleh karena itu, keluarga tidak hanya sebuah kumpulan individu yang tinggal bersama, tetapi merupakan sistem sosial yang alamiah dengan semua kepemilikan yang melibatkan sejumlah aturan main, beberapa peran, struktur kekuasaan, bentuk-bentuk komunikasi dan cara negosiasi serta pemecahan masalah. Dalam sistem keluarga, individu terikat satu dengan yang lain melalui kekuatan dan kehadiran, kelekatan emosi, dan kesetiaan yang dapat berfluktuasi dalam intensitasnya dari waktu ke waktu tetapi tidak akan pernah berakhir sepanjang rentang berakhir kehidupan keluarga.

3. Klien (para siswa) memahami berbagai perseptif teoritis terapi keluarga.
Pendekatan sosialisasi sebagai salah satu terapi keluarga dapat dibagi lagi dalam dua kategori, sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer berpusat pada masa kanak-kanak, yang akan membentuk konsep dirinya, sistem nilai, serta pandangan dunianya dengan mengadopsi harapan-harapan, sistem nilai dan pandangan dunia orang-orang dewasa, terutama orang tua atau gurunya. Sedangkan sosialisasi sekunder merupakan kelanjutan dari sosialisasi primer, yang terjadi dengan mengadopsi nilai dan norma dalam masyarakat. Hasil sosialisasi dengan jelas dapat ditemukan dengan meninjau istilah seks dan gender. Seks selalu bersifat alami dan tidak dapat berubah sedangkan gender adalah peran yang dikonstruksikan oleh masyarakat, yang diperkuat dan berakar secara turun-temurun melalui proses sosialisasi. Gender tidaklah mutlak, dalam artian dapat diubah dan dipertukarkan. Sebagai hasil sosialisasi, kaum laki-laki harus bersifat agresif, kuat, rasional, jantan dan perkasa, sedangkan perempuan adalah kaum yang lemah, lembut, cantik, emosional, lemah-lembut dan keibuan. Pelabelan yang didasarkan pada perbedaan seks melahirkan sturktur dan pola relasi masyarakat yang tidak adil juga, misalnya istilah kanca wingkirg; swarga nunut, nanaka katut dalam masyarakat Jawa. Pemahaman ini menempatkan laki-laki sebagai penguasa yang harus lebih dominan dibandingkan perempuan yang inferior.
Pendekatan sosialisasi berusaha untuk menyediakan pengajaran dan informasi yang perlu. Seharusnya bahan-bahan seperti ini disediakan oleh sekolah, tetapi barangkali seolah-olah kita di Indonesia tidak membicarakan hal itu. Terapis kadang kadang mencoba untuk menyampaikan beberapa aspek pendidikan sosial dasar ini. Namun, berhubung dengan waktu yang terbatas, sering hal itu tidak bisa terlaksana dengan mendalam. Barangkali yang kita sebut dengan Bimbingan Pernikahan itu merupakan kegiatan sosialisasi yang dalam hal ini terapis memberikan pendidikan tentang liku-liku pernikahan dan keluarga dengan tujuan agar anggota keluarga yang akan menikah memiliki bekal pengetahuan yang memadai.
Kurangnya sosialisasi menyebabkan keluarga mengalami krisis dan perkembangan tertentu yang kurang menguntungkan yang tentunya harus dicegah terjadinya, agar keluarga akan terhindar dari keruntuhan. Dalam terapi keluarga ada pendekatan yang senada dengan pendekatan sosialisasi, yaitu suatu usaha untuk menghindari masalah yang merugikan kehidupan perkawinan atau yang biasa disebut Problem Avoidance. Melalui terapi pasangan itu akan mengerti masalah-masalah yang potensial dalam perkawinan yang tidak disetujui oleh masyarakat, dan kemudian memacu keterampilan untuk menghindari itu semua dari terjadi. Misalnya, bahwa konflik fisik dalam keluarga seharusnya dihindari, karena secara sosial tidak bisa diterima. Kalau pasangan itu tahu bahwa baik hukum maupun secara sosial tidak membenarkan perceraian dalam perkawinan, maka sebelum mereka menikah mereka sudah tahu cara-cara mempertahankan perkawinan untuk seumur hidup. Dengan demikian mereka akan berusaha keras agar perkawinan mereka tidak kandas atau pecah di tengah jalan.
Untuk menghindari krisis dalam keluarga, maka keluarga harus dilihat sebagai suatu kesempatan untuk pemenuhan kebutuhan yang harus dimaximalkan (enrichment approach). Biasanya pendekatan ini lebih ditandai dengan memberikan suatu proses perkembangan individual maupun perkembangan bersama daripada seperangkat nasihat. Terapis memberikan fasilitas kepada pasangan tersebut untuk mengevaluasi pengharapan dan ketakutan mereka, sehingga sampai kepada sasaran yang paling memuaskan atau mungkin pasangan tersebut mendiskusikan pengertian masing-masing tentang seks. Issu-issu tentang komunikasi, seks, dan spiritualitas bisa diajukan sebagai topik untuk dibicarakan, sehingga mereka mendapat pengertian yang memuaskan. Issu yang memperkaya wawasan pasangan (enrichment issues), bisa timbul dari pasangan itu sendiri.

4. Klien (para siswa) mendapatkan pemahaman komprehensif tentang berbagai problematika keluarga.
Gelombang globalisasi, arus komunikasi dan informasi yang makin cepat dan canggih tidak saja menguntungkan, tetapi juga berdampak negatif yang mengancam kehidupan keluarga. Karena itu, perhatian dan pengamatan yang semakin luas dan mendalam atas keluarga sangat dibutuhkan dan disambut hangat. Keluarga adalah unit terkecil sekaligus unit dasar masyarakat, bangsa dan negara. Demikian pula keluarga merupakan unit terkecil dan unit dasar persekutuan hidup bermasyarakat, sehingga keluarga menjadi soko guru atau tiang penunjang utama masyarakat.
Makin disadari bahwa keluarga merupakan wadah yang paling ampuh dalam membangun watak, membina karakter, membentuk pribadi, dan meletakan nilai-nilai moral. Keluarga adalah vital bagi keberhasilan dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas. Berdasarkan pemahaman ini, kita perlu membahas betapa pentingnya merencanakan dan melaksanakan upaya sekolah menunjang pemecahan masalah-masalah dalam kehidupan bermasyarakat yang berdampak terhadap proses belajar para siswa disekolah. Masalah tersebut adalah perjodohan, kegagalan cinta, gagal dalam studi, frustrasi pekerjaan, pil, wil, gigolo, wanita penghibur, kenakalan remaja, perkelahian anak sekolah, ayam kampus, abg, narkoba, ekstase, perselingkuhan, perceraian dan kawin ulang, dan lain-lain, yang merupakan masalah-masalah yang lagi ngetren saat ini
Mewujudkan kasih, perhatian dan kepedulian kepada para siswa yang berada dalam masalah, terutama perasaan-perasaannya merupakan upaya konselor sekolah memberikan pertolongan, meringankan beban dan tanggung jawabnya sebagai bentuk partisipasi aktif sekolah dalam masalah-masalah masyarakat. Untuk mewujudkan tanggung jawab itu, konselor sekolah perlu mengadakan pengkaderisasi melalui pelatihan bimbingan dan konseling bagi staf dewan guru yang lain, yang bersedia diperlengkapi menjadi teman pembimbing para siswa yang bermasalah.
Bimbingan adalah suatu “penemanan” yang menumbuhkan dan mampu menghidupkan, mengembangkan kepribadian diri sendiri dengan menyadari terus menerus sebagai pelayan yang terluka, maksudnya tidak terlepas dari masalah tetapi mau menyembuhkan dan membalut luka atau masalah orang lain. Bimbingan adalah pelayanan terhadap pribadi-pribadi dengan segala keunikannya.

5. Konselor sekolah memahami tentang perkembangan anak dalam keluarga yang berdampak pada siswa dan perkembangannya di sekolah.
Perkembangan Siswa dalam Perspektif Konselor Sekolah
Seorang konselor sekolah perlu memahami pola perkembangan anak dalam hal ini adalah para siswanya. Prinsip-prinsip Perkembangan Anak sebagai berikut:
Pertama, perkembangan tidak terbatas dalam arti tumbuh menjadi besar saja, tetapi mencakup rangkaian perubahan yang bersifat progresif, teratur, koheren dan berkesinambungan. Kata progresif menandakan bahwa perubahan terjadi secara terarah, bergerak maju, bukannya mundur; sedangkan kata koheren menunjukkan adanya hubungan antara perubahan yang terjadi dan yang telah terjadi atau yang akan mengikutinya (Hurlock. 1991). Tujuannya adalah realisasi diri atau apa yang dinamakan Abraham Maslow sebagai aktualisasi diri (self-actualization) (Meadow. 2001). Kebutuhan-kebutuhan ini tersusun secara hierarkis, mulai dari yang rendah sampai yang tertinggi. Jika kebutuhan yang lebih rendah telah terpenuhi, maka ia akan bergerak kearah pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi. Bila kebutuhan yang lebih tinggi tidak terpenuhi, kesehatan mental siswa dapat terpengaruh. Untuk itu ia harus diberi kesempatan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya itu. Namun, tercapainya tujuannya itu tergantung dari hambatan-hambatan yang dihadapi dan bagaimana ia menanggulanginya. Hambatan-hambatan itu dapat berasal dari luar dirinya, seperti hilangnya kesempatan belajar atau lingkungan sosial budaya yang tidak mendukung; atau hambatan-hambatan yang berasal dari dalam dirinya seperti rasa takut, cemas, minder, dan sebagainya. Berikut ini adalah daftar susunan kebutuhan dasar manusia menurut Maslow disertai beberapa situasi yang menjadi pemicu timbulnya tiap kebutuhan (Meadow, 2001).

TABEL : KEBUTUHAN DASAR MENURUT MASLOW
KEBUTUHAN DASAR SITUASI YANG MEMICU TIMBULNYA TIAP KEBUTUHAN
Fisiologis Rasa lapar, haus, dingin, panas, sakit, kantuk, dan lelah.
Rasa Aman Terancam bahaya yang nyata atau yang dibayangkan; berada di tempat yang belum dikenal dan kurang memahami situasi.
Rasa Memiliki Merasa tersingkir atau diabaikan; merasa asing di suatu tempat dan tidak menyatu dengan lingkungan.
Cinta Kasih Tidak memiliki teman atau hubungan-hubungan afeksi yang akrab dengan orang lain; merasa tidak diperhatikan atau tidak dicintai; tidak dapat menunjukkan perhatian atau cinta kasih kepada orang lain.
Kehormatan Diperlakukan dengan kurang hormat; gagasan atau perasaan ditertawakan orang lain; dibentak, ditegur atau diperintah.
Harga Diri Mengetahui telah melanggar nilai-nilai yang dianutnya; merasa tidak mampu menghadapi situasi; merasa kurang penting, kurang berharga, atau kurang baik dari pada orang lain.
Aktualisasi Diri Terhambat dalam mengembangkan bakat atau kemampuan; tidak memiliki pekerjaan yang sesuai dan memuaskan.
Transendensi Diri Tidak berhasil mengembangkan falsafah hidup yang seutuhnya; tidak berhasil memilih dan hidup berdasarkan nilai-nilai yang luhur, hidup dengan sikap seakan-akan kita adalah pusat segalanya (serba sempurna seperti Tuhan).
Kedua, perkembangan dimulai dari respons-respons yang bersifat umum ke yang khusus. Sebagai contoh, seorang bayi akan menangis apabila mengalami semua perasaan yang tidak mengenakkan seperti rasa lapar, marah atau takut. Dengan bertambahnya umurnya, ia akan memperhatikan reaksi berbeda terhadap situasi yang berbeda juga.
Ketiga, perkembangan berlangsung secara kontinyu sehingga apa yang terjadi pada satu tahap, mempengaruhi tahap berikutnya. Sebenarnya ciri-ciri yang ada pada masa-masa perkembangan siswa sebelumnya dapat dilihat pada masa perkembangan selanjutnya, hanya saja terjadi dominasi ciri baru atas ciri-ciri yang alam. Jika yang terjadi adalah yang sebaliknya, maka hal ini memperlihatkan bahwa ada peralihan ke tahapan selanjutnya. Disamping itu, ada aspek-aspek tertentu yang tidak berkembang dan meningkat lagi. Inilah yang dinamakan fiksasi.
Keempat, terdapat perbedaan antar individu dalam perkembangan. Perbedaan-perbedaan waktu atau cepat lambanya suatu tahapan yang dilalui, memperlihatkan bahwa setiap orang memang berbeda satu dengan yang lain secara biologis dan genetic. Tidak ada dua orang yang merasakan pengaruh yang sama oleh lingkungan yang sama, demikian juga tidak ada kembar yang identik. Dengan demikian, setiap anak memiliki pola perkembangan sendiri-sendiri, walaupun ia serupa di berbagai aspek utama yang diikuti anak-anak lain.
Kelima, dalam tiap masa perkembangan terdapat apa yang dinamakan Havinghurst sebagai tugas-tugas perkembangan (development task). Tugas perkembangan berfungsi sebagai panduan bagi para guru dan orang tua untuk mengetahui apa sajakah yang harus dipelajari untuk usia tertentu, menimbulkan motivasi bagi anak untuk belajar apa yang diharapkan masyarakat darinya pada usia-usia tertentu dan menunjukan kepada para guru dan orang tua tentang apa yang diharapkan dari mereka di masa mendatang. Dengan demikian mereka merasa perlu mempersiapkan anak untuk menghadapi harapan baru tersebut. Tugas-tugas perkembangan menurut Havinghurst antara lain :

Tabel Tugas Perkembangan Menurut Havinghurst
Masa Bayi dan Awal Kanak-kanak Masa Akhir Kanak-kanak Masa Remaja
Belajar berjalan Belajar kecakapan fisik yang diperlukan untuk permainan anak-anak Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya, baik laki-laki maupun perempuan.
Belajar makan makanan padat Membangun sikap menyeluruh terhadap diri sendiri sebagai organisme yang bertumbuh Mencapai peran sosial laki-laki dan perempuan.
Belajar berbicara Belajar bergaul dengan teman sebaya. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakannya dengan efektif.
Belajar mengendalikan pembuangan sampah tubuh Belajar memainkan peran laki-laki dan perempuan yang sesuai Mengharapkan dan mencapai
perilaku sosial yang bertanggung jawab.
Belajar membedakan seks dan kesopanan seksual Membangun kecakapan dasar dalam membaca, menulis dan menghitung Mencapai kemandirian emosional dan orang tua dan orang-orang dewasa lainnya.
Mencapai stabilitas fisioliogis Membangun konsep yang diperlukan sehari-hari Mempersiapkan karir ekonomi
Membentuk konsep sederhana mengenai kenyataan sosial dan fisik Mengembangkan nurani, moralitas dan suatu skala nilai Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.
Belajar berhubungan secara emosional dengan orang tua, saudara kandung dan orang lain Mencapai kemandirian pribadi Merealisasikan satu identitas sendiri dan dapat mengadakan partisipasi dalam lingkungan teman-teman sebayanya.
Belajar membedakan yang benar dan yang salah serta mengembangkan hati nurani Membentuk sikap terhadap kelompok dan lembaga sosial

Jika dalam menyelesaikan tugas perkembangan ini terjadi penyimpangan dari norma yang ada, maka akibatnya adalah timbulnya kesulitan dalam penyesuaian baik secara sosial, emosional dan kepribadiannya terhadap lingkungan hidupnya.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Alger, I. 1976. (a). IntegratingImmediate Video Playback in Family Therapy. In P. J. Geurin,
Jr., (Ed.)., Family Therapy: Theory and Practice. New York: Gardner Press.
Beavers, W. R. 1982. Healthy, Midrange, and Severely Dysfunctional Families. In F. Walsh
(Ed.). Normal Family Processes. New York: Guilford Press.
Bertalanffy, L. Von. 1968. General Systems Theory: Fondation, Development, Applications.
New York: Braziller.
Bloch, D. A. 1974. The Family of the Psychiatric Patient. In S. Arieti (Ed.), American
Handbook of Psychiatry I: The Foundations of Psychiatry. New York: Basic Books.
Bowen, M. 1966. The Use of Family Theory in Clinical Practice. Comprehensive Psychiatry.
Bowen, M. 1976. Theory in the Practice of Psychotherapy. In P. J. Guerin, Jr. (Ed.). Family
Therapy: Theory and Practice. New York: Gardner Press.
Bowen, M. 1978. Family Therapy in Clinical Practice. New York: Aronson.
Carter, E. A., & McGoldrick, M. 1980. The Family Life Cycle and Family Therapy: An
Overview. In E. A. Carter & M. McGoldrick (Eds). The Family Life Cycle:
A Framework for Family Therapy. New York: Gardner Press.
Clinebell Howard, Basic Types of Pastoral Care & Counseling: Resources For the Ministry of
Healing and Growth. Nashville; (Abingdon Press, 1984).
Duvall, E. M. 1977. Marriage and Family Development (5th ed.). New York: Lippincott.
Ester Mariani Ga. 1999. Cinta Dalam Kemitraan: Pendekatan Filsafat Terhadap Relasi
Perempuan dan Laki-Laki. Salatiga,
Goldenberg, I., Goldenberg, H. 1985. Family Therapy: An Overview. Brooks/Cole
Publishing Company. Pasific Grove. California.
Gray, W., Duhl, F. J., & Rizzo N. D. 1969. General Systems Theory and Psychiatry. Boston:
Little, Brown.
Hardiwiratno. 1994. Menuju Keluarga Bertanggung Jawab. Jakarta.
Hoffman, L. 1980. The Family Life Cycle and Discontinuous Chang. In E. A. Carter & M.
McGoldrick (Eds). The Family Life Cycle: A Framework for Family Therapy. New
York: Gardner Press.
Hurlock, Elisabeth B. 1972. Child Development: fifth edition, McGraw Hill Kogakuasha LTD.
Kantor, D., & Lehr, W. 1975. Inside the Family: Toward a Therapy of Family Process. San
Fransisco: Jossey-Bass.
Kaplan, M. L., & Kaplan, N. R. 1978. Individual and Family Growth: A Gestalt Approach.
Family Process.
Kempler, W. 1981. Experiential Psychotherap within Familes. New York: Brunner/Marzel.
Lewis, J. M., Beavers, W. R., Gossett, J. T., & Phillips, V. A. 1976. No Single Thread:
Psychological Health in Family Systems. New York: Brunner/Mazel.
Lidz, R., & Lidz, T. 1949. The Family Enviroment of Schizophrenic Patients. American
Journal of Psychiatry.
Marry Jo Meadow. 2001. Memahami Orang Lain: Meningkatkan Komunikasi dan Hubungan
Baik Dengan Orang Lain. Yogyakarta,
Marjorie L. Thompson. 2000. Keluarga Sebagai Pusat Pembentukan: Sebuah Visi tentang
Peran Keluarga dalam Pembentukan Rohani. Jakarta.
Menninger, K. 1963. The Vital Balance. New York: Viking Press.
Miller, J. G. 1978. Living systems. New York: McGraw-Hill.
Nathan W. Ackermar., “Emergence of Family Psychotherapys on the Present Scene, ” dalam
Contemporary Psychotherapies, Morris [. Stein, ed. (Glencoa, III: Free Press, 1961),
Reiss, D. 1981. The Family’s Construction of Reality. Cambridge, Mass.: Harvard Uniersity
Press.
Robert Mulholland, Jr. 1985. Shaped by the Word, The Power of Scripture in Spiritual
Formation (Nashville, Tenn.: The Upper Room).
Satir, V. M. 1964. Conjoint Family Therapy. Palo Alto, Calif.: Science and Behavior Books.
Satir, V. M. 1982. The Therapist and Family Therapy: Process Model. In A. M. Horne & M. M.
Ohlsen (Eds.). Family Counseling and Therapy. Itasca. Ill,: F. E. Peacock.
Shapiro, R. L. 1967. The Origin of Adolescent disturbance in the Family: Some Considerations
in Theory and Implications for Therapy. In C. H. Zuk and I. Boszormenyi-Nagy (Eds.)
Family Therapy and disturbed Families. Palo Alto, Calif: Science and Behavior Books.
Steinglass, P. 1978. The Conceptualization of Marriage from a Systems Theory Perspective. In
T. J. Paolino, Jr. & B. S. McCrady (Eds.), Marriage and Marital Therapy:
Psychoanalytic, Behavioral and Systems Theory Perspective. New York:
Brunner/Mazel.
Stierlin, H. 1972. Separating Parents and Adolescents. New York: Quadrangle..
Stuart, R. B. An Operant-Interpersonal Treatment for Marital Discord. Journal of Consulting
and Clinical Psychology.
Watzlawick, P. 1966. A Structural Family Interview. Family Process.
Whitaker, C. A. 1976. (a). A Family is a Four Dimensional Relationship. In P. J. Guerin, Jr.
(Ed.). Family Therapy: Theory and Practice. New York: Gardner Press.
William J. Goode. 1983. Sosiologi Keluarga. BPK Gungng Mulia: Jakarta.

ARTIKEL, MAKALAH
Daniel Nuhamara. 1994. Diktat Pembimbing Pendidikan Agama Kristen: Jakarta.

BIMBINGAN KONSELING ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)

Februari 12, 2010

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pusat dari sistem interpersonal dalam tiap kehidupan seseorang adalah keluarga. Seorang bayi belajar bagaimana hidup dan menerima kehidupan itu melalui interaksinya dalam keluarga. Interaksi seseorang di masa depan memperlihatkan intensitas ikatan emosi dan kepercayaan dasar terhadap diri dan dunia luar yang dihasilkan pada interaksi awal dalam keluarga (Framo, 1976, dalam Kendall, 1982:517).
Keluarga merupakan kesatuan yang terkecil di dalam masyarakat tetapi menempati kedudukan yang primer dan fundamental. Faktor keluarga sangatlah penting karena merupakan lingkungan pertama bagi seorang anak, dimana keluarga memiliki peranan di dalam pertumbuhan dan perkembangan pribadi seorang anak.
Di dalam keluarga seringkali terjadi permasalahan yang muncul baik dari luar mapun dari dalam keluarga itu sendiri. Salah satu dari adanya masalah keluarga adalah anak. Banyak faktor yang menyebabkan seorang anak menjadi masalah di dalam sebuah keluarga. Kesalahan pendidikan dari orang tua meupun faktor lingkungan anak yang kurang kondusif dapat mengakibatkan permasalahan di dalam keluarga. Sebuah keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khususpun seringkali menjadi sebuah masalah dalam keluarga.
Layanan bimbingan dan konseling sangat dibutuhkan dalam membantu menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam keluarga. Dalam bimbingan keluarga mengupayakan pemberian bantuan kepada para individu sebagai pemimpin atau anggota keluarga agar mereka mampu menciptakan keluarga yang utuh dan harmonis, memberdayakan diri secara produktif, dapat menciptakan dan menyesuaikan diri dengan norma keliarga, serta berperan atau berpartisipasi aktif dalam mencapai keluarga yang bahagia.

B. Batasan masalah
1. Konsep dasar mengenai bimbingan dan konseling
2. Konsep dasar mengenai perkembangan keluarga
3. Konsep dasa dan pendekatan mengenai konseling keluarga

C. Tujuan Pembuatan Makalah
1. Mengetahui konsep dasar bimbingan dan konseling
2. Mengetahui konsep dasar tentang konseling keluarga, tujuan serta prinsip konseling keluarga.
3. Mengetahui konsep dasar tentang perkembangan keluarga
4. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Konseling Anak Berkebutuhan Khusus
D. Sistematika Pembuatan Makalah
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II ISI
A. Konsep Dasar
1. Bimbingan dan Konseling
a. Pengertian Bimbingan dan Konseling
b. Fungsi Bimbingan dan Konseling
c. Jenis-jenis Bimbingan dan Konseling
2. Perspektif Perkembangan Keluarga
a. Pengertian Keluarga
b. Perkembangan Keluarga
c. Keluarga sebagai Sistem Psikososial
B. Konseling Keluarga (Family Konseling)
1 Pengertian Konseling Keluarga
2. Tujuan dan Prinsip Konseling Keluarga
3. Landasan-landasan Sejarah dan Praktik Kontemporer Konseling keluarga
a. Sejarah dan Perkembangan Konseling Keluarga
b. Pendekatan dalam Konseling keluarga
Pendekatan Psikodinamik
Pendekatan Humanistik/Eksperensial
Pendekatan Bowen
Pendekatan Struktural
Pendekatan Strategis atau Komunikasi
Pendekatan Behavioral
4. Peran Intervensi pada Konseling Keluarga
5. Proses Konseling
C. Penelitian, Latihan, dan Praktik Profesional
BAB III ANALISIS MATERI
BAB IV KESIMPULAN
Lampiran soal

BAB II
ISI

A. Konsep Dasar
1. Bimbingan dan Konseling
a. Pengertian Bimbingan dan Konseling
Pada dasarnya, bimbingan merupakan pembimbing untuk membantu mengoptimalkan individu. Bimbingan merupakan suatu alat untuk mendewasakan anak.
Konseling adalah upaya membantu individu melalui proses interaksi yang bersifat pribadi antara konselor dan konseli mampu memahami diri dan lingkungannya, mampu membuat keputusan dan menentukan tujuan berdasarkan nilai yang diyakininya sehingga konseli merasa bahagia dan efektif perilakunya.
Bimbingan dan konseling adalah suatu proses pemberian bantuan kepada seseorang dan atau sekelompok orang yang bertujuan agar masing-masing individu mampu mengembangkan dirinya secara optimal, sehingga dapat mandiri dan atau mengambil keputusan secara bertanggungjawab

b. Fungsi dan Tujuan Bimbingan dan Konseling
Tujuan bimbingan adalah agar individu dapat :
1. merencanakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karier, serta kehidupan pada masa yang akan datang.
2. mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimiliki seoptimal mungkin.
3. menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan, lingkungan masyarakat, serta lingkungan kerjanya.
4. mengatasi hambatan serta kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkungan pendidikan, masyarakat, ataupun lingkungan kerjanya.
Fungsi bimbingan yaitu sebagai berikut:
1. fungsi pengembangan, merupakan fungsi bimbingan dalam mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimiliki individu
2. fungsi penyaluran, merupakan fungsi bimbingan dalam membantu individu memilih dan memantapkan penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahlian, dan ciri-ciri kepribadian lainnya.
3. fungsi adaptasi, yaitu fungsi membantu para pelaksana pendidikan khususnya guru atau dosen, wydiaiswara, dan wali kelas untuk mengadaptasikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhan individu.
4. fungsi penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dalam membantu individu menemukan penyesuaian diri dari perkembangannya secara optimal.

Tujuan Konseling pada umumnya dan disekolah khususnya adalah sebagai berikut:
1. mengadakan perubahan perilaku pada diri individu sehingga memungkinkan hidupnya lebih produktif dan memuaskan.
2. memelihara dan mencapai kesehatan mental yang positif
3. penyelesaian masalah
4. mencapai keefektifan pribadi
5. mendorong individu mampu mengambil keputusan yang penting bagi dirinya

c. Jenis-Jenis Bimbingan
Jenis bimbingan dibagi menjadi empat bagian yaitu:
1. bimbingan akademik, yaitu bimbingan yang diarahkan untuk membantu para individu dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah akademik.
2. bimbingan sosial pribadi, merupakan bimbingan untuk membantu para individu dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial pribadi.
3. bimbingan karier, yaitu bimbingan untuk membantu individu dalam perencanaan, mengembangkan, dan menyelesaikan masalah-masalah karier, seperti pemahaman terhadap tugas-tugas kerja.
4. bimbingan keluarga, merupakan upaya pemberian bantuan kepada para individu sebagai pemimpin atau anggota keluarga agar mereka mapu menciptakan keluarga yang utuh dan harmonis, memberdaya diri secara produktif, dapat menciptakan dan menyesuaikan diri dengan norma keluarga, serta berperan serta berpartisipasi aktif dalam mencapai kehidupan keluarga yang bahagia.

2. Perspektif Perkembangan Keluarga
a. Pengertian Keluarga
Keluarga merupakan satuan terkecil dari masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Secara lebih luas (Sayekti Puja Suwarno 1994 : 2) bahwa keluarga merupakan suatu ikatan dasar atas dasar perkawinan antara dua orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama antara seorang laki-laki dengan perempuan yang sudah mempunyai anak atau tanpa anak baik anaknya sendiri atau adopsi dan tinggal dalam sebuah rumah tangga.
Disamping itu Emil Salim 1983 menyatakan bahwa keluarga merupakan bagian terkecil dari susunan masyarakat yang akan menjadi dasar dalam mewujudkan suatu negara.
Menurut pengertian psikologis, keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan dan saling menyerahkan diri (Soelaeman 1994 : 5-10).
Sedangkan dalam pengertian Pedadogis keluarga adalah “satu” persekutuan hidup yang dijalin oleh kasih sayang antara pasangan dua jenis manusia yang kukuhkan dengan pernikahan, yang bermaksud untuk saling menyempurnakan diri itu terkandung perealisasian peran dan fungsi sebagai orang tua (Soelaeman 1994 : 12).
b. Kerangka Berfikir Tentang Keluarga
Keluarga merupakan sistem sosial yang alamiah, berfungsi membentuk aturan-aturan, komunikasi, dan negosiasi diantara para anggotanya. Keluarga melakukan suatu pola interaksi yang diulang-ulang melalui partisipasi seluruh anggotanya. Strategi-strategi konseling keluarga terutama membantu terpeliharanya hubungan-hubungan keluarga, juga dituntut untuk memodifikasi pola-pola transaksi dalam memenuhi kebutuhan anggota keluarga yang mengalami perubahan.
Dalam perspektif hubungan, konselor keluarga tidak menghilangkan signifikansi proses intrapsikis yang sifatnya individual, tetapi menempatkan perilaku individu dalam pandangan yang lebih luas. Dengan demikian, ada perubahan paradigma dari cara-cara tradisional dalam memahami perilaku manusia kedalam epistimologi cybernetic. Paradigma ini menekankan mekanisme umpan balik beroperasi dalam menghasilkan stabilitas serta perubahan. Kausalitas sirkuler terjadi didalam keluarga. Konselor keluarga lebih memfokuskan pemahaman proses keluarga daripada mencari penjelasan-penjelasan yang sifatnya linier. Dalam kerangka kerja seperti ini, simptom yang ditunjukan pasien dipandang sebagai cerminan dari sistem keluarga yang tidak seimbang
c. Perkembangan Keluarga
Satu cara untuk memahami individu-individu dan keluarga mereka, yaitu dengan cara meneliti perkembangan mereka lewat siklus kehidupan keluarga. Berkesinambungan dan berubah merupakan ciri dari kehidupan keluarga. Sistem keluarga itu mengalami perkembangan setiap waktu. Perkembangan keluarga pada umumnya terjadi secara teratur dan bertahap. Apabila terjadi kemandegan dalam keluarga, hal itu akan mengganggu sistem keluarga. Kemunculan perilaku simptomatik pada anggota keluarga pada saat transisi dalam siklus kehidupan keluarga menandakan keluarga itu mengalami kesulitan dalam menyesuaikan dengan perubahan.
Siklus kehidupan keluarga mengarah pada suatu pengaturan tema mengenai pandangan bahwa keluarga itu sebagai sistem yang mengalami perubahan. Ada tugas-tugas perkembangan khusus yang harus dipenuhi untuk setiap perkembangannya.
Dalam keluarga, laki-laki dan perempuan dibesarkan dengan perbedaan harapan peranan, pengalaman, tujuan, dan kesempatan. Perbedaan jenis kelamin ini, kelak mempengaruhi interaksi suami istri. Banyaknya perempuan yang memasuki dunia kerja akhir-akhir ini mempengaruhi juga tradisi peran laki-laki dan perempuan mengenai tanggung jawab rumah tangga dan kerja di luar rumah.
Kesukuan dan pertimbangan sosio-ekonomi juga mempengaruhi gaya hidup keluarga. Terlebih dahulu, hal yang harus diperhatikan adalah membantu menentukan bagaimana keluarga itu membentuk nila-nilai, menentukan pola-pola perilaku, dan menentukan cara-cara mengekspresikan emosi, serta menentukan bagaimana mereka berkembang melalui siklus kehidupan keluarga. Hidup dalam kemiskinan dapat mengikis struktur keluarga dan menciptakan keluarga yang tidak terorganisasi. Dalam keluarga miskin, perkembangan siklus kehidupan sering dipercepat oleh kehamilan dini dan banyaknya ibu-ibu yang tidak menikah. Tidak adanya ayah dirumah memungkinkan nenek, ibu dan anak perempuan itu lebih saling berhubungan.
d. Keluarga Sebagai Sisten Psikososial
Teori sistem umum memberikan dasar teoritis pada teori dan praktik konseling keluarga. Konsep-konsep menegnai organisasi dan keutuhan menekankan secara khusus, bahwa sistem itu beroperasi secara utuh terorganisasi. Sistem tidak dapat dipahami secara tepat jika dibagi kedalam beberapa komponen.
Keluarga mencerminkan sistem hubungan yang komplit, terjadi kausalitas sikuler dan multidimensi. Peran-peran keluarga sebagian besar tidak statis, perlu dipahami oleh anggota keluarga untuk membantu memantapkan dan mengatur fungsi keluarga. Keseimbangan dicapai dalam keluarga melalui proses interaksi yang dinamis. Hal ini membantu memulihkan stabilitas yang sewaktu-waktu terancam, yaitu dengan pengaktifan aturan yang menjelaskan hubungan-hubungan. Pada saat perubahan keluarga terjadi, siklus umpan balik positif dan negatif membantu memulihkan keseimbangan.
Subsistem-subsistem dalam keluarga melakukan fungsi-fungsi keluarga secara khusus. Hal terpenting dan berarti adalah subsistem suami istri, orang tua, dan saudara kandung. Batas-batas sistem membantu memisahkan sitem-sistem, sebaik memisahkan subsistem-subsitem di dalam sistim secara keseluruhan.
Sistem-sistem keluarga berinteraksi dengan sistem-sistem yang lebih besar lagi di luar rumah, seperti sistem tempat peribadatan, sekolah dan tempat perawatan. Dalam beberapa kasus, terjadi pengaburan masalah-masalah keluarga dan pertentangan penyelesaian dari para pemberi bantuan dalam sistem makro. Dalam konteks yang lebih luas, batas-batas diantara para pemberi bantuan sama baiknya dengan batas-batas diantara keluarga klien. Batas-batas itu mungkin perlu dijelaskan dalam sistem makro agar beroperasi secara efektif.

B. Konseling keluarga (Family Counseling)
1. Pengertian Konseling Keluarga
Family Counseling (konseling keluarga) didefinisikan sebagai suatu proses interaktif yang berupaya membantu keluarga memperoleh keseimbangan homeostasis, sehingga setiap anggota keluarga dapat merasa nyaman (comfortable).

2. Tujuan dan Prinsip Konseling Keluarga
Prinsip-prinsip konseling keluarga
1. Bukan metode baru untuk mengatasi human problem.
2. Setiap anggota adalah sejajar, tidak ada satu yang lebih penting dari yang lain.
3. Situasi saat ini merupakan penyebab dari masalah keluarga dan prosesnyalah yang harus diubah.
4. Tidak perlu memperhatikan diagnostik dari permasalahan keluarga, karena hal ini hanya membuang waktu saja untuk ditelusuri.
5. Selama intervensi berlangsung, konselor/terapist merupakan bagian penting dalam dinamika keluarga, jadi melibatkan dirinya sendiri.
6. Konselor/terapist memberanikan anggota keluarga untuk mengutarakan dan berinteraksi dengan setiap anggota keluarga dan menjadi “intra family involved”.
7. Relasi antara konselor/terapist merupakan hal yang sementara. Relasi yang permanen merupakan penyelesaian yang buruk.
8. Supervisi dilakukan secara riil/nyata (conselor/therapist center) (Perez,1979).

Tujuan Konseling Keluarga
1. Membantu anggota keluarga untuk belajar dan secara emosional menghargai bahwa dinamika kelurga saling bertautan di antara anggota keluarga.
2. Membantu anggota keluarga agar sadar akan kenyataan bila anggota keluarga mengalami problem, maka ini mungkin merupakan dampak dari satu atau lebih persepsi, harapan, dan interaksi dari anggota keluarga lainnya.
3. Bertindak terus menerus dalam konseling/terapi sampai dengan keseimbangan homeostasis dapat tercapai, yang akan menumbuhkan dan meningkatkan keutuhan keluarga.
4. Mengembangkan apresiasi keluarga terhadap dampak relasi parental terhadap anggota keluarga (Perez, 1979).

3. Landasan-landasan Sejarah dan Praktik Kontemporer Konseling keluarga
a. Sejarah dan Perkembangan Konseling Keluarga
Konseling keluarga ini distimuli oleh penelitian mengenai keluarga yang anggotanya mengalami schizophrenia. Konseling keluarga berkembang mencapai kemajuan pada tahun 1950-an. Pada tahun 1960-an, para pelopor konseling keluarga memutuskan untuk bekerja sama dengan para konselor yang berorientasi individual.
Teknik-teknik dalam konseling keluarga berkembang dengan pesat memasuki tahun 1970-an. Inovasi teknik terapeutik diperkenalkan termasuk pendekatan behavioral yang dikaitkan dengan masalah-masalah keluarga. Pada tahu 1980-an, konseling perkawinan dan konseling keluarga menjadi satu. Para praktisi dari berbagai disiplin keahlian menjadikan konseling keluarga sebagai ciri propesional mereka. Pada saat sekarang, konseling keluarga lebih menekankan penanganan masalah-masalah secara kontekstual daripada secara terpisah dengan individu-individu. Tantangan yang dihadapi oleh konseling keluarga pada tahun 1980-an adalah mengintegrasikan berbagai pendekatan konseling keluarga dan menggunakan kombinasi-kombinasi dari teknik-teknik yang dibutuhkan untuk populasi-populasi yang berbeda.
b. Pendekatan dalam Konseling keluarga
Pendekatan Psikodinamik
Sebagian besar, pandangan psikodinamik berdasar pada model psikoanalisis, memberikan perhatian terhadap latar belakang dan pengalaman setiap anggota keluarga sebanyak pada unit keluarga itu sendiri. Para konselor psikodinamik menaruh perhatian yang tinggi terhadap masa lalu yang melekat pada individu-individu, dalam model psikodinamik, pasangan suami istri yang menderita dikaitkan dengan introjeksi pathogenic setiap pasangan yang membawanya pada hubungan.
Nathan Acherman, pelopor konselor keluarga berupaya mengintegrasikan teori psikoanalitik yang berorientasi pada intrapsikis dengan teori sistem dengan menekankan hubungan antarpribai. Dia memandang ketidakberfungsian keluarga akibat hilangnya peran yang saling melengkapi diantara para anggota, akibat konflik yang tetap tidak terselesaikan, dan akibat korban yang merugikan. Upaya-upaya teurapetiknya bertujuan untuk membebaskan ”pathologis” yang berpautan satu sama lain. James Framo, konselor keluarga generasi pertama, meyakini bahwa konflik intrapsikis yang tidak terselesaikan dibawa dari keluarganya, diteruskan dalam bentuk proyeksi kedalam hubungan-hubungan yang terjadi pada saat ini, seperti hubungan suami istri atau anak. Dengan menggunakan pendekatan hubungan objek, Framo berusaha menghilangkan introjeksi-introjeksi. Dalam proses ini, dia berbicara dengan pasangan suami istri itu sendirian, kemudian memasuki kelompok pasangan suami istri, dan akhirnya mengadakan pertemuan-pertemuan secara terpisah dengan setiap pasangan dan anggota keluarganya yang asli.
Ivan Boszormenyi-Nagy dan kelompoknya memfokuskan pada pengaruh masa lalu terhadap fungsi-fungsi sekarang dalam seluruh anggota keluarga. Dalam pandangan ini, keluarga mempunyai loyalitas yang invisible (tidak tampak), kewajiban-kewajiban yang berakar pada generasi lalu, dan perhitungan-perhitungan yang tidak menentu. Hal-hal seperti itu perlu diseimbangkan atau ditata. Pendekatan teraputik kontekstual dari Boszormenyi-Nagy berupaya untuk menata kembali tanggung jawa, perilaku yang terpercaya, dan memperhitungkan hak-hak dari seluruh kepeduliannya.
Robin Skynner berpendapat, bahwa orang dewasa yang mengalami kesulitan berhubungan telah mengembangkan harapan-harapan yang tidak realistis terhadap orang lain dengan cara membentuk sistem-sistem projeksi yang dikaitkan dengan kekurangan-kekurangan pada masa kanak-kanak. Upaya terapeutik Skinner, yaitu secara khusus mengembankan versi berupaya memfasilitasi perbedaan-perbedaan diantara pasangan-pasangan perkawinan. Dengan demikian, setiap pasangan menjadi lebih independent.
John Bell, pendiri konseling keluarga mendasarkan pendekatannya pada teori-teori psikologis sosial tentang perilaku kelompok kecil. Pendekatan konseling kelompok keluarga mempromosikan interaksi; memfasilitasi komunikasi, menjelaskan, dan menafsirkan. Pada tahun-tahun sekarang ini, Bell mengarahkan perhatiannya untuk membantu menciptakan lingkungan-lingkungan keluarga meningkat dengan menggunakan teknik-teknik intervensi yang ia sebut dengan konseling kontekstual.
Pendekatan ini menggunakan cara dan strategi psikoterapi individual dalam situasi Keluarga dengan:
– mendorong munculnya insight tentang diri sendiri dan anggota keluarga.
– untuk membantu keluarga dalam pertukaran emosi
Kontak konselor hanya sementara dan konselor akan menarik diri jika keluarga telah mampu mengatasi problemnya secara konstruktif.
Dasar Pemikiran
Proses unconsciousness (bawah sadar) mempengaruhi hubungan kebersamaan antaranggota keluarga dan mempengaruhi individu dalam membuat keputusan tentang siapa yang dia nikahi. Objects ( orang-orang yang penting / signifikan dalam kehidupan) diidentifikasi atau ditolak. Kekuatan unconsciousness benar-benar dianggap sangat berpengaruh.
Peranan Konselor :
Seorang guru dan interpreter pengalaman (analisis).
Treatment : individual , kadang-kadang dengan keluarga
Tujuan Treatment :
Untuk memecahkan interaksi yang tidak berfungsi dalam keluarga yang didasarkan pada proses unconsciousness (bawah sadar), untuk merubah disfungsional individu.
Teknik :
Transference, analisa mimpi, konfrontasi, focusing pada kekuatan-kekuatan, riwayat hidup.
Aspek-aspek yang unik :
Konsentrasi pada potensi unconsciousness (bawah sadar) dalam perilaku individu,mengukur defence mechanism (mekanisme pertahanan diri) yang dasar dalam hubungan keluarga, menyarankan treatment mendalam pada disfungsionalitas (ketidakmampuan berfungsi).

Pendekatan Eksperensial atau Humanistik
Para konselor keluarga eksperensial atau humanistik menggunakan ”immediacy” terapeutik dalam menghadapi anggota-anggota keluarga untuk membantu memudahkan keluarga itu berkembang dan memenuhi potensi-potensi individunya. Pada dasarnya, pendekatan ini tidak menekankan pada teoritis dan latar belakang sejarah. Pendekatan ini lebih menekankan pada tindakan daripada wawasan dan interpretasi. Pendekatan ini memberikan pengalaman-pengalaman dalam meningkatkan perkembangan, yaitu melalui interaksi antara konselor dan keluarga.
Praktisi utama pendekatan eksperensial adalah Carl Whitaker dan Walter Kempler. Dalam kerjanya, Whitaker menekankan perlunya memperhatikan hambatan-hambatan intrapsikis dan hubungan antarpribadi dalam mengembankan dan mematangkan keluarga. Pendekatan konseling keluarga sering melibatkan ko-konselor, pendekatanya dirancang untuk menggunakan pengalaman-pengalaman nyata dan simbolis yang muncul pada saat proses terapeutik. Dia mengakui, bahwa intervensinya sebagian besar dikendalikan oleh ketidaksadarannya. Whitaker memperkenalkan ” konseling yang tidak masuk akal ” dirancang untuk mengejutkan, membingungkan, dan akhirnya menggerakkan sistem keluarga yang terganggu.
Kempler, seorang praktisi dari konseling keluarga Gestalt membimbing individu-individuuntuk mengatasi hal-hal yang akan memperdayakan dirinya di luar kebiasaanya, serta mempertahankan dirinya. Dia mengkonfrontasikan dan menantang seluruh anggota keluarga untuk mengeksplorasi sebagaimana kesadaran diri mereka sendiri terhambat dan bagaimana menyalyrkan kesadaran mereka ke dalam hubungan yang lebih produktif dan terpenuhi dengan anggota lainnya.
Konselor keluarga terkenal yang berorientasi pada humanistik adalah Virginia Satir. Dalam pendekatannya, dia memadukan kesenjangan komunikasi antara anggota keluarga dan orientasi humanistik dalam upaya membangun harga diri dan penilaian diri seluruh anggota keluarga. Dia meyakini, bahwa dalam diri manusia terdapat sumber-sumber yang diperlukan manusia untuk berkembang. Dia memandang tugasnya sebagai orang yang membantu manusia memperoleh jalan untuk memelihara potensi-potensinya mengajarkan manusia menggunakan potensinya secara efektif.
Dasar pemikiran
Masalah-masalah keluarga berakar dari perasaan-perasaan yang di tekan, kekakuan, penolakan / pengabaian impuls-impuls, kekurangwaspadaan, dan kematian emosional.
Peran konselor
Konselor menggunakan pribadinya sendiri. Mereka harus terbuka, spontan, empatic, sensitive dan harus mendemonstrasikan perhatian dan penerimaan. Mereka harus memperlakukan dengan terapi regresi dan mengajari anggota keluarga keterampilan-keterampilan baru dalam mengkomunikasikan perasaan-perasaan secara gamblang.
Unit Treatment
Difocuskan pada individu dan ikatan-ikatan pasangan. Whitaker mengkonsentrasikan perhatiannya dengan mempelajari tiga generasi keluarga.
Tujuan Treatment
Untuk mengukur pertumbuhan, perubahan, kreativitas, fleksibilitas, spontanitas dan playfulness, untuk membuat terbuka apa yang tertutup, untuk mengembangkan ketertutupan emosional dan mengurangi kekakuan, untuk membuka defence-defence, serta untuk meningkatkan self-esteem.
Teknik
Memahat keluarga dan koreografi , keterampilan-keterampilan komunikasi terbuka, humor, terapi, seni, keluarga, role-playing, rekonstruksi keluarga, tidak memperhatikan teori-teori dan menekankan pada intuitive spontan, berbagi perasaan dan membangun atmosfer emosional mendalam dan memberi sugesti-sugesti serta arahan-arahan.
Aspek-aspek unik
Mempromosikan kreativitas dan spontanitas dalam keluarga, mendorong anggota-anggota keluarga untuk mengubah peran mengembangkan pengertian terhadap diri sendiri dan pengertian pada yang lain, humanistik dan memperlakukan seluruh anggota keluarga dengan status yang sama, mengembangkan kewaspadaan
perasaan di dalam dan diantara anggota keluarga, mendorong pertumbuhan.

Pendekatan Bowen
Pendekatan Murray Bowen terkenal dengan teori sistem keluarga. Pendekatan ini dianggap sebagai sesuatu yang menjebatani pendangan-pandangan yang berorientasi psikodinamik dengan pandangan-pandangan yang lebih menekankan pada sistem. Bowen mengkonseptualisasikan keluarga sebagai sistem hubungan emosional. Bowen mengemukakan, ada delapan konsep yang saling berpautan dalam menjelaskan proses emosional yang terjadi dalam keluarga ini dan keluarga yang diperluas.
Landasan dasar teori Bowen adalah konsep diferensial diri. Konsep ini berkembang di mana anggota keluarga dapat memisahkan fungsi intelektualnya dengan emosionalnya. Mereka menghindari fusi dan sewaktu-waktu emosi mendominasi keluarga. Dalam keadaan tegang, hubungan dua anggota keluarga mempunyai kecenderungan untuk mencari anggota yang ketiga (melakukan triangulasi) untuk menurunkan intensitas ketegangan dan memperoleh kembali kestabilan. Sistem emosional keluarga inti, biasanya dibentuk oleh pasangan-pasangan perkawinan yang mempunyai kemiripan tingkat diferensiasi. Jika sistem tidak stabil, para pasangan mencari cara untuk mengurangi ketegangan dan memelihara keseimbangan. Posisi saudara kandung orang tua dalam keluarga asal mereka memberikan tanda terhadap anak yang dipilihnya dalam proses projeksi keluarga.
Bowen menggunakan konsep emosional cutoff untuk menjelaskan bagaimana sebagian anggota keluarga berupaya memutuskan hubungan dengan keluarga mereka atas anggapan yang keliru bahwa mereka dapat mengisolasi diri mereka dari fusi. Posisi saudara kandung dari setiap pasangan perkawinan akan mempengaruhi interaksi mereka. Dalam pengembangan teorinya terhadap masyarakat yang lebih luas, Bowen percaya bahwa tekanan-tekanan eksternal yang kronis merendahkan tingkat berfungsinya diferensiasi masyarakat, hal itu hsil pengaruh regresi masyarakat.
Sebagai bagian konseling keluarga sistem Bowen, wawancara evaluasi keluarga menekankan objektivitas dan netralitas. Genogram-genogram itu membantu memberikan gambaran tentang sistem hubungan keluarga kurang lebih tiga generasi. Secara terapeutik, Bowen bwkwerja secara hati-hati dan tenang dengan pasangan-pasangan perkawinan, berupaya mengatasi fusi diantara mereka. Tujuannya adalah mengurangi kecemasan dan mengatasi simptom-simptom. Tujuan akhirnya adalah memaksimalkan diferensi diri setiap orang di dalam sistem keluarga inti dan dari keluarga asalnya.
Peran Konselor
Aktivitas konselor sebagai pelatih dan guru dan berkonsentrasi pada isu-isu keterikatan dan diferensiasi.
Unit Treatment : individu atau pasangan.
Tujuan konseling
Untuk mencegah triangulasi dan membantu pasangan dan individu berhubungan pada level cognitive, untuk menghentikan pengulangan pola-pola intergenerasi dalam hubungan keluarga.
Teknik :
Genograms, kembali ke rumah, detriangulasi, hubungan orang perorang, perbedaan self.
Aspek unik :
Mengukur hubungan-hubungan intergenerasi dan pola-pola yang diulang, systematic, dalam teori yang mendalam.

Pendekatan Struktural
Pendekatan struktural dalam konseling keluarga terutama dikaitka dengan Salvador Minuchin dan koleganya di pusat Bimbingan Anak Philadelphia. Pendekatan ini dilandasi sistem. Teori konseling keluarga memfokuskan pada kegiatan, keseluruhan yang terorganisasi dari unit keluarga, dan cara-cara di mana keluarga mengatur dirinya sendiri melalui pola-pola transaksional diantara mereka. Secara khusus, sistem-sistem keluarga, batas-batas, blok-blok, dan koalisi-koalisi ditelaah dalam upaya memahami struktur keluarga. Tidak berfungsinya struktur menunjukkan, bahwa aturan-aturan yang tidak tampak yang membangun transaksi keluarga tidak berjalan atau mebutuhkan negosiasi kembali aturan-aturan.
Konseling keluarga struktural dilengkapi untuk transaksi sehari-hari dan memberikan prioritas tinggi terhadap tindakan daripada wawasan atau pemahaman. Seluruh perilaku termasuk simptom-simptom yang ditunjukkan pasien dipandang dalam konteks struktur keluarga. Permulaan keluarga memberikan teknik pengamatan sederhana terhadap peta pola-pola transaksi keluarga. Intervensi- intervensi Minuchin tersebut adalah aktif, penuh perhitungan, berupaya untuk mengubah kekakuan, kuno, atau tidak melaksanakan struktur. Dengan kerja sama keluarga dan keamahan, dia memperoleh pemahaman tentang masalah-masalah keluarga, membantu mereka mengubah susunan keluarga yang tidak berfungsi dan menata kembali organisasi keluarga. Enactments (menyuruh keluarga menunjukkan situasi-situasi konflik khusus dalam sesi konseling) dan reframing (menjelaskan kembali suatu masalah sebagai suatu masalah sebagai suatu fungsi dari struktur keluarga) adalah teknik-teknik terapeutik yang sering digunakan. Teknik-teknik tersebut membawa perubahan struktur keluarga. Tujuan akhir konseling adalah menyusun kembali aturan-aturan transaksi keluarga dengan mengembangkan lebih tepat lagi batas-batas diantara sub-sub sistem dan memperkuat aturan hierarki keluarga.
Dasar pemikiran
Suatu patologi keluarga muncul akibat dari perkembangan rekasi yang disfungsional. Fungsi-fungsi keluarga meliputi struktur keluarga, sub-systems dan keterikatannya. Peraturan-peraturan tertutup dan terbuka dan hirarki-nya harus dimengerti dan dirubah untuk membantu penyesuaian keluarga pada situasi yang baru.
Peran Konselor
Konselor memetakan aktivitas mental dan kerja keluarga dalam sesi konseling Seperti sutradara teater, mereka memberi instruksi pada keduanya untuk berinteraksi melalui ajakan-ajakan dan rangkaian aktivitas spontan.
Unit treatment
Keluarga sebagai satu system atau sub-system, tanpa mengabaikan kebutuhan individu.
Tujuan
Mengungkap perilaku-perilaku problematik sehingga konselor dapat mengamati dan membantu mengubahnya ; untuk membawa perubahan-perubahan struktural didalam keluarga ; seperti pola-pola organisasional dan rangkaian perbuatan.
Teknik
Kerjasama, akomodating, restrukturusasi, bekerja dengan interaksi (ajakan, perilaku-perilaku spontan), pendalamam, ketidakseimbangan, reframing, mengasah kemampuan dan membuat ikatan-ikatan.
Aspek-aspek unik
Yang utama adalah membangun keluarga-keluarga dengan sosioekonomis yang rendah, sangat pragmatis, dipengaruhi oleh profesi psikiatri untuk menghargai konseling keluarga sebagai suatu pendekatan treatment; dengan prinsip-prinsip dan teori-nya Minuchin dkk, efektif untuk keluarga dari para pecandu, para penderita gangguan makan dan bunuh diri, penelitian-penelitian yang baik, systematis, masalah difokuskan untuk masa sekarang, umumnya dilaksanakan kurang dari 6 bulan, konselor dan keluarga sama-sama aktif.

Pendekatan Strategis atau Komunikasi
Teori-teori komunikasi, muncul dari penelitian Lembaga Penelitian Mental (MRI) di Palo Alto pada tahun 1950-an. Teori-teori komunikasi ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap konseling keluarga dengan menyusun kembali maslah-masalah manusia sebagai masalah interaksi dan sifatnya situasional. Epistimoligi dari Beteson, Jakson, dan yang lain merupakan dasar bagi upaya-upaya terapeutik dari MRI, konseling keluarga strategis yang dikembangkan oleh Haley dan Madanes, dan pendekatan sistematik dari Selvini-Pallazzoli dan tim Milan. Karakteristik khusus pendekatan ini menggunakan doube binds terapeutik atau teknik-teknik paradoksial ini menggunakan aturan-aturan keluarga dan pola-pola hubungan.
Paradocks kontradiksi yang mengikuti deduksi yang tepat dari premis-premis yang konsisten digunakan secara terapeutik untuk mengarahkan individu atau keluarga yang tidak mau berubah sesuai dengan apa yang diharapkan. Prosedur ini mempromosikan perubahan tersebut bukan dalam bentuk tindakan atau penolakan. Jkcson, Watzlawick, dan ahli strategis lainnya menggunakan ”precribing” simptom-simptom sebagai teknik paradoks untuk mengurangi penolakan berubah dengan mengubah simptomnya itu tidak berguna.
Pendekatan konseling keluarga strategis ditandai oleh taktik-taktik yang terencana dan hati-hati, serta langsung menangani masalah-masalah keluarga yang ada. Haley sangat memengaruhi para praktisi dalam menggunakan perintah-perintah atau penyelesaian tugas-tugas sebaik intervensi-intervensi paradoksional yang sifatnya tidak langsung. Madanes, konselor keluarga strategis lainnya menggunakan teknik-teknik ”pretend” (menganggap diri) dan intervensi-intervensinya yang tidak konfrontattif diarahkan pada tercapainya perubahan tanpa mengundang penolakan.
Konseling keluarga sistematis yang dipraktikan group Milan, tekniknya didasarkan pada epistimologi sirkuler dari Bathson. Teknik-tekniknya mengalami sejumlah perubahan dalam beberapa tahun berikutnya dan melanjutkannya dengan menyajikan teknik-teknik baru. Berdasarkan prosedur ”long brief therapy” yang setiap pertemuannya mempunyai jarak kurang lebih satu bulan, keluarga itu ditangani oleh tim yang bersama-sama merencanakan strategi. Satu atau dua orang konselor bekerja secara langsung dengan keluarga, sementara konselor yang lainnya mengamati dari belakang kaca yang satu arah. Keluarga itu dibei tugas-tugas dalam setiap peremuannya, biasanya didasarkan pada perintah-perintah yang sifatnya paradoks. Tujuan dari model Milan, yaiotu memberikan ”informasi” supaya keluarga mengubah aturan-aturan, mengubah kesalah yang berulang-ulang mengenai permainan-permainan yang menggagalkan diri. Pendekatan Milan beranggapan, bahwa pesan-pesan paradoksial dari keluarga hanya dapat dihadapi oleh counterparadox terapeutik. Kelompok Milan telah memperkenalkan sejumlah teknik wawancara, seperti hypothesizing, pertanyaan sirkuler, netralitas, konotasi positif, dan ritual-ritual keluarga.
Menurut Jay Haley dan Cloe Madanes; keluarga bermasalah akibat dinamika dan Orang dan keluarga dapat berubah dengan cepat. Treatment (perlakuan) dapat sederhana dan pragmatis dan berkonsentrasi pada perubahan perilaku symptomatic dan peran-peran yang kaku. Perubahan akan muncul melalui ajakan-ajakan , cobaan berat (siksaan), paradox, pura-pura/dalih dan ritual-ritual (strategic and systemic therapis), difokuskan pada pengecualian terhadap disfungsionalitas, solusi-solusi hipotetik dan perubahan-perubahan kecil. (solution-focused therapies).
Peran Konselor
Konselor menanggapi munculnya daya tahan/perlawanan dalam keluarga dan mendesign rangkaian cerita tentang strategi-strategi untuk memecahkan masalah.Menerima munculnya perlawanan/daya tahan melalui penerimaan positif terhadap problem-problem yang dibawa keluarga. Konselor lebih seperti seorang dokter dalam tanggung-jawab terhadap keberhasilan treatment dan harus merencanakan dan membangun strategi-strategi.
Unit treatment
Keluarga sebagai suatu system, meskipun pendekatan-pendekatannya secara selektif dipergunakan pada pasangan-pasangan dan individu-individu.
Tujuan treatment
Untuk mengatasi problem-problem masa sekarang. Menemukan solusi-solusi,membawa perubahan-perubahan, menemukan target tujuan perilaku, untuk menimbulkan insigt, untuk mengabaikan hal-hal yang bukan masalah.
Tehnik
Reframing (memasukkan dalam konotasi positif), direktif, kerelaan dan pertentangan berdasarkan pada paradox (termasuk penentuan symptom-symptom),pengembangan perubahan selanjutnya, mengabaikan interpretasi, pura-pura, hirarki kooperatif, cobaan-cobaan (siksaaan), ritual, tim, pertanyaan-pertanyaan berputar, solusi hipotetis (dengan menanyakan “pertanyaan ajaib”).
Aspek-aspek unik
Terdapat penekanan pada pemeriksaan pada pemeriksaan symptom dengan cara yang positif. Treatment-nya singkat (biasanya 10 sesi atau beberapa). Fokus pada pengubahan perilaku problematik masa sekarang. Tehniknya dirancang khusus untuk setiap keluarga. Tretment yang inovatif dan penting. Pendekaannya fleksibel, berkembang dan kreatif. Secara mudah dapat dikombinasikan dengan teori-teori lain. struktur keluarga yang disfungsional. Perilaku yang bermasalah merupakan usaha individu untuk mencapai kekauasaan dan rasa aman.

Pendekatan Behavioral
Konseling keluarga behavioral, terakhir masuk dalam bidang konseling keluarga, berupaya membawa metode ilmiah dalam proses-proses terapeutik mengembangkan monitoring secara tetap dan mengembangnkan prosedur-prosedur intervensi berdasarkan data. Pendekatan ini mengambil prinsip-prinsip belajar manusia, seperi classical dan operant conditioning, penguatan positif dan negatif, pembentukan, extinction, dan belajar sosial. Pendekatan behavioral menekankan lingkungan, situasional, dan faktor-faktor sosial dari perilaku. Dalam tahu-tahun terakhir ini, pengaruh dari faktor-faktor kognitif, seperti peristiwa-peristiwa yang memediasi interaksi-interaksi keluarga juga diperkenalkan oleh sebagian besar penganut behavioral. Konselor yang berorientasi behavioral berupaya untuk meningkatkan inteaksi yang positif diantara anggota-anggota keluarga, mengubah kondisi-kondisi lingkungan yang menentang atau menghambat interaksi-interaksi, dan melatih orang untuk memelihara perubahan-perubahan perilaku positif yang diperlukan.
Pendekatan behavioral memberikan pengaruh yang signifikan terhadap empat bidang yang berbeda, yaitu konseling pekawinan behavioral, pendidikan dan latihan keterampilan orangtua behavioral, konseling keluarga fungsional, serta penanganan tidak berfungsinya seksual.
Pendidikan dan latihan keterampilan-keterampilan orangtua behavioral, sebagian besar didasarkan pada teori belajar sosial, berupaya untuk melatih orang tua dengan prinsip-prinsip behavioral dalam pengelolaan anak. Secara khusus, Patterson memfokuskan terhadap hubungan dua orang (dyad), biasanya antara ibu dan anak, serta menekankan bahwa perilaku anak itu kemungkinan dikembangkan dan dipelihara melalui hubungan timbal balik mereka. Secara khusus, intervensinya berupaya membentu keluarga mengembangkan sejumlah kontingensi penguatan baru dengan maksud memulai belajar perilaku-perilau baru.
Konseling keluarga fungsional berupaya menginyegrasikan teori sistem, behavioral, dan kognitif dalam bekarja dengan keluarga. Konseling keluarga fungsional berpandangan, bahwa semua perilaku sebagai fungsi antarpribadi mengenai hasil khusus dari konsekuensi-konsekuensi perilaku. Konselor keluarga fungsional tidak mencoba mengubah perilaku-perilaku yang berguna untuk memelihara fungsi-fungsi.

Dasar pemikiran
Perilaku dipertahankan atau dikurangi melalui konsekuensi-konsekuensi, perilaku maladaptive dapat diubah (dihapus) atau dimodifikasi. Perilaku adaptive dapat dipelajari, melalui kognisi, rational maupun irational. Perilaku dapat dimodifikasi dan hasilnya akan membawa perubahan-perubahan.
Peran konselor
Directiv, melakukan pengukuran dan intervensi dengan hati-hati, konselor tampak seperti guru, ahli dan pemberi penguat, dan focus pada problem masa sekarang.
Unit Treatment
Training orang tua, hubungan perkawinan dan komunikasi pasangan dan treatment pada disfungsi sexual, menekankan pada interaksi pasangan, kecuali dalam terapi peran keluarga.
Tujuan treatment
Untuk menimbulkan perubahan melalui modifikasi pada antecedent-antecedent atau konsekuen-konsekuen dari perbuatan, memberikan perhatian spesial untuk memodifikasi konsekuensi-konsekuensi, menekankan pada pengurangan perilaku yang tidak diharapkan dan menerima perilaku positif, untuk mengajarkan keterampilan sosial dan mencegah problem-problem melalui mengingatkan kembali, untuk meningkatkan kompetensi individu dan pasangan-pasangan serta memberikan pengertian tentang dinamika perilaku.
Teknik
Operant conditioning, classical conditioning, social learing theory, strategi-strategi kognitif – behavioral, tehnik systematic desensitization, reinforcement positif, reinforcement sekejap/singkat, generalisasi, kehilangan, extinction, modeling, timbal balik, hukuman, token-ekonomis, quid proquo exchanges, perencanaan, metode-metode psikoedukasional.
Aspek-aspek unik
Pendekatan-pendekatannya secara langsung melalui observasi, pengukuran, dan penggunaan teori ilmiah. Menekankan pada treatment terhadap problem masa sekarang. Memberikan waktu khusus untuk mengajarkan keterampilan-keterampilan sosial khusus dan mengurangi keterampilan yang tak berguna. Hubungan dibangun diatas kontrol positif dan lebih pada penerangan prosedur-prosedur pendidikan dibanding hukuman. Behaviorisme adalah intervensi yang simple dan pragmatis dengan teknik-teknik yang bermacam-macam. Data riset yang bagus membantu pendekatan-pendekatan ini dan keefektifannya dapat diukur. Perlakuannya pada umumnya dalam waktu yang singkat.

4. Peran Intervensi pada Konseling Keluarga
1. Sebagai penilai mengenai; masalah, sasaran intervensi, kekuatan dan strategi keluarga, kepercayaan dan etnik keluarga. Eksplorasi pada: reaksi emosi keluarga terhadap trauma dan transisi, komposisi, kekuatan dan kelemahan, informasi yang dimiliki, kebutuhan-kebutuhan keluarga, kesiapan untuk intervensi dan dirujuk pada ahli lain.
2. Pendidik/pemberi
Informasi agar keluarga siap beradaptasi terhadap perubahan-perubahan
3. Pengembang sistem support, mengajarkan support dan selalu siap dihubungi.
4. Pemberi tantangan
5. Pemberi fasilitas prevensi (pencegahan) dengan mempersiapkan keluarga dalam menghadapi stress.

5. Proses Konseling keluarga
1. Melibatkan keluarga, pertemuan dilakukan di rumah, sehingga konselor mendapat informasi nyata tentang kehidupan keluarga dan dapat merancang strategi yang cocok untuk membantu pemecahan problem keluarga.
2. Penilaian Problem/masalah yang mencakup pemahaman tentang kebutuhan, harapan, kekuatan keluarga dan riwayatnya.
3. Strategi-strategi khusus untuk pemberian bantuan dengan menentukan macam intervensi yang sesuai dengan tujuan.
4. Follow up, dengan memberi kesempatan pada keluarga untuk tetap berhubungan dengan konselor secara periodik untuk melihat perkembangan keluarga dan memberikan support.

C. Penelitian, Latihan, dan Praktik Profesional
Penelitian dalam konseling keluarga didahului oleh perkembangan teknik-teknik intervensi terapeutik. Penelitian tentang hubungan pola-pola interaksi keluarga dan gangguan psikologis, sebelumnya didasarkan pada pendekatan penelitian cross sectional yang kemudian disusul dengan pendekatan penelitian longitudinal.
Akhir-akhir ini berkembang penelitian tentang bproses dan hasil dari intervensi konseling keluarga. Selanjutnya, penelitian tertarik pada keuntungan dan kerugian relatif dari alternatif pendekatan-pendekatan untuk individu-individu dan keluarga-keluarga yang kesulitannya berbeda.
Pada saat sekarang ini, latihan-latihan klinis terjadi dalam tiga setting yang berbeda, yaitu dalam program-program bantuan konseling keluarga, lembaga-lembaga latihan sebelum menduduki konseling keluarga, dan dalam program-program universitas.
Sebagian besar program-program latihan itu langsung berupaya untuk membantu traine mengembangkan persepsi, konsep, dan keterampilan-keterampilan dalam kerja dengan keluarga. Alat bantu latihan ini meliputi:
1. kursus kerja didaktik
2. menggunakan master videotape terapis dan traine
3. melakukan supervisi melalui bimbingan aktif dengan supervisor yang melihat pertemuan tersebut di belakang cermin yang satu arah dan melakukan umpan balik korektif melaluitelepon, earphone, memanggil traine dari pertemuan konseling untuk konsultasi.
4. ko-konseling di mana traine mempunyai kesempatan untuk bekerja di di samping mentor dalam keluarga.
Praktik propesional dalam konseling perkawinan atau keluarga diatur oleh status hukum dan pengaturan diri dengan kode etik, review sebaya, melanjutkan pendidikan, dan konsultasi.

BAB III
ANALISIS MATERI

Didalam keluarga tentunya banyak permasalahan yang akan dialami, baik itu antar pribadi ,aupun antar kelompok di dalam keluarga. Bila dikaitkan dengan pendidikan luar biasa, konseling keluarga sangat dibutuhkan dalam membantu penyelesaian masalah-masalah yang timbul. Bila diambil sebuah contoh, misalnya sebuah keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Memiliki anak merupakan harapan dan anugrah yang sangat dinanti sebuah keluarga, tetapi tidak sedikit orang tua dan anggota keluarga lain yang menolak atau justru merasa mendapatkan masalah dengan lahirnya anak berkebutuhan khusus.
Sikap penolakan dari anggota keluarga, akan menimbulkan permasalahan baik pada anak maupun pada keseimbangan kehidupan keluarga tersebut. Dari kasus ini, tentunya konseling keluarga sangat dibutuhkan dalam membantu permasalahan tersebut. Begitupun peran konselor dan pendekatan serta proses konseling.
Dari uraian materi yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, bahwa keluarga merupakan tempat pertama dalam perkembangan seorang anak. Keluarga memiliki peranana yang penting dalam membantu mengembangkan potensi anak. Jika di dalam kelurga terdapat permaslahan-permasalahan yang terjadi maka hal tersebut akan mempengaruhi kondisi di dlaam keluarga tersebut.
PermasAlahan-permaslahan yang timbul di dalam keluarga sangat dipengaruhi oleh bagaimana perkembangan keluarga tersebut baik dari segi ekonomi, sosial, dan budaya. Hal ini merupakan salah satu faktor bagaimana dalam sebuah keluarga ketika memandang sebuah persoalan. Begitupun dnegan bagaimana keluarga memandang anak berkebutuhan khsusus. Bagi keluarga yang memiliki statuts ekonomi yang tinggi serta memiliki nilai-nilai yang luhur di dalam keluarga, mungkin penolakan terhadap hadirnya seorang anak berkebutuhan khusus tidak akan terjadi, disini mereka malah berusaha untuk meberikan yang terbaik bagi anak berkebutuhan khusus tersebut.
Dalam konseling keluarga banyak pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam membantu permasalahan yang terjadi di dalam keluarga. Hal ini antara lain adalah pendekatan psikodinamik, pendekatan eksistensial, pendekatan bowenian, pendekatan struktural, pendekatan komunikasi dan pendekatan behavioral. Pendekatan-pendekatan tersebut memiliki dasar pemikiran, tujuan serta teknik yang berbeda di dalam penanganannya.
Pendekatan psikodinamik lebih menekankan bagaimana individu memahami diridan memahami emosi, sehingga anggota keluarga nantinya bisa menyelesaikan problem matika sendiri tanpa bantuan lagi dari konselor. Pendekatan eksperensial atau humanistik didasari oleh masalah-masalah keluarga yang berakar dari perasaan-perasaan negatif seperti tertekan, kekakuan dan lain-lain. Pendekatan ini lebih menekankan pada keluarga agar mampu untuk berusaha mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh individu. Pendekatan bowen didasarkan dimana anggota keluarga dapat memisahkan anatara fungsi intelektual dan emosionalnya, dimana pendekatan ini menhindarkan triangulasi atau orang ketiga dalam proses penanganannya. Pendekatan struktural lebih menekankan pada perubahan struktural di dalam keluarga dan bagaimana keluarga dapat mengatur dirinya sendiri dengan pola transaksional di antara anggota keluarga. Peran konselor dalam pendekatan ini harus mampu memberikan instruksi-instruksi yang selayaknya dilakukan oleh anggota keluarga sedang melakukan bimbingan. Pendekatan strategis atau komunikasi lebih menekankan pada problematika masa sekarang yang bertujuan untuk mengubah segala perilaku-perilaku yang salah. Sedangkan pada pendekatan behavioral, lebih menekankan pada perilaku-perilaku dimana perilaku tersebut dipertahankan atau bahkan dihilangkan.
Pada kasus yang telah diungkap sebelumnya, bahwa penolakan orang tua terhadap hadirnya anak berkebutuhan khusus serta sikap orangtua yang frustasi, stress hingga acuh pada anak yang akhirnya membuat keseimbangan kehidupan keluarga tersebut terganggu. Tentunya hal tersebut harus ditangani dengan segera. Jangan sampai masalah di dalam keluarga dapat menghambat potensi serta aktivitas anggota keluarga yang lain.
Pendekatan-pendekatan bimbingan keluarga yang telah dijelaskan diatas merupakan acuan bimbingan yang dapat membantu memecahkan persoalan tersebut.
Pendekatan behavioral yang menekankan pada perilaku yang dipertahankan atau dirubah atau dimodifikasi dapat digunakan untuk orang tua bagaimana harus bersikap dan berperilaku terhadap anak berkebutuhan khusus yang hadir dalam keluarganya. Pendekatan eksperiensial atau humanistik dapat digunakan untuk mengembangkan ketertutupan emosional dan mengurangi kekakuan didalam keluarga serta pendekatan-pendekatan lainnya.

BAB IV
KESIMPULAN
Keluarga merupakan bagian terkecil dari susunan masyarakat yang akan menjadi dasar dalam mewujudkan suatu negara (Emil Salim 1983). Begitu besarnya tugas keluarga didalam perkembangan seorang anak, sehingga lingkungan keluarga harus dibina dan dijaga sedemikian rupa agar permasalahan-permasalahan yang muncul dalam keluarga tidak mengakibatkan terhambatnya segala aktivitas para anggota keluarga lainnya.
Didalam keluarga yang terdiri dari beberapa anggota didalamnya tidak akan terlepas dari permasalahan-permasalahan yang terjadi baik dari luar lingkungan keluarga ataupun dalam lingkungan keluarga itu sendiri. Bimbingan konseling keluarga merupakan salah satu upaya membantu keluarga dalam menangani permasalahan-permasalahannya.
Setiap keluarga memiliki perkembangan yang berbeda-beda baik faktor sosial, ekonomi, budaya, dan agama yang membedakan permasalahan-permasalahan yang akan muncul. Akan tetapi, permasalahan-permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan pendekatan-pendekatan yang ada dalam bimbingan konseling keluarga. Diantara pendekatan-pendekatan tersebut yaitu pendekatan psikodinamik, eksperimental / humanistik, bowen, bihavioral, dan struktural.
Bila dikaitkan dengan permasalahan keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus misalnya dengan kasus orangtua yang menolak kehadiran Anak Berkebutuhan Khusus dalam keluarganya dapat juga dibantu dengan bimbingan konseling keluarga dengan pendekatan-pendekatan konseling yang ada. Sehingga, permasalahan-permasalahan yang ada dapat terselesaikan dengan baik.

TERAPI GESTALT

Februari 12, 2010

BAB I
PENDAHULUAN
Terapi Gestalt dikembangkan oleh Frederick Perls adalah bentuk terapi eksistensial yang berpijak pada premis bahwa individu –individu harus menemukan jalan hidupnya sendiri dan menerima tanggung jawab pribadi jika mereka mengharap kematangan. Karena bekerja terutama di atas prinsip kesadaran, terapi Gestalt berfokus pada “apa “ dan “ bagaimana”-nya tingkahlaku dan pengalaman di sini- dan – sekarang dengan memadukan (mengintegrasikan) bagian-bagian kepribadian yang terpecah dan tidak diketahui.
Asumsi dasar terapi Gestalt dalah bahwa individu-individu mampu menangani sendiri masalah-masalah hidupnya secara efektif. Tugas utama terapis adalah membantu klien agar mengalami sepenuhnya keberadaanya di sini dan sekarang dengan meyadarkannya atas tindakannya mencegah diri sendiri merasakan dan mengalami saat sekarang.
Oleh karena itu terapi Gestalt pada dasarnya noniterpretatif dan sedapat mungkin klien menyelenggarakan terapi sendiri. Mereka membuat penafsiran-penafsirannya sendiri, menciptakan pernyataan-pernyataanya sendiri, dan menemukan makna-maknanya sendiri. Akhirnya, klien didorong untuk langsung mengalami perjuangan di sini-dan –sekarang terhadap urusan yang tak selesai di masa lampau. Dengan mengalami konflik-konflik, meskipun hanya membicarakannya, klien lambat laun bisa memperluas kesadarannya.

BAB II
TERAPI GESTALT(GESTALT THERAPY)

PELOPOR UTAMA TEORI GESTALT
FREDERIK S (“FRITZ”) PERLS (1893-1970) Pencetus Utama dan pengembang teori Gestalt. Lahir di Berlin dari keluarga yahudi kelas menengah bawah. Dia merasa bahwa dirinya menjadi sumber masalah bagi orangtuanya, dia gagal dua kali pada tingkat tujuh dan terbuang dari sekolahnya. Dia berusaha menyelesaikan sekolahnya dan mendapat gelar MD. Dengan spesialisasi sebagai psikiater. Pada tahun 1916 ia bergabung dengan tentara jerman sebagai tenaga medis pada perang dunia I.
Setalah perang Perls bekerja bersama Kurt Goldstein pada institut Goldstein untuk Kerusakan otak tentara di Frankfrut. Dari sinilah ia melihat pentingnya manusia dipandang sebagai satu keseluruhan bukan dari sejumlah fungsi bagian-bagiannya. Kemudian ia pindah ke Wina dan memulai latihan psikoanalitisnya. Perls di analisis oleh wilhem Reich, ahli psikoanalis yang menokohi metode-metode pemahaman diri dan perubahan kepribadian melalui terapi tubuh. Dia juga di awasi oleh sejumlah tokoh kunci pergerakan psikoanalitis, termasuk Karen Horney.
Setelah itu Perls pidah ke Amerika pada tahun 1946 dan mendirikan Institut Terapi Gestalt New York pada tahun 1952. Bahkan dia tinggal di Big Sur, California, dan memberi workshop dan seminar di Institut Esalen, menata reputasinya sebagai seorang inovator psikoterapi. Disini ia memilki pengaruh besar pada masyarakat, sebagian karena profesionalisme menulisnya, dan sebagian besar karena hubungan pribadinya dalam workshopnya.
Secara pribadi Perls adalah orang penting dan membingungkan. Masyarakat menyeganinya atau kadangkala menggapnya sebagai orang yang kejam. Dia dipandang berbeda-beda sebagai orang yang berwawasan, bijak, cemerlang, provokatif, manipulatif, bermusuhan, penuntut, dan inspirasional. Sayangnya, beberapa orang yang mengikuti workshopnya menjadi pengikut dan menyebarkan ajaran terapi Gestalt.
LAURA POSNER PERLS (1905-1990) lahir di Pforzhein, German. Dia mulai main piano semenjak usia 5 tahun dan mampu memainkanya secara profesional pada usia 18 tahun. Sejak usia 8 tahun dia mengikuti tarian modern yang kemudian menjadi bagian penting dalam hidupnya. Dari sana Laura mulai praktek sebagai psikoanalis, dia mempersiapkan karirnya sebagai pemain piano, masuk sekolah Hukum, mendapat title di Psikologi Gestalt, dan mendirikan studi Filsafat Gestalt. Jelasnya Laura memilki latar belakang yang kaya ketika bertemu dengan Fritz tahun 1926 dan memulai kerjasamanya yang menghasilkan terapi Gestalt, Laura dan Fritz menikah pada tahun 1930. Mereka mendirikan institut New York untuk Terapi Gestalt dan membuat pelatihan dalam pendekatannya. Sebagai tim mereka memberikan kontribusi bagi perkembangan dan mempertahankan pergerakan terapi Gestalt di Amerika dari akhir tahun 1940an sampai kematiannya tahun 1990.

PENDAHULUAN
Teori Gestalt dikembangkan oleh Fritz Perl dan istrinya, Laura, pada tahun 1940 an, merupkana sebuah pendekatan fenomenologis-eksistensial berdasarkan premis bahwa setiap individu harus memahami konteks hubungannya dengan lingkungannya. Tujuan awalnya adalah bagi klient untuk memperoleh kesadaran, akan pengalaman dan bagaimana mereka mengalaminya. Dengan kesadaran ini, perubahan secara otomatis terjadi. Pendekatannya bersifat fenomenologis karena terfokus pada persepsi klien akan realitas dan bersifat eksistensial karena berdasarkan dugaan bahwa manusia selalu dalam proses menjadi dan mencari diri sendiri. Sebagai pendekatan eksistensial, terapi Gestalt memberikan perhatian khusus pada eksistensi sebagai individu yang mengalaminya dan menegaskan kapasitas pertumbuhan dan penyembuhan melalui hubungan interpersonal dan wawasan (Yontef, 1995)
Meskipun Fritz Perls dipengaruhi oleh konsep psikoanalitis, ia mengambil isu-isu dari teori Freud sebagai beberapa dasar teorinya. Pandangan Freud pada manusia secara mendasar bersifat mekanis, sedangkan Perls menekankan pendekatan holistik pada masalah kepribadian. Freud terfokus pada penekanan konflik intrapsikis sejak masa kanak-kanak, sedangkan Pearls menilai pengujian pada situasi yang ada saja.
Salah satu aturan ahli terapi adalah untuk mengarahkan fokus fenomenologis, atau untuk membantu klien dalam membangun kesadaran mereka. Kesadaran meliputi wawasan, penerimaan diri, pengetahuan akan lingkungan, pertanggungjawaban atas pilihan, dan kemampuan untuk menjalin hubungan dengan orang lain.

KONSEP-KONSEP UTAMA /KUNCI
Pandangan Gestalt Tentang Sifat Manusia
Fritz Perls menggunakan terapi Gestalt secara paternalistik. Klien harus tumbuh dan berdiri diatas kedua kakinya, dan mempersoalkan masalah hidupnya sendiri (Perls, 1969a). Gaya melakukan terapinya meliputi dua agenda personal : memindahkan klien dari dukungan/pengaruh lingkungan pada dukungan/ pengaruh dirinya sendiri dan memadukan kembali bagian-bagian kepribadian yang diingkari.
Jelasnya, cara kerja perls, terapi Gestalt secara kontemporer menekankan dialog anatara klien dan ahli terapi.
Pandangan Gestalt pada perangai manusia berdasarkan pilosofi eksistensial, fenomenologi, dan teori lapangan. Tujuan terapi bukan pada analisis tetapi pada kesadaran dan hubungan dengan lingkungan. Dimana lingkungan terdiri dari dunia eksternal dan internal.
Assumsi Dasar terapi Gestalt yakni bahwa individu memiliki kapasitas untuk “mengatur diri” dalam lingkungannya ketika menyadari apa yang terjadi dalam lingkungannya.

Beberapa Prinsip Teori Gestalt
Terdapat beberapa prinsip yang mendasari teori Gestalt meliputi : holisme, teori lapangan, proses formasi figur, aturan organismis diri;
Holisme : Menurut Latner (1986) Holisme merupakan salah satui prinsip pokok terapi Gestalt, semua perangai dipandang sebagai satu kesatuan dan seluruhnya koheren, dan semua berbeda dari setiap bagiannya.
Teori Lapangan : terapi Gestalt berdasarkan teori lapangan yang berdasarkan pada prinsip bahwa organisme harus dilihat dalam lingkungannya sendiri, atau dalam konteksnya, sebagai bagian lapangan yang berubah-rubah secara konstan. Terapi Gestalt merehat prinsip bahwa segala sesuatu itu saling berhubungan, saling berkaitan dan ada dalam proses.
Proses Formasi Figur,: proses formasi figur menggambarkan bagaimana individu mengorganisir lingkungannya dari waktu ke waktu. Dalam terapi Gestalt lapangan yang tidak berbeda di sebut sebagi background, dan munculnya fokus perhatian disebut figur (Latner,1986).
Aturan OrganismisDiri::
Sekarang
Keadaan sekarang merupakan masa yang paling penting dalam Gestalt terapi. Salah satu kontribusi utama pendekatan Gestalt adalah penekanannya pada pembelajaran untuk mengapresiasi dan pengalaman disaat sekarang.
E Polster dan Polster (1973) mengembangkan tesis bahwa “kekuatan adalah keadaan yang ada saat ini”. Banyak orang menghabiskan energinya untuk menangisi kesalahan masa lalunya. Untuk membantu klien menjalin hubungan dengan keadaan saat sekarang, pelaksana terapi Gestalt terfokus pada beberapa pertanyaan “apa” dan “bagaimana”.
Urusan yang tak Berakhir
Urusan yang tak berakhir tetap bertahan sampai individu menghadapi dan mempermasalahkan perasaan-perasaan yang terpendam. Pelaku terapi Gestalt menekankan pemberian perhatian pada pengalaman tubuh atas asumsi bahwa jika perasaan tidak diungkapkan maka cenderung menimbulkan gejala-gejala psikologis.
Perasaan yang tidak dikenal menimbulkan emosi yang tidak perlu yang mengacaukan kesadaran yang ada. Kebuntuan (stuck point) adalah waktu ketika dukungan eksternal tidak lagi berarti atau cara yang lumrah tidak lagi berjalan.
Hubungan dan tantangan menjalin hubungan
Dalam terapi Gestalt menjalin hubungan dibutuhkan jika perubahan dan pertumbuhan ingin terjadi. Ketika kita menjalin hubungan dengan lingkungan, maka perubahan tidak dapat dihindari. Hubungan itu dilahirkan dengan penglihatan, pemdengaran, penciuman, sentuhan, dan gerakan. Hubungan yang effektif berarti interaksi yang baik dengan alam dan manusia lain tanpa menghilangkan rasa individualitas seseorang. Hal ini merupakan kelengkapan individu yang kreatif yang diperbaharui secara terus menerus pada lingkungannya (M. Polster,1987)
Pelaku terapi Gestal juga terfokus pada tantangan dalam menjalin hubungan, E. Polster dan Polster (1973) menggambarkan lima aliran utama tantangan tersebut ; introjeksi, proyeksi, retrofleksi, defleksi, dan pertemuan.
Introjeksi : kecenderungan untuk menerima kepercayaan dan derajat orang lain tanpa kritis, tanpa menjadikannya selaras dengan keadaan kita sebenarnya.
Proyeksi : kebalikan introjeksi, dalam proyeksi kita ditunjukan aspek-aspek tertentu diri kita dalam lingkungan. Ketika kita sedang diproyeksi, kita mempunyai gangguan yang membedakan antara dunia internal dan dunia luar, berupa sifat-sifat kepribadian kita yang tidak konsisten dengan citra diri kita yang ditunjukan didepan orang lain.
Retrofleksi : yaitu melihat diri kita ke belakang apa yang ingin kita lakukan pada orang lain dan sedang melakukan apa untuk diri kita, apa yang akan dilakukan oranglain pada kita.
Defleksi : merupakan proses penyimpangan, sehingga sulit untuk mempertahankan rasa keterhubungan yang ditopang. Pemyimpangan ini berupa berkurangnya pengalaman emosional.
Konfluens : berupa pengaburan perbedaan antara pribadi dan lingkungan. Konfluens dalam masalah hubungan meliputi ketidak terlibatan diri dalam konflik .
Energi dan halangan Energi
Dalam Gestalt terapi perhatian khusus pada lokasi-lokasi dimana energi tubuh ditempatkan, bagaimana menggunakannya, dan bagaimana energi ini bisa di blok. Energi yang di blok merupakan bentuk lain dari tantangan (resistensi). Hal ini berwujud beberapa gerakan bagian tubuh, seperti dengan postur, dengan tidak bernafas dalam-dalam, dengan berpaling muka ketika berbicara dengan orang lain, dengan senggukan, mati rasa, berbicara dengan bahasa kasar dan lain-lain.
Pelaku terapi Gestalt tertarik khususnya pada gangguan-gangguan yang terjadi antara sensasi dan kesadaran. Gangguan antara kesadaran dan mobilisasi energi, dan gangguan antara mobilisasi energi dan tindakan (Zinker, 1978).
PROSES TERAPIS
Tujuan Terapis
Tujuan dasar terapi Gestalt adalah untuk memperoleh kesadaran. Kesadaran itu meliputi pengetahuan tentang lingkungan, pengetahuan tentang pribadi seseorang, menerima seseorang, dan mampu menjalin hubungan. Meningkatkan dan memperkaya kesadaran dipandang sebagai langkah kuratif. Tanpa penyadaran klien tidak akan memiliki alat untuk merubah kepribadian.
Melalui pelibatan yang kreatif dalam proses terapi Gestalt, Zinker (1978) mengaharapkan klien akan:
• Meningkatkan kesadaran diri
• Secara bertahap ,mengambil hikmah pengalaman.
• Mengembangkan kemampuan dan memperoleh nilai untuk memenuhi kebutuhan tanpa harus melanggar hak orang lain.
• Lebih sadar akan perasaannya
• Belajar bertanggungjawab pada apa yang mereka lakukan.vtermasuk menerima konsekwensi perbuatannya.
• Beralih dari dukungan luar pada peningkatan dukungan internal diri sendiri
• Mampu meminta dan mendapat pertolongan dan menolong orang lain.
Aturan dan Fungsi Ahli Terapi
Pelaku terapi Gestalt membantu klien untuk mengembangkan kesadarannya dan mengalami bagaimana mereka berada dalam suatu keadaan saat ini. Menurut Perls, Hefferline, dan Goodman (1951), pekerjaan pelaku terapi adalah untuk mengajak klien pada suasana pertemanan yang aktif dimana nereka bisa belajar tentang dirinya sendiri dengan cara mengadopsi perilaku yang sudah diujikan dalam kehidupan dimana mereka menguji coba perilaku baru dan memperhatikan apa yang terjadi.
Fungsi penting pelaku terapi Gestalt adalah memberikan perhatian pada bahasa tubuh klien. Untuk menarik perhatian pada bahasa nonverbal klien, konselor Gestalt menekankan hubungan antara pola bahasa dengan kepribadian. Konselor Gestalt secara gentle menghadapi klien dengan melakukan intervensi yang bisa membantu mereka menjadi waspada terhadap pengaruh pola berbahasanya sendiri. Bahasa bisa mengungkapkan sesuatu sekaligus bisa menyembunyikan sesuatu. Beberapa contoh aspek-aspek bahasa yang harus menjadi fokus para terapis Gestalt.
• Katanya : klien banyak mengatakan “katanya” dari pada “saya memang”, ini merupakan bahasa dari orang yang mengalami kegamangan kepribadian. Contoh klien mengatakan “katanya menjalin pertemanan itu sulit”, maka klien ini harus dirubah pernyataannya menjadi “ saya mengalami kesulitan dalam menjalin pertemanan”
• Kata Anda : bahasa impersonal yang cenderung menyembunyikan kesalahan/ ketidakmampuannya. Klien harus dirubah untuk berani mengatakan “Kata Saya, Menurut Saya”
• Mendengarkan bahasa yang tidak mengandung cerita : klien sering menggunakan bahasa yang mengelak untuk menceritakan perjuangan berat hidupnya.
Polster percaya bercerita bukanlah suatu yang selalu berupa resistensi, namun, bercerita bisa menjadi jantung/ inti/ modal utama dari proses terapi ini, manusia adalah mahluk yang suka bercerita.
Pengalaman Klien dalam Terapi
Orientasi umum terapi Gestalt adalah dialog. Miriam Polster (1987) menggambarkan tiga langkah rangkaian integrasi yang mengkarakterisi pertumbuhan klien dalam terapi.
Pertama : Discovery ; klien akan menemukan kenyataan baru tentang dirinya, atau mereka mendapatkan pandangan baru tentang orang-orang yang penting dalam hidupnya.
Kedua : akomodasi ; klien mengenal bahwa dirinya mempunyai pilihan. Membuat pilihan baru sering dilakukan dengan canggung, tetapi dengan dukungan klien akan mendapatkan kemampuan untuk mengatasinya dalam situasi yang sulit.
Ketiga : Asimilasi; berupa pembelajaran klien bagaimana mereka mempengaruhi lingkungannya. Dalam pase ini klien merasa mampu mempersoalkan berbagai keterkejutan yang mereka temui dalam kehidupannya sehari-sehari.

Hubungan antara Ahli Terapi dengan Klien
Sebagai sebuah jenis terapi eksistensial, terapi penggunaan Gestal meliputi hubungan orang per orang antara pelaku terapi dengan kliennya. Pelaku terapi bertanggungjawab atas kualitas keberadaannya, atas pengetahuan tentang dirinya dan klien, dan terbuka dalam mengingatkan klien.
Pelaku terapi Gestalt bukan hanya memperbolehkan kliennya ubtuk menjadi dirinya sendiri tetapi juga mengingatkan dirinya sendiri dan jangan sampai melanggar aturan.
Banyak para pelaku terapi Gestalt sekarang ini menempatkan peningkatan penekanan pada faktor-faktor seperti kehadiran, dialog autentik, keberanian, mengurangi penggunaan ujian stereotip, lebih mempercayai pengelaman-pengalaman klien.
E. Polster dan Polster (1973) menekankan pentingnya pengetahuan diri sendiri pelaku terapi dan menjadikannya sebagai instrumen terapi.
Intervensi yang digunakan oleh pelaku terapi menggunakan pengembangan proses ini. Ujicoba harus ditujukan untuk membentuk kesadaran, bukan pada solusi sederhana atas masalah-masalah klien.

PENERAPAN : PROSEDUR DAN TEKNIK TERAPI
Percobaan dalam Terapi Gestalt
Zinker (1978) Menekankan aturan pelaku terapi sebagai agen perubahan yang kreatif, seorang penemu, dan sebagai manusia yang peduli. Latihan merupakan teknik yang sudah tersedia yang kadang-kadang digunakan untuk membuat sesuatu terjadi dalam sessi terapi atau untuk mencapai tujuan. Percobaan muncul dari interaksi antara klien dan pelaku terapi. Percobaan merupakan hal pokok dalam terapi Gestalt. Zinker (1978) melihat sessi terapi merupakan serangkaian eksperimen, sebagai rangkaian bagi klien untuk belajar dengan cara eksperimental. Percobaan Gestalt merupakan petualangan kreatif dan sebuah jalandimana klien dapat mengekspresikan perilaku mereka.
Miriam Polster (1987) mengatakan bahwa sebuah percobaan merupakan cara untuk mengeluarkan bentuk-bentuk konflik internal dengan membuat usaha ini sebagai sebuah proses aktual. Hal ini dimaksudkan untuk memfasilitasi kemampuan klien untuk bekerja melalui masalah-masalah yang menempel dalam hidupnya.
Persiapan Klient untuk Percobaan Gestalt
Hakikatnya konselor itu membangun hubungan dengan klien mereka, supaya klien bisa merasa cukup percaya untuk ikut serta dalam pembelajaran dalam percobaan Gestalt ini. Jika klien bersifat koperatif, maka maka konselor harus menghindari untuk mengarahkan klien dengan cara memerintah untuk mengakhiri sebuah ujicoba. Secara tipikal klien harus ditanya apakah mereka akan mencoba sebuah eksperimen untuk melihat apa yang bisa mereka pelajari dari eksperimen tersebut.
Diantara klien mungkin ada yang melakukan perlawanan secara emosional yang disebabkan karena rasa takut, kurang percaya, terlalu konsen sehingga lepas kontrol, atau konsen yang lain. Cara dimana klien melakukan perlawanan ketika ujicoba dilakukan menggambarkan kenyataan seperti itulah kepribadian dan cara hidup mereka.
Salah satu cara konsep perlawanan dalam persfektif terapi gestalt ini adalah untuk memandangnya sebagai bentuk perlawanan dalam upaya penyadaran akan aspek-aspek diri dan aspek-aspek lingkungan.
Passon dan Zinker (1978) menggambarkan langkah-langkah pembinaan yang berguna baik pada saat persiapan maupun pada saat mengakhiri terapi. Langkah-langkah ini :
• Konselor harus cukup sensitif untuk mengetahui kapan saat untuk meninggalkan sendirian.
• Peserta harus sensitif dalam mengenali percobaan-percobaan pada waktu yang tepat dan dengan sikap yang tepat pula.
• Sifat eksperiman tergantung masalah individu.
• Eksperimen memerlukan aturan keaktifan klien dalam mengeksplorasi dirinya.
• Yang terbaik adalah konselor menghargai latarbelakang budaya klien dan hubungan baiknya dengan orang.
• Ketika menemui keraguan pelaku terapi menemukan keraguan, alangkah baiknya untuk mengekspolrasi maknanya bagi klien
• Pelaku terapis harus bersifat fleksibel dalam menggunakan teknik, memberikan perhatian khusus bagaimana klien membuat respon,
• Konselor harus siap memberikan tugas supaya klien mendapat kesempatan baik untuk berhasil,
• Pelaku terapi perlu mempelajari eksperimen yang terbaik untuk dipraktekan dalam sessi dan mana yang terbaik untuk ditampilkan diluar.
Aturan Konfrontasi
Menurut Yontef (1999) versi terbaru adalah yang disebut “terapi Gestalt Hubungan” yang meliputi dukungan yang lebih dan meningkatkan kebaikan dalam terapi.
Frew (1992) membicarakan tiga gaya terapi yaitu- mengesankan, berlomba dan menegaskan-. Dia menggambarkan gaya terapi mengesankan dan berlomba berupa gaya yang bersifat konfrontasi. Dalam menggunakan gaya mengesankan, pelaku terapi kurang konsen untuk memahami dan menghargai pengalaman klien. Pelaku terapi adalah seorang ahli yang bertugas untuk mengevaluasi, mendiagnosa, berhadapan, menafsirkan dan mendominasi hubungan.
Konfrontasi digunakan pada saat-saat mempraktekan terapi Gestalt, yang sebelumnya tidak mesti dipandang sebagai sesuatu yang kejam. Konfrontasi bisa dilakukan seperti didalam cara klien bekerjasama, terutama ketika klien diminta untuk menguji perilakunya sendiri, sikapnya dan fikirannya.
Ramuan sesungguhnya dalam konfrontasi adalah menghargai klien. Konselor yang cukup peduli membuat tuntutan pada kliennya adalah konselor yang mengatakan bahwa akan berpengaruh jika klien dapat berhubungan secara penuh dengan dirinya sendiri dan dengan oranglain.
Intervensi Terapi Gestalt
Levitsky dan Perls (1970) membuat deskripsi yang jelas tetang sejumlah intervensi yang digunakan dalam terapi Gestalt, diantaranya :
Permainan Dialog Internal,salah satu tujuan terapi Gestalt adalah untuk memadukan fungsi dan penerimaan aspek-aspek kepribadian yang sudah ditunjukan dan ditolak. Terapi gestalt memberikan perhatian penuh terhadap fungsi kepribadian ganda. Bagian utamanya adalah antara “top dog” dan “under dog” dan terapi difokuskan pada pertentangan keduanya.
Kelompok top dog selalu merasa benar, berkuasa, bermoral, menuntut, jadi atasan, dan manipulatif. Sedangkan kelompok under dog selalu merasa jadi korban aturan : menjadi defensif, apologetik, tidak mendapat pertolongan dan lemah, serta tak punya kuasa apapun. Kaum top dog berkarakter tirani dan selalu main tunjuk sedangkan underdog selalu melanggar aturan. Konflik ini akan menimbulkan kepribadian yang egois dan memerlukan sebuah dialog internal dalam tahap terapinya.
Membuat lingkaran merupakan ujian terapi gestalt yang melibatkan orang didalam kelompok untuk saling berhadapan dan saling menghampiri untuk saling berbicara dan melakukan sesuatu bersama yang lain.
Ujian pembalikan teori yang mendasari teknik pembalikan adalah bahwa klien melibatkan diri dalam sesuatu yang penuh dengan kecemasan dan menjalin hubungan dengan bagian-bagian dalam dirinya yang telah dipendam dan ditolak.
Ujian latihan. seringkali kita melakukan latihan untuk diri kita secara diam-diam supaya kita bisa memperoleh sikap menerima. Ketika ditampilkan kita mengalami demam panggung, atau kecemasan, karena kita takut tidak bisa melakukannya dengan baik. Latihan internal ini memakan banyak energi dan tidak mengharapkan mengalami hal baru. Latihan ini menimbulkan kesadaran nagaimana ia mencoba menemukan harapan-harapan orang lain atas dirinya; merestui, menerima, dan menyukai dirinya.
Ujian memperbayak, salah satu tujuan tyerapi Gestalt adalah bagi klien untuk lebih menyadari terhadap isyarat yang disampaikan melalui bahasa tubuh. gerakan, fostur, isyarat merupakan komunikasi yang memilki makna. Dalam latihan ini klien diminta untuk mempersering gerakan atau isyarat secara berulang-berulang (seperti menggerakan tangan, kaki).
Tetap berperasaan. kebanyakan klien ingin keluar dari rasa takut dan menghindari perasaan kurang menyenangkan. Ketika keadaan klien seperti itu maka ahli terapi harus memahami perasaanya. Ahli terapi mendorong untuk lebih mendalami perasaan yang ingin dihindari, menghadapinya dan melawannya.
Pendekatan Gestalt terhadap kerja mimpi , dalam psikoanalisis mimpi bisa ditafsirkan, wawasan intelektual ditekankan, dan hubungan bebas digunakan untuk mengeksplorasi arti mimpi yang tidak disadari.Terapi gestalt embawa kembali mimpi pada kehidupan, menciptakan kembali, menghidupkan kembali mimpi seakan-akan mimpi itu berlangsung sekarang(memerinci kejadian mimpi,kejadian,orang dan suasana hati yang terjadi dalam mimpi).Sebagian mimpi merupakan proyeksi diri.Klien diminta untuk berbicara tentang mimpinya.

TERAPI GESTALT DARI PERSFEKTIF MULTIKULTURAL
Kontribusi bagi konseling multikultural
Terapi Gestalt effektif khususnya dalam membantu orang dalam memadukan sifat-sifat yang berlawanan dalam dirinya. Banyak klien yang memiliki dua budaya merasa kesulitan untuk menyelaraskan aspek yang berbeda-beda yang muncul dari dua budaya dimana ia hidup.
Dalam terapi gestalt klien dapat mengklarifikasi fikiran, kepercayaan, dan mengambil makna dari pengalamannya selama proses terapi. terapi gestalt menekankan fasilitasi pada proses klien itu sendiri, dari penemuan dan pembelajaran dirinya. Pengalaman proses pembelajaran diri langsung ini berdasarkan pada kepercayaan pokok berupa aturan diri.
Salah satu keuntungan menggunakan eksperimen Gestalt adalah bahwa eksperimen ini dapat menyesuaikan cara unik dimana seorang individu berpersepsi dan menafsirkan budayanya. Ahli/ pelaku Terapi Gestalt melakukan Pendekatan pada kliennya dengan fikiran yang terbuka dan tanpa prasangka. Sangat essensial dalam memperlakukan klien dari budaya yang berbeda, terlebih, pelaku terapi gestalt mencoba secara penuh memahami latar belakang budaya kliennya
Batasan Konseling Multikultural
Metode Terapi Gestalt cenderung mengasilkan tingkat perasaan intens yang tinggi. Hal ini terfokus pada pengaruh yang memiliki batasan yang jelas, klien yang dikondisikan secara kultural dikembalikan menjadi emosional. Klien yang mengungkapkan perasaan secara terbuka merupakan pertanda kelemahan dan sebuah bukti kerentanannya.
Para ahli terapi gestalt yang memadukan pendekatannya secara benar harus cukup sensitif untuk mempraktekannya dengan cara yang fleksibel. Mereka harus mempertimbangkan kerangka budaya klien dan klien yang mampu beradaptasi dengan metode sebaiknya diterima dengan baik.

Ringkasan dan Evaluasi
Terapi Gestalt merupakan sebuah pendekatan yang berdasarkan pengalaman yang menekankan kesadaran yang ada saat ini dan yang menekankan kualitas hubungan antara individu dengan lingkungannya. Tujuan pendekatan ini adalah terlebih adalah hanyalah untuk mencapai kesadaran.
Tujuan terapik yang lain adalah untuk membantu klien dalam untuk mengeksplorasikan bagaimana mereka menjalin hubungan dengan unsur-unsur lingkungannya. Perubahan terjadi seiring dengan tingginya tingkat kesadaran akan apa yang ada.
Ahli terapi dengan klien bekerjasama untuk mengidentifikasi “gambaran sosok” atau aspek perilaku realitas individu dan dan lingkungan
Kontribusi terapi Gestalt
Salah satu kontribusi terapi Gestalt adalah cara membangkitkan gairah klien untuk mempersoalkan dan merubah perilakunya dimasa lalu pada aspek-aspek yang relevan kepada keadaan yang ada saat ini.
Cain (2002) mengidentifikasi kontribusi-kontribusi signifikan dari pendekatan terapi Gestalt :
• Pentingnya bersikap kritis terhadap hubungan dengan diri sendiri (introspeksi diri), orang lain dan lingkungan.
• Aturan pokok hubungan yang murni dan dialog di dalam terapi
• Penekanan teori lapangan, phenomenologi dan kesadaran.
• Terapi terfokus pada keadaan saat ini, disini dan sekarang yang dialami klien.
• Penggunaan eksperimen-eksperimen aktif yang kreatif dan spontan sebagai jalan untuk pembelajaran eksperiental (berdasarkan pengalaman)
Metode Gestalt membawa konlik dan perjuangan hidup manusia. Terapi Gestalt merupakan pendekatan yang kreatif yang menggunakan eksperimen untuk memindahkan klien dari bicara/ omong kepada tindakan dan pengalaman.
TerapI Gestalt merupakan pendekatan holistik yang menilai setiap aspek kesetaraan pengalaman individu. Dan terapi Gestalt beroperasi dengan angan-angan yang unik tentang perubahan.
Strumpel dan Goldman (2002) mencatat manfaat dari penggunaan terapi Gestalt :
• Manfaat studi yang ditunjukan oleh terapi Gestalt, sama bahkan lebih luar biasa dibanding dengan terapi-terapi yang lain.
• Kebanyakan Studi-studi saat ini menunjukan bahwa terapi Gestalt memilki pengaruh yang bermanfaat pada gangguan kepribadian, masalah psikosomatik, dan kecanduan zat-zat addiktif.
• Pengaruh terapi Gestalt Cenderung stabil dalam tindak lanjut studi 1-3 tahun setelah treatmen selesai.
• Terapi gestalt telah menunjukan effektifitasnya dalam mengobati gangguan psikologis yang bermacam-macam.

BAB. III.
KESIMPULAN

Pandangan Gestalt tentang manusia berakar pada filsafat eksistensial dan fenomenologi,yang menekankan konsep perluasan kesadaran, penerimaan tanggung jawab pribadi, dan mengalami cara-cara yang menghambat kesadaran. Individu memiliki kesanggupan memikul tanggung jawab pribadi dan hidup sepenuhnya sebagai pribadi yang terpadu.Disebabkan oleh masalah-masalah tertentu perkembangannya, individu membentuk berbagai cara untuk menghindari masalah dan karenanya menemukan jalan buntu dalam pertumbuhan pribadinya.
Saat sekarang menurut Perls, tidak ada yang “ada” kecuali “sekarang”. Karena masa lampau telah pergi dan masa depan belum datang, maka saat sekaranglah yang penting. Salah satu sumbangan utama teori Gestalt adalah penekanannya pada disini- dan – sekarang serta pada belajar menghargai dan mengalami sepenuhnya saat sekarang.Berpokus pada masa lampau dianggap sebagai suatu cara untuk menghindari tindakan mengalami saat sekarang sepenuhnya.
Perls menerangkan kecemasan sebagai’ senjang antara saat sekarang dan saat kemudian”Menurut Perls jika individu menyimpang dari saat sekarang ini dan menjadi terlalu terpaku pada masa depan, maka mereka mengalami kecemasan. Untuk membantu klien untuk membuat kontak dengan saat sekarang, terapis lebih tepat menggunakan pertanyaan “apa “ dan “bagaimana’, karena pertanyaan ‘mengapa” hanya akan mengarah kepada rasionalisasi –rasionalisasi dan penipuan-penipuan diri serta mengarah kepada pemikiran yang tak berkesudahan tentang masa lampau yang hanya akan membangkitkan penolkan terhadap masa sekarang.
Terapi Gestalt menyajikan intervensi dan tantangan yang diperlukan, yang bisa membantu individu memperoleh pengetahuan dan kesadaran untuk melangkah menuju pertumbuhan. Dengan mengakui dan mengalami penghambat-penghambat pertumbuhannya, maka kesadaran individu akan penghambat-penghambat itu akan meningkat sehingga dia kemudian bisa mengumpulkan kekuatan atau energi guna mendapatkan keberadaan yang lebih otentik dan vital.
Terapi Gestalt memilki sasaran dasar yang penting adalah menantang individu atau klien agar berpindah dari “ didukung oleh lingkungan ‘ kepada ‘ didukung oleh diri sendiri ‘. Meneurut Perls (1969), sasaran terapi adalah menjadikan klien tidak tergantung pada orang lain, menjadikan klien menemukan sejak awal bahwa dia bisa melakukan banyak hal, lebih banyak daripada apa yang dipikirkannya.Individu mampu menangani sendiri masalah-masalah hidupnya secara efektif

BAB.IV.
KOMENTAR

1.Terapi gestalt adalah bentuk intervensi yang diberikan untuk membantu individu
memperoleh pengetahuan dann kesadaran untuk melangkah menuju pertumbuhan dengan
sasaran dasar adalah menantang individu atau klien agar berpindah dari “didukung oleh
lingkungan” kepada “didukung oleh diri sendiri”. Dengan kata lain individu yang
bersangkutan mampu menagani sendiri masalah-masalah hidunya secara efektif.
2.terapi Gestalt memandang bahwa individu memilki kesanggupan memikul tanggung jawab
pribadi dan hidup sepenuhya sebagai pribadi yang terpadu.Individu itu selalu aktif sebagai
keseluruhan individu bukanlah jumlah dari bagian-bagian atau organ-organ semata (Surya
2003).
3.Terapi Gestalt adalah suatu pedekatan penomenologis- eksistensial yang menekankan
pada kesadaran individu dan hubungandenganlingkungan “di sini”dan ”sekarang”.
Pencapaian kesadaran atau individu menemukan pusat dirinya berupa kesadaran
(Phakih;2009)
fokus utamanya adalah pada “apa “dan “bagaimana” tingkahlaku dan peranan urusan yang
tak terselesaikan dari masa lampau yang menghambat kemampuan individu untuk bisa
berfungsi secara efektif(Corey:2009);Phakih (2009);.
4. Terapi Gestalt menangani masa lampau dengan membawa aspek-aspek masa lampau
yang relevan ke saat sekarang, mengairahkan hubungan dan pengungkapan perasaan-
perasaan langsung dan menghindari intelektualisasi abstrak tentang masalah-masalah
klien; memberikan perhatian terhadap pesan-pesan non verbal dan pesan-pesan tubuh;
menolak mengakui ketidakberdayaan sebagai alasan untuk tidak berubah; penekanan pada
klien untuk menemukan makna-maknanya sendiri dan membuat penafsiran-penafsiran
sendiri; dalam waku yang singkat klien bisa mengalami perasaan-perasaannya sendiri
secara intens melalui sejumlah latihan gestalt (Corey 2009).
5. Terapi gestalt cenderung anti intelektual dalam arti kurang memeperhitungkan faktor-
faktor kognitif; mengabaikan tanggungjawab kita kepada orang lain; para klien sering
bereaksi negatif terhadap sejumlah tehnik gestalt karena merasa dirinya dianggap tidak
memiliki kemampuan.
6. Terapis sepantasnya berpijak pada kerangka berfikir yang layak sehingga teknik-teknik
tidak tampak sebagai muslihat-muslihat. (Corey 2009)

BAB V
APLIKASI TEORI GESTALT DALAM PRAKTEK BIMBINGAN KONSELING

Terapi Gestalt dapat diaplikasikan dalam kegiatan bimbingan dan konseling dengan menekankan kesadaran disini –dan-sekarang. Fokus utamanya adalah pada apa dan bagaimana tingkah laku dan peranan urusan yang tak bisa diselesaikan dari masa lampau yang menghambat kemampuan individu untuk bisa berfungsi secara efektif, klien diharapkan menemukan pusat dirinya atau pencapaian kesadaran.
Tugas terapis adalah membantu klien dalam melaksanakan peralihan dari dukungan eksternal kepada dukungan internal dengan membantu klien mencapai kematangan dan pembongkaran hambatan-hambatan yang mengurangi kemampuan klien memecahkan masalahnya. Terapis memberikan umpan balik terutama apa yang dilakukan oleh klien melalui bahasa tubuh kliennya.
Terapi gestalt dapat menangani masalah gangguan kepribadian, masalah psikomatik, dan gangguan psikologis lainnya. Yang perlu diperhatikan oleh terapis adalah dengan mempertimbangkan kerangka budaya kliennya.

DAFTAR PUSTAKA

Geral Corey (2005) Theory and Practice of Counceling & Psychotherapy.seven edition
Copyright:Brooks/Cole.
…………………(2009) Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi:Bandung:Replika Aditama
Surya Mohamad ( 2003), Teor-teori Konseling :Bandung,Pustaka bani Quraisy.
http://one.indoskripsi.com/judul/skripsi/tugas-makalah-manaj-teknik-kewirausahaan/terapi-
Gestalt.
http://mahkluksurga.blogsport.com/2009/05/sekilas-tentang-terapi-gestalt.html.
http;//phakih.multiply.com/journal/item/24/teori-teori yang digunakan dalan konseling dan
penyuluhan
http://saint paul.blogsport.com/2009/02/konseling.html.
http://abangjo-sevenzero.blogsport.com/2009/06/konselng-gestalt.html..

PROGRAM BIMBINGAN KEMANDIRIAN ANAK TUNAGRAHITA RINGAN DI SPLB-C YPLB CIPAGANTI BANDUNG

Februari 12, 2010

ASPEK TUJUAN
OPERASIONAL INDIKATOR
KEGIATAN
MATERI TEKNIK BIMBINGAN ALAT
BANTU CARA PELAKSANAAN
KELAS DAN WAKTU PENYAJIAN
I II III IV V VI
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
1. Mengenal ciri-ciri diri sendiri.
Anak dapat mengenal ciri-ciri diri sendiri melalui tanda-tanda khusus dan membedakan dengan orang lain. A. Mengenal bentuk muka.

B. Ciri-ciri pada badan.

C. Mengenal jenis kelamin.
a. Oval / lonjong
b. Bulat
c. Persegi.

a. Tahi lalat
b. Bekas luka
c. mata, alis
d. Tinggi badan, gemuk/kurus.

a. Jenis kelamin laki-laki dan perempuan
b. Perbedaan pakaian dan perempuan
c. Jenis rambut. Memberi ceramah, demonstrasi, tanyajawab.

sda

Memberi penje-lasan, tanya jawab. Cermin
Teman sekelas.

Teman sekelas.

Asesoris Siswa
Macam-macam pakaian
Klasifikasi Melalui pelajaran kemampuan merawat diri.
Matematika
Bahasa indonesia

Merawat diri
sda

Matematika
penjas

Merawat diri
IPS, Bahasa Ind

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

xx

x

x

xx xxx

xxx

xx

x

x
2. Mengurus diri sendiri.
Anak dapat mengurus diri sendiri dalam kehidupan sehari-hari melalui latihan dan pembiasaan. A. Kegiatan makan dan minum, menyiapkan makanan, dan membantu memasak di dapur.

B. Member-sihkan dan merapikan diri.

C. Member-sihkan lingkungan dan kesehatan badan.

D. Berbusana

E. Menghin-dari bahaya

F. Mengenal peraturan lalu lintas

G. Berbelanja

H. Kerjasama

I. Mengenal biro jasa dan memanfaat-kan lembaga pemberi jasa a. Mengenal peralatan makan
b. Makan dengan tangan
c. Makan dengan sendok dan garpu
d. Minum dengan gelas, sedotan, minuman dalam kemasan
e. Mengenal jenis makanan dan minuman
f. Makan dan minum yang sopan
g. Makan tepat waktu
h. Menyiapkan makan di meja
i. Mengenal peralatan memasak
j. Membantu memasak di dapur

a. Bahan dan peralatan yang digunakan untuk materi b s/d j.
b. Mencuci tangan
c. Berkumur-kumur
d. Menggosok gigi
e. Mencuci muka
f. Mencuci kaki
g. Mencuci rambut
h. Membersih-kan mata
i. Membersihkan kuku
j. Membersihkan badan (mandi)
k. Menyisir rambut
l. Menyemir sepatu
m. Memakai kosmetik sederhana (bedak, minyak rambut, minyak wangi)

a. Membersihkan alat-alat rumah tangga
b. Menata dan member-sihkan ruangan
c. Membersihkan badan saat menstruasi
d. Buang air kecil dan besar
e. Menggunakan obat sederhana
f. Melakukan olahraga sederhana
g. Mencuci dan menjemur pakaian
h. Menyetrika pakaian.

a. Mengenal macam-macam pakaian luar.
b. Mengenakan pakaian luar
c. Mengenal macam-macam pakaian dalam
d. Mengenakan pakaian dalam
e. Memasang kancing dan retsleting
f. Mengenakan sepatu tanpa tali
g. Mengenakan sepatu pakai tali
h. Mengenakan kaus kaki
i. Mengenakan ikat pinggang

a. Bahaya benda tajam.
b. Gigitan binatang dan serangga berbisa.
c. Bahaya listrik, kompor, dan air panas.

a. Mengenal rambu-rambu lalu lintas.
b. Mentaati rambu-rambu lalu lintas jalan raya.
c. Lalu lintas kereta api.

a. Jajan
b. Belanja ke warung
c. Belanja ke toko atau supermarket
d. Belanja ke pasar.

a. Kerjasama di rumah.
b. Kerjasama di sekolah
c. Kerjasama dengan lingkungan terdekat

a. Memanfaatkan jasa pos
b. Memanfaatkan jasa telepon
c. Memanfaatkan jasa klinik kesehatan.
d. Memanfaatkan sarana rekreasi dan tempat bersejarah. Memberi ceramah,
Peragaan dan de-monstrasi, menyu-ruh siswa malaku-kan kegiatan, me-lakukan tanya jawab dengan siswa.

Memberikan pen-jelasan, demon-strasi, penugasan dan mengawasi siswa.

Sda

sda

Memberikan pen-jelasan, melak-sanakan tanya-jawab.

Memberikan penjelasan, tanya jawab, pengenalan lingkungan.

Mengenalkan nilai nominal uang, me-nyuruh siswa ber-belanja, menga-wasi & observasi

Memberi ceramah, tanya jawab

Membri penjelas-an, demonstrasi, mengawasi siswa, observasi, penu-gasan. Peralatan makan dan dapur, macam-macam makanan dan minuman.

Air, sabun, gayung, kain lap, handuk, kapas, dan gunting kuku.

Kain lap, sapu, pembalut wanita, obat-obatan sederhana, perlengkapan olah raga, sabun, dan setrika.

Macam-macam baju dan celana, pakaian dalam, sepatu yang memakai tali dan tidak, sabuk ,bedan dan minyak rambut.

Pisau, paku, pecahan kaca, jarum, dan model binatang berbisa.

Gambar rambu-rambu lalu lintas.

Uang

Teman sekelas

Benda-benda pos
Telepon umum
Klinik sekolah Melalui pelajaran merawat diri, PKK, kegiatan pramuka.
Kegiatan makan bersama

Melalui pelajaran kemampuan merawat diri.

sda

sda

sda

Melalui karyawisata
Pengenalan ling-kungan

Siswa disuruh jajan
Dibawa ke toko
Supermarket dan ke pasar

Bahasa Indonesia, IPS, PPKN, go-tong royong, Olah raga permainan.

Kunjungan ke lembaga pemberi jasa.
Darmawisata.

xx

x

x

x

x

x
xx
x
x

x

x

x

x

x

x

x

x
x

x

x
x

x

x

x

x

x
xxxx

x

x

x

x
x

x

x

x
x
x
x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x
x

x

x

x

x
xxxx

x

x

x

x

x

x

x

x
x
x
x

x

x

x

x

x

x

x

x
x

x

x

xx
x

x

x
x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x
x

x

x

xxx

x

x
x

x

x x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x
xx

x

x

x

x

x
x

x

x
x

x

x x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x
x

x

x
x

x

x
3. Merencana-kan kegiatan harian.
Anak dapat merencanakan sendiri kegiatan harian yang sesuai dengan kepentingannya. A. Kegiatan di sekolah.

B. Kegiatan di rumah.
a. Menyiapkan buku sesuai jadwal pelajaran
b. Jadwal piket kelas
c. Menulis buku komunikasi guru dan orang tua.

a. Jadwal belajar di rumah
b. Jadwal istirahat Memberikan pera-gaan, menugaskan siswa.

sda Kertas karton
Kertas warna
Spidol warna
Lem
Gunting

sda Melalui pelajaran keterampilan.

sda x

x

x
x

x x

x

x
x

x
4. Melaksana-kan kegiatan secara konsekuen.
Anak dapat melaksanakan rencana kegiatan secara konsekuen A. Kegiatan di Sekolah.

B. Kegiatan di rumah. a. Belajar sesuai jadwal
b. Melaksanakan piket kelas
c. memberikan surat pada orang tua.

a. Mengerjakan PR
b. Istirahat
c. Membenahi perlengkapan sekolah. Memberikan pera-gaan, menugaskan siswa.

sda Alat tulis
Peralatan kebersihan (sapu, bak sampah)

sda Observasi setiap hari.

Komunikasi dengan orang tua.

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x xx

x

x
x

x

x
x

x

x
x
x x
x

x

x
x

x

x
x

x

x
x
x
5. Mengambil keputusan.
Anak dapat menentukan sendiri minat dan bakat melalui kegiatan sekolah. A. Kegiatan ekstrakuri-kuler

a. Keterampilan
b. Latihan pramuka
c. Kesenian
d. Olah raga Melaksanakan tanya jawab, mem-beri tugas, demon-strasi & simulasi Bahan keset
Perlengkapan pramuka
Perlengkapan olah raga. Kerajinan
Pramuka
Pendjas
PPKN
x
x

x x
x

x
x

x
x

x
x

x
x

x
x

x
x

x
x

x
x

x
x
xx x
x
x
x
x
x
x
x
x
x x
x
x
x
x
x
x
6. Cara berpikir positif.
Anak dapat berlatih berpikir ke arah yang lebih positif melalui interaksi keadaan yang sebenarnya. A. Permainan

B. Tebak cepat

C. Pemanfa-atan waktu luang a. Permainan teka-teki
b. Permainan yang memakai alat sederhana.

a. Tanya jawab
b. Cerita bergambar

a. Membabaca pelajaran
b. Menyelesaikan tugas
c. Keterampilan kerajinan Melaksanakan tanya jawab, mem-beri tugas, demon-strasi. Kartu
Bola
Komik anak
Puzel Bahasa Indonesia.
Pendjas
x

x
x
x

x
x
x

x
x

x
x xx

x
x

xxx x
x

x
x

xxx x
x

x
x

xxx x
x

x
x

xxx

PENGEMBANGAN PROGRAM BIMBINGAN KONSELING PERKEMBANGAN MELALUI KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DALAM PENINGKATAN KEMANDIRIAN ANAK TUNGRAHITA RINGAN

Februari 12, 2010

Oleh: Drs. JON EFENDI
Staf Pengajar PLB FIP Universitas Negeri Padang
ABSTRAK
The autonomy of mild intellectual handicap children are capabilities that must be had to help their-selves (self-help) with reduce dependencies from others assistance. Result of this research is to teachers program which guide autonomy for the mild intellectual handicap students. The research was done through the action research approach. Resulted “Autonomy Guidance Program” which was arranged collaboration action along with teachers of SPLB-C YPPLB Cipaganti Bandung, and then was examined through a seminary with whole SLB Bandung teachers.
Autonomy guidance serve to mild intellectual handicap are such as introduction to characteristics of their-selves, serve to take care their-selves, serve to plan their daily activities, do activities guidance consequently, guidance to make a decision, and practice to think positively. Realization through some practices that were started since low class, consecutively, give guidance, motivation and control that need participation and cooperation with student’s parents, teachers, other experts whom get involved to be refers.
I. PENDAHULUAN
Keluaran sekolah luar biasa belum mandiri melakukan aktivitas sehari-hari, sehingga timbul anggapan bahwa program pendidikan belum berhasil membantu kemandirian siswa secara optimal. Hasil observasi menunjukkan bahwa guru mengambil alih pekerjaan anak, menolong anak secara berlebihan, dan orang tua terlalu melindungi sehingga anak kurang diberikan kesempatan untuk berbuat.
Ahman (disertasi, 1998) bimbingan perkembangan sebagai tujuan bimbingan di SD, perlu diujiterapkan untuk membantu kemandirian ATG ringan. Kemandirian dimaksud berupa bimbingan perkembangan tentang belajar menjadi pribadi yang mandiri (self-help) bagi ATG ringan. Apakah bimbingan pekembangan belajar mengurus diri sendiri yang diterapkan oleh Ahman di sekolah dasar dapat digunakan untuk membantu kemandirian ATG ringan ? Pertanyaan tersebut ditelaah secara cermat tentang upaya guru dalam membantu kemandirian ATG ringan, sehingga perlu dirumuskan masalah berikut.
1. Kegiatan apa yang selama ini dilakukan oleh guru SPLB-C untuk membantu meningkatkan kemandirian ATG ringan ?
2. Apa sebabnya bimbingan belum berhasil membantu kemandirian anak ATG ringan ?
3. Kendala-kendala apa dan mana yang perlu diperbaiki (berkenaan dukungan sistem) yang dihadapi oleh guru dalam menerapkan bimbingan kemandirian ATG ringan ?
4. Aspek-aspek layanan dasar apa saja yang seyogyanya dilaksanakan untuk membantu meningkatkan kemandirian ATG ringan ?
Berdasarkan telaah pertanyaan tersebut disusun program bersama guru-guru (kolaborasi) untuk meningkatkan efektivitas bimbingan yang sesuai dengan karakteristik ATG ringan dalam peningkatan kemandirian.
Perwujudan kemandirian siswa tunagrahita ringan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan dan masyarakat menurut Bailey, (1982: 19) menyebutkan, aspek kemandirian bagi ATG berhubungan dengan kemampuan menolong diri sendiri (self-help) seperti kemampuan minum dan makan, kemampuan mobilitas, menggunakan WC, mandi, berpakaian serta berhias. Sedangkan Wehman, (1981 : 185) menyebutkan wilayah kemampuan merawat diri “The self-care domain involves eating, dressing, toileting, grooming, safety, and healt skills”.
Siswa dikatakan mandiri apabila dapat melakukan kegiatan menolong diri sendiri (self-help) tanpa bantuan orang lain, terampil mengurus diri sendiri, serta dapat menyesuaikan diri dengan budaya atau lingkungan secara optimal. Kartadinata (disertasi, 1988) menyatakan, esensi kemandirian berupa tanggung jawab dan pada hakekatnya bukanlah sesuatu yang diajarkan sebagai pengetahuan melainkan sebagai sesuatu yang harus dialami dan diwujudkan dalam tindakan. Namun kemampuan berpikir menjadi acuan utama untuk mencapai kemandirian. Winarti (Tesis, 1994) kemandirian pada anak diwujudkan melalui aktivitas-aktivitas orang tua yang dilakukan sejak anak berusia di bawah lima tahun, bahkan sejak dini anak-anak dilibatkan dalam kehidupan sehari hari secara bertahap sesuai perkembangannya.
Guru sekolah luar biasa dituntut untuk lebih memahami perkembangan intelektual siswa berserta kemungkinan-kemungkinan perkembangan individu. Diperlukan kepedulian guru terhadap kelainan-kelainan perkembangan, baik internal maupun fisik melalui latihan dan bimbingan yang berulang-ulang.
II. ATG RINGAN DAN MODEL BIMBINGAN PERKEMBANGAN
A. Pengetian ATG Ringan
Pandangan terbuka yang dibuat oleh American Association on Mental Retardation (AAMR) seperti berikut.
…mental retardation refers to significantly subaverage general intelectual functioning existing concurrently with deficits in adaptive behavior, and manifested during the developmental period (Grossman, 1983 dalam Hardman, L. Michael 1990:90)

…mental retardation refers to significantly subaverage general intellectual functioning resulting in or associated with concurrent impairments in adaptive behavior manifested during the develompemntal period (Grossman, 1983 dalam Linch, W.Eleanor. 1992:99)

AAMR membagi tiga komponen utama yaitu; Intelligence, adaptive behavior, and the developmental period. Robert, P. Ingals (1978:5) dalam Amin (1995:20) memberi sebutan ATG “mental retardation, mental defiency, mentally defective, mentally handicaped, feeblemindedness, mental subnormality, amentia and oligophrenia”. Istilah yang dipakai di Indonesia adalah terbelakang mental, dan tunagrahita. ATG Ringan menurut AAMD dan PP No. 72 Tahun 1991 disebut memiliki IQ antara 50-70. Meskipun dalam hal kecerdasan dan sosialnya terhambat, tapi mereka masih mempunyai kemampuan untuk berkembang dalam mata pelajaran akademik, penyesuaian sosial, dan kemampuan bekerja. Pendidikannya menggunakan program khusus sesuai dengan berat ringannya ketunagrahitaan yang disandanngnya. Mereka masih dapat bergaul, dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, dapat hidup mandiri di masyarakat, dapat melakukan pekerjaan yang bersifat semi keahlian.
B. Karakteristik ATG Ringan
Bloom, (1974) dalam Kirk & Gallagher (1990: 88), menyatakan ATG ringan mengalami kesulitan dalam perhatian, terbatas dalam penyesuaian sosial, terbatas dalam perkembangan bahasa, mudah tertarik perhatian atau hiperaktif, sering terlibat dalam kegiatan yang tak produktif (berkelahi, meninggalkan tempat duduk untuk bersosialisasi).
Polloway, Epstein & Cullinan (1985) dalam Kirk & Gallagher (1990: 89) menyebutkan berdasarkan hasil penelitian.
Murid-murid cacat mental menunjukkan lebih banyak masalah kekurangan perhatian dibanding teman seusianya yang tidak cacat. Mereka cenderung menarik diri, acuh tak acuh, mudah bingung dan mempunyai waktu perhatian yang lebih pendek.

ATG ringan umumnya lancar berbicara tetapi kurang perbendaharaan kata, sukar berfikir abstrak tapi masih dapat mengikuti pelajaran akademik. Usia 16 tahun baru mencapai usia kecerdasan usia 12 tahun, artinya kecerdasan ATG ringan paling tinggi sama dengan kecerdasan anak normal usia 12 tahun.
C. Tujuan Pendidikan ATG Ringan
Tujuan pendidikan ATG secara khusus tertuang dalam PP 72/1991 bab 2.
1. Dapat mengembangkan potensinya dengan sebaik-baiknya. Mereka harus dibantu untuk mencapai tingkat tersebut, sehingga ia dapat mengembangkan potensinya, dan memiliki kecakapan yang berarti dan berguna untuk bekal hidupnya
2. Dapat menolong diri (makan, mandi, berpakaian dan sebagainya) untuk itu mereka harus dilatih secara khusus untuk melakukan pekerjaan tersebut, berdiri sendiri dan berguna bagi masyarakat (memiliki penghasilan sendiri, mengambil keputusan sendiri dalam tingkatan yang sederhana).
3. Memiliki kehidupan lahir bathin yang layak seperti memiliki rasa kepercayaan diri, dapat membaca dan menulis secara sederhana, mempuyai hoby sesuai dengan kemampuan, bergaul dengan teman sebaya dan orang lain.

Melalui pendidikan ATG diharapkan dapat berkembang sesuai potensinya, melakukan kegiatan sehari-hari tanpa bantuan orang lain, dan hidup layak bersama masyarakat sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
D. Model Bimbingan Konseling Perkembangan
Muro dan Kottman (1995:50-53) menyebutkan bimbingan konseling perkembangan merupakan program yang mengandung prinsip-prinsip.
1. Guidance and counseling are needed by all children.
2. Developmental guidance and counseling has a focus on children’s learning.
3. Counselors and teachers are cofunctionaries in developmental guidance programs.
4. An organized and planed curriculum is a vital part of developmental guidance.
5. Developmental guidance is concerned with self-acceptance, self-understanding, and self-enhancement.
6. Developmental guidance and counseling focus on the encouragement process.
7. Developmental guidance acknowledges directional development rather than definitive ends.
8. Developmental guidance, while team oriented, requires the services of a trained professional counselor.
9. Developmental guidance is concerned with early identification of special needs.
10. Developmental guidance is concerned with the psychology of use.
11. Developmental guidance has foundations in child psychology, child development, and learning theory
12. Developmental guidance is both sequential and flexible.

Bimbingan konseling perkembangan merupakan bantuan yang memfokuskan pada kebutuhan, kekuatan minat, dan isu yang berkaitan dengan tahapan perkembangan anak merupakan bagian penting dan integral dari keseluruhan program pendidikan. Komponen yang terkandung dalam bimbingan konseling perkembangan yakni (1) layanan dasar bimbingan, (2) layanan responsif, (3) sistem perencanaan individual, dan (4) pendukung sistem.
Materi kurikulum diajarkan dengan unit fokus pada hasil dan pengajaran yang berorientasi tujuan bagi siswa dalam kelompok kecil atau kelas.
E. Aspek Tugas Perkembangan Belajar Menjadi Pribadi yang Mandiri
Hakekat tugas perkembangan belajar menjadi pribadi yang mandiri yaitu: mampu membuat perencanaan dan melaksanakan kegiatan pada saat ini dan di masa mendatang secara mandiri tidak tergantung pada orang tua atau orang lain yang lebih tua. Bertolak dari hasil kajian lapangan Ahman (1998), maka salah satu rumusan tugas-tugas perkembangan anak di SD adalah aspek “belajar menjadi pribadi yang mandiri”, yang meliputi: 1) memiliki kemampuan mengurus diri sendiri, 2) mampu menyusun rencana kegiatan sehari-hari tanpa bantuan orang lain, dan 3) mampu melaksanakan rencana kegiatan secara konsekuen.
III. PENDEKATAN
Penelitian ini dilakukan di SPLB-C Cipaganti Bandung, dengan menggunakan pendekatan collaborative action research. Carr & Kemmis (1986), dalam Natawidjaja (1997), merumuskan penelitian tindakan sebagai berikut.
Penelitian tindakan (Action Research) adalah suatu bentuk penelaahan atau inkuiri melalui refleksi diri yang dilakukan oleh peserta kegiatan pendidikan tertentu (misalnya guru, siswa, dan atau kepala sekolah dalam situasi sosial (termasuk pendidikan) untuk memperbaiki rasionalitas dan kebenaran serta keabsahan dari (a) praktek-praktek sosial atau kependidikan yang mereka lakukan sendiri, (b) pemahaman mereka mengenai praktek-praktek tersebut, dan (c) situasi kelembagaan tempat praktek-praktek itu dilaksanakan.

Elliott (1993 : 54) menyebutkan “Action research integrates teaching and teacher development, curriculum development and evaluation, reasearch and philisophical reflection, into a unified conception of a reflective educational practice”. Penelitian tindakan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan yang menyangkut suatu pemecahan terhadap persoalan antara teori dan praktek yang dihadapi para guru di sekolah. Penelitian tindakan benar-benar menggambarkan suatu proses dimana gagasan-gagasan diujikembangkan dalam bentuk tindakan. Makna kolaborasi dalam penelitian merupakan suatu kerja sama peneliti pada kegiatan yang diteliti. Pelaksanaan penelitian, menganalisis kesenjangan, dan menyusun program hipotetik sesuai dengan karakteristik ATG ringan.
Informasi dalam penelitian ini akan diperoleh melalui wawancara dengan guru kelas, kepala sekolah, serta melakukan observasi tentang layanan bimbingan terhadap ATG ringan yang mencakup situasi sosial, kondisi, dan fasilitas. Pengungkapan data yang dilakukan seperti (a) pengungkapan program aktual layanan dasar bimbingan kemandirian, (b) pengungkapan sebab-sebab bimbingan kemandirian belum berhasil, (c) pengungkapan kendala-kendala (dukungan sistem) yang dihadapi guru dan sistem yang perlu diperbaiki dalam melaksanakan bimbingan, dan (d) pengungkapan layanan dasar yang seyogyanya dilakukan dalam peningkatan kemandirian ATG ringan. Data dikumpulkan dan dirangkum sesuai permasalahan penelitian hingga mudah mengolahnya, membuat kesimpulan dan mengadakan ferifikasi. Elliott (1993 : 69) langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian tindakan “The basic cycle of activities is identifying a general idea, reconnaissance, general planning, developing the first action step, implementing the first action step, evaluation, revising the general plan”.
Tahap kegiatan yang dilakukan (1) tahap orientasi bulan Februari 1998, (2) tahap eksplorasi tanggal 21 September 1998 s.d. 24 Oktober 1998, (3) tahap member check, penyampaian laporan kepada guru untuk di chek kebenarannya, kemudian memperbaiki sesuai saran guru-guru, (4) tahap triangulasi untuk pemeriksaan keabsahan data sebagai pembanding terhadap data, (5) tahap audit trail untuk membuktikan kebenaran data, (6) tahap kolaborasi, tanggal 22 s.d. 24 Desember 1998 untuk menyusun program bimbingan kemandirian dengan guru-guru kelas, (7) tahap uji validasi, tanggal 11 Januari 1999. Pesertanya guru-guru SLB-C se-Kodya Bandung.

IV. PEMBAHASAN
A. Layanan Aktual Bimbingkan Kemandirian ATG Ringan
1. Mengenalkan ciri-ciri diri sendiri
Upaya guru dalam membekali siswa mengenal ciri-ciri diri sendiri dilakukan melalui perbedaan jenis kelamin dan pemahaman ukuran badan. Pengenalan terhadap ciri-ciri diri sendiri bagi siswa tunagrahita ringan tidak dimasukkan dalam program kegiatan belajar mengajar.
Pemahaman siswa terhadap pengenal ciri-ciri diri sendiri masih terbatas pada mengenal jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Selain itu perlu usaha pengenalan bentuk wajah dan ciri-ciri yang menyertainya. Beberapa kemungkinan yang menyebabkan kesenjangan layanan bimbingan kemandirian yakni kurikulum yang tidak memuat materi, dan program kegiatan guru yang belum mau membuka diri terhadap kebutuhan siswa.
2. Mempersiapkan siswa agar mampu mengurus diri sendiri
1) Kegiatan makan dan minum, menyiapkan makanan di meja makan, dan membantu memasak di dapur.
Melalui peragaan siswa dapat memperhatikan kegiatan serta runtun pekerjaan yang semestinya dilakukan. Bila siswa tidak mampu guru mengambil alih pekerjaannya, namun tetap memberikan bimbingan, arahan dan petunjuk melaksanakan kegiatan. Kurangnya usaha memperagakan benda-benda asli merupakan hambatan utama bagi diperolehnya kemandirian siswa. Kenyataan ini manandakan dangkalnya upaya guru dalam meningkatkan kemandirian siswa.

2) Memelihara kebersihan badan, lingkungan, dan merawat kesehatan.
Langone, Jr. John. dalam Fallen & Umansky (1985: 366) menyatakan: self-help skills (eating, dressing, grooming, and toiletting) comprise a large portion of an individual’s daily living task. Consequently, the teaching of self-help skills should be an important component of the school curriculum.
Keterampilan menolong diri sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari bagi setiap individu. Bagi ATG perlu memperhatikan keberadaan dirinya di tengah masyarakat. Untuk itu pengajaran keterampilan menolong diri sendiri perlu dipersiapkan oleh guru sebagai komponen yang paling penting dari kurikulum ATG ringan.
3) Berbusana, berhias, dan menggunakan kosmetik sederhana
Guru membimbing kegiatan berbusana dengan mengenalkan jenis pakaian disesuaikan dengan pakaian yang sering dipakai oleh siswa ke sekolah. Penerapannya memerlukan perintah dan pengawasan dari guru. Kondisi ini perlu didukung oleh upaya yang sama dari pihak keluarga, seperti orang tua perlu menindaklanjuti upaya yang telah dilakukan guru di sekolah, memberikan perlakuan sebagaimana guru memperlakukan siswa.
4) Mengenal dan menghindari macam-macam bahaya
Guru berusaha mananamkan pada siswa tentang upaya yang semestinya dilakukan dengan menghindari diri dari bahaya-bahaya yang mungkin dihadapi. Berdasarkan penjelasan guru siswa mampu mengenal larangan-larangan dengan mengingat resiko yang akan dialami. Siswa diberi pengertian agar dapat menjaga diri dalam berlalu lintas di jalan raya.
5) Merawat pakaian dan alat-alat rumah tangga.
Unsur penting yang menjadi kesenjangan dalam upaya meningkatkan kemampuan dan keterampilan merawat pakaian serta alat-alat rumah tangga pada siswa lebih diakibatkan kerena jarangnya kegiatan itu dilakukan. Kegiatan yang mendukung tidak dimilikinya kemandirian dan keterampilan siswa adalah terbatasnya peralatan dalam melaksanakan kegiatan, waktu yang tidak sesuai, dan perhatian guru pada banyaknya ragam materi yang harus diselesaikan dalam kurun waktu tertentu.
6) Mengenal peraturan, rambu-rambu, dan mentaati peraturan lalu lintas
Sesuatu yang sering dilihat atau dijumpai dalam kehidupan sehari-hari seperti rambu-rambu lalu lintas dapat dipahami oleh siswa. Kepada orang tua hendaknya berusaha memberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan aktivitas menggunakan kendaraan secara bertahap. Dengan demikian kepada siswa ditumbuhkan rasa percaya diri dan merasa diakui sebagai individu yang tidak selalu mengantungkan diri pada orang lain.
7) Berbelanja
Guru menunjukkan keterbatasan dalam mengupayakan kemampuan berbelanja bagi siswa, sehingga guru memerlukan kiat-kiat tertentu dalam memberikan pemahaman nilai uang bagi siswa. Cara lain yang bisa ditempuh yakni mengadakan kerjasama dengan pedagang yang ada di sekitar sekolah untuk bersama-sama memberikan pemahaman tentang nilai nominal uang saat proses berbelanja. Hasil penelitian Jon Efendi (1992: 75), pengenalan nilai nominal uang dapat dilakukan melalui bermain monopoli, kartu remi, domino, ular tangga.
8) Bekerjasama
Data yang berkenaan dengan kerjasama bagi siswa terintegrasi dalam kegiatan belajar, bermain, dan bergotong royong dalam suatu pekerjaan. Kerjasama juga merupakan suatu kebutuhan siswa dan perlu diupayakan pemenuhan dengan menciptakan situasi menyenangkan. Adanya perkecualian yang menunjukkan siswa tidak mau bekerjasama dikarenakan keterbatasan cara berpikir, belum tumbuhnya kebiasaan, situasi yang tidak menyenangkan, menuntut guru untuk menggunakan pendekatan yang lebih menarik hingga siswa terlibatkan dalam situasi kebersamaan.
9) Mengenal dan memanfaatkan lembaga pemberi jasa
Minimnya usaha guru membiasakan siswa untuk melakukan kegiatan pemanfaatan lembaga biro jasa, disebabkan oleh banyaknya aktivitas yang bisa dilakukan siswa tetapi waktu kegiatan formal sangat terbatas, ditambah kesibukan guru mengawasi siswa yang hiperaktif. Solusi lain yang dapat dilakukan guru untuk memanfaatkan lembaga biro jasa adalah dengan melibatkan guru lain untuk meningkatkan pengawasan pada siswa, kerjasama guru dengan melibatkan orang tua atau pengantar dalam peningkatan bimbingan dan pengawasan di lokasi.
3. Merencanakan kegiatan harian
Diperlukan tindakan guru dalam membuat perencanaan bagi kegiatan siswa. Perencanaan disusun secara menarik dapat mendorong tumbuhnya motivasi siswa untuk melakukan kegiatan sebagaimana tertuang dalam perencanaan guru. Kegiatan bertujuan untuk mengenalkan pada siswa tata cara menata kegiatan harian sesuai dengan kemampuannya.
4. Melaksanakan kegiatan secara konsekuen
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rutinitas merupakan kegiatan yang mudah dilakukan oleh siswa. Sebaliknya ketergantungan pada respon lingkungan masih tinggi. Sesuai dengan keadaan perlu usaha yang lebih giat untuk melatih, mengawasi, mengingatkan siswa melalui pembiasaan yang berulang-ulang.
5. Mengambil keputusan
Peran guru dalam menentukan keputusan bagi siswa masih dominan. Guru beranggapan bahwa siswa tidak memiliki kemampuan untuk mengarahkan diri sesuai keinginannya. Untuk itu guru perlu memberikan peluang kepada siswa yang diperkirakan mampu. Pemberian kesempatan ini merupakan upaya menumbuhkan keberanian berpendapat dan mengurangi ketergantungan siswa kepada pihak lain melalui bimbingan orang lain yang lebih mampu.
6. Cara berpikir positif
Siswa belum memiliki kemampuan untuk berinisitif sendiri untuk memanfaatkan waktu luang. Upaya menumbuhkan inisiatif berpikir positif diperlukan bantuan guru untuk memanfatkan waktu luang sepulang di luar jam sekolah. Ketergantungan siswa pada orang lain lebih mendukung tidak munculnya inisiatif diri, mereka membutuhkan arahan dan bimbingan dalam melakukan kegiatan sesuai dengan perintah guru atau dari orang yang lebih mampu.

B. Sebab-sebab Bimbingan Belum Berhasil Membantu Kemandirian ATG
1. Faktor penyebab yang berkenaan dengan keadaan siswa
Pencapaian kemandirian bagi ATG tidak hanya tergantung pada program dan pendekatan layanan, tetapi juga ditentukan oleh faktor mendasar yang dimilikinya seperti inteligensi, tingkah laku hiperaktivitas, dan kemampuan siswa dalam bersosialisasi. Anak tungarahita kurang memungkinkan untuk melatih penerimaan informasi secara baik karena kemampuan mereka untuk menggunakan memori rentang waktunya pendek dan terbatas. Kirk (1986) dalam Amin (1990 : 83) menyatakan “Hampir semua anak-anak yang tunagrahita yang tingkat IQ-nya rendah menderita kerusakan biologis pada otak dan sistem syaraf pusat yang membuat pemrosesan informasi itu sangat sulit. Karenanya ATG cenderung seringnya mengalami masalah penglihatan dan syaraf.
2. Faktor penyebab yang berkaitan dengan kurikulum
Upaya meningkatkan kemandirian siswa perlu di dukung dengan perangkat kurikulum yang fleksibel sesuai kebutuhan dan kondisi siswa. Tuntutan materi yang terlalu tinggi/padat dalam kurun waktu tertentu dapat mengakibatkan pemerolehan kemandirian tidak optimal. Kemungkinan ini menuntut guru sesegera mungkin menyampaikan materi sesuai dengan target materi dalam setiap kurun waktu.
3. Faktor penyebab ketidak berhasilan yang berkenaan dengan kemampuan guru sebagai pelaksana bimbingan
Kemampuan guru dalam memilih materi dapat menentukan kemandirian siswa, hal ini menuntut guru mempersiapkan urunan materi yang bersinambungan sesuai kebutuhan perkembangan siswa. Peran bimbingan dalam proses belajar mengajar menuntut suatu kompetensi dari guru dalam keseluruhan pribadinya, guru dituntut untuk memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan karakteristik dan suasana belajar siswa.
Guru dituntut untuk benar-benar memahami karakteristik siswa, merencanakan program secara bertahap dalam kurun waktu tertentu, dan mengevaluasi keberhasilan kemandirian siswa. Bila tidak memahami keadaan siswa tanpa persiapan memadai akan timbul rasa bosan karena situasi yang monoton dengan tingkat keberhasilan rendah.
4. Faktor penyebab keberhasilan bimbingan yang berkenaan dengan sarana
Atkinson, C.Harry (1968) dalam Surjadi (1983:13-15) keberhasilan belajar dipengaruhi faktor penunjang yang menyertainya seperti besar kecilnya ruang yang digunakan, fasilitas yang tersedia, sumber yang tersedia, dan waktu yang diperlukan dalam proses belajar/bimbingan.
Berhasil tidaknya suatu proses belajar/bimbingan turut ditentukan oleh sarana yang mendukung pelaksanaannya. Seorang guru sebelum melaksanakan kegiatan perlu merencanakan sumber belajar yang akan digunakan, ruang yang diperlukan, fasilitas dan alat bantu yang dibutuhkan. Perencanaan yang dibuat perlu disesuaikan dengan kesediaan dana sebagai penunjang utama.
C. Kendala-kendala Dukungan Sistem dan yang Perlu Diperbaiki
Berdasarkan kendala dukungan sistem yang muncul kiranya perlu mengupayakan kemandirian yang di arahkan pada usaha menjalin kerjasama dengan para ahli terkait dalam membimbing siswa, peningkatan kemampuan profesional guru melalui pelatihan, seminar, diskusi ilimiah, dan lokakarya. Dalam pelaksanaan perlu didukung dengan tenaga guru yang memahami arti bimbingan dalam peran hubungan antarpribadi dengan siswa. Sambil mengajar guru selalu menerapkan peran membimbing siswanya. Pentingnya peningkatan koordinasi dan kerjasama yayasan dengan kepala sekolah untuk menyatukan visi bimbingan dalam mengupayakan kemandirian siswa secara aktif dalam kehidupan sehari-hari dengan mengurangi rasa ketergantungan pada orang lain.
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
1. Layanan Aktual Bimbingan Kemandirian
Layanan kemandirian dalam mengurus diri sendiri bagi siswa merupakan kemampuan kemandirian yang seyogyanya dimiliki. Layanan bimbingan yang diberikan meliputi (a) mengenalkan ciri-ciri diri sendiri, (b) mempersiapkan siswa agar mampu mengurus diri sendiri, (c) merencakan kegiatan harian, (d) melaksanakan kegiatan secara konsekuen, (e) mengambil keputusan, dan (f) cara berpikir positif. Pada prinsipnya pelaksanaan kegiatan diupayakan agar dapat membuat siswa senang dan gembira, dilakukan melalui kerjasama dalam bermain, belajar, dan kegiatan gorong royong dengan teman sekelas.
2. Sebab-sebab Bimbingan Belum Berhasil
Faktor-faktor penentu dalam usaha peningkatan kemandirian siswa seperti hambatan dalam IQ sehingga kurang cakap dalam kegiatan-kegiatan yang memerlukan konsentrasi dan pemikiran. Perilaku hiperaktivitas merupakan kendala utama bagi guru bila mengadakan kegiatan ke luar lingkungan sekolah.
Sebagai pembimbing di sekolah guru mengalami kesulitan dalam memilih/menentukan materi bimbingan sesuai dengan waktu yang tersedia, kadang-kadang ada materi yang tidak sesuai dengan kemampuan siswa. Perasaan jenuh dan bosan timbul bagi guru adalah berawal dari suasana yang monoton dan pencapaian kemandirian siswa tidak sesuai dengan uasaha yang telah dilakukan.
Kegiatan-kegiatan yang berkenaan dengan perencanaan, penentuan keputusan, dan berpikir positif bagi siswa tunagrahita ringan sangat diperlukan intervensi guru, orang tua, dan orang lain yang lebih mampu dalam mengarahkan, mengingatkan, memberikan dorongan pada siswa.
3. Kendala Dukungan Sistem dan yang Perlu Diperbaiki
Usaha kerjasama antar orang tua, guru, dan tenaga ahli profesi lain sangat diperlukan dalam penanganan masalah siswa secara lebih profesional dan menyeluruh sehingga pencapaian kemandiran yang diharapkan dimiliki oleh siswa demi mempersiapkannya berintegrasi dengan masyarakat. Dukungan dari orang tua untuk menindak lanjuti program guru di rumah sangat diperlukan dengan cara memberikan kesempatan-kesempatan pada siswa untuk mencoba melakukan kegiatan melalui pengawasan yang disertai arahan-arahan. Dengan demikian sikap orang tua yang selama ini (over protection) dapat dikurangi.
B. Program Bimbingan Kemandirian
Acuan yang digunakan dalam penyusunan program berdasarkan pendapat, saran, dan tanggapan oleh guru-guru terhadap program hipotetik yang disusun peneliti sebagai program awal. Pendapat yang dikemukakan guru-guru tersebut sebagi berikut.
1. Materi bimbingan disesuaikan dengan kemampuan baik dari segi fisik, inteligensi, dan tingkat kebutuhan siswa sehingga tidak terfokus pada tingkat kelas tertentu.
2. Sebaran materi dalam satu tingkatan kelas terlalu padat dan tidak sesuai dengan keadaan dan kemampuan siswa, keseimbangan sebaran materi dalam stiap caturwulan perlu diperhatikan.
3. Waktu yang tersedia untuk penyampaian materi disesuaikan dengan keadaan meskipun guru dituntut untuk menyampaikan semua materi, untuk guru perlu merencanakan waktu dengan sebaik-baiknya.
4. Penyerapan siswa tentang materi cendrung rendah sehingga guru perlu mengulang-ulang. Menyimak keadaan seperti ini guru perlu menyusun penjabaran kurikulum menjadi program yang fleksibel.
5. Guru mengalami kesulitan dalam memilih materi bimbingan yang sesuai dengan prioritas kebutuhan siswa. Perlu diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk menentukan materi yang dirasakannya cocok bagi siswa.
6. Penentuan prioritas materi dari program bimbingan diusahakan dapat dilakukan sesuai kemampuan dan ketersediaan dana.
7. Muatan materi program bimbingan diupayakan berkesinambungan dan merupakan tuntutan perkembangan siswa.
8. Proses kemandiran siswa merupakan usaha bersama antar guru-guru, orang tua, tenaga ahli lain, dan melibatkan masyarakat.
9. Program yang disusun diusahakan dapat membantu siswa untuk menentukan sendiri kegiatan yang disukai dalam bentuk beberapa pilihan.

Program ini diharapkan bermanfaat dalam rangka membantu siswa meningkatkan kemandirian dalam kehidupan sehari-hari. Unsur-unsur dari program ini meliputi: Visi dan misi bimbingan di SLB-C, tujuan bimbingan di SLB-C, dan Pendekatan bimbingan.
1. Visi dan Misi Bimbingan di SLB-C
Visi dan misi bimbingan dan konseling adalah preventif, edukatif, dan developmental. Oleh karena itu program layanan bimbingan di SLB-C adalah bimbingan yang diberikan untuk membantu kemandirian siswa tunagrahita dan mengurangi ketergantungan pada orang lain.
2. Tujuan Bimbingan di SLB-C
Bimbingan di SLB-C bertujuan agar murid dapat: (a) mengatasi kesulitan dalam mengurus diri sendiri, (b) mengatasi kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah, keluarga/masyarakat dan lingkungan kerja (karier), (c) mengatasi kesulitan dalam menyalurkan kemampuan yang masih ada untuk mengikuti pendidikan/latihan dan pekerjaan/karier, dan (d) menggunakan kemampuan yang masih ada untuk mendapatkan keterampilan dan kesanggupan kerja secara maksimal.(Depdikbud, 1987: 7)
3. Pendekatan Bimbingan
Sebagai pengajar guru lebih berorientasi pada penguasaan materi pelajaran. Sementara sebagai pembimbing guru menciptakan suasana yang dapat menunjang peningkatan kemandirian siswa dalam kehidupan sehari-hari dan mengembangkan kepribadian siswa. Bimbingan di SLB-C yang bersifat khusus dapat berupa layanan terapi bagi siswa tertentu yang memerlukan penangan secara profesional dari para tenaga ahli terkait.
C. Rekomendasi
1. Program ini disusun melalui kolaborasi antara peneliti dengan guru-guru kelas tingkat SDLB di SPLB-C Cipaganti Bandung. Kemudian diuji dengan seminar sehari yang melibatkan guru-guru SLB se-Kodya Bandung.
2. Kondisi yang mendukung pelaksanaan program.
a. Lembaga perlu menyiapkan tenaga guru SLB-C dan membekali dengan pengetahuan dan keterampilan untuk melaksanakan bimbingan.
b. Dilakukan kerjasama dengan LPTK khususnya jurusan PPB dalam mengembangkan kemampuan guru dalam melaksanakan bimbingan.
c. Kerjasama kepala sekolah dan guru-guru perlu mengupayakan pengadaan atau penambahan fasilitas yang mendukung PBM bernuansa bimbingan.
d. Guru-guru di sekolah perlu meningkatkan kerjasama sesama guru, para ahli terkait, dan kerja sama dengan orang tua menuju layanan peningkatan kemandirian yang lebih optimal.
e. Kepala sekolah bersama guru-guru perlu merealisasikan program kedalam bentuk program harian yang digunakan sebagai pedoman melaksanakan bimbingan melalui proses belajar mengajar.
3. Temuan penelitian ini menunjukkan perlunya usaha membekali guru SLB-C dengan pengetahuan serta keterampilan bimbingan melalui penataran-penataran ataupun pelatihan dari lembaga terkait, sehingga tidak perlu mempersiapkan tanaga kuhusus bimbingan (konselor) untuk menangani permasalahan siswa. Cara ini akan menghemat pendanaan jika dibanding dengan mempersiapkan tenaga khusus bimbingan yang lebih banyak membutuhkan biaya dan waktu untuk pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA
Amin, Moh. (1995). Orthopedagogik Anak Tunagarahita. Depdikbud Dikti, Proyek pendidikan Tenaga Guru, Jakarta
Ahman, (1998). Bimbingan Perkembangan: Model bimbingan dan Konseling di Sekolah dasar. Disertasi. PPS IKIP Bandung: Tidak diterbitkan.
Bailey, D. Roy., (1982). Therapeutic Nursing for the Mentally Handicapped. Oxford University Press, New Yoork Toronto.
Depdikbud, (1987). Petunjuk Pelaksanaan Kurikulum SLB-C, Pedoman bimbingan dan Penyuluhan. Jakarta.
_________, (1991). Peraturan Pemerintah No.72 . Jakarta.
Elliott John, (1993), Action Research for Educational Change, Open University Press, Milton Keynes, Philadelphia.
Fallen, H. Nancy and Umansky, Warern. (1985), Young Children With Special Needs, Secon Edition, Charles E. Merrill Publishing Company.
Hardman, L. Michael dkk, (1995). Human exceptionality. Third Edition, Allyn And Bacon, Boston- London-Sydney-Toronto.
Jon, Efendi. (1992). Efektivitas Metode Bermain dan Metode Ceramah dalam Mengajarkan Nilai Nominal Uang Bagi ATG Ringan, di SPLB-C YPPLB Cipaganti Bandung, Skripsi, PLB FIP IKIP Bandung, Tidak diterbitkan.
Kartadinata, Sunaryo (1983). Kontribusi Iklim Kehidupan Keluarga dan Sekolah Terhadap Adekuasi Penyesuaian Diri. Bandung: Tesis PPS IKIP Bandung. tidak diterbitkan.
Kirk, A. Samuel & James, J Gallagher, (1986). Exceptional Children. Alir bahasa. Moh. Amin & Ina Yusuf K, (1990), DNIKS. Jakarta.
Lynch Eleanor, W and Rena, B. Lewis, (1992). Exceptional Children And Adults. Scott, Foresman and Company, Glenview, Illionis Boston London.
Muro, J. James and Kottman, Terry. (1995). Guidance and Counseling in Elementary School and Midlde School. Iowa: Brown and Benchmark Publisher.
Natawidjaja, Rochman. (1988). Peranan Guru dalam Bimbingan di Sekolah. CV. Abardin, Bandung.
_________, (1997). Penelitian tindakan (Action Research). Bandung: IKIP Bandung.
Surjadi. (1983). Membuat Siswa Aktif Belajar, Binacipta. Bandung.
Wehman, paul & McLaughlin Philip J, (1981). Program Development In Special Education, McGraw-Hill Book Company.
Wolfedale, Sheila. (1992). Primary Schools And Special Needs. Second Edition: Policy Planning Provision, Colset Private Limited, Singapore.
Winarti, Agus. (1994). Upaya Karyawan Pabrik Membina Kemandirian Anaknya dalam Keluarga, Bandung: Tesis PPS IKIP Bandung. Tidak diterbitkan.

BIO DATA PENULIS
Drs. Jon Efendi, lahir di Padang tanggal 22 November 1965. Memasuki Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa Padang, selesai tahun 1988. Sarjana Pendidikan Luar Biasa IKIP Bandung diselesaikan tahun 1992. Tahun 1994 diangkat sebagai staf pengajar SGPLB Negeri Padang, yang kemudian berintegrasi dengan IKIP Padang pada tahun yang sama dengan pangkat/golongan III/a. Mengikuti Program Pascasarjana (PPs) IKIP Bandung pada jurusan Bimbingan Anak Khusus tahun 1996. Menyelesaikan program Magister tanggal 9 April 1999 dan saat ini bertugas sebagai dosen di jurusan Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Padang.
Tahun 2009 mengikuti S3 di SPS UPI Bandung

GREATNESS AND LIMITATIONS OF FREUDS THOUGHT By: Erich Fromm

Februari 12, 2010

1. THE LIMITATIONS OF SCIENTIFIC KNOWLEDGE

The Reason Why Every New Theory Is Necessarily Faulty
Pemikiran kreatif dan kritis selalu mempunyai suatu fungsi pembebasan oleh peniadaan pemikiran yang menyesatkan.
Setiap masyarakat mempunyai “filter sosial” sendiri dimana ide-ide dan konsep-konsep tertentu dan pengalaman-pengalaman berjalan; akhirnya menjadi sadar akan perubahan-perubahan pokok dalam struktur sosial, sehingga “filter sosial” berubah secara setimpal. Pola-pola pemikiran dari masyarakat-masyarakat benar-benar berbeda bila diperhatikan seperti tidak masuk akal atau tidak sederhana. Tetapi “logika” tidak hanya ditentukan oleh “filter sosial,” bahwa pemikiran juga sangat menentukan. Anggota masyarakat Neolithic di mana masing-masing pria dan wanita hidup dari pekerjaannya, secara individu atau kelompok, dalil seperti itu tak dapat dipertimbangkan.
Orang dapat memahami kebenaran ketika ia dapat mengatur kehidupan sosialnya, yang masuk akal, tanpa ketakutan dan tanpa ketamakan. Untuk menggunakan suatu ungkapan gembong politik religius, Messianic Time yang dikenal sepanjang itu masih dapat dikenal.

The Roots of Freud’s Errors
Freud menyatakan penyimpangan terhadap pembebasan ide-ide yang terbelenggu lebih membawa keberhasilan.
Dua sudut pandang Freud:
1. Teori materialisme borjuis. Dikembangkan di Jerman oleh orang seperti Vogt, Moleschott dan Büchner. Bagaimana cara Freud memecahkan masalah? Pada waktu yang sama ketika secara relatif kecil diketahui hormonal mempengaruhi jiwa, itu sungguh satu peristiwa di mana hubungan fisiologis dan psychical dikenal sebagai kebirahian. Jika satu kebirahian dianggap seperti akar dari yang mengarahkan, lalu permintaan teoritis dipenuhi, akar fisiologis dari yang psikis ditemukan. Kemudian Ia terlepas dari hubungan ini, dan menurut hemat ku, suatu penambahan benar-benar berharga pada pikiran Freud.
2. Manusia terdiri dari unsur biologic, menurut anatomi dan psychically lebih rendah dari yang lain, adalah satu-satunya ide pemikirannya sepertinya tanpa fitur, kecuali cara membawakan dari suatu sikap pria bersifat chauvinistik.
Tetapi karakter borjuis dari pemikiran Freud sama sekali tidak hanya dalam wujud ekstrim patri-archalism. Tetapi Freud bukan suatu pemikir yang radikal, ia menjelaskan mengapa suatu teori yang kritis, merupakan kritik tentang kesadaran manusia.


Tiga contoh Pemikiran Freud.
1. Tujuan terapeutik Freud adalah kendali dari insting paling tua melalui penguatan ego; oleh ego mereka dan superego. Ketika secara sosial mayoritas itu dikendalikan oleh suatu menguasai minoritas, jiwa diduga; disangka untuk dikendalikan oleh otoritas ego dan superego. Keseluruhan rencana “superego, ego, id” adalah suatu struktur hierarchial, yang mengeluarkan/meniadakan kemungkinan asosiasi bebas.
2. Pandangan Freud tentang wanita sangat narcissistic; Wanita kelas menengah umumnya secara seksual dingin. Karakter kepemilikan dari pernikahan borjuis mengkondisikan mereka untuk bersifat dingin. Karena mereka “membosankan” dalam pernikahan. Hanya wanita-wanita dari kaum atas dan para pelacur diizinkan untuk hal-hal bersifat seksual aktif. Tidak heran bahwa orang mengalami napsu sedang dalam proses penaklukan; overevaluation “obyek seksual” yang menurut Freud hanya ada dalam kekurangan wanita-wanita).
3. Freud berbicara tentang kasih, kepada para kaum ortodox.
Freud dan para murid berbicara tentang “obyek cinta ” (berlawanan dengan “kasih narcissistic”). Itu logis dalam literatur psychoanalytic satu berbicara tentang kasih sebagai libidinous “investasi” dalam satu obyek.
Faktor-faktor utama di dalam sikap yang patriarkal pria adalah ketergantungan pada wanita dan pengingkarannya dengan pengen-daliannya. Freud, mengartikan suatu peristiwa yang spesifik, bahwa dari cinta pria patriarkal, ke dalam sifat manusia secara universal.

The Problem Of Scientific “Truth” (Permasalahan “Kebenaran” ilmiah)
Konsep ilmu pengetahuan sebagai suatu urutan sederhana dari fakta-fakta yang dipilih, eksperimen dan kepastian dari hasil ditanggali, bahwa para ilmuwan menjadi riil, seperti ahli ilmu fisika, ahli ilmu biologi, ahli kimia, ahli falak, sudah menyerahkan konsep yang primitif dari metode latihan. Ilmuwan itu bukanlah takut akan menjadi yang salah; ia mengetahui bahwa sejarah dari ilmu pengetahuan adalah suatu sejarah dari yang salah tetapi produktif, pernyataan-pernyataan hamil dari pengertian yang mendalam yang baru yang mana dilahirkan bahwa diperdaya kesalahan yang relatif dari pernyataan yang lebih tua dan menjurus kepada pengertian yang mendalam.

Apakah prosedur yang melembagakan metode latihan lebih baik dalam ilmu pengetahuan alam dan di dalam ilmu sosial apakah itu sah?
1. Ilmuwan itu tidak dimulai dari hal yang tidak ada, pemikiran ditentukan oleh pengetahuan sebelumnya dan oleh tantangan dari bidang-bidang yang belum diselidiki.
2. Memerinci eksplorasi gejala adalah syarat obyektifitas optimal. Ini adalah karakteristik ilmuwan bahwa ia mempunyai rasa hormat yang besar untuk gejala yang tampak.
3. Atas dasar teori-teori ia merumuskan suatu hipotesis. Fungsi suatu hipotesis harus untuk membawa beberapa pesan kepada mengamati gejala dan untuk menyusun sementara sehingga kelihatannya untuk membuat beberapa kesadaran.
4. Metode latihan tentu saja diperlukan bahwa ilmuwan bebas dari pemikiran narcissistic, bahwa ia dapat mematuhi fakta-fakta secara obyektif tanpa memberi bobot karena ia sangat ingin membuktikan hipotesis yang benar.
Prinsip-prinsip metoda ilmiah, obyektifitas, pengamatan, formasi ide dan revisi oleh studi lebih lanjut dari fakta-fakta, selagi valid untuk semua usaha ilmiah, tidak bisa diterapkan dengan cara yang sama kepada semua object dari pemikiran ilmiah.
Setiap individu berbeda dari lainnya, bahkan kemungkinan generalisasi-generalisasi dan perumusan hukum dibatasi, meskipun demikian peninjau ilmiah akan selalu mencoba untuk menemukan beberapa prinsip dan hukum umum di dalam mani-foldness individu.
Salah satu poin-poin penting dalam pendekatan ilmiah Freud dengan tepat pengetahuan tentang kesubyektipan ucapan-ucapan manusia.

Freud’s Scientific Method
Aspek penting dari pemikiran Freud adalah karena ia melihat obyek dalam kaitan suatu sistim atau struktur yang ia persembahkan pada salah satu contoh awal dari System Theory. Di dalam pandangannya tanpa unsur tunggal di suatu kepribadian dapat dipahami tanpa pemahaman keseluruhan, dan tanpa unsur tunggal dapat diubah tanpa perubahan terjadi, bahkan dalam unsur-unsur sistim yang lain.
Freud sering kali memberikan gambaran secara rasional yang membangun teori-teori atas dasar kenyataan. Ketika Freud menulis laporan yang masih baru disebut dengan “penafsiran terpelekok” psikoanalisa oleh C. G.Jung dan Alfred Adler

Penafsiran Mimpi Menurut Freud
Metoda pemikiran Freud memimpin satu untuk menemukan bahwa suatu peristiwa berarti apa yang nampak nilai tengah, tetapi juga boleh menyatakan peniadaannya. Asumsi bahwa sesuatu kebalikan maknanya memerlukan bukti dan Freud bersiap-siap menemukan bukti itu. Freud lebih sedikit hati-hati, seperti banyak dari para muridnya, hipotesisnya sangat mudah bersifat merusaknya dari pemikiran ilmiah. Dalam urutan untuk menjadi tidak commonsensical dan untuk menunjukkan itu mempunyai suatu pengetahuan khusus, tidak sedikit secara rutinitas ahli analisa jiwa berasumsi bahwa pasien termotivasi oleh kebalikannya dari apa yang ia termotivasi oleh berpikirnya.
“Homoseksualitas yang tak sadar” adalah salah satu contoh-contoh terbaik. Hal ini menjadi bagian dari teori yang tentang Sigmund Freud dengan mana orang yang banyak juga telah dirusakkan. Analis, untuk menunjukkan bahwa ia kelihatan di bawah permukaan, mungkin menganggap bahwa homoseksualitas pasien yang tak sadar menderita penyakit. Mengumpamakan pasien mempunyai suatu hidup sangat heteroseksu yang kuat, akan berargumentasi bahwa hal ini sangat intensitas membantu ke arah menindas satu homoseksualitas yang tak sadar. Ada suatu paralel yang terbatas antara Freudianism dan Marxisme yang tertanam di pemikiran Soviet teoritis. Marx, seperti Freud, pertunjukan-pertunjukan bahwa sesuatu yang dapat berarti kebalikan tetapi bagi Marx ini sesuatu yang harus dibuktikan.

2. The Greatness and Limitations Of Freud’s Discoveries
Penemuan-penemuan terbesar Freud adalah;
1. bagaimana tanah dan bangunan pribadi dan filosofis memaksa dia untuk membatasi dan untuk menyimpang dari penemuan-penemuannya;
2. bagaimana makna mereka ditingkatkan jika kita membebaskan perumusan-perumusan Freud dari penyimpangan-penyimpangan ini;
3. bahwa ini setara dengan pembeda yang kekal dan penting dan waktu mengkondisikan dan secara sosial ketidak-tentuan di dalam teori Freud.

THE DISCOVERY OF THE UNCONSCIOUS
Penemuan Freud adalah bahwa apa yang kita pikirkan tidak perlu serupa dengan kita; bahwa apa yang dipikirkan seseorang biasanya lengkap atau bahkan bertentangan dengan apa yang kebanyakan dari kita hidup dengan dunia penipuan diri di mana kita mengambil pemikiran kita seperti perwakilan kenyataan. Sebenarnya arti penting historis konsep Freud dari yang tak sadar adalah karena di suatu pemikiran tradisi yang lama dan menjadi diduga dalam wujud-wujud yang lebih keras dari idealisme filosofis hanya pemikiran (ide) riil, selagi dunia yang luar biasa tidak punya kenyataan tentang kepunyaan. Freud, dengan mengurangi banyak kesadaran akan peran dari suatu rasionalisasi pengarah-pengarah, cenderung untuk menghancurkan dasar rasionalisme dia sendiri eksponen yang terkemuka.
Ada sepertiga hasil dari penemuan Freud. Di suatu kultur seperti milik kita di mana kata-kata memainkan suatu peran yang luar biasa, bobot itu sering kali berfungsi melalaikan, jika bukan untuk menyimpangkan, pengalaman. Jika seseorang berkata “Aku mengasihi anda” atau “Aku mengasihi Allah” atau “Aku mengasihi negeri ku,” ia mengucapkan kata-kata, kendati fakta bahwa ia percaya akan kebenaran mereka, bisa sama sekali tak benar dan tak lain hanya suatu rasionalisasi orang itu menginginkan kuasa, keberhasilan, ketenaran, uang atau satu ungkapan ketergantungan di kelompoknya. Freud tidak menerima pernyataan-pernyataan pada nilai nominal; ia melihat mereka secara skeptis bahkan ketika ia tidak meragukan ketulusan pembicaraan orang. Tetapi ketulusan berarti relatif kecil di dalam keseluruhan struktur kepribadian seseorang.

Ini adalah sebagian daftar dari konflik-konflik:
kesadaran dari perasaan rasa bersalah suara hati kebebasan sadar tak sadar baik sadar tidak kebebasan tak sadar merasa kesadaran kecurangan kejujuran murung kebahagiaan tak sadar sadar tak sadar dari suggestibilas individualisme yang tak sadar.
kesadaran dari kesadaran kuasa tak sadar dari power-lessness.
kesadaran dari sifat yang sinis iman tak sadar dan melengkapi ketiadaan iman.
conciousness tentang mengasihi sikap acuh tak acuh tak sadar atau benci.
kesadaran dari menjadi kepasifan dan kemalasan psikis tak sadar aktif.
kesadaran dari menjadi tak sadar realistis ketiadaan realisme.

THE OEDIPUS COMPLEX
Apa yang dimaksud oleh Freud oedipus Kompleks itu dengan mudah dipahami: Anak laki-laki yang kecil, oleh karena kebangkitan seksual nya yang bekerja keras pada awal usia, katakan empat atau lima tahun, mengembangkan satu pemasangan seksual yang kuat pada ibunya. Ia menginginkannya, dan ayah menjadi saingannya. Ia mengembangkan permusuhan terhadap ayah dan ingin untuk menggantikan dia dan, di dalam analisa yang terakhir, untuk menghapuskan dia.
Freud menyebut tatanan oedipus Kompleks karena dalam mitos Yunani Oedipus adalah jatuh cinta kepada ibunya tanpa sadar bahwa wanita terkasih adalah ibunya. Ketika hubungan seks antar saudara itu membutakan dirinya, suatu lambang untuk menyembelih dirinya, dan meninggalkan rumah dan familinya, disertai oleh putrinya Antigone.
Penemuan Freud sini adalah intensitas pemasangan dari anak laki-laki kecil kepada ibunya atau seorang figur ibu. Derajat tingkat pemasangan ingin dikasihi dan diawasi oleh ibu, bukan untuk hilangkan perlindungan pada banyak orang, bukan untuk menyerah tetapi lebih untuk melihatnya pada wanita-wanita meski usia menandakan seorang ibu tidak bisa dinaksir terlalu tinggi. Pemasangan ini ada pada anak-anak perempuan terlalu tetapi nampak mempunyai suatu sedikit banyak hasilnya berbeda yang belum dijelaskan oleh Freud, dan sungguh sangat sulit untuk dipahami.
Freud melihat odipus complek sebagai konflik ini tetapi tidak mengenalinya atas suatu fitur dari masyarakat patriarkal; sebagai gantinya ia menafsirkan persaingan seksual antara ayah dan putra.

TRANSFERENCE
Ini merupakan suatu bauran; campuran kasih, penghormatan, pemasangan; dalam “transferensi negatif” merupakan suatu bauran; campuran dari benci, oposisi dan serangan. Jika analis dan analys berasal dari seks-seks yang berbeda, hakekat dari transferensi dapat digambarkan dengan mudah sebagai suatu kasus dari analys dan jatuh cinta kepada analis (di dalam kasus dari analys dan homoseksual, akan terjadi jika analis berasal dari seks yang sama).
Perasaan terhadap analis “ditransfer” dari obyek asli dari analis orang. Satu analisa dari transferensi membuatnya mungkin, maka Freud berpikir, untuk mengenali atau reconstructwhat sikap bayi terhadap orang tuanya. Sebenarnya transferensi adalah satu faktor berguna bagi penyakit profesional dari analis-analis, yakni konfirmasi narsisme mereka dengan menerima penghormatan tersayang analysands dengan mengabaikan derajat tingkat kepada mana mereka berhak.
Satu kritik utama dari infantilisasi ini adalah jika analysand diubah menjadi seorang anak selama sesi, orang dewasa disingkirkan dari gambar dan analysand atas semua ide dan perasaannya bahwa ia mempunyai seorang anak, tetapi ia tidak memposisikan dirinya sebagai orang dewasa.
Peristiwa transferensi tergantung pada kesukarelaan dalam otoritas seseorang, di mana perorangan merasakan tanpa pengharapan, sedang kekurangan otoritas pemimpin lebih kuat, siap untuk menyerah pada otoritas ini, adalah salah satu dari gejala kebanyakan yang paling penting dalam kehidupan sosial, sungguh di setiap keluarga dan situasi analitik.
Transferensi di dalam situasi analitik dan penyembahan dari para pemimpin dalam kehidupan orang dewasa tidak berbeda: mereka mempunyai dasar dalam kesadaran dari ketakberdayaan dan powerlessness dari anak yang menghasilkan ketergantungan pada orang tua, atau di dalam situasi transferensi di analis untuk orang tuanya.

NARCISSISM
Psycho-Analytical Freud pada tahun 1909 menyatakan bahwa narsisisme adalah tahap peralihan yang diperlukan antara autoeroticism dan “objek-cinta.” Ia tidak memandang narsisisme terutama sebagai penyimpangan seks, cinta seksual pada tubuh sendiri, seperti Paulus Nacke, yang memperkenalkan istilah pada tahun 1899, melainkan, ia melihatnya sebagai komplemen dari naluri mempertahankan diri. Bukti yang paling penting keberadaan narcissism datang dari analisis skizofrenia.
Libido ditempatkan dalam ego sesekali dikirim keluar untuk menyentuh objects lain, kembali lagi ke ego di bawah kondisi tertentu seperti sakit fisik, atau hilangnya sebuah “cathect-ed libidinally objek.” Narsisme pada dasarnya perubahan langsung dengan “libido rumah tangga. Kenyataan ini sangat jelas dalam kesalahpahaman Freud di West östlicher Divan.
Freud; cinta seorang pria adalah “anemia,” yaitu, sebagai objek. Freud mengasumsikan bahwa cinta perempuan adalah narsisistik, bahwa mereka hanya bisa mencintai diri sendiri, dan tidak dapat berpartisipasi besar “prestasi” manusia untuk mencintai yang memberi mereka makan. Freud tidak menyadari bahwa para wanita dari kelas dingin justru karena laki-laki meinginkan mereka dingin, misalnya, untuk menjadi seperti properti, dan bahkan “terpisah tapi sama” di tempat tidur. Laki-laki borjuis mendapatkan wanita ketika ia merasionalisasikan superiority kepada perempuan-cacat yang hanya diberi makan dan diurus.
Asumsi Freud bahwa alasan daya tarik orang narsisistik terletak pada kenyataan bahwa dia menggambarkan pada dirinya sendiri, tidak memiliki keraguan, merasa selalu lebih dari orang lain. Penting untuk memahami bahwa narsisme dapat disebut ” kegilaan pada diri sendiri,” adalah berlawanan dengan cinta, jika kita maksudkan dengan tindakan cinta melupakan diri sendiri dan kepedulian lebih banyak untuk orang lain daripada untuk diri sendiri. Sama pentingnya adalah kontradiksi antara naracissism dan akal. Freud berpendapat bahwa narsisisme adalah aspek libido egoism yang mengatakan, bahwa sifat egoisme terletak dalam karakter libido.

KARAKTER
Freud berurusan dengan manusia secara keseluruhan dan tidak hanya dengan satu “kompleks” dan mekanisme, seperti “Oedipus kompleks,” pengebirian penis. Tentu saja, konsep karakter yang tidak baru, tetapi konsep karakter dalam pengertian dinamis yang digunakan Freud itu baru dalam psikologi. Apa yang dimaksud dengan dinamis di sini adalah konsep karakter yang relatif sebagai struktur nafsu yang permanen. Freud berbicara tentang karakter dalam arti deskriptif murni, seperti banyak yang masih melakukan, seseorang bisa saja digambarkan sebagai tertib, ambisius, rajin, jujur, dan sebagainya, tapi salah satu pasti akan merujuk pada satu ciri-ciri yang bisa ditemukan dalam seseorang, bukan untuk sistem nafsu yang terorganisir.
Freud adalah orang pertama yang menganalisis secara ilmiah bukannya karakter artistik sebagai novelis-pendahulunya yang telah dilakukan. Hasilnya, diperkaya oleh beberapa murid Freud. Menurut Freud, setiap orang yang berkembang secara normal melewati tahap semua struktur karakter, tetapi banyak yang terjebak pada salah satu dari titik-titik ini dan mempertahankan evolusi sebagai fitur orang dewasa.
Ketiga “neurotik” “pregenital” orientasi karakter adalah kunci untuk memahami karakter manusia justru karena mereka tidak merujuk satu sifat tapi untuk seluruh sistem karakter. Ini mudah untuk mengenali jenis karakter seseorang berasal bahkan jika seseorang memiliki beberapa petunjuk. Pria yang menarik perhatian adalah segala sesuatu harus tertib dan benar, yang menunjukkan spontanitas, warna kulit yang cenderung pucat, dikenali sebagai sebuah karakter anal; jika orang tahu bahwa ia cenderung pelit, ungiving, jauh menerima konfirmasi. Hal yang sama berlaku untuk eksploitatif dan tipe karakter reseptif. Oleh karena itu ekspresi wajah paling penting dari struktur karakter. Yang lebih penting adalah ekspresi mereka yang jauh kurang dikontrol: oleh gerakan, suara, gaya berjalan, gerak tubuh dan semua itu dari seseorang yang berada dalam bidang visi kita ketika kita melihat dia atau melihat dia berjalan.
Fondasi diletakkan characterology bahwa Freud mengarah pada penemuan bentuk-bentuk lain dari orientasi karakter. Orang dapat berbicara mengenai suatu karakter egaliter vs otoriter, dari yang merusak cinta versus karakter, dan dalam cara ini mengacu pada sifat lebih menonjol yang menentukan seluruh struktur karakter. Studi karakter memiliki konsekuensi dari penemuan Freud jauh dari kelelahan. Tapi semua kekaguman karakter teori Freud tidak boleh dicegah, bahwa ia mempersempit makna dari teori dengan menghubungkannya dengan seksualitas. Penamaan orientasi karakter membuat ini sangat jelas. Hal yang sama berlaku bagi struktur karakter lain dalam bentuk lisan dan kelamin libido.
Freud memasukkan banyak hasrat besar seperti cinta, benci, ambisi, haus akan kekuasaan, ketamakan, kekejaman, serta semangat untuk kemerdekaan dan kebebasan, di bawah berbagai macam libido. Unsur yang dramatis dalam kehidupan manusia berakar dalam nafsu dan tidak nonbiological kelaparan dan seks. Hampir tidak ada orang bunuh diri karena frustrasi hasrat seksual, tapi banyak yang menyerah hidup karena telah frustrasi. Freud tidak pernah melihat individu sebagai yang terisolasi, tetapi selalu dalam hubungannya kepada orang lain. Jadi, psikologi individu sekaligus psikologi sosial diperpanjang. Namun demikian, psikologi sosial tidak mengembangkan lebih lanjut karena entitas utama Freud, kehidupan keluarga, seharusnya menentukan untuk perkembangan anak. Freud tidak melihat bahwa manusia, dari pada anak usia dini, hidup di beberapa kalangan; paling sempit adalah keluarga, yang berikutnya adalah kelas, yang ketiga adalah masyarakat di mana ia balita, yang keempat kondisi biologis menjadi manusia di mana dia berpartisipasi, dan akhirnya, ia adalah bagian dari lingkaran yang lebih besar yang kita tahu hampir tidak ada, tapi yang terdiri dari setidaknya sistem tata surya kita. Freud dianggap keluarga borjuis sebagai prototipe dari semua keluarga dan mengabaikan bentuk-bentuk yang sangat berbeda dari struktur keluarga dan bahkan ketiadaan lengkap “keluarga” dalam kebudayaan lain. Jelas bahwa pentingnya pengalaman bahwa di dalam keluarga borjuis anak-anak dan orang tua tinggal di ruangan yang berbeda. Freud telah memikirkan kehidupan keluarga miskin di antara kelas-kelas pada zamannya, di mana anak-anak tinggal di ruangan yang sama dengan orangtua mereka dan saksi persetubuhan secara rutin.


THE SIGNIFICANCE OF CHILDHOOD
Di antara penemuan besar Freud adalah tentang pentingnya anak usia dini. Penemuan ini memiliki beberapa aspek. Bayi sudah memiliki perjuangan seksual (libido), walaupun belum dalam hal seksualitas genital desebut dengan istilah “pregenital seksualitas,” yang berpusat pada “zona sensitif seksual” dari mulut ke mulut, anus, dan kulit. Freud mengenali fictitiousness dari gambar borjuis “tidak bersalah” anak dan menunjukkan bahwa sejak lahir pada anak kecil diberkahi dengan banyak libido pregenital perjuangan dari alam.
Seorang psikoanalis mungkin melihat sangat neurotik, orang terdistorsi dengan masa kanak-kanak yang mengerikan dan berkata, “Sudah jelas bahwa pengalaman masa kecil yang tidak bahagia.” Jika dia bertanya kepada dirinya sendiri, namun, banyak orang yang melihat dari jenis rasi bintang yang sama dan ternyata sangat bahagia dan orang sehat, ia akan mulai memiliki keraguan tentang hubungan sederhana antara pengalaman masa kanak-kanak dan kesehatan mental atau penyakit seseorang.
Faktor pertama yang menjelaskan kekecewaan teoretis terletak pada analis mengabaikan perbedaan dalam disposisi genetik. Saya percaya bahwa satu tujuan dari analis harus merekonstruksi gambar karakter anak ketika lahir dalam rangka studi ciri ia menemukan di dianalisis dari alam asli dan yang diperoleh melalui situasi yang berpengaruh ; lebih lanjut, yang kualitas yang diakuisisi konflik dengan genetik dan yang cenderung memperkuat mereka.
Menurut teori Freudian karakter seseorang terbentuk pada usia tujuh atau delapan dan dengan demikian perubahan-perubahan mendasar dalam tahun-tahun berikutnya seharusnya hampir tidak mungkin. Data empiris, menunjukkan bahwa asumsi ini melebih-lebihkan peran masa kanak-kanak. Yang pasti, jika kondisi yang telah membantu untuk membentuk karakter seseorang di masa kanak-kanak, struktur karakter kemungkinan akan tetap sama. Hubungan antara orang tua dan anak-anak biasanya dilihat sebagai satu arah, yaitu pengaruh orang tua pada anak-anak. Orangtua mungkin tidak menyukai alami untuk anak dan bahkan untuk bayi yang baru lahir, bukan hanya untuk alasan-alasan yang sering dibicarakan-bahwa itu adalah anak yang tidak diinginkan atau orangtua yang destruktif, sadis, dan lain-lain-tapi dengan alasan bahwa anak dan orangtua saja tidak kompatibel dengan kodrat mereka, dan bahwa dalam hal ini hubungan tidak berbeda antara orang-orang dewasa. Orangtua mungkin memiliki ketidaksukaan terhadap jenis anak dan mungkin tidak menyukai dari awal.


3. Freud’s Theory of Dream Interpretation
GREATNESS AND LIMITATIONS OF FREUD’S DISCOVERY OF DREAM INTERPRETATION
Freud adalah orang pertama memberikan penafsiran mimpi seperti sistematis dan dasar ilmiah. Dia memberi kita alat untuk memahami mimpi, yang siapa pun dapat menggunakan asalkan ia belajar bagaimana menangani mereka. Pertama-tama membuat kita menyadari perasaan dan pikiran yang ada dalam diri sendiri, namun kita tidak sadar saat kita terjaga.
Mimpi, menurut Freud, adalah 1) cara kerajaan untuk memahami bawah sadar,2) adalah tindakan kreatif di mana orang rata-rata menunjukkan kekuatan kreatif dimana dia tidak tahu ketika dia terjaga. Freud menemukan, lebih jauh lagi, bahwa impian kita bukanlah ungkapan sederhana namun perjuangan tak sadar bahwa mereka biasanya terdistorsi oleh pengaruh sensor halus yang bahkan hadir ketika kita tidur dan memaksa kita untuk mendistorsi arti sebenarnya dari mimpi kita (“laten mimpi”). Jadi sensor memungkinkan pikiran yang tersembunyi untuk melewati perbatasan kesadaran jika mereka cukup disamarkan. Konsep Freud dengan asumsi bahwa setiap mimpi (dengan pengecualian mimpi anak-anak) adalah menyimpang dan harus dikembalikan ke makna aslinya oleh penafsiran mimpi.
Freud berasumsi bahwa manusia pada malam hari memiliki banyak dorongan dan keinginan, terutama yang bersifat seksual, yang akan mengantar tidurnya bukan karena dia ingin pengalaman ini digenapi dalam mimpi dan karenanya tidak harus bangun untuk mencari realistis kepuasan. Konsistensi sistem penafsiran mimpi Freud begitu mencolok bahwa konsep ini sangat mengesankan sebagai hipotesis kerja. Namun, jika seseorang tidak berbagi asumsi dasar Freud tentang seks, beberapa pertimbangan lain merekomendasikan diri sendiri. Daripada mengasumsikan bahwa mimpi itu adalah presentasi yang menyimpang dari harapan, orang dapat merumuskan hipotesis bahwa mimpi itu mewakili semua perasaan, keinginan, ketakutan atau pikiran yang cukup penting untuk hadir dalam tidur kita, dan bahwa penampilan di dalam mimpi adalah suatu tanda pentingnya. Dalam pengamatan mimpi, saya telah menemukan bahwa banyak mimpi tidak mengandung sebuah harapan tetapi menawarkan wawasan ke dalam satu situasi sendiri atau ke dalam kepribadian orang lain.
Freud adalah seorang rasionalis dengan kurangnya kecenderungan artistik atau puitis, ia hampir tidak memiliki perasaan untuk bahasa simbolik apakah diekspresikan dalam mimpi atau dalam puisi. Ini adalah salah satu yang paling aneh kontradiksi bahwa Freud, irasional dan simbolik, dirinya begitu sedikit mampu memahami simbol-simbol.


BATASAN FREUD INTERPRETASI SENDIRI OF HIS DREAMS
Penggunaan asosiasi di sini relatif sederhana dan apa yang luar biasa adalah perlawanan terhadap penafsiran Freud tentang mimpi. Selama beberapa tahun terakhir telah mengabaikan Departemen rekomendasi semacam itu, dan beberapa rekan senior saya dalam usia dan setidaknya sama dengan saya telah menunggu sia-sia untuk membuat janji. Saya bukan seorang ambisius, aku sedang mengikuti profesi saya bahkan tanpa keuntungan.

Penafsiran mimpi terjadi sebagai berikut.
Ketika mimpi datang, saya tertawa keras dan berkata: “Mimpi itu omong kosong!” Tapi menolak untuk pergi dan mengikutiku sepanjang hari, sampai akhirnya pada malam hari aku mulai menyalahkan diri sendiri: “Jika salah satu pasien yang menafsirkan mimpi bisa menemukan sesuatu yang lebih baik daripada mengatakan bahwa itu omong kosong, Anda akan bawa dia ke atas tentang hal ini dan menduga bahwa mimpi itu tidak setuju bisa beberapa cerita di bagian belakang ia ingin menghindari. Anda berpendapat bahwa mimpi itu omong kosong hanya berarti bahwa Anda mempunyai resistansi internal terhadap penafsirannya. Jangan biarkan diri Anda seperti ini. “Jadi saya mengatur tentang penafsiran.
Mimpi adalah salah satu dari saya sendiri, karena itu analisis mengatakan bahwa perasaan saya masih belum puas dengan solusi yang sejauh ini telah tercapai. Freud percaya bahwa dia tidak terlalu ambisius. Dia berbicara tentang “hasrat untuk diatasi dengan judul yang berbeda” dan dengan demikian camou-flages seluruh masalah. Dengan formulasi yang tidak bersalah “yang harus ditangani dengan judul yang berbeda,” seolah-olah itu berarti sangat sedikit, Freud masih menyangkal ambisinya untuk diangkat professor. Apa yang patologis tentang ambisi untuk menjadi seorang profesor, suatu tujuan ia mengatakan di tempat lain sangat penting baginya: sebaliknya ambisi seperti itu normal. Dia terbuka kepada orang lain untuk menilai dirinya dalam hal ini tapi dia membatasi “orang-orang yang percaya bahwa mereka mengenal saya” daripada “saya mengenalnya” dan akhirnya ia meminimalkan seluruh masalah tersebut.”
Asumsi bahwa semua kecenderungan neurotik muncul di masa kanak-kanak sebenarnya adalah perlindungan orang dewasa dari kecurigaan menjadi neurotik. Freud memang pria yang sangat neurotik tapi itu tidak mungkin baginya untuk memahami dirinya pada waktu yang sama. Oleh karena itu segala sesuatu yang tidak cocok dengan pola laki-laki normal dianggap EAS menjadi materi masa kanak-kanak dan anak-anak ini tidak lood materi dianggap masih sepenuhnya hidup hadir pada orang dewasa. Namun atau Freud masih sangat kuat dan salah satu di bawah-tanah itu sepenuhnya dapat memahami Freud untuk mengecualikan semua yang irasional dari kehidupan orang dewasa. Ini adalah salah satu jika alasan-alasan mengapa ia disebut analisis diri. Sebuah elemen pusat di penafsiran mimpi Freud adalah konsep sensor. Freud menemukan bahwa banyak mimpi mereka cenderung menyembunyikan makna sesungguhnya dan menyatakannya dalam bentuk yang tidak berbeda dengan penulis politik dalam kediktatoran, yang mengungkapkan pikiran yang tersirat, sementara benar-benar mengacu pada peristiwa-peristiwa kontemporer. Jadi mimpi Freud tidak pernah komunikasi terbuka tetapi harus dibandingkan dengan menulis kode yang harus diuraikan agar dapat dipahami. Yang penting adalah wawasan Freud bahwa mimpi itu harus diterjemahkan. Namun, pemahaman ini dalam perumusan dogmatis sederhana dan sering mengakibatkan hasil yang salah. Tidak setiap mimpi harus diterjemahkan dan derajat pengkodean sangat berbeda dari mimpi ke mimpi.

SYMBOLIC LANGUAGE OF DREAMS
Di sini hubungan antara simbol dan pengalaman dilambangkan sepenuhnya. Sebagai hasilnya, kita perlu asosiasi dari pemimpi untuk memahami apa yang berarti simbol. Simbol universal, di mana terdapat hubungan intrinsik antara simbol yang respresents. Ketika kita menggunakan api sebagai simbol, kami menggambarkan pengalaman batin yang dicirikan oleh unsur-unsur yang sama yang kita perhatikan di dalam pengalaman indrawi api: suasana energi, ringan, gerakan, rahmat, kegembiraan-kadang-kadang satu, kadang lain dari unsur-unsur ini menjadi dominan dalam perasaan. Tapi api juga dapat merusak dan kuat; jika kita memimpikan sebuah rumah terbakar, api melambangkan tidak merusak keindahan.
Serupa dalam beberapa hal dan berbeda dalam orang lain adalah simbol dari air laut atau sungai. Tetapi ada perbedaan; di mana api adalah petualang, cepat, menarik, air tenang, lambat dan mantap di sungai atau danau. Samudra Namun, juga bisa sebagai destruktif dan tak terduga seperti api.
Simbol universal adalah satu-satunya di mana hubungan antara simbol dan yang melambangkan tidak kebetulan tetapi intrinsik. Hal ini berakar dalam pengalaman kedekatan antara emosi atau pikiran, di satu sisi, dan pengalaman indrawi, di sisi lain. Hal ini dapat disebut universal karena dimiliki oleh semua orang, sebaliknya tidak hanya pada simbol kebetulan, yang sifatnya sepenuhnya pribadi, tetapi juga untuk simbol konvensional (seperti misalnya sinyal lalu lintas), yang dibatasi untuk sekelompok orang berbagi konvensi yang sama. Simbol universal berakar pada sifat-sifat tubuh kita, pur indra dan pikiran kita, yang umum bagi semua orang, karena itu Jind tidak terbatas pada individu atau sroups tertentu.


THE RELATION OF THE FUNCTION OF SLEEPING
TO DREAM ACTIVITY
Freud berasumsi bahwa semua mimpi pada dasarnya pemenuhan keinginan dan memiliki fungsi melestarikan tidur, seolah-olah, pemenuhan halusinasi. Freud membuat penemuan besar ketika ia mengakui bahwa mimpi sangat sering kepuasan simbolis keinginan. Mimpi dapat berharap pemenuhan, impian hanya dapat mengekspresikan kecemasan, tetapi juga dapat mimpi dan ini adalah penting-mengungkapkan wawasan dalam diri sendiri dan ke orang lain. Dalam rangka untuk menghargai fungsi ini mimpi, beberapa pertimbangan tentang perbedaan antara biologis dan fungsi psikologis dan bangun tidur mungkin berguna (lihat juga Fromm, 1951a, Bab 3). Hidup adalah tugas membangunkan manusia; ia tunduk pada hukum yang mengatur realitas. Ini berarti bahwa ia harus berpikir dalam hal waktu dan ruang. Sementara kita tidur kita tidak peduli dengan menekuk dunia luar untuk tujuan kita. Tetapi kita juga bebas, lebih bebas daripada ketika terjaga. Kita bebas dari beban kerja, dari tugas serangan atau pertahanan, dari menonton dan penguasaan realitas. Kita tidak perlu melihat dunia luar; kita melihat dunia batin kita, hanya prihatin dengan diri sendiri. Dalam tidur kebutuhan dunia telah memberikan jalan menuju wilayah kebebasan di mana “Aku” adalah satu-satunya sistem yang merujuk pikiran dan perasaan. Aktivitas mental selama tidur memiliki logika berbeda dari eksistensi terjaga. Sebagaimana ditunjukkan sebelumnya, pengalaman tidur tidak perlu memperhatikan masalah kualitas yang hanya ketika seseorang berupaya dengan realitas.
Bangun tidur dan hidup adalah dua kutub eksistensi manusia. Terjaga diambil dengan fungsi tindakan, tidur dibebaskan dari itu. Tidur diambil dengan fungsi-diri pengalaman. Ketika kita bangun dari tidur kita, kita masuk ke dalam wilayah tindakan. Kami kemudian berorientasi dalam hal sistem ini, dan ingatan kita beroperasi di dalamnya; kita ingat apa yang dapat diingat dalam konsep ruang-waktu.
Mimpi kita tidak hanya mengungkapkan keinginan irasional, tetapi juga dalam pemahaman dan tugas penting penafsiran mimpi adalah untuk memutuskan kapan satu dan ketika yang lain adalah kasus.

4. FREUD’S INSTINCT THEORY AND ITS CRITIQUE
THE DEVELOPMENT OF THE INSTINCT THEORY
Terakhir penemuan besar Freud adalah teorinya tentang kehidupan dan naluri kematian. Pada tahun 1920, dengan Beyond the Pleasure Principle, Freud mulai revisi mendasar dari seluruh teori naluri. Dalam karya ini Freud dihubungkan dengan “keharusan untuk mengulangi” sifat-sifat suatu naluri; di sini juga, ia mendalilkan untuk pertama kalinya dikotomi baru Eros dan insting mati, sifat yang dibahas secara lebih rinci dalam The Ego dan Id (1923b) dan dalam tulisan-tulisan lebih lanjut. Dikotomi baru ini kehidupan (Eros) dan insting mati mengambil tempat asli dikotomi antara ego dan naluri seksual. Meskipun Freud sekarang berusaha untuk mengidentifikasi Eros dengan libido, polaritas baru merupakan konsep yang sama sekali berbeda dari kendaraan dari yang lama.
Ketika Freud menulis Beyond the Pleasure Principle ia sama sekali tidak yakin bahwa hipotesis berlaku.
Teori baru menemukan elaborasi penuh pertama dalam The Ego dan Id. sangat penting adalah asumsi tentang proses fisiologis khusus (dari anabolism atau katabolisme) akan dikaitkan dengan masing-masing dua kelas naluri kedua jenis naluri akan aktif dalam setiap partikel zat hidup, meskipun dalam proporsi yang tidak seimbang, sehingga ada satu substansi mungkin wakil kepala sekolah Eros.
Setahun kemudian (1924), Masalah Ekonomi masokisme, Freud mengambil satu langkah lebih lanjut dalam menjelaskan hubungan antara dua naluri. Dia menulis: Libido mempunyai tugas untuk membuat naluri menghancurkan tidak berbahaya, dan memenuhi tugas dengan mengalihkan naluri itu untuk sebagian besar keluar-segera dengan bantuan sistem organik khusus, aparat otot-terhadap benda-benda di dunia luar. Naluri ini kemudian disebut merusak naluri, naluri untuk penguasaan, atau kehendak untuk berkuasa. Sebagian dari naluri ditempatkan secara langsung dalam pelayanan fungsi seksual, di mana ia memiliki peranan penting. Ini sadisme, sebagian lainnya tidak berbagi dalam transposisi ini keluar; itu tetap di dalam organisme dan, dengan bantuan eksitasi seksual yang menyertai dijelaskan di atas, menjadi libidinally terikat di sana. Dalam bagian ini bahwa kita harus mengenali yang asli, erotogenic masokisme (Freud, 1924c, hal 163).
Kita hanya dapat melihatnya di bawah dua kondisi: jika digabungkan dengan naluri erotis ke masokisme atau jika-dengan yang lebih besar atau lebih kecil-erotis Selain itu ditujukan terhadap dunia luar sebagai agresivitas. Dan sekarang kita dikejutkan oleh makna agresivitas kemungkinan bahwa mungkin tidak dapat menemukan kepuasan di dunia luar karena muncul terhadap rintangan nyata. Dalam Analisis Terminable dan Interminable (1937c) ia lebih menekankan kekuatan insting mati. Sebagai James Strachey menulis dalam catatan editorial: “Tapi yang paling kuat dari semua faktor menghambat dan satu kemungkinan sama sekali di luar kendali… Adalah insting mati” (1937, hal 212,). Dalam An Outline of Psychoanalysis (ditulis pada tahun 1938, yang diterbitkan pada tahun 1940) Freud menegaskan kembali dalam cara yang sistematis asumsi awalnya tanpa membuat perubahan yang relevan.

ANALYSIS OF THE INSTINCTIVISTIC ASSUMPTIONS
Tersebut di atas penjelasan singkat mengenai teori-teori Freud baru, yaitu Eros dan insting mati, tidak bisa menunjukkan cukup bagaimana perubahan radikal itu dari yang lama ke teori baru, atau bahwa Freud tidak melihat sifat radikal perubahan ini dan sebagai konsekuensi terjebak dalam banyak teoretis imanen inkonsistensi dan kontradiksi.
Freud, setelah Perang Dunia Pertama, memiliki dua visi baru;
Yang pertama adalah bahwa kekuatan dan intensitas perjuangan agresif-destruktif dalam manusia, terlepas dari seksualitas. Mengatakan bahwa ini adalah visi baru ini tidak sepenuhnya benar. Ia tidak sepenuhnya menyadari adanya impuls agresif seksualitas independen. Namun pemahaman ini hanya diungkapkan secara sporadis, dan tidak pernah berubah hipotesis utama tentang polaritas dasar antara naluri seksual dan naluri ego, meskipun teori ini kemudian dimodifikasi oleh pengenalan konsep narsisisme.
Visi kedua yang menandai teori baru Freud tidak hanya tanpa bekas pendahulunya dalam teori, tetapi sepenuhnya bertentangan dengan itu. Ini adalah visi Eros, yang hadir dalam setiap sel hidup substansi, memiliki tujuan sebagai penyatuan dan integrasi dari semua sel, dan lebih dari itu, layanan peradaban, integrasi unit-unit yang lebih kecil ke dalam kesatuan umat manusia (Freud, 1930a ). Dalam teori Freud orang tua dipandang sebagai sebuah sistem yang terisolasi, didorong oleh dua dorongan: satu untuk bertahan hidup (ego inistinct) dan satu untuk memiliki kesenangan dengan mengatasi ketegangan yang pada gilirannya kimia diproduksi dalam tubuh dan terlokalisasi dalam “zona sensitif seksual “.
Dalam teori Eros ini sama sekali berbeda. Manusia tidak lagi dilihat sebagai terutama terisolasi dan egois, seperti yang saya ‘homme mesin, tetapi sebagai orang yang terutama berkaitan dengan orang lain, didorong oleh naluri kehidupan yang membuatnya memerlukan persatuan dengan orang lain. Kehidupan, cinta dan pertumbuhan adalah satu dan sama, lebih dalam berakar dan fundamental dari seksualitas dan “kesenangan.”
Perubahan dalam visi Freud menunjukkan dengan jelas dalam evaluasi baru alkitabiah perintah “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
Teori baru tidak mengikuti mekanistik ini “physiologizing” model. Hal ini berpusat pada orientasi biologis di mana gaya-gaya fundamental kehidupan (dan sebaliknya: mati) menjadi memotivasi pasukan primal laki-laki. Sifat sel-yaitu, dari semua yang hidup sub-¬ sikap teoretis menjadi dasar bagi teori motivasi, bukan sebuah proses fisiologis yang terjadi di organ-organ tertentu dari tubuh. Teori baru mungkin dekat dengan filsafat vitalistic (lihat Pratt, 1958) daripada konsep mekanistik Jerman materialis. Tapi, ketika aku sudah berkata, Freud tidak jelas menyadari perubahan ini, maka ia mencoba lagi dan lagi untuk menerapkan metode physiologizing teori yang baru dan tentu telah gagal dalam upaya ini persegi lingkaran.
Apa yang memotivasi Freud untuk mendalilkan insting mati?
Salah satu faktor yang telah saya sebutkan itu mungkin dampak dari Perang Dunia Pertama. Dia, seperti banyak orang lain dari waktu dan usia, telah berbagi visi optimis yang khas kelas menengah Eropa, dan melihat dirinya sendiri tiba-tiba dihadapkan dengan kemarahan kebencian dan kehancuran sulit dipercaya sebelum bulan Agustus 1,1914.
Satu mungkin berspekulasi bahwa faktor sejarah ini faktor pribadi bisa ditambahkan. Seperti yang kita ketahui dari biografi Ernest Jones, Freud adalah seorang laki-laki sibuk dengan; kematian. Dia berpikir mati setiap hari, setelah ia empat puluh; aku dia serangan Todesangst ( “takut mati”), dan saya kadang-kadang ia akan menambahkan “selamat tinggal”: “Kau mungkin aku tidak pernah melihat saya lagi” ( Jones, 1957, hal 301).
Dalam aspek lain Freud masih mengikuti pola yang sama berpikir bahwa memiliki yang kuat seperti itu terus di atasnya dalam tahap awal dari sistem teoritis. Tentang insting mati, ia mengatakan bahwa awalnya semua masuk, kemudian bagian dari itu dikirim ke luar dan bertindak sebagai agresivitas, sementara sebagian tetap di pedalaman sebagai masokisme utama. Mula-mula semua libido adalah di ego (narsisisme primer), maka diperluas ke luar untuk objek (object libido), tetapi sering diarahkan lagi ke pedalaman dan kemudian membentuk apa yang disebut narsisme sekunder. Banyak kali “insting mati” digunakan secara sinonim dengan “naluri kehancuran” dan “naluri agresif” (lihat misalnya Freud, 1930a). Tapi pada saat yang sama, Freud membuat perbedaan halus antara istilah yang berbeda.
Sebenarnya, insting mati tidak ada hubungannya dengan teori Freud sebelumnya, kecuali dalam aksioma umum pengurangan drive. Sebagaimana telah kita lihat, dalam agresi teori sebelumnya adalah salah satu komponen drive pregenital seksualitas atau dorongan ego diarahkan terhadap rangsangan dari luar. Dalam teori insting mati tidak ada hubungan dibuat dengan mantan sumber agresi, kecuali bahwa insting mati, bila dicampur dengan seksualitas, sekarang digunakan untuk menjelaskan sadisme (Freud, 1933a, h. 104f).
Sebagai kesimpulan, konsep insting mati itu ditentukan oleh dua syarat utama: pertama, oleh kebutuhan untuk mengakomodasi keyakinan baru Freud dari kekuatan agresi manusia, kedua, oleh kebutuhan untuk tetap berpegang pada konsep dualistis naluri. Setelah naluri ego juga sudah dianggap libido. Freud menemukan dikotomi baru, dan satu di antara Eros dan insting mati menawarkan dirinya sebagai salah satu yang paling nyaman.
Teori seksual yang lebih tua justru kebalikan dari teori Platonik. Libido adalah laki-laki menurut Freud, dan tidak ada yang sesuai female libido. Wanita, sejalan dengan ekstrem Freud bias patriarki, bukan sama manusia tapi cacat, mengebiri laki-laki. Inti dari mitos Platonik adalah bahwa laki-laki dan perempuan pernah satu dan kemudian dibagi menjadi bagian, yang berarti, tentu saja, bahwa kedua bagian yang sama, bahwa mereka membentuk polaritas dikaruniai kecenderungan untuk bersatu lagi.
Satu-satunya alasan untuk Freud mencoba menafsirkan teori libido tua dalam terang Eros Plato pasti keinginannya untuk menyangkal diskontinuitas dari dua fase, bahkan dengan mengorbankan distorsi yang jelas teori kakak. Seperti dalam kasus insting mati, Freud berlari ke dalam kesulitan berkenaan dengan sifat insting naluri kehidupan.
Fenichel (1945) telah menunjukkan, insting mati tidak dapat disebut sebagai “naluri” dari segi konsep baru Freud naluri, dikembangkan pertama kali di Beyond the Pleasure Principle dan terus sepanjang tugas-tugas selanjutnya, termasuk Outline of Psychoanalysis. Freud menulis: “Meskipun mereka [naluri] adalah penyebab utama semua aktivitas, mereka adalah sifat yang konservatif; apa pun itu, telah mencapai suatu organisme, menimbulkan kecenderungan untuk membangun kembali negara “(Freud, 1940a, h. 148). Eros memiliki naluri kehidupan kualitas konservatif ini semua naluri, dan dengan demikian mereka dapat menjadi tepat disebut insting? Freud berusaha keras untuk mencari solusi yang akan menyelamatkan karakter konservatif naluri kehidupan.
Apa yang paling menarik dalam bagian ini, dan alasan saya kutip panjang lebar, adalah bagaimana hampir putus asa Freud berusaha untuk menyelamatkan konsep konservatif semua naluri dan karena itu juga dari naluri kehidupan. Ia harus berlindung dalam formulasi baru dari naluri seksual sebagai salah satu yang mengawasi nasib sel kuman, sebuah definisi yang berbeda dari seluruh konsep insting dalam karya sebelumnya. Beberapa tahun kemudian, dalam The Ego dan Id Freud membuat usaha untuk memberikan Eros status naluri sejati, dengan menganggap ke sifat konservatif.

5. WHY WAS PSYCHOANALYSIS TRANSFORMED FROM A RADICAL THEORY TO ONE OF ADAPTATION?
Meskipun Freud tidak dapat dianggap sebagai “radikal” bahkan dalam politik seluas-luasnya arti kata-bahkan ia adalah khas liberal dengan konservatif kuat fitur-teorinya dapat disangkal radikal. Teorinya seks tidak radikal, tidak pula spekulasi metapsychological nya, tapi desakan pada represi peran sentral dan fundamental sadar pentingnya sektor kehidupan mental kita bisa disebut radikal. Teori radikal ini karena menyerang benteng terakhir keyakinan manusia dalam kemahakuasaan dan kemahatahuan, keyakinan dalam pikiran sadar datum sebagai puncak pengalaman manusia.
Penemuan Freud ini berpotensi revolusioner karena dapat menyebabkan orang untuk membuka mata mereka terhadap realitas struktur masyarakat mereka dengan demikian keinginan untuk mengubahnya sesuai dengan kepentingan dan keinginan mayoritas. Tapi sementara Freud pikir memiliki potensi revolusioner tersebut, yang tidak diterima secara luas mengakibatkan manifestasi dari potensi ini.
Sebaliknya, radikalisme politik dapat dipahami sebagai tanda neurosis karena, bagi Freud dan sebagian besar murid-muridnya, borjuis liberal adalah paradigma laki-laki yang sehat. Satu mencoba menjelaskan radikalisme kiri atau kanan sebagai hasil proses neurotik, seperti misalnya kompleks Oedipus, dan prima facie keyakinan politik yang bukan dari kelas menengah liberal itu dicurigai sebagai “neurotik.”
Menurut pendapat saya bahaya fungsi reaksioner psikoanalisis hanya dapat diatasi dengan mengungkap faktor-faktor bawah sadar dalam politik dan ideologi agama. Marx dalam interpretasi ideologi borjuis memang pada dasarnya bagi masyarakat apa Freud lakukan bagi individu. Tetapi telah banyak diabaikan bahwa Marx digariskan psikologi sendiri yang menghindari kesalahan Freud dan merupakan dasar dari psikoanalisis berorientasi sosial. Ia membedakan antara naluri bawaan, seperti seks dan kelaparan, dan nafsu orang-orang seperti ambisi, kebencian, penimbunan, exploitativeness, dan sebagainya, yang dihasilkan oleh praktik kehidupan dan dalam analisis terakhir oleh kekuatan-kekuatan produktif yang ada di suatu masyarakat, dan karenanya dapat berubah dalam proses sejarah.
Psikoanalis umumnya telah mengikuti tren pemikiran borjuis. Mereka mengadopsi filosofi kelas mereka dan untuk semua tujuan praktis menjadi pendukung konsumerisme. Meskipun Freud tidak mengatakan demikian, pengajaran-Nya itu terdistorsi menjadi makna bahwa neurosis merupakan akibat dari kurangnya kepuasan seksual (yang disebabkan oleh represi)-maka itu penuh kepuasan seksual adalah suatu kondisi kesehatan mental.
Freud percaya bahwa praktek apa yang disebut “perversi”-semua-tidak-benar-benar kegiatan seksual-genital tidak sesuai dengan kehidupan yang sangat beradab. Karena praktek-praktek seksual perkawinan borjuis dikecualikan semua “penyimpangan” sebagai pelanggaran terhadap “martabat” borjuis istri, ia harus tiba pada kesimpulan tragis yang penuh kebahagiaan dan penuh dikecualikan peradaban satu sama lain.
Freud adalah seorang jenius dalam membuat konstruksi dan mungkin tidak terlalu berlebihan untuk atribut kepadanya motto “Membuat Konstruksi Realitas.” Dalam hal ini, ia menunjukkan suatu afinitas dengan dua sumber yang ia tidak benar-benar akrab: Talmud dan Hegel filsafat.

PEMBAHASAN
Setiap masyarakat mempunyai “filter sosial” sendiri dimana ide-ide dan konsep-konsep tertentu dan pengalaman-pengalaman berjalan; akhirnya menjadi sadar akan perubahan-perubahan pokok dalam struktur sosial, sehingga “filter sosial” berubah secara setimpal.
Dua Sudut Pandang Freud: 1. Teori materialisme borjuis. Jika satu kebirahian dianggap seperti akar dari yang mengarahkan, lalu permintaan teoritis dipenuhi, akar fisiologis dari yang psikis ditemukan. 2. Manusia terdiri dari unsur biologic, menurut anatomi dan psychically lebih rendah dari yang lain.
Prinsip-prinsip metoda ilmiah; obyektifitas, pengamatan, formasi ide, dan revisi oleh studi lebih lanjut dari fakta-fakta, selagi valid untuk semua usaha ilmiah, tidak bisa diterapkan dengan cara yang sama kepada semua object dari pemikiran ilmiah.
Mimpi, menurut Freud adalah; 1) cara kerajaan untuk memahami bawah sadar, 2) adalah tindakan kreatif di mana orang rata-rata menunjukkan kekuatan kreatif dimana dia tidak tahu ketika dia terjaga. Freud menemukan, lebih jauh lagi, bahwa impian kita bukanlah ungkapan sederhana namun perjuangan tak sadar bahwa mereka biasanya terdistorsi oleh pengaruh sensor halus yang bahkan hadir ketika kita tidur dan memaksa kita untuk mendistorsi arti sebenarnya dari mimpi kita (“laten mimpi”). Jadi sensor memungkinkan pikiran yang tersembunyi untuk melewati perbatasan kesadaran jika mereka cukup disamarkan. Konsep Freud dengan asumsi bahwa setiap mimpi (dengan pengecualian mimpi anak-anak) adalah menyimpang dan harus dikembalikan ke makna aslinya oleh penafsiran mimpi. Freud berasumsi bahwa semua mimpi pada dasarnya pemenuhan keinginan dan memiliki fungsi melestarikan tidur, seolah-olah, pemenuhan halusinasi.
Freud melihat odipus complek sebagai konflik, tetapi tidak mengenalinya atas suatu fitur dari masyarakat patriarkal; sebagai gantinya ia menafsirkan persaingan seksual antara ayah dan putra. Transference merupakan suatu bauran; campuran kasih, penghormatan, pemasangan; dalam “transferensi negatif” merupakan suatu bauran; campuran dari benci, oposisi dan serangan.
Penemuan Freud tentang teori kehidupan dan naluri kematian. Dalam karya ini Freud dihubungkan dengan “keharusan untuk mengulangi” sifat-sifat suatu naluri; di sini juga, ia mendalilkan untuk pertama kalinya dikotomi baru Eros dan insting mati, sifat yang dibahas secara lebih rinci dalam The Ego dan Id. Freud berusaha untuk mengidentifikasi Eros dengan libido, polaritas baru merupakan konsep yang sama sekali berbeda dari kendaraan dari yang lama. Sebagian dari naluri ditempatkan secara langsung dalam pelayanan fungsi seksual, di mana ia memiliki peranan penting.


KESIMPULAN

Penemuan Freud ini berpotensi revolusioner karena dapat menyebabkan orang untuk membuka mata mereka terhadap realitas struktur masyarakat mereka dengan demikian keinginan untuk mengubahnya sesuai dengan kepentingan dan keinginan mayoritas. Tapi sementara Freud pikir memiliki potensi revolusioner tersebut, yang tidak diterima secara luas mengakibatkan manifestasi dari potensi ini.
Sebaliknya, radikalisme politik dapat dipahami sebagai tanda neurosis karena, bagi Freud dan sebagian besar murid-muridnya, borjuis liberal adalah paradigma laki-laki yang sehat. Satu mencoba menjelaskan radikalisme kiri atau kanan sebagai hasil proses neurotik, seperti misalnya kompleks Oedipus, dan prima facie keyakinan politik yang bukan dari kelas menengah liberal itu dicurigai sebagai “neurotik.” Menurut pendapat saya bahaya fungsi reaksioner psikoanalisis hanya dapat diatasi dengan mengungkap faktor-faktor bawah sadar dalam politik dan ideologi agama.